Chapter 34

1661 Words
Pada pagi harinya, cuaca di resort milik Naufal terlihat sangat cerah. Orang-orang memulai aktivitas pagi dengan berolahraga, jalan-jalan di sekitar pantai atau sarapan pagi sambil menikmati pemandangan pantai. Di dalam kamar yang ditempati oleh Ariella, terlihat Bushra memasuki kamar itu. Mata Ariella yang baru saja terbuka, merasa agak linglung dengan sekelilingnya. Ariella menatap di kiri dan kanannya, dia merasa bahwa ini adalah tempat baru dan sama sekali tidak mengenali. Melihat tatapan linglung dari sang anak perempuan, Bushra tersenyum senang, itu adalah anaknya, bukan kepribadian lain dari anaknya. "Aril sayang, kamu sudah bangun?" tanya Bushra, suaranya terdengar lembut dan hangat. Ariella menatap sang ibu, matanya memerah dan berkata, "Mommy!" Bushra memeluk sayang anaknya, dia menahan tangis senang karena selama beberapa tahun tak bertemu langsung dengan kepribadian asli anaknya. "Sayang … Mommy di sini …." Suara Bushra terdengar agak serak. Bushra mengusap sayang rambut pendek sang anak. "Mommy, Ari rindu …," balas Ariella. Dia memeluk erat sang ibu dan memposisikan wajahnya di perut sang ibu. Pantas saja Ariella sangat merindukan ibunya, sebab setelah menyelesaikan pendidikan di akademi militer, dia langsung ditugaskan jauh dari keluarga. "Mommy juga rindu kamu, Nak. Sangat rindu," ujar Bushra. Beberapa detik kemudian Bushra mengecup ubun-ubun anaknya. "Kamu lapar?" tanya Bushra setelah mengambil jarak, namun dia masih tetap memeluk anaknya. Ariella mengangguk. "Um, Ari lapar." Bushra tersenyum. "Baiklah kalau begitu mari kita sarapan di luar. Ah, resort ini menyediakan masakan Mediterania, kamu pasti akan suka." Ariella mendongak dan menatap ibunya, wajahnya terlihat agak bingung. "Um? Mediterania?" Bushra mengangguk. "Ya, masakan Mediterania. Ini adalah resort milik Opal, jadi tentu saja masakan Mediterania ada di sini," jawab Bushra. Mendengar nama laki-laki yang dia sukai, wajah Ariella membeku selama beberapa detik lalu tersipu malu. Tiba-tiba dia mengingat makan malam mereka yang cukup membuat hatinya hangat. Ah, bahkan Naufal menutupi tubuhnya yang terkena angin malam dengan jaket yang tebal. Mata Ariella melirik ke arah sekitar kamar, dia menemukan bahwa jaket itu ternyata terjatuh di kaki ranjang. Naufal lupa mengambil kembali jaketnya. Blush! Pipi Ariella tersipu. Bushra yang melihat wajah sang anak, dia agak terheran, namun tak bertanya apa-apa selama sang anak merasa nyaman dengan sekelilingnya. "Mommy … itu … di mana Kakak Opal?" tanya Ariella setelah mengumpulkan keberanian untuk bertanya pada sang ibu mengenai keberadaan Naufal. "Oh tentu saja sedang sarapan sekarang. Kami juga akan sarapan bersama," jawab Bushra. Ariella menahan senyum senang, dia agak menundukkan pandangan matanya. "Um … itu … Mommy … Ari di dalam mobil Kakak Opal tadi malam," ujar Ariella. "Ya benar kamu di dalam mobil Opal, tapi sekarang kamu berada di kamar ini," balas Bushra. Ariella ingin bertanya lagi, dia ingin bertanya mengenai perihal hingga dia terbangun di kamar yang sekarang ini. Mengetahui isi pikiran dari anaknya, Bushra berkata, "Nanti saat kamu menemui Opal, katakan terima kasih padanya karena telah mengantarmu ke kamar ini, ah, dia menggendongmu dari depan ke sini." Wajah Ariella terbelalak. Naufal menggendong dirinya ke kamar yang sekarang ditempati. Bushra terkekeh, dia mengusap sayang rambut sang anak. "Ayo mandi pagi, Mommy menunggumu di luar. Ah, Mommy akan membawakan dress imut untukmu pakai hari ini." "Um, Ari mandi sekarang," sahut Ariella patuh setelah mengangguk. Ariella bergegas ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi. Dia bersandar di pintu kamar mandi dan tersenyum senang. Dia tidak menyangka akan dipertemukan dengan pria yang dia sukai di sini, mereka terlihat sangat dekat oleh jarak. Tak lagi dipisahkan oleh jarak dan perbedaan waktu. Ariella bergegas untuk mandi pagi, dia sangat bersemangat bertemu dengan Naufal. * Saat kakinya keluar dari kamar mandi, Ariella melihat dress yang dimaksud oleh sang ibu. Itu adalah dres dengan kerah baju bergaya barat. gaun itu berwarna putih dengan lengan mengembang namun diberi karet di pergelangan tangannya. Gaunnya panjang hingga betis dan dilengkapi dengan lapisan rok warna hitam yang disulam bunga, ada sehelai kain untuk menutupi rambut. Ini adalah gaun bergaya Perancis untuk gadis-gadis muda. Sepatu hitam dengan model segi empat yang berhak lima centi diletakan di dalam kotak sepatu di atas ranjang. Ariella tersenyum, ini adalah seleranya ketika berpakaian, dia memang menyukai gaya Perancis. Ariella berganti pakaian dan merias diri, namun sebagai gadis polos yang tak tahu memakai mekap, dia hanya menggunakan produk apa adanya yang diletakan di atas meja rias. Sang ibu begitu perhatian pada anak perempuannya. Ariella hanya menggunakan sisir dan lotion badan, dia menatap pantulan wajahnya di depan cermin, dia bingung apakah harus memakai semua produk kecantikan yang diletakan oleh ibunya di atas meja rias ataukah tidak. Namun, Ariella menggelengkan kepalanya. Dia memutuskan untuk tidak memakai lebih dari dua alat kecantikan yang dia gunakan tadi. Ariella berdiri dan menatap pantulan badannya, dia tersenyum sambil berputar dan segera keluar dari kamar. Saat itu, dia bertemu dengan orang tuanya yang telah menunggu dirinya. "Daddy," panggil Ariella. Eric menatap mata sang anak. Entah mengapa saat melihat sang anak mengenakan pakaian tradisional Perancis membuatnya merasa ingin menangis. Sang anak perempuan sangat cantik dan manis. Eric menahan tangis dan buru-buru memeluk sang anak. Ariella memeluk erat sang ayah. "Daddy, Ari rindu Daddy." Seketika mata Eric berkaca-kaca dan air matanya jatuh. "Sweety, Daddy sangat merindukan kamu," balas Eric. Betapa Eric sangat ingin mengambil kembali anak perempuannya untuk tinggal bersama, namun apa daya, dia tak bisa. Di dalam diri anak perempuannya terdapat kepribadian lain yang menentang dirinya. Bushra tersenyum haru. Dia berusaha untuk tidak lagi menangis dan hanya mengusap sudut matanya agar tak ada air mata yang menetes. * "Nikmati dulu pagi ini, Bro. Sore nanti hingga malam kau pasti sangat sibuk. Sore acara resepsimu, malam kau … ehm!" Naufal berdehem sambil melirik ke arah Anwar dengan tatapan penuh arti. "Malamnya coblos nomor urut anggota dewan, buahahaha!" sambung Askan. "Pfhaha!" beberapa orang terbahak. Anwar hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli. Di pagi hari sudah kocak begini ketika sarapan bersama dengan para sepupu dari istrinya. Seketika tawa mereka terhenti saat melihat sepasang sepatu hitam cantik yang berdiri agak dekat dengan meja mereka. Para saudara sepupu itu menatap sepatu itu hingga arah lirikan mata mereka naik ke gaun dan berakhir pada wajah manis campuran Perancis-Indonesia. Jika mereka menyadari, di dua tangan Ariella ada jaket hitam. Rahang Askan terjatuh saat melihat gadis di depannya, sementara itu yang lain nya seakan membeku. Mata Naufal tak berkedip saat menatap Ariella. Marc buru-buru tersadar dari kekagetan, dia tersadar bahwa gadis yang mengenakan gaun bergaya Perancis itu adalah sang adik yang asli. "Aril," ucap Marc. Ariella menatap sang kakak. "Frère," balas Ariella dalam bahasa Perancis yang fasih. (Panggilan kakak laki-laki dalam bahasa Perancis) "Adik Aril?" Naufal seakan tak percaya bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah adik sepupu yang dikenali olehnya. Ariella menundukan pandangan matanya, dia mengangguk. "Kakak Opal," balas Ariella, suaranya terdengar lembut dan merdu. Naufal tersenyum. "Ingin sarapan?" tanya Naufal, dia masih tertegun dengan penampilan Ariella yang begitu memukau. Ariella mengangguk. "Um, ingin sarapan," jawab Ariella. "Aril," panggil Gendhis sambil mendekat ke arah Ariella. Ariella mendongak dan menatap sahabatnya. "Didi …." Wajah Ariella terlihat sangat merindukan sahabatnya. Gendhis memeluk Ariella. "Syukurlah kau datang ke acara resepsi pernikahanku," ujar Gendhis Wajah Ariella terlihat bingung. "Didi, kapan kamu … um … menikah?" tanyanya bingung. Beberapa keluarga yang berada di situ terlihat agak heran dengan pengetahuan Ariella yang terlambat. Bukankah undangan pernikahan dan resepsi telah disebar sebelumnya? mengapa Ariella tidak mengetahui? "Ah, maaf tidak memberitahumu, aku agak mendadak yah menikahnya?" tanya Gendhis. Gendhis menarik Ariella duduk di kursi meja lain. Dia tak ingin orang-orang lebih banyak mengetahui kepribadian sang sahabat. Meja mereka berjarak sekitar tiga meja dari meja Naufal. Ariella mengangguk. "Um, agak mendadak." "Tapi kamu tidak marah kan aku menikah?" tanya Gendhis. Ariella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak marah, kami sahabat." Pada saat menjawab, Ariella mengangkat jari kelingkingnya ke arah Gendhis. Gendhis menyambut baik jari kelingking dari sahabatnya. "Mari kami sarapan," ujar Gendhis. Ariella mengangguk. Namun, Gendhis melihat jaket hitam milik Naufal yang dipangku oleh Ariella. "Apakah di sini dingin?" tanya Gendhis. Ariella menggelengkan kepalanya. "Tidak dingin." "Lalu, jaket siapa yang berada di pangkuanmu?" tanya Gendhis. Wajah manis Ariella tertunduk. "Ini jaket Kakak Opal," jawabnya pelan. Namun beberapa orang masih mendengar suaranya. Naufal sendiri melirik ke arah jaketnya, dia baru menyadari bahwa Ariella memegang jaketnya. "Oh? ada padamu?" tanya Gendhis, dia agak kaget. Ariella mengangguk. "Um … tadi malam dingin, um … Kakak Opal baik pada Ari." "Ah, aku mengerti," timpal Gendhis yang manggut-manggut. "Jadi kamu ingin mengembalikan jaket Kakak Opal?" tanya Gendhis. "Um, mengembalikan jaket Kakak Opal," jawab Ariella. Gendhis melirik Naufal dengan tatapan penuh arti, namun sayangnya Naufal tak menyadari tatapan Gendhis. Dia hanya menyadari tatapan itu sebagai tatapan biasa. "Baiklah, mari kita makan dulu lalu setelah itu kembalikan jaket milik Kakak Opal," ujar Gendhis. Dia menahan Ariella agar tak terburu-buru mengembalikan jaket Naufal. Ariella mengangguk. * Jaket hitam itu berganti tangan. "Kakak Opal … terima kasih," ujar Ariella agak gugup setelah baru saja mengembalikan jaket milik Naufal. Ariella selalu menundukkan pandangannya ke kaki, dia merasa gugup jika menatap langsung mata Naufal. Naufal mengangguk. "Sama-sama," balas Naufal. Ariella diam, dia hendak berkata sesuatu namun sayangnya dia belum memiliki keberanian. "Um, Adik Aril, Kakak Opal akan berolahraga sebentar," ujar Naufal yang hendak beranjak dari tempat itu dan ingin melanjutkan aktivitas lain. Ariella mengangguk. Namun, saat kaki Naufal hendak melangkah menjauh, panggilan Ariella terdengar. "Um … Kakak Opal," panggil Ariella. "Hum?" sahut Naufal. Naufal berbalik lagi ke arah Ariella. Ariella menundukkan pandangan ke kaki. "Terima kasih untuk tadi malam … um … makan dan … mengantarkan Ari ke sini … itu …," ujar Ariella, dia mendongak menatap wajah Naufal, "Maaf telah membuat Kakak Opal … menggendong Ari ke kamar." Naufal tersenyum. "Tidak masalah untuk itu." Melihat senyum Naufal, Ariella menunduk. Dia diam-diam tersenyum. "Apakah ada yang ingin Adik Aril katakan lagi untuk Kakak Opal?" tanya Naufal. Ariella menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lagi." "Baiklah, kalau begitu kakak Opal akan pergi berolahraga," ujar Naufal. Ariella mengangguk. Setelah kepergian Naufal, Ariella menatap Naufal yang telah menjauh. Ariella tidak menyadari bahwa ada beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya, tatapan mata mereka terlihat sangat serius dan ada pula yang tertegun. Di antara tatapan mata itu, ada Mentari, orangtua Ariella dan Ben. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD