Chapter 35

1830 Words
Pada sore harinya, acara resepsi dimulai. Gedung resepsi cukup ramai dengan tamu undangan yang hadir dari dua keluarga besar meskipun tamu undangan dibatasi hanya sekedar rekan kerja dan keluarga besar. Gendhis terlihat mengenakan balutan gaun muslimah dengan hijab yang indah. Sementara suaminya dengan balutan tuksedo, pasangan suami istri itu terlihat sempurna dengan warna senada yaitu krem. Meja yang disediakan untuk para tamu undangan berbentuk bundar. Yang mana setiap meja diperuntukan untuk empat orang. Gendhis melambaikan tangannya ke arah Ariella yang duduk diam sambil melihat tamu yang memenuhi ruang resepsi itu. Beruntung dia tidak merasa takut karena ditemani oleh keluarganya. Meja itu dikelilingi oleh Eric, Bushra dan Marc. "Aril, ayo naik Nak. Didi memanggilmu," ujar Bushra setelah menoel tangan sang anak. Bushra menunjuk ke arah Gendhis, sang anak mengikuti arah tersebut. Ariella mengangguk. Dia berdiri dan berjalan ke arah Gendhis dan Anwar. Gaun yang dikenakan oleh Ariella terlihat sangat simpel namun elegan dengan panjang sebetis. Leher gaun itu berhenti segi empat dan panjang lengannya hingga pergelangan tangan yang diberi karet hingga terlihat seperti lonceng. Warna gaunnya soft biru, bandana hitam dan dompet hitam menambah kesan manis padanya dengan sepatu hak tahu dengan tinggi hanya lima centi, dia sama sekali tak menggunakan perhiasan. Setelah Ariella mendekat ke arah Gendhis dan Anwar, Gendhis buru-buru menggandeng tangan Ariella lalu berkata pada fotografer. "Tolong ambil foto kami berdua!" Sang fotografer mengangguk mengerti. Ariella terlihat senang ketika tangan sang sahabat menggenggam tangannya. "Aril, ayo senyum!" pinta Gendhis. "Um, senyum." Ariella tersenyum tipis, meskipun ini adalah senyum tipis namun dia tetap terlihat sangat manis. Beberapa pasang mata tamu pria terlihat sangat terpesona dengan senyum manis Ariella. Beberapa lagi terlihat tertarik dengan penampilan Ariella, mereka tersenyum saat melihat Ariella. "Siapa dia?" tanya seorang pria di meja tamu, jarak mejanya dengan panggung pelaminan tak terlalu jauh sehingga dia tertarik dengan penampilan Ariella. "Aku nggak tau," jawab seorang pria yang lain. Di sisi yang tak berjauhan, terdengar juga beberapa perkataan mengenai siapa Ariella. "Dia siapa?" tanya seorang pria berusia akhir dua puluhan. "Kudengar dia dan dokter Gendhis bersahabat dari kecil," jawab seorang pria yang berada di sampingnya. "Ah, begitu. Mereka pasti sudah sangat dekat hingga dokter Gendhis memeluknya seperti itu," balas pria yang tadi bertanya. Pria yang menjawab mengangguk. "Kau benar, Dok. Mereka terlihat seperti saudara," ujar temannya. Seorang pelayan pria mendekat ke arah Naufal yang sedang duduk bersama Askan, Fatah dan Amran. Sepupu yang lain berada di meja sebrang. "Permisi Tuan Naufal, Anda dipanggil oleh pengantin wanita," ujar pelayan itu setelah berbisik di telinga kanan Naufal. Naufal melirik ke arah Gendhis. Gendhis menggerakan tangannya agar Naufal mendekat. Naufal mengangguk, dia berdiri. "Bro, mau ke mana?" tanya Askan yang meneguk jus buah. "Didi memanggil," jawab Naufal. "Ok," sahut Askan sambil jarinya membentuk isyarat 'ok'. Naufal mendekat ke arah Gendhis dan Anwar. "Kakak Opal, ayo kita mengambil gambar bersama untuk kenang-kenangan," ujar Gendhis. Naufal mengangguk. "Baik, mari kita ambil gambar, setelah acara ini kamu benar-benar akan sangat sibuk untuk mengurus, ehm! suami." Naufal melirik penuh arti ke arah Anwar. Anwar terkekeh, dia dan Naufal saling tos ala pria. Ariella menundukkan pandangannya, dia merasa gugup ketika menatap langsung atau terang-terangan wajah Naufal. Pada saat posisi mengambil gambar bersama urutannya adalah Naufal, Ariella, Gendhis dan terakhir Anwar jika diurutkan dari arah kiri. "Satu … dua … tiga!" ujar fotografer. Klik! Sebuah gambar diambil. Fotografer memeriksa hasil jepretannya, dia mengangguk puas. "Sekali lagi!" perintah Gendhis. Fotografer mengangguk. Mereka mengambil posisi seperti tadi. Fotografer mulai menghitung. "Satu … dua … ti-" ucapan fotografer terhenti mendadak. Klik! Gendhis dan suaminya secara tiba-tiba geser ke kanan dan membiarkan Naufal dan Ariella yang mengambil gambar. Ariella terlihat linglung, namun ketika dia menatap mata sang sahabat yang penuh arti, dia menunduk dan tersenyum. Naufal sendiri hanya heran selama sesaat, namun dia tersenyum. "Kenapa pengantin menghindar?" tanya Naufal. "Aku merasa agak lelah berdiri terus," jawab Gendhis yang beralasan, namun dia melirik lagi ke arah Ariella yang tertunduk. "Kakak Opal, kami sudah mengambil gambar, terima kasih," ujar Gendhis. Naufal mengangguk. "Em, aku ingin minta tolong, apakah boleh?" tanya Gendhis. "Tentu saja, apa itu?" jawab Naufal. "Tolong antarkan sahabatku ke mejanya," ujar Gendhis. Blush! Wajah Ariella memerah. "Ah! tidak perlu!" Ariella buru-buru mengibaskan tangannya ke arah Naufal. "Jangan seperti itu, kamu terlihat takut dan tidak biasa karena di sini banyak orang, Kakak Opal, bisa kan?" Gendhis melirik Naufal. Naufal mengangguk. "Tentu." Setelah menjawab dia terkekeh. "Adik Aril, ayo!" ajar Naufal. Ariella mengangguk. Dia mengikuti Naufal yang berjalan ke arah mejanya, di mana di situ keluarga Ariella berada. "Om, Tante, anak gadisnya di sini," ujar Naufal pada Bushra, nada suara terdengar agak bercanda. Bushra terkekeh. "Hehehe, terima kasih." "Tidak masalah," balas Naufal. Ariella berkata, "Kakak Opal … um … terima kasih." Naufal mengangguk. "Aku kembali ke mejaku," ujar Naufal. Ariella mengangguk. Namun setelah Naufal kembali ke mejanya, tatapan mata Askan menyipit ke arah Naufal. Naufal meraih gelas jus dari pelayan yang lewat, dia meneguk jus itu saat Askan sedang berkata padanya. "Bro, kau pacaran dengan Aril?" Bfuuuk! "Ouh! wajahku!" Askan ke semprot Naufal. "Hahahaha!" beberapa saudara sepupu terbahak. "Maaf!" Naufal buru-buru mengambilkan tosu untuk Askan agar Askan menyeka sendiri wajahnya yang basah karena semprotan jus dari mulut Naufal. "Bro, kau sembarangan!" bantah Naufal. Askan mencibir setelah melap bersih wajahnya. "Aku nggak buta, jelas-jelas tatapan Aril padamu seperti tatapan suka-" ucapan Askan terhenti saat Amran menyenggol lengan kirinya. Askan melirik ke arah Amran, tatapan mata yang ditujukan oleh Amran padanya seperti memberitahukan padanya agar jangan lagi bicara. "Apa sih?" tanya Askan. Amran melirik ke arah keluarga Rousseau. Dia berbisik pelan di telinga sang adik. "Jangan buat kesalahpahaman antar keluarga." "Ck! lagian orang cuma bercanda doang," balas Askan. "Bercandamu kelewatan, lihat wajah Aril sana," bisik Amran. Askan melirik ke arah Ariella, gadis itu menunduk dan wajahnya terlihat merah hingga ke telinga bahkan lehernya. "Bagimu itu hanya bercandaan, namun jika diaangap serius oleh orang lain, Aril pasti terlihat agak nggak nyaman," bisik Amran. "Ugh, maaf, hehehe." Askan cengengesan ke arah sang kakak. Naufal geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja." Naufal duduk sambil memegang gelas jusnya, namun entah mengapa lehernya secara otomatis menengok ke arah tempat di mana Ariella duduk. Matanya terlihat serius menatap Ariella yang sedang menunduk. * Ariella menikmati pemandangan pantai di malam hari dari luar ruangan tempat resepsi. Acara telah selesai dan orang-orang telah beristirahat, begitu juga dua pengantin, namun ada sebagian orang yang masih memilih untuk berada di tempat resepsi sekedar untuk mengobrol dengan kenalan dan teman-teman. Tak jauh dari Ariella, tempat resepsi itu berada, seseorang mendekat ke arah Ariella, dia membawa dua gelas jus. "Ingin jus?" tawar pria itu. Ariella tersadar dari lamunan dan menatap wajah pria itu namun dia menunduk agak ketakutan, dia tidak kenal dengan pria itu. Pria itu mengerutkan keningnya, Ariella tidak merespon tawarannya. Namun itu tak masalah, dia meletakan gelas minuman ke meja dan mengulurkan tangan kanan. "Aris," ujar pria itu. Ariella agak mundur ke belakang, dia hanya melihat telapak tangan pria yang bernama Aris itu, sesungguhnya dia agak takut. Aris tersenyum sinis. "Aku baru menemukan gadis yang sombong sepertimu," ujar Joe yang langsung menilai Ariella. Dikatakan demikian membuat Ariella lebih ketakutan. Aris lebih mendekat ke arah Ariella. "Kamu tipeku, manis dan lugu." Jeda beberapa detik, tangan Aris terangkat dan menyentuh dagu Ariella. "Namun kamu terlalu sombong-aakhh!" Krak! Aris menjerit sakit. "Kau! dasar gadis aneh!" maki Aris. Tangannya terkilir karena Ariella memutar paksa tangannya. Saat menatap wajah Ariella, Aris melotot dan hendak menampar pipi Ariella, namun sayangnya tatapan mata gadis di depannya bukan lagi tatapan ketakutan dan keluguan, melainkan tatapan dingin dan tak berperasaan. Krak! "Aakh!" Aris menjerit kuat hingga hampir putus napas, sendi lengannya berpindah tempat. Beberapa orang mulai keluar dari tempat resepsi, salah satunya Naufal yang sedang berbincang dengan para saudara sepupu. Saat mendekat ke arah tempat Ariella, Naufal dan yang lainnya melihat dengan jelas bagaimana Ariella mengangkat tubuh Aris dan setengah detik kemudian dia membanting Aris ke tanah. Brak! "Aahhh!" tubuh Aris benar-benar remuk setelah mencium tanah yang tidak ramah. "Aril!" panggil Naufal. Ariella menatap dingin ke arah Naufal, tiba-tiba Naufal berhenti beberapa melangkah dari Ariella. Dia tertegun saat melihat tatapan dingin Ariella. Itu seperti tatapan ketika mereka naik mobilnya. Batin Naufal bertanya. Ada apa ini? * Eric dan Bushra memasuki sebuah ruangan, mereka berjalan cepat. "Aril!" panggil Eric. Namun yang dilihat oleh Eric adalah tatapan dingin dari sang anak. Sial, ini adalah Lia Kecil! Batin Eric. Kapan dia muncul? batin Eric lagi. Eric melirik ke arah anak lelakinya, Marc menggelengkan kepalanya memberi pesan bahwa sekarang bukanlah adiknya lagi melainkan kepribadian lain dari adiknya. Wajah Eric terlihat sangat marah atas kejadian ini. Dia diberi tahu bahwa seseorang mencoba mengganggu anak perempuannya yang lemah, namun sayangnya anak perempuan yang lemah itu berubah menjadi singa betina yang kuat. Naufal memasuki ruangan itu. "Masalah sudah selesai," ujar Naufal, dia bernafas lega. Setelah mendengar ini, Lia Kecil berdiri dan melangkah keluar dari ruangan itu. Bushra hendak menghentikan sang anak yang keluar dari ruangan itu namun dia terlihat ragu, ini bukanlah tatapan ramah. "Opal, coba ceritakan, apa yang terjadi?" tanya Bushra. "Ini … Opal akan jelaskan," balas Naufal. Bushra yang hanya bisa memandangi kepergian sang anak hanya mengangguk. * Eric menarik dan menghembuskan kasar napasnya. "Jika seperti ini terus, kita akan susah menyembuhkan Aril," ujar Eric. Naufal mengerutkan keningnya. "Om, Adik Aril sakit apa?" tanya Naufal. Masuk Mentari ke ruangan itu, dia menutup pintu. "Jika seandainya kamu mengetahui apa yang terjadi pada Aril, apakah kamu masih ingin mendekat padanya ataukah memilih untuk menjauh?" tanya Mentari. Naufal melirik ke arah Mentari. "Tante Tari … ini maksudnya bagiamana?" Naufal masih kurang mengerti. Mentari duduk di kursi sambil melihat serius ke arah Naufal. "Jika kamu tahu penyakit Aril, apakah kamu ingin membantu mengobati?" tanya Mentari. Naufal diam selama tiga detik, hal ini dilihat oleh orang tua Ariella. Naufal mengangguk dan menjawab, "Tentu saja Opal akan bantu jika bantuan Opal bisa membuat Adik Aril sembuh, kami bersaudara." "Buatlah agar Aril selamanya hidup tanpa kehadiran kepribadian lain," ujar Mentari ke arah Naufal. Eric dan Bushra terbelalak saat mendengar ucapan Mentari. "Tari, apa maksud kamu dengan meminta Opal membantu agar Aril sembuh?" tanya Bushra. Naufal terlihat kurang mengerti. "Tante, Maaf. Opal kurang mengerti maksud Tante, jika boleh tolong jelaskan pada Opal agar Opal dapat mengerti." "Tari, yang dokter jiwa adalah kamu, kenapa kamu meminta Opal yang mengobati Aril?" tanya Bushra yang tidak mengerti dengan ucapan Mentari. "Sira, Eric, kalian berdua percaya padaku atas kesembuhan anak perempuan kalian?" tanya Mentari. Bushra dan Eric mengangguk "Tentu saja, kami memberi kepercayaan padamu," jawab Eric. Mentari menatap serius ke arah Naufal, dia berkata, "Opal adalah perantara yang tepat untuk kesembuhan anak kalian." "Tapi tolong jelaskan, Opal perantara apa? aku kurang mengerti," ujar Bushra. "Kalian ingin melihat Aril setiap saat, kan? dengan kepolosan dan sifat manisnya yang penurut?" tanya Mentari. Eric dan Bushra mengangguk. "Tidak mungkin Didi setiap saat harus berdekatan dengan Aril. Aril butuh orang yang dia kagumi agar sembuh," ujar Mentari. Mentari melirik ke arah Naufal. "Opal, sepupumu Aril mengalami DID–dissociative disorders atau kau bisa memahaminya dengan bahasa yang lebih sederhana yaitu gangguan kepribadian ganda." Mata Naufal terbelalak. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD