3. Rumah untuk Pulang

1602 Words
Inaya berulang kali mengecek jam besar di ruang tamu rumahnya. Semalaman fikirannya tidak tenang karena suaminya tak kunjung pulang. Bahkan saat ia ketiduran di sofa ruang tamu, saat ia terbangun pagi ini, ia menyadari bahwa suaminya tidak pulang ke rumah. Karena jika pulang dan melihat Naya tidur di sofa, suaminya pasti akan menggendongnya ke kamar. Tapi sampai subuh saat akan sholat, ia masih terbangun di sofa ruang tamu. Naya berulang kali mengecek jam, ponsel dan juga jendela luar. Cemas karena Rengga tak pulang dan juga tak memberinya kabar sejak kemarin sebelum konferensi pres dimulai. Biasanya ia akan menelfon Naya jika tidak pulang, atau minimal mengirim pesan. Tapi ini tidak sama sekali. "Kenapa Mas Rengga belum pulang juga? Semoga saja tidak terjadi sesuatu," gumam Naya pelan. Deru mobil milik Rengga terdengar memasuki rumah. Inaya langsung bergegas keluar rumah, memuka pintu depan dan melihat mobil Rengga sudah bertengger di bagasi. Naya tersenyum saat melihat tubuh tegap suaminya keluar dari mobil. "Maaf, karena tidak menelfon. Aku tadi...." Inaya langsung memeluk tubuh tegap Rengga. Membungkam kalimat yang akan keluar dari mulut Rengga. Pria itu mengerutkan keningnya bingung. "Hei, kenapa?" tanya Rengga lembut. "Aku takut kau kenapa-kenapa? Syukurlah kau tidak apa-apa," gumam Naya masih dipelukan Rengga. Rengga tersenyum tipis. "Sudahlah, aku tidak apa-apa. Kau tidak usah khawatir. Aku semalam tidak pulang karena ada meeting penting di kantor," ujarnya sembari mengusap-usap rambut Naya penuh sayang. "Hehm." Naya mengangguk sembari melepas pelukannya. "Kau sudah mandi? Bajumu juga sudah ganti?" Naya terlihat heran dengan wajah fresh Rengga serta baju yang dipakai pria itu yang terlihat berbeda dengan yang dipakai Rengga saat meninggalkan rumah kemarin. Rengga diam sejenak. "Hehm," sahutnya tersenyum kecil. "Badanku lengket karena keringat, jadi aku memutuskan untuk mandi dan ganti baju di kantor," imbuhnya kemudian. "Oh." Naya hanya mengangguk angguk mengerti, ia tidak curiga sedikitpun karena Rengga beberapa kali melakukannya. Ia merasa bodoh karena sedikit curiga dengan suaminya itu. "Mau makan? Aku masak makanan kesukaanmu," tawarnya kemudian. "Boleh, tapi aku ke atas dulu. Ganti baju dengan yang lebih santai," ujar Rengga sembari mengelus pipi Naya pelan. "Aku akan memanaskannya," ujar Naya tersenyum. Mereka berdua masuk ke dalam rumah dengan saling merangkul mesra. Usia pernikahan mereka sudah menginjak tahun ke 8, hampir satu dekade mereka menjalin hubungan bernama pernikahan. Mereka dulu memang menikah muda, Rengga saat berumur 22 tahun dan Inaya saat berumur 20 tahun. Mereka menikah karena dijodohkan. Bukan hal sulit bagi Rengga untuk jatuh cinta dengan Inaya, jadi ia menerima saja perjodohan yang di rencanakan oleh keluarganya. Inaya adalah perempuan lugu dari kota Bandung. Bekerja di perusahaan Papa Rengga setelah lulus SMA. Melihat keluguan, keramahan dan juga kesopanan Inaya, membuat Raharja menjodohkan putranya dengan Inaya yang ternyata yatim piatu. Dia hidup sebatang kara dan tidak mempunyai siapapun. Raharja merasa iba akan hal itu. "Hehm, kelihatannya enak," oceh Rengga setelah melihat berbagai macam hidangan tersaji di atas meja makan. Tubuhnya di balut kaos polos warna putih dan juga celana kain warna hitam. Rambutnya masih sedikit basah dan acak-acakan akibat sisiran tangan. "Masakanku memang selalu enak, 'kan," canda Naya. "Hehm. Makanya aku jadi betah makan di rumah." Rengga duduk di kursi makan, Naya segera menyiapkan sepiring nasi beserta lauk pauknya. Naya ikut bergabung duduk di sebelah Rengga. Rengga segera melahap makanannya. "Ngomong ngomong, parfummu ganti ya?" tanya Naya tiba tiba. "Uhuk." Rengga langsung tersedak mendengar pertanyaan Naya barusan. Ini pasti parfum dari pakaian yang dia pakai tadi. Parfum di pakian yang menempel di tubuhnya. Naya segera memberikan segelas minuman saat melihat Rengga tersedak. "Kenapa kau kaget seperti itu? Aku kan hanya bertanya saja," tanyanya sembari menepuk nepuk punggung Rengga. "Tidak apa apa." Rengga menggeleng. "Uhuh, A-aku hanya mencoba parfum milik salah satu staf kantor," jawabnya kemudian. "Staf kantor? Perempuan?" Naya mengerutkan keningnya heran. Bau parfum ini adalah bau feminim yang pastinya dipakai oleh perempuan. "Iya, ee... jadi aku lupa membawa parfum dan aku tidak nyaman jika keluar tanpa memakai parfum. Makanya aku meminta salah satu staf yang dekat denganku." Seperti biasa, Rengga terlalu mahir untuk berbohong. "Kenapa? Baunya tidak suka? Padahal aku berencana untuk membelikannya untukmu," imbuh Rengga tersenyum tipis. Dalam hati berdoa supaya Naya mempercayai penjelasannya barusan. "Kau ingin membelikanku parfum!" seru Naya tak percaya. "Hehm, sebagai hadiah karena beberapa hari ini aku jarang ada di rumah." Rengga tersenyum lebar, mendesah lega karena sepertinya Naya percaya dengan kebohongannya. "Jadi suka atau tidak? Atau mau parfum yang lain saja?" tanyanya kemudian. "Aku suka," jawab Naya tersenyum lebar. "Belikan parfum ini saja," imbuhnya antusias. "Baiklah, nanti aku akan membelikannya." Rengga membelai tangan Naya pelan. Sebenarnya, parfum yang dipakai oleh Liora saat ini juga pemberian dari Rengga, saat mereka kencan untuk pertama kalinya. "Ehm, kau tidak makan?" tanyanya pada Naya yang hanya duduk sembari memandangnya. Naya menggeleng pelan. "Aku sudah makan roti tadi." "Nay, sudah aku bilang jangan sarapan roti. Kau punya penyakit magh akut, jadi tidak boleh sarapan dengan roti saja," omel Rengga tidak suka dengan kebiasaan buruk istrinya. Naya memang tidak terlalu suka sarapan pagi. Istrinya tidak akan sarapan jika tidak dipaksa, akibatnya Naya selalu mengeluh perutnya perih. Naya hanya tersenyum tipis mendengar omelan Rengga barusan. Mau bagaimana lagi, ia memang tidak terlalu suka sarapan. Ia sering mual di pagi hari, mungkin efek dari sakit maghnya. "Kau mau aku suapi," goda Rengga mengerling centil ke arah istrinya. Naya melotot, pipinya bersemu merah lantaran malu. Perempuan itu lalu menggeleng cepat. "Tidak. Tidak." Naya menutup mulutnya rapat rapat. "Hahahaha, kau lucu sekali. Kita sudah hampir 10 tahun menikah dan kau masih saja merona setiap kali aku menggodamu," kekeh Rengga mengusap rambut Naya. Naya hanya menunduk dan tersenyum kecil. "Sudah lama sekali ya, usia pernikahan kita," gumamnya pelan. "Tapi kita belum juga dikaruniai anak," imbuhnya lirih. Rengga menoleh pada istrinya. Hal sensitif yang selalu membuat Naya jadi sedih adalah perihal anak, jadi sebisa mungkin Rengga menghindari topik itu. Ia sendiri tidak mempermasalahkannya, toh mereka berdua sudah cek ke dokter dan semuanya baik-baik saja. Mereka memang belum di kasih kesempatan oleh Allah untuk dititipi anak. Rengga mengusap lengan Naya yang ada di atas meja. "Mungkin memang belum waktunya, Nay," ujarnya pelan. Pria itu meraih dagu Naya supaya perempuan itu menatapnya. "Aku tidak keberatan jika kita pacaran lebih lama lagi. Karena setelah kita punya anak nanti, pasti perhatianmu akan terpecah." Rengga mengatakan hal itu untuk menghibur Naya. Naya mendengkus pelan. "Masa' kau cemburu pada anakmu sendiri," cibirnya tak urung tertawa. "Nah, gitu dong, istriku. Senyummu lebih indah dari apapun," goda Renggan. "Apaan sih?" Naya menepuk lengan Rengga gemas. Rengga tertawa nyaring. "Ayok!" ajak Rengga. "Hah? Kemana?" tanya Naya bingung. "Katanya ingin segera punya anak. Kata dokter usahanya harus sering lho, Nay. Ayo kita coba," canda Rengga tersenyum menggoda. Pipi Naya kembali bersemu saat mengerti arah pembicaraan Rengga barusan. "Rengga!" jerit Naya gemas. Rengga segera menggendong tubuh Naya dan membawanya ke kamar mereka. Melakukan kegiatan sunnah bagi sepasang suami istri. ***** "b******k!" maki Harald membanting berkas di hadapannya. Laporan harian yang baru saja disetorkan oleh Tim 1 terkait konferensi film 'Detak tak Terungkap' bertebaran di depan mejanya. Fokusnya terpecah saat melihat rekaman tentang konferensi kemarin. "b******k, kalian berdua!" geram Harald lirih. Harald Jenggala. Pria berusia 32 tahun yang bekerja di salah satu program gosip ternama di Jakarta. Salah satu program unggulan di stasiun TV besar di Indonesia. Ekslusive, infotaiment palingterpercaya karena selalu memberitakan berita besar beserta fakta yang ada, layaknya 'Dispact' di Korea. Harald sudah berkecimpung di dunia jurnalis hampir selama 10 tahun. Saat ini ia sudah menjadi Co-Produser untuk acara Eksklusive. Namun terkadang ia bertugas menjadi wartawansenior bila memang ingin, Harald tipikal pria yang ingin semuanya pekerjaannya sempurna, rasa penasarannya melebihi batas terkadang, dia rela terjun langsung ke TKP jika memang diperlukan. Seperti kemarin, Konferensi 'Detak tak Terungkap', menjadi satu dari sekian berita yang ingin sekali ia liput. Makanya ia rela menjadi wartawan senior di konferensi kemarin, alih-alih duduk manis menunggu laporan dari bawahannya. "Woy! Kenapa dengan wajah pas-pasmu itu? Kau baru saja di tendang keluar dari grub pria-pria haus akan belaian." Gibran, co-produser dari acara lain menyapa Harald dalam bentuk ejekannya. Pria itu menyelonong masuk tanpa ijin pada Harald terlebih dahulu. "Sialan! Sejak kapan aku masuk grub menyedihkan seperti itu?" balas Harald sewot. Pria itu hendak melempar ponselnya di atas meja namun tak jadi karena melihat nominal yang harus ia keluarkan saat membelinya beberapa minggu yang lalu. "Hahahaha, kenapa tidak jadi? Nominal ponselmu bisa membuatmu lembur selama setahun. Cicilanmu 'kan masih banyak," cibir Gibra tersenyum mengejek. "Terserah mulutmu saja,"balas Harald. Gibran kembali tertawa. " Jadi kenapa?" tanyanya kemudian. "Apa?" tanya Harald bingung. "Ck, jangan pura-pura tidak tahu," cibir Gibran. "Masalah wanita bukan?" tebaknya tepat sasaran. Harald hanya mendengkus. "Dasar sok tahu." "Lhah, memangnya aku salah." "Tidak." Harald tertawa setelahnya, begitu pun dengan Gibran. "Puft, kau dicampakan?" "Ck, bukan." Harald menggeleng. "Lalu?" tanya Gibra tak mengerti. "Bagaimana caranya melindungi seseorang yang sudah menjatuhkan hatinya pada pria lain? Aku tahu dia akan terluka jika tetap milih jatuh, tapi aku bingung bagaimana cara menyelamatkannya." Harald menatap menerawang. "Maksudmu? Kau jatuh cinta pada perempuan yang sudah punya suami!" kaget Gibran. Harald hanya tersenyum miris. "Seperti itu." "Ck, malang sekali nasibmu." Gibra geleng geleng kepala. "Jadi solusinya apa? Jangan mengejekku terus!" kesal Harald. "Berat, Rald," komentar Gibran. "Kalau masalah hati, kau mungkin bisa memperjuangkannya, tapi kalau melanggar ikatan suci pernikahan, memangnya kau mau mempertanggungjawabkan semuanya di akhirat. Hubungan yang dilandasi oleh hal buruk tidak akan baik, justru akan membuatmu menderita." "Ck, si b******k itu saja bisa melakukannya," gumam Harald pelan. "Hah? Kau bilang apa?" tanya Gibra karena merasa jika Harald mengatakan sesuatu padanya. "Tidak ada. Aku juga berfikir begitu. Hanya orang gila yang tetap memilih jatuh pada lubang yang penuh lumpur." Harald mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Kau benar." Gibran mengangguk setuju. Tak terlalu perduli dengan ucapan Harald sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD