Chapter 3

1968 Words
Hari ini sangat melelahkan bagi Cella, Icha, dan Keira, karena mereka harus menyelesaikan pesanan beberapa jenis cake. Usai membereskan perlengkapan yang digunakan membuat cake, Cella duduk sambil meluruskan kakinya di sofa–di ruang tengah. “Diminum tehnya, Cell.” Keira menghampiri Cella sambil membawa nampan berisi tiga buah cangkir dan beberapa potong cake. “Terima kasih, Aunty,” ucap Cella sambil meraih cangkir tehnya. “Icha di mana, Aunty?” Cella meminum teh dan mulai menikmati cake yang dibawa Keira. “Sedang di depan, masih berbincang dengan Mrs. Paula,” jawab Keira sambil memerhatikan Cella. Cella mengangguk karena mulutnya masih mengunyah cake pemberian Keira. “Cell, sebaiknya kamu berhenti saja bekerja, apalagi usia kandunganmu masih terbilang sangat muda.” Keira mengkhawatirkan keadaan Cella. “Tidak baik untuk ibu hamil jika kelelahan, terlebih sepertimu yang baru mengandung pertama kali,” ucapnya. Cella hanya tersenyum tipis menanggapinya, seolah mengisyaratkan jika dia baik-baik saja. Cella paham dengan kekhawatiran Keira, tapi dia tidak mempunyai pilihan. Kalau hanya berdiam diri di apartemen mewah milik suaminya dan tidak bekerja, maka dirinya tidak akan mempunyai uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari. Albert memang memberinya uang bulanan yang jumlahnya lebih dari cukup, tapi tidak pernah Cella gunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Uang pemberian suaminya, dia tabung untuk keperluan anaknya kelak, tentunya tanpa sepengetahuan sang suami. Sebelum mendapat bayaran dari Icha, Cella menggunakan uang tabungan yang diperolehnya dari kerja part time mengajar ballet sewaktu kuliah di Inggris. Jumlah yang dikumpulkannya pun cukup banyak, karena semua biaya kuliahnya saat itu ditanggung penuh oleh Adrian. “Cella?” Keira menyentuh tangan Cella yang masih memegang cangkir. “Oh … maafkan aku, Aunty. Aku tidak apa-apa. Baby juga sepertinya tidak keberatan jika diajak bekerja,” Cella berkilah sambil mengelus perutnya dan tersenyum menenangkan. Keira hanya mendesah mendengar jawaban Cella. “Baiklah kalau begitu, tapi kalau kamu merasa lelah, beristirahatlah. Jangan memaksakan diri dan egois. Ini semua demi kebaikanmu dan bayimu,” perintahnya tegas. “Siap, Nenek.” Cella menirukan suara anak kecil yang mengerti saat diceramahi neneknya. Keira sudah seperti ibu bagi Cella. Di saat seperti ini, setidaknya dia masih bisa merasakan hangatnya kasih sayang tulus seorang ibu, meskipun itu bukan didapat dari ibu kandung maupun mertuanya. Keira, janda yang ditinggal meninggal suaminya. Keira sendiri memang sudah bekerja pada keluarga Stanley semenjak orang tua Icha masih hidup. Setelah pasangan Stanley meninggal saat terjadi perampokan di rumahnya dan perusahaannya bangkrut karena kecurangan di dalam management-nya, Icha pun akhirnya dibawa Keira sekaligus diajak tinggal bersama. Dengan tabungannya selama bekerja di kediaman Stanley, Keira membeli sebuah bangunan yang tidak terlalu besar sebagai tempat mereka berteduh. “Aunty, kenapa tempat ini tidak dijadikan kafe saja? Apalagi bentuk bangunannya sangat mendukung. Hanya perlu direnovasi dan dibuatkan konsep ulang agar terlihat lebih rapi sekaligus luas,” Cella mengutarakan ide dalam kepalanya kepada Keira. “Uang dari mana, Cell? Kamu tahu sendiri, modalku untuk melancarkan usaha ini sangat terbatas,” sahut Icha yang datang dari arah depan. “Kalau begitu pakai uangku dulu, Cha. Aku rasa uang tabunganku cukup untuk membiayai renovasi tempat ini. Aku prediksi, tidak terlalu banyak menghabiskan biaya dengan kondisi tempatnya yang seperti ini. Masih bagus dan terawat,” ungkap Cella. “Tapi, Cell, jika Albert tahu kamu memakai uangnya untuk keperluan lain, pasti dia marah. Aku tidak mau kamu dimarahi dan membuatmu terkena masalah. Benarkan, Aunty?” Icha mencari dukungan kepada ibu angkatnya. “Benar yang Icha katakan, Nak. Keperluanmu ke depan masih sangat banyak,” Keira memberi pengertian kepada Cella, layaknya seorang ibu terhadap anaknya. “Kalian tenang saja. Uang ini milikku pribadi, hasil keringatku sendiri yang aku kumpulkan saat masih berada di Inggris. Tidak ada hubungannya dengan uang suamiku. Pokoknya tempat ini akan aku renovasi dan kujadikan sebuah kafe.” Akhirnya Cella pun memutuskannya secara sepihak. “Tapi, Cell ….” Ucapan Icha terpotong karena Cella memberinya isyarat agar diam. “Jika kalian masih keberatan, begini saja, aku akan menyewa tempat ini untuk usahaku. Aku akan membayar sewa sesuai harga pasar dan semua yang berhubungan dengan finansial menjadi tanggung jawabku. Namun, aku tetap akan mempekerjakan dan memerlukan kalian untuk membantuku mengelola usahaku nanti. Bagaimana?” Dengan bersemangatnya Cella menjabarkan rencananya. “Sudah menjadi seorang istri pun, sifatmu yang satu itu tidak juga hilang. Dasar,” Icha menggerutu karena sifat memerintah milik sahabatnya itu masih awet. “Hei, ini ciri khasku,” Cella membela dirinya sendiri dan mengedipkan sebelah mata indahnya menanggapi gerutuan Icha. “Sudah, sudah. Kalian sudah pada dewasa masih juga seperti ini,” Keira menengahi dua sahabat akrab yang tidak mau kalah. “Berarti kalian sudah menyetujui keputusanku, maka pengerjaannya akan dilakukan mulai minggu depan,” Cella mengabaikan ucapan Keira dan tetap mempertahankan rencananya. “Baiklah, Nona Cella yang terhormat. Ups! Salah. Yang benar, Mrs. Anthony sekarang.” Icha membekap mulutnya sendiri karena salah menyebut status sahabatnya. “Cell, jika langgananku nanti ada yang memesan cake, masih bisakah aku terima?” Icha memastikan. “Tentu saja masih, Cha. Tujuanku membuka kafe juga biar cake-mu bisa dinikmati oleh banyak orang dan tahu kelezatannya. Apalagi tempatmu ini sangat strategis dan dekat dengan kompleks perkantoran,” jelas Cella. “Wah, tidak kusangka ternyata sahabatku ini mempunyai pemikiran yang jauh ke depan. Kamu juga ikut memikirkan nasib sahabatmu ini yang sudah tidak mempunyai apa-apa,” ujar Icha terharu dengan niat Cella. Di tengah masalah yang mendera Cella, sahabatnya itu masih sempat memikirkan orang lain. Cella hanya tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya, begitu juga dengan Keira. “Semoga Tuhan selalu menyertaimu, Nak,” doa Keira. Dia mencium kening Cella. Cella melihat jam pada pergelangan tangannya, sudah saatnya untuk kembali ke apartemen mewah nan dingin yang kini menjadi tempatnya bernaung. Setelah mengambil tas kesayangannya, dia pun berpamitan, “Aku pulang sekarang. Besok aku ke sini lagi.” “Tunggu sebentar, Cell,” pinta Keira dan berlalu menuju dapur. “Cell, kapan jadwalmu periksa kandungan?” tanya Icha. Selama ini memang Icha yang selalu mengantar dan menemani Cella memeriksakan kandungan. “Hm, tiga hari lagi,” jawab Cella setelah berpikir sejenak. “Nanti aku yang akan mengantarmu. Aku ingin melihat perkembangan calon keponakanku di dalam sini,” ujar Icha dan langsung disetujui Cella. “Bawa ini pulang, Cell. Biasanya orang hamil, bawaannya lapar terus, terutama saat tengah malam.” Keira memberikan beberapa macam kue kering dan cake kepada Cella sebagai pengganjal perut saat lapar nanti. Cella menerimanya dengan suka cita dan mengucapkan terima kasih. Dia segera keluar dari rumah yang selama ini menjadi tempatnya melepas penat akan masalahnya. *** Cella sampai di apartemen lebih cepat dari biasanya karena jalanan lebih lengang. Dia bergegas membersihkan diri dan menyiapkan makan malam untuknya sendiri. Menyadari skill memasaknya terbatas, jadi Cella hanya membuat ayam goreng. Cella sengaja membuat dua porsi, untuk berjaga-jaga jika nanti suaminya mempunyai selera menu yang sama dengannya. “Kalau Albert mau memakannya, syukur. Jika tidak, seperti biasa aku yang akan menghabiskannya sendiri,” gumam Cella sambil mulai menyiapkan bahan-bahannya. Tidak perlu waktu lama bagi Cella untuk memasak makanan tersebut. Tepat saat Cella menghidangkannya, pintu apartemen terbuka, menandakan suaminya sudah pulang. “Sudah pulang, Al?” Pertanyaan konyol pun Cella lontarkan spontan. “Jelaslah sudah pulang. Jika belum, mana mungkin dia berada di sini. Cella, Cella, konyol sekali pertanyaanmu,” gerutunya dalam hati. Albert mengabaikan pertanyaan konyol istrinya, dia langsung menuju kamar mereka. Berbeda dengan Cella, dia hanya mengangkat bahu melihat reaksi suaminya. Sepertinya Cella sudah mulai terbiasa dengan sikap suaminya yang sedingin es di kutub utara. *** Cella menunggu kehadiran suaminya yang sedang berganti pakaian, dia berharap bisa makan malam bersama. Karena yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya, akhirnya dengan kecewa Cella mulai menyantap masakannya sendirian.  Perutnya ternyata telah tidak sabar untuk segera menikmati makanan racikan tangannya, mungkin anaknya juga sudah mulai kelaparan di dalam sana. Saat makanan Cella sudah setengah porsi masuk ke perut, Albert pun muncul dan berjalan ke arah dapur. Belum sampai di dapur, bel apartemen berbunyi dan suaminya berbelok guna membuka pintu. Cella hanya mengamati gerak-gerik Albert dari tempatnya duduk dan menanti siapa tamu yang sedang berkunjung. Ternyata bukan tamu, melainkan kurir dari restoran cepat saji yang ada di gedung apartemen mereka sedang mengantar pesanan. “Mungkin Albert yang memesan makanan,” pikir Cella. Albert duduk tak acuh di hadapan Cella setelah menerima pesanan makanannya. Cella yang melihat menu makanan yang dipesan suaminya, tergiur ingin mencicipi. Dengan cepat Cella mengurungkan niatnya karena tidak mau melihat kekesalan suaminya. Takut menu makanan Albert semakin menjadi-jadi menggugah selera makannya, akhirnya Cella segera mencuci perlengkapan makannya dan ingin bersantai di depan televisi. *** Cella sedang asyik menonton acara fashion show yang disiarkan salah satu channel televisi. Dia terkejut saat tiba-tiba acaranya berubah. Dia melihat Albert berdiri di sampingnya sambil memegang remote televisi yang tadi di letakkan di atas meja. Cella tidak mau memprotes tindakan Albert, makanya dia mengambil majalah tentang kehamilan yang dibelinya saat perjalanan pulang tadi. Cella tidak terganggu dengan keberadaan Albert yang sedang menonton acara seputar dunia bisnis. Dia asyik menikmati bacaannya sambil memakan kue kering pemberian Keira yang sudah di tempatkan pada kaleng, tanpa menawarkan kepada suaminya. “Kosongkan jadwalmu besok. Kita akan menghadiri ulang tahun pernikahan mertua Christy. Kamu bisa membantu persiapannya dari siang hari,” beri tahu Albert dingin tanpa melihat Cella yang sedang memerhatikannya semenjak mulai membuka suara datarnya. “Sebenarnya aku malas datang, terlebih bersamamu. Namun karena sekarang kamu menjadi bagian dari keluargaku, mau tidak mau aku harus mengajakmu juga,” Albert menambahkan setelah jeda sejenak. Tenggorokan Cella rasanya tercekat dan dadanya mulai sesak. Bahkan, terasa sangat perih seperti tersayat silet ketika mendengar perkataan dingin dan datar suaminya. Hal itu terlihat jelas dari wajahnya yang mulai memerah karena sekuat tenaga menahan air matanya supaya tidak keluar. Cella melampiaskannya dengan meremas cukup kuat majalah yang sedang dipegang. Dengan suara serak dan bergetar akibat menahan tangis, Cella menjawab perkataan suaminya, “Baik. Kalau begitu, aku mau istirahat lebih dulu.” Cella berdiri dan menuju kamar tidur untuk merebahkan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. *** Di kamar, di atas pembaringannya, Cella meringkuk seperti janin sambil menangis dalam diam. Pikirannya terus mengulang kata demi kata yang keluar dari mulut tajam suaminya. Tidak lama pintu kamar terbuka dan Albert masuk, kemudian berbaring di ranjang king size miliknya. Sebelum memejamkan mata, dia melihat bahu Cella bergetar. Dia berani menjamin jika istrinya belum tidur. “Jangan merasa menjadi yang paling tersakiti. Apa yang kamu rasakan tidak sebanding dengan rasa sakit Audrey akan pernikahan ini!” ujar Albert tanpa belas kasihan. Mendengar itu semakin membuat hati Cella perih, ibarat luka yang masih basah kemudian disiram dengan air cuka. Air matanya mengalir bertambah deras, bagaikan aliran anak sungai. Ingin rasanya dia berteriak sekencang-kencangnya di hadapan suaminya. Dirinya juga korban di sini, bukan hanya Audrey. Cella memang tidak begitu menyukai Audrey, tapi bukan berarti dia membalasnya dengan cara seperti ini. Yang sangat jelas merugikan dirinya sendiri. Seandainya Cella mempunyai pilihan, dia akan lebih memilih pergi menjauh dari Albert dan membesarkan anaknya sendirian, daripada setiap hari mendengar kata-kata menyakitkan dari orang yang membuatnya hamil. Namun, dia menyadari jika hal itu tidak akan menjamin keadaan menjadi lebih baik. Setidaknya untuk saat ini hubungan antara orang tua dan mertuanya tetap terjalin dengan baik, kecuali pada dirinya. “Mungkin besok akan menjadi hari yang sangat panjang dan berat untukku. Dalam acara besok pasti aku akan bertemu dengan Mommy, Daddy, George, dan Cathy. Audrey juga pasti datang bersama mereka, mengingat orang tuaku sangat menyayanginya. Ditambah Daddy juga menjalin kerjasama perusahaan dengan keluarga Smith dan mertuaku. Belum lagi sikap mertuaku, terutama Mama Lily. Apakah sikap mertua Christy akan sama seperti Mama Lily? Mengingat aku baru sekali bertemu mereka, itu pun saat pernikahanku.” Membayangkan harinya besok membuat kepala Cella bertambah pening dan berdenyut. Dia memaksakan menutup mata dan tidur supaya tidak memengaruhi kesehatan janinnya. “Huh! Apa yang akan terjadi besok, terjadilah,” Cella membatin sebelum matanya benar-benar terpejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD