Chapter 1

1237 Words
Tidak terasa jarum jam sudah menunjuk angka lima. Seorang gadis muda sedang sibuk merapikan peralatan yang tadi dipakainya membuat beberapa jenis kue, sebelum pulang ke apartemen milik suaminya. Sesuai kesepakatannya dengan sang suami, dia harus sampai di apartemen sebelum atau paling lambat jam enam sore. Sebenarnya kini dia bukanlah seorang gadis lagi, karena saat ini di dalam rahimnya sedang tumbuh buah hati yang baru berumur dua bulan. Walaupun kehamilannya tidak dia dan suaminya inginkan, tapi wanita ini sangat menyayangi nyawa yang sedang menumpang hidup di rahimnya. “Cell, aku akan mengantarmu pulang, sekalian ke supermarket membeli bahan-bahan kue yang persediaannya sudah menipis. Bahkan, ada yang telah habis,” ajak Carissa–sahabat karib Cella. Tanpa menunggu ajakan yang kedua, Cella pun langsung menuju mobil, mengikuti langkah Icha–panggilan akrab Carissa. Jarak apartemen dengan tempat kerjanya hanya memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Selama perjalanan, Cella dan Icha mengisinya dengan obrolan ringan. Setelah mobil yang dikendarai Icha berhenti di depan lobi apartemen tempat tinggalnya, dia melihat keberadaan suami Cella. “Cell, bukankah itu suamimu? Kenapa dia sudah pulang, padahal ini masih sore?” Icha bertanya setelah melihat jam tangannya. “Iya, itu Albert,” Cella membenarkan penglihatan sahabatnya. “Sampai ketemu besok, Cha. Oh ya, terima kasih atas tumpangannya.” Cella keluar dari mobil dan melambaikan tangan kepada Icha. Dia tidak mau memberikan celah kepada sang sahabat untuk menanyakan atau membicarakan lebih jauh tentang suaminya. Icha mengangguk. Dia memaklumi sikap sahabatnya. “Cell, semoga kebahagiaan secepatnya menghampirimu,” Icha membatin karena iba dengan keadaan yang sedang dialami Cella. Dirinya memang mengetahui, bagaimana dan seperti apa keadaan rumah tangga sahabatnya tersebut. *** “Mau aku buatkan masakan apa sebagai menu makan malam kita, Al?” tanya Cella ketika melihat suaminya keluar dari kamar tidur mereka. Kini suaminya sudah berpakaian santai dan rapi. “Terserah kamu mau masak apa. Hari ini aku akan ke rumah orang tuaku dan sekalian makan malam di sana,” Albert menjawab sambil berlalu meninggalkan Cella. “Selalu saja seperti ini,” pikir Cella. Dia mengangguk pelan sebagai tanggapan atas jawaban sang suami, meski sadar tidak diperhatikan. Cella menyadari kemampuan memasaknya saat ini masih sangat rendah, tapi dia terus berusaha dan belajar agar bisa lebih baik. Namun, suaminya selalu saja mengabaikan usahanya. Semenjak pernikahannya, Albert tidak pernah memberi perhatian kepada Cella seperti pengantin baru pada umumnya. Cella pun menyadari alasan suaminya seperti itu. “Apa aku tidak pantas mendapat perhatian dan dianggap sebagai istrinya, meski hanya sedikit?” Cella bergumam lirih. Dia segera menghapus air matanya yang lancang membasahi pipi pucatnya. “Semoga Mommy selalu sabar dan kuat menghadapi sikap Daddy, Nak,” ucapnya dalam hati. *** Malam semakin larut, jarum jam pun sudah berada di angka sebelas, tapi tanda-tanda kepulangan Albert belum juga dirasakan oleh Cella. Sambil menunggu suaminya, Cella merebahkan tubuh lelahnya pada sofa bed di kamarnya. Dari awal pernikahan hingga sekarang Cella tidak tidur seranjang dengan Albert, meski mereka berada dalam satu kamar. Waktu itu Albert memberinya pilihan; menempati ranjang atau sofa bed? Karena Cella tahu diri jika apartemen ini bukan miliknya, maka dia pun memutuskan menggunakan sofa bed sebagai tempat tidurnya. Albert pun bersikap tidak acuh saat mendengar jawaban Cella. *** Gracella Natasha Christopher, gadis berusia 22 tahun terpaksa harus menikah dengan Albert Mario Anthony karena janin yang tumbuh di rahimnya. Albert, laki-laki yang usianya terpaut tiga tahun dan bersahabat dengan George Nicholas Christopher–kakaknya. Selain itu, Albert juga tunangan dari Audrey Laura Jhonson–keponakan ibunya yang berarti sepupunya sendiri. Pernikahan mereka diadakan secara sederhana dan mendadak di sebuah gereja kecil yang ada di pinggiran kota. Padahal keduanya berasal dari keluarga kaya, dengan aset kekayaan yang jauh di atas kata cukup. Orang tua masing-masing pun merupakan pebisnis sukses di negaranya. Sesuai kesepakatan kedua belah pihak keluarga, akhirnya pernikahan Cella dan Albert dilakukan secara tertutup. Yang hadir hanyalah keluarga inti, beberapa orang dari perusahaan masing-masing, dan orang terdekat saja. *** Semenjak keluarga Christopher menerima foto dan videonya di sebuah kelab malam juga hotel hingga diketahui hamil, Cella pun akhirnya diusir. Tidak hanya itu, Cella juga mendapat sikap yang sangat dingin dari keluarganya, terutama orang tuanya. Respons serupa juga diterimanya dari keluarga suaminya, terutama Lilyana Anthony. Lily dulu sangat menyukai Cella karena karakternya yang ceria dan ramah. Apalagi ditunjang penampilan fisiknya yang semampai, dipadukan dengan rambut panjang cokelatnya dan kulit putih pucatnya. Namun, semua itu berubah ketika foto dan video yang memperlihatkan keagresifan Cella menggoda putranya. Lily menjadi sangat membenci Cella dan menganggapnya tidak lebih dari seorang jalang. Selain itu, harapannya agar Audrey menjadi menantunya pun sia-sia. Karena tidak mau setiap hari menyaksikan dan mendengar kata-kata penindasan istrinya kepada sang menantu, Bastian Anthony­­­­­ meminta Albert membawa Cella untuk sementara tinggal di apartemen. Bastian tidak bermaksud lebih melindungi Cella, tapi mengingat kondisi menantunya sedang hamil, dia hanya berusaha agar perempuan tersebut tidak semakin tertekan dengan keadaannya sekarang. Walaupun pernikahan ini karena kelalaian Albert dan Cella, tapi anak di rahim menantunya tetap cucunya yang tidak bersalah. Di balik keadaannya sekarang, Cella sangat bersyukur karena masih ada orang yang mau berbesar hati menerima kehadirannya. Selain Bastian, Christy Maria yang merupakan adik kembar suaminya menyambut kehadirannya dengan hangat. Setahu Cella, Christy sudah menikah lebih dulu dengan Steve Alexander Smith. Bahkan, adik iparnya tersebut telah dikarunia buah hati yang baru berusia lima bulan. Christy mengerti dengan perasaan terluka Cella, karena mereka terlahir sebagai perempuan. Terlepas dari kesalahan yang dilakukan Cella, Christy hanya memberi support kepada kakak iparnya agar tidak pernah menyerah terhadap keadaan. *** Cella terbangun dari tidurnya, dia menolehkan kepala agar bisa melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan angka dua. Pandangan Cella teralih pada ranjang di depannya, yang sepertinya tidak tersentuh oleh sang pemilik. Cella pun menghela napas setelah mengubah posisinya menjadi duduk. “Mungkin Albert menginap di rumah orang tuanya,” batin Cella memperkirakan. Setelah cukup lama berdiam diri, Cella memutuskan ke dapur untuk mengambil air minum. Semenjak hamil, dia memang selalu terbangun di tengah malam atau dini hari seperti sekarang. Saat menuju dapur, samar-samar Cella mendengar suara televisi dari ruang tengah. Untuk memastikan pendengarannya, dia segera menghampiri sumber suara tersebut. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Albert tidur di lantai yang hanya berlapiskan permadani, televisinya pun masih menyala. Tanpa berpikir lagi, Cella langsung mengambil remote dan menekan tombol off. Selanjutnya dia membangunkan suaminya agar tidur di kamar. “Al, bangunlah. Jangan tidur di sini, nanti badanmu sakit.” Cella menyentuh dan sedikit mengguncang tubuh suaminya supaya terbangun. Albert melenguh karena merasa tidurnya terganggu, tapi matanya masih setia terpejam. Cella tersenyum ketika mendengar lenguhan Albert, sebab wajah suaminya terlihat lebih tampan saat tidur, berbeda ketika dalam keadaan sadar. “Al, ayo bangun. Nanti kamu bisa masuk angin dan sakit.” Cella lebih keras mengguncang bahu Albert. Albert yang benar-benar merasa terganggu pun langsung membuka mata dan menatap tajam Cella seperti biasa. “Jauhkan tangan sialanmu itu dari tubuhku!” bentaknya tanpa basa-basi. Dia segera berdiri dan berlalu menuju kamarnya tanpa memedulikan istrinya yang terkejut. Nyali Cella menciut ketika ditatap seperti itu, air matanya pun lagi-lagi membasahi pipinya tanpa diperintah. “Maaf,” pintanya sangat lirih setelah mendengar pintu kamar dibanting cukup keras oleh Albert. Setelah menenangkan rasa sedihnya, Cella kembali pada niat awalnya mengambil air minum di dapur. Tidak lama kemudian, dia kembali ke kamar dan tidur menyamping di sofa bed-nya. Dia menekan dadanya berulang kali yang sedikit sesak karena sikap dan perkataan kasar Albert. “Sampai kapan akan seperti ini?” tanya Cella dalam hati dan mencoba memejamkan kembali matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD