Chapter 2

1414 Words
Cella bangun tidur dengan kepala pusing. Seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu bangun pagi untuk membersihkan apartemen dan menyiapkan sarapan untuknya serta Albert. Namun, Albert tidak pernah sekali pun memakan sarapan yang telah dia siapkan. Di awal pernikahan Cella pernah membuatkan sang suami kopi, tapi bukannya gula yang dia masukkan sebagai pemanis, melainkan garam. Hal tersebut berhasil membuat Cella pagi-pagi mendapat bentakan dan umpatan kasar dari suaminya. Semenjak itu Albert tidak pernah mau meminum atau memakan apa pun yang dibuat Cella. Sebelum menikah, Cella memang bukan tipe orang yang terbiasa dengan urusan dapur. Segala urusan dapur sudah dikerjakan oleh asisten rumah tangga keluarganya. Jangankan membuat makanan, memasuki area dapur saja dia jarang. Bahkan, hampir tidak pernah. Namun semenjak menikah, Cella belajar sedikit demi sedikit, walaupun harus bersusah payah. Cella juga tidak pernah menyerah dalam proses belajarnya. Cella banyak belajar dari resep di internet, tabloid, dan tidak jarang bertanya kepada Icha. Sampai akhirnya Cella memutuskan belajar sambil bekerja dengan Icha. Kebetulan Icha memiliki usaha menerima pesanan berbagai macam cake dan kue kering, kadang-kadang juga makanan. Cella sangat senang karena sahabatnya itu mau menerimanya dan sabar mengajarinya. Lambat laun perkembangan memasaknya sudah lebih baik menurut Icha, tapi hal itu tidak berarti apa-apa buat Cella sendiri, karena sampai detik ini Albert belum mau memakan apa pun yang dia buat. *** Albert sudah siap berangkat ke kantor dan memulai aktivitasnya sebagai CEO pada Anthony Enterprises yang dipimpinnya. Saat berjalan menuju pintu, dia melirik melalui sudut matanya secangkir kopi dan pancake buatan sang istri di atas meja makan miliknya. Namun, dia tidak melihat yang menyediakan sarapan tersebut berada di tempat. Saat Albert hendak melanjutkan langkahnya, terdengar suara lembut Cella yang baru keluar dari kamar mandi di samping dapur. “Pagi, Al. Aku sudah membuatkanmu kopi dan pancake untuk sarapan kita,” ujar Cella sambil mendekati meja makan dan menarik kursinya untuk dia duduki. Bukannya menanggapi ucapan Cella, Albert malah memerhatikan wajah pucat istrinya yang bertambah pucat, matanya pun sedikit sembap. Albert mengernyitkan kening, sebab tidak biasanya keadaan Cella seperti ini. Tanpa melepaskan tatapannya, dia menarik kursi di hadapan istrinya sebelum mendudukinya.  “Are you okay?” tanya Albert pada akhirnya ketika melihat Cella menundukkan kepala.  “I’m fine,” Cella menjawab tanpa memandang wajah suami di hadapannya. “Minumlah kopinya, Al. Kali ini bukan garam yang aku campurkan dengan kopimu, melainkan gula. Namun jika kamu masih ragu, sebaiknya jangan diminum.” Cella tidak mau memaksa Albert agar mau meminum kopi buatannya. Dia hanya melakukan salah satu tugasnya sebagai seorang istri. Pagi ini tidak seperti biasanya Cella kurang bersemangat. Cella memperkirakan insiden kemarin malam yang membuatnya seperti ini, apalagi dia tidak bisa melanjutkan tidurnya dengan nyenyak setelah dibentak Albert. Albert hendak mengambil cangkir kopi di depannya, tapi deringan ponsel membatalkan niatnya. Dia melihat nama penelepon yang tertera pada layar ponselnya dan memilih segera mengangkatnya. “Pagi juga, Pa,” Albert menyapa orang yang menghubunginya. “Aku sendiri yang akan mengawasinya. Aku pastikan semua berjalan lancar dan seperti keinginan Papa.” Albert memastikan. “Ada, Pa. Di sebelahku. Kami sedang sarapan. Papa mau berbicara dengannya?” Albert melirik Cella yang terlihat enggan memakan menu sarapan yang dibuatnya sendiri. “Baiklah, nanti aku sampaikan padanya.” *** Cella yang sudah selesai sarapan bangkit dari duduknya, dia ingin mencuci piring dan gelas. Saat hendak menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat kerja setelah usai mencuci peralatan bekas sarapannya, Albert menghentikan langkahnya dengan nada malas. “Papa menitipkan salam padamu, kalau ada waktu kamu disuruh berkunjung ke rumah,” beri tahu Albert dengan nada datar dan dingin. “Baik, nanti aku akan menelepon Papa,” balas Cella sambil tersenyum tipis. “Ini uang untuk memenuhi kebutuhan bulananmu.” Albert menaruh uang tunai di atas meja makan dengan jumlah yang tidak sedikit. Sebelum melihat Cella mengambilnya, tanpa pamit Albert langsung keluar dan bergegas menuju kantor. Menurutnya, terlalu lama berinteraksi dengan Cella akan membuang waktunya yang sangat berharga. Melihat keengganan sikap suaminya membuat Cella mendesah. “Tidak bisakah berbasa-basi, meski sekadar berpamitan? Uang bulanan? Begitukah cara seorang suami memberikan uang kepada istrinya? Jika seperti ini, aku layaknya sebagai simpanannya saja,” gumamnya seorang diri. Untungnya Cella tidak mengalami morning sickness parah. Mungkin janin di rahimnya mengerti dengan keadaan ibunya yang tidak biasa. “Sehatlah selalu, Nak. Semoga sikap Daddy bisa berubah terhadap Mommy suatu saat nanti, agar kamu mendapat perhatian darinya,” ucapnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. *** “Pagi, Cha,” sapa Cella ketika memasuki tempat kerjanya yang sekaligus dijadikan rumah tinggal oleh Icha. “Pagi, Cell. Eh … pagi juga, Baby. Calon keponakan Aunty tidak nakal, kan?” tanya Icha sambil mengelus perut Cella. Cella terkekeh mendengar pertanyaan sahabatnya kepada calon anaknya. “Baru juga dua bulan, Cha, bagaimana bisa dia berulah?” “Siapa tahu anakmu ini ajaib, jadi si Baby bisa memberi pelajaran pada Daddy-nya yang tidak punya perasaan itu,” jawab Icha tidak mau kalah. Cella pun hanya mengendikkan bahu menanggapinya. “Cha, ayo kita kerjakan pesanan yang sudah ada,” ajak Cella supaya pembahasan mengenai suaminya tidak melebar. “Baiklah, Cell,” Icha langsung menyetujui ajakan sahabatnya. Dia mengerti jika Cella tidak mau melanjutkan membahas mengenai Albert. *** “Dad, coba pikirkan lagi tentang keputusan itu. Ini sangat tidak adil untuk Cella. Walau bagaimana pun Cella tetap anak kandung kalian dan akan selamanya seperti itu,” George membujuk Adrian mengenai keputusan yang sudah diambilnya. “Oh, berarti kamu membenarkan perbuatan adikmu itu? Tidak, George! Keputusan yang Daddy ambil sudah benar. Kamu sudah melihatnya sendiri bagaimana terlukanya Audrey atas kejadian ini, sampai-sampai dia mengurung dirinya berhari-hari di kamar!” balas Adrian dengan nada tinggi. “Tidak, Dad. Sedikit pun aku tidak membenarkan perbuatan mereka, tapi Daddy juga harus tahu kalau saat itu baik Cella maupun Albert sama-sama dalam keadaan mabuk. Apalagi aku tahu, Cella dan Albert selama ini tidak begitu dekat. Cella juga baru beberapa bulan kembali ke tengah-tengah kita, setelah dia menyelesaikan pendidikannya di Oxford. Begitu pun dengan Albert, dia sangat jarang berkunjung ke tempat kita, meskipun di rumah ada kekasihnya,” jelas George panjang lebar. “Kamu tidak tahu kelakuan adikmu di luar sana, dia selalu pergi ke kelab malam selama berada jauh dari kita. Dan kamu bisa melihat sendiri, bahwa Cella yang menggoda Albert. Kehidupannya di sana benar-benar liar, sangat berbeda dengan Audrey yang masih tahu batasan. Meskipun Audrey hanya keponakan Mommy-mu, tapi dia sudah Daddy anggap seperti anak sendiri!” balas Adrian tidak mau kalah. Rahang George mengeras saat mendengar perkataan Adrian yang membandingkan Cella dengan Audrey. Memang selama ini Audrey tinggal bersama mereka. Bahkan, dari usianya lima belas tahun. Semenjak orang tua Audrey bercerai, ibunya yang tidak lain sepupu Sandra menikah lagi dan tidak mau mengajak Audrey tinggal bersamanya. Jadi semenjak itulah Audrey tinggal bersama keluarga Christopher. Audrey yang memang anak broken home senang sekali mencari perhatian kepada orang tuanya. Hal inilah yang membuat Cella setelah lulus High School memutuskan melanjutkan pendidikannya di Oxford University, sedangkan dia dan Audrey di Harvard University. “Dad, jangan menuduh anak sendiri yang tidak-tidak. Selama Cella di Inggris, dia juga tinggal di rumah Nenek. Kalau dia mendatangi kelab malam, mungkin hanya untuk hangout semata, sama sepertiku di sini. Dan mengenai video sialan yang kita terima, aku yakin kalau itu hanya rekayasa. Sekarang ini teknologi sudah sangat canggih, Dad.” George tidak terima saat adiknya dijelek-jelekan, terlebih oleh ayahnya sendiri. “Kamu!” Adrian menuding George dengan penuh amarah. “Aku hanya mengingatkan agar Daddy tidak menyesal untuk ke depannya akan keputusan yang telah diambil. Berhati-hatilah, Dad, anjing yang dipelihara dengan kasih sayang pun bisa menggigit majikannya tanpa belas kasihan. Permisi,” George mengingatkan sang ayah sebelum keluar ruangan. Adrian termenung mendengar ucapan anak sulungnya. Namun karena kekecewaan dan kemarahan masih meliputi hati serta pikirannya, kata-kata George hanya dia anggap angin lalu. “Awasi gerak-gerik George, kalau sampai dia memberi bantuan materi kepada Cella, segera laporkan padaku!” Adrian mengempaskan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya, setelah berbicara dengan orang kepercayaannya lewat telepon yang disuruh mengawasi George. Adrian yakin jika George tidak akan memberi Cella bantuan dalam bentuk materi, mengingat Albert merupakan CEO dari perusahaan besar di daratan New York. Adrian memandangi bingkai foto yang ada di atas meja kerjanya. Foto dirinya bersama istri dan kedua anaknya. Little princess nan cantik dan lucu yang sangat dia sayangi serta cintai, tapi kini telah mengecewakannya. Little prince yang sangat tampan itu pun kini mulai menentangnya. Adrian mengusap wajahnya kasar dan beranjak dari kursinya kemudian menuju pintu keluar, dia ingin menjernihkan kembali pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD