Munculnya Saksi Penembakan

1104 Words
“Aaa.” Rahang Assad turun ke bawah saking kagetnya. Mulutnya terbuka tanpa kendali. Benar-benar tak salah. Ini adalah gadis itu, gadis yang selama bertahun-tahun dicarinya. Tentu saja penampilannya berbeda. Gadis itu tak lagi mengenakan pakaian lusuh dan terlihat kotor. Tetapi, gadis yang kini berdiri di belakang pegawainya itu, memiliki struktur wajah yang sama persis dengan gadis yang sedang dicarinya. Dan ... tentu saja gadis yang kini sedang menganggukkan kepala itu lebih tinggi dari gadis yang dulu. “B-bos,” ucap laki-laki yang tadi berdiri dengan sedikit gemetar. “It-it-u,” lanjut laki-laki itu tergagap. “Diam!” seru Assad dengan penuh penekanan. Laki-laki itu mengangguk, lalu bergeser dan memberikan ruang untuk dua gadis yang baru datang. Assad berusaha menenangkan diri dengan menyandarkan punggung agar merasa lebih santai. “Ya?” ujarnya pada pegawai wanita yang kini berdiri lebih dekat itu. “Saya mengantar seseorang dari kepolisian, Pak,” terang pegawai wanita itu membuat Assad terkesiap. “Ke-po-li ...?” Bos perusahaan besar itu tergagap. “Maksudnya wakil dari kepolisian, tetapi berstatus sebagai detektif swasta,” jelas pegawai wanita itu. “Ya?” tanya Assad tampak masih belum paham. “Bukankah ini sudah dijadwalkan?” jawab pegawai itu ikut ragu. “Oh iya, tim audit yang akan ditempatkan di perusahaan ini,” ucap Assad akhirnya sambil menyembunyikan rasa kesal. Gadis yang membuat Assad terkejut itu menganggukkan kepala. Kemudian, beberapa orang masuk dan memperkenalkan diri sebagai wakil dari bagian penyidik kepolisian, akuntan, ahli hukum dan seorang auditor manajerial. “Em ... kalau begitu, kita akan mengadakan acara penyambutan,” lanjut Assad setelah menerima kelima orang itu. Bos yang biasanya tenang dan dingin itu kali ini gusar. Bukan karena kedatangan tim yang akan menyelidiki sistem kerja perusahaan besarnya, tetapi, lebih karena gadis yang harusnya dilenyapkan justru berada di dalam tim ini. Orang-orang dalam tim itu sekilas saling pandang. “Kami rasa tidak perlu. Kami akan memanfaatkan waktu seoptimal mungkin,” ucap salah satu laki-laki dengan tubuh kurus dan mata agak cekung yang memperkenalkan diri sebagai akuntan. Anggota tim yang lain mengamini dengan anggukan kepala. “Oke, kalau begitu silahkan ke ruangan yang telah kami sediakan,” ujar Assad sambil memberikan isyarat pada pegawai wanita yang mengantar kedatangan mereka. Pegawai itu mengangguk lalu berjalan keluar ruangan diiringi oleh keempat anggota tim. “Jika ada waktu, saya akan sedikit mengklarifikasi secara umum tentang hal yang berkaitan dengan audit ini,” ujar gadis yang pertama datang. Assad menatap tajam gadis yang tak beranjak dari tempat ia berdiri. “Sepertinya ini waktu yang tepat,” sahut Assad dalam hati. “Tentu saja, di sini?” ucap laki-laki itu dengan pandangan tajam. “Ada ruangan lain?” sahut gadis itu sambil sedikit menggerakkan kepala. “Tentu, mari saya tunjukkan,” ujar Assad sambil menggerakkan tangan kanan sebagai isyarat mempersilahkan. Gadis itu berjalan keluar ruangan mendahului laki-laki itu. Assad menolehkan kepala pada pegawai yang dari tadi menyingkir untuk memberikan ruang pada tamu-tamu yang baru datang. Manik matanya bergerak menunjuk gadis yang baru keluar, lalu dengan sedikit gerakan kepala memberikan isyarat pada laki-laki yang ditugaskan mencari dua orang saksi yang melarikan diri waktu itu. Laki-laki itu langsung mengangguk memahami isyarat itu. “Silahkan masuk!” ucap Assad begitu tiba di satu ruangan yang tidak terlalu luas. Gadis itu masuk dan duduk di salah satu kursi di ruangan itu, sedangkan Assad duduk di kursi yang lain. Dua kursi dan satu meja kecil dalam ruangan ukuran empat kali enam itu membuat laki-laki dan perempuan itu harus duduk berhadapan dalam jarak yang dekat. “Em aku harus panggil apa?” ucap Assad membuka percakapan. “Harra. Cukup Harra,” sahut gadis itu sambil sedikit tersenyum. “Kalau begitu, Kamu bisa memanggilku Assad. Cukup Assad,” balas laki-laki itu sambil menggerakkan satu alisnya. “Wow!” seru Assad tak sengaja. “Ya?” jawab Harra sambil mengeluarkan handphone dari saku blazernya. Assad menatap tak berkedip. Dari dekat gadis ini tampak cantik sekali. Bentuk mata, hidung dan bibirnya seolah tanpa cela. Walaupun wajah gadis ini tanpa riasan, tetapi kecantikannya terpantul sempurna. Ah! Andai gadis ini bukan sesuatu yang membahayakan bagi dirinya, tentu tak butuh hitungan detik bagi Assad untuk segera menaklukannya. “Ya?” ulang Harra pada lawan bicaranya yang masih diam terpana. “Em ... sepertinya ada yang tak sesuai di sini,” ujar Assad sambil tersenyum menyeringai. “Maksudnya?” sahut Harra sambil memasang ekspresi wajah mode perhatian penuh. “Ya, seorang gadis, cantik, manis, tampak lembut dan ... detektif swasta?” ujar Assad sambil tersenyum menyeringai. “Jadi, seharusnya seperti apa penampakan detektif swasta itu?” balas Harra dengan santai. “Ya setidaknya seperti wanita wakil dari penyidik kepolisian tadi. Gagah, berambut pendek, nampak tegas dan tangkas. Berbicara seperti ... seperti ... ya ... seperti itu,” jelas Assad masih dengan menatap tanpa berkedip. “Sayang sekali, jika harus melewatkan sedetik tanpa memandang wajahnya,” ucap Assad dalam hati. “Eit! Tunggu! Bukannya aku harus waspada dengan gadis ini, tak sepatutnya aku dan gadis ini duduk dan berbicara dengan manis seperti ini. Apa benar gadis ini adalah gadis yang menyaksikan pembunuhan itu? Tapi, tak tampak sedikit pun tersirat di wajah cantiknya ini, ekspresi apapun, ” batin Assad mulai berkecamuk. “Penampakan tidak menentukan profesi, Tuan Assad,” ucap gadis itu setelah tertawa mendengar alasan Assad. “Uh ... bahkan suara tawanya menyaingi lagu-lagu merdu yang sering terdengar,” keluh Assad dalam hati sambil mencondongkan badan dan meletakkan kedua siku di atas meja. “Apa Kamu memiliki saudara kembar?” tanya Assad sambil menyipitkan mata. “Apa Saudara Assad pernah melihat seseorang sepertiku?” jawab Harra sambil tersenyum. “E-e-em, em mungkin pernah lihat di majalah atau iklan apa gitu, dengan penampakan seperti ini harusnya menjadi artis atau bintang iklan,” kilah Assad setelah sejenak tergagap mencari alasan. Gadis itu tertawa sambil mengalihkan pandangan dari layar telepon genggam ke laki-laki yang dengan intens menatapnya. “Kurasa aku tak akan berhasil di bidang itu. Anyway, justru aku yang terkejut melihat penampakan asli bos besar yang banyak dibicarakan orang,” ucap gadis itu sambil membalas tatapan laki-laki itu. “Sebelumnya tahu di mana?” sahut Assad curiga, jarinya tampak mulai mengepal. “Di cover majalah dan beberapa channel bisnis,” ucap Harra sambil tersenyum. “Ternyata seratus sembilan puluh centimeter itu tinggi sekali,” lanjut gadis dengan tinggi badan seratus enam puluh lima centimeter itu. “Pantas saja gadis-gadis dan para wanita dari berbagai kalangan berebut perhatian dari laki-laki yang wajahnya lebih indah dari yang kulihat di layar televisi itu,” lanjut gadis itu masih sambil tersenyum. “Tapi, sayang sekali, kita di sini tidak untuk saling memuji, Bos,” imbuh Harra cepat, senyum di wajahnya pudar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD