Penembakan Di Pinggir Kota Arkton

1105 Words
“Ini keputusanmu?” tanya laki-laki itu sambil berdiri dan memandang tajam pada seorang laki-laki yang berlutut dengan banyak luka di tubuhnya. Laki-laki yang sedang berlutut itu mendongak sambil memicingkan mata. Darah mengalir dari pelipis dan menetes melewati kelopak mata. “Engkau picik?” jawab laki-laki yang tengah berlutut itu. “Agh!” jerit laki-laki itu ketika roboh ke tanah. Lelaki itu kemudian berusaha bangkit dengan susah payah. Dari mulutnya terbit senyum seringai dan tatapan mengejek. “Kalau aku jujur, apa Kau akan percaya?” ucapnya sambil kembali mendongakkan kepala. “Coba saja!” perintah laki-laki yang sedang berdiri mengancam itu dingin. “Aku tidak melakukannya, em ya ... mungkin sedikit,” jawab laki-laki yang sudah babak belur itu sambil terkekeh. “Semua bukti mengarah padamu,” balas laki-laki yang kini berdiri sambil mengepalkan tangan, siap untuk menyerang. “Penyelidikanmu paripurna?” sahut laki-laki itu sambil mencoba kembali tersenyum menyeringai. “Kau meragukanku?” seru laki-laki yang lain sambil kembali mengayunkan pukulan dan laki-laki yang sudah bersimbuh di lantai itu, kali ini terpental hingga beberapa langkah. Laki-laki yang kini terkapar di lantai itu bernapas dengan susah payah. Dengan keras kepala, laki-laki itu kembali berusaha bangkit. Upayanya berhasil hingga membuat tubuhnya kembali dalam posisi duduk. “Sudah kubilang, apa saja yang kukatakan Engkau tak akan percaya,” ucap laki-laki itu dengan lirih, napasnya mulai menampakkan kondisi tubuhnya yang kian melemah. Luka-luka pada tubuh yang sebelumnya ada, beberapa di antaranya mengalirkan darah. Tetesan merah itu tampak membuat lantai yang ia duduki kotor dan basah. Bau anyir darah yang khas mulai tercium di udara. “Harusnya Kau tahu, tidak seharusnya melakukan hal-hal bodoh dalam klan kita,” ucap laki-laki yang tanpa ampun melancarkan tendangan dan pukulan itu. “Kenapa?” teriak laki-laki itu kalap. “Kenapa mengkhianatiku?” teriak laki-laki itu menggelegar. Satu pukulan kembali mendarat di wajah laki-laki yang sudah tampak tak berdaya itu. Napas terengah-engah dari kedua laki-laki itu terdengar nyaring di telinga. Tiba-tiba, di tengah ketidakberdayaan itu, laki-laki yang menggelesot di lantai itu mengerahkan sisa tenaganya untuk meraih pisau yang disembunyikan di sepatunya. Lalu, dengan tenaga yang hampir habis, tangan yang menggenggam pisau itu menyerang bagian perut lawan. Gerakan pamungkas itu seharusnya tidak dilakukan karena serangan itu dengan mudah ditangkis. Dan kini justru tangan laki-laki yang yang diserang itu mengeluarkan senjata api dari dalam jaketnya. “Agh ...!” Teriakan terdengar dari mulut laki-laki yang berusaha melawan dengan pisau itu, ketika pelatuk senapan laras pendek itu ditekan setelah bagian slide pistol dengan kecepatan luar biasa di kokang oleh tangan cekatan itu. Pelatuk itu mengaktifkan pegas dan membuat peluru yang bersarang dalam magazine melompat ke barel dan hammer yang standby di bagian belakang itu, menendang pegas, tendangan itu membuat senapan laras pendek itu memuntahkan peluru yang tanpa ampun menembus d**a laki-laki itu. “As-sad,” ucap laki-laki itu lemah. Sang penembak mendekat dan berdiri sambil menatap tajam pada laki-laki yang kini telah bersimbah darah. “Jangan lagi memanggil namaku,” sahut laki-laki yang dipanggil dengan nama Assad itu pada laki-laki yang tengah meregang nyawa. “Kenapa harus mengkhianatiku?” ucap Assad lirih. “Harusnya kita bisa membangun kekuatan bersama,” lanjut Assad dengan nada menyesal. “Aaa.” Mendadak sebuah jeritan terdengar. Sejurus kemudian telinga laki-laki yang baru saja membunuh ini menangkap suara jeritan tertahan dari arah lain. “Ah!” serunya terkejut ketika melihat ke asal suara dan menemukan seorang gadis yang sedang berdiri sambil membelalakkan mata memandang ke arah laki-laki yang sudah tak bernyawa itu. “Ah dari mana datangnya tiba-tiba di tempat rongsokan besi ini mendadak muncul seorang gadis?” keluh laki-laki itu dalam hati. Tanpa pikir panjang Assad kembali menembakkan peluru laras pendek itu untuk melenyapkan gadis yang masih terpaku beberapa meter dari tempat ia berdiri. Kembali trigger senjata api itu ditarik dan mengaktifkan sistem operasi tembak pada senjata besi pendek itu. “Aaa!” Gadis itu menjerit. Di saat yang tepat, satu tangan menarik gadis itu dan membuat peluru itu mengenai tumpukan besi yang ada di belakang gadis itu. Selongsong peluru berdenting ketika dikeluarkan oleh ekstraktor dalam senapan dan jatuh ke lantai. “Ah ...! ada saksi lain?” gumannya dengan nada kesal. Assad berlari dengan cepat berusaha memposisikan pada jarak tembak yang pas. “Kesini!” seru suara laki-laki yang menarik tangan gadis itu. Mereka berdua dengan cepat sudah berada di lantai dua yang juga penuh dengan tumpukan besi tua. Tumpukan tak beraturan itu membuat Assad kesulitan menembak dua saksi yang melarikan diri itu. Assad melompat dan mendarat pada lantai yang lebih yang lebih rendah dari bangunan itu. “Hei! Kejar!” teriaknya pada tiga orang yang berada di lantai dasar. Ketiga laki-laki yang berada di lantai dasar itu langsung tanggap dan mengejar dua orang yang kepalanya kadang tampak menyembul di antara tumpukan besi. “Ke kanan!” teriak Assad memberikan perintah. Dari tempat Assad berdiri tampak dengan jelas rute pelarian dua saksi yang sulit dikejar karena kondisi tempat pembuangan besi yang tak karu-karuan ini. Dari ambalan yang lebih rendah dari lantai dua itu mata elang Assad melihat laki-laki yang menarik tangan gadis itu berlari dengan kaki pincang. “Cepat! Ke kiri!” teriak Assad memandu tiga orang laki-laki yang terlihat kesulitan mengejar saksi. Ketiga laki-laki dengan tubuh besar dan tinggi itu kalah gesit dengan dua saksi yang dengan badan yang lebih kecil. Assad mengumpat ketika melihat laki-laki pincang itu menaikkan gadis itu ke dalam gerobak sorong yang ada di atas rel kecil. Setelah itu, laki-laki pincang itu mendorong gerobak itu, lalu dengan gesit melompat ke atas gerobak itu. Gerobak besi itu meluncur dengan cepat meninggalkan para pengejarnya. Gadis dalam gerobak itu tampak mendongakkan kepala ke arah Assad yang mengacungkan senjata. Bayangan kejadian beberapa tahun silam itu kembali terbayang di mata Assad ketika sedang duduk dalam ruangan dengan kursi kulit yang berukuran besar itu. “Butuh berapa orang lagi untuk menemukan kedua orang itu?” ucap Assad dengan geram. “Berapa luas kota ini?!” teriaknya mendadak memekakkan telinga. “Tak ada yang terlewatkan dari kota ini, Bos,” jawab laki-laki yang berdiri di depannya dengan sedikit gemetar. “Jadi, laki-laki pincang dan gadis itu menguap dari kota ini?!” sindir Assad sambil menegakkan punggung, suaranya menggema memenuhi sudut ruangan. “Sketsa gadis itu sudah diberikan pada agen terbaik, dan setiap laki-laki dengan ciri yang sama di kota itu sudah didatangi, tetapi ....” Ucapan laki-laki yang mengenakan stelan jas lengkap itu menggantung. Tiba-tiba pintu diketuk, dan itu membuat percakapan terhenti. Seorang pegawai wanita dengan rok selutut dan blazer hitam masuk mengantarkan seorang gadis. “Ah!” teriak Assad tercekat. Gadis yang berdiri di belakang pegawai itu memiliki wajah yang sama dengan saksi yang melarikan diri beberapa tahun lalu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD