Chapter 33

1533 Words
Bushra menyelimuti tubuh Ariella yang kini telah dibaringkan oleh Naufal ke atas ranjang. "Opal, terima kasih sudah mau menjaga Aril hingga sampai di sini, kamu bahkan nggak keberatan udah mau menggendong Aril dari depan ke sini," ujar Bushra pada Naufal. Naufal mengangguk. "Itu bukan masalah, Tante. Aril juga adalah saudara perempuan, Opal." Naufal membalas ucapan Bushra. "Dan oh, tenaga Opal lebih dari sisa jika hanya menggendong Aril, jika perlu Opal bisa menggendong Aril sambil berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali," ujar Naufal dengan maksud bercanda. Bushra terkekeh. Naufal ini memang terkenal agak konyol dari dia kecil, ah hingga umurnya yang sudah menyentuh angka kepala tiga pun, dia tetap lucu. "Kamu sangat penyayang terhadap adik perempuan, terima kasih," balas Bushra. Naufal mengangguk. "Opal juga punya dua saudara perempuan, tentunya harus menjaga dan memperlakukan baik perempuan." "Anak pintar." Bushra memuji pemikiran Naufal. "Istirahat dulu," ujar Popy pada Naufal. "Ok, Ma." Naufal menyahut. "Tante Sira, Opal ke kamar Opal sendiri yah," ujar Naufal pada Bushra. Bushra mengangguk, dia duduk di tepi ranjang sambil menyentuh selimut yang menyelimuti anak perempuannya. Saat Naufal hendak keluar kamar, Eric memasuki kamar yang diperuntukan oleh anak perempuannya. "Opal, terimakasih sudah bawa Aril ke sini," ujar Eric. Naufal mengangguk. "Sama-sama, Om," balas Naufal. "Om, Opal keluar yah." Eric mengangguk. Naufal keluar dari kamar, di luar kamar, ternyata Marc sedang menunggu. "Bro." Panggil Naufal. Marc tersenyum. "Apakah kamu lelah?" tanyanya. "Ah, pasti nggak lelah, seorang Bro Opal selalu kuat bagaikan baja!" jawab Askan. Amran memutar bola matanya ketika mendengar sang adik yang menjawab. "Yang ditanya siapa yang jawab siapa," ujar Amran. "Tenang Bro, yang ini tukang jawab Bro Opal, aku tangan kanannya," balas Askan dengan nada sombong, dia menunjuk dadanya yang terlihat bidang. Naufal terkekeh, dia men-tos lima jari dengan Askan. "Masih kuat," jawab Naufal. "Ayo ngobrol-ngobrol, kita hanya punya waktu sedikit untuk bersama, setelah acara ini selesai masing-masing dari kami akan kembali bekerja dan melanjutkan aktivitas," ujar Marc. "Siap, Pak diplomat!" Naufal memberi pose hormat pada Marc. Marc terkekeh. Beberapa saudara sepupu itu berjalan ke gazebo paviliun dan duduk di situ, mereka menghabiskan waktu untuk bercerita ala pria. "Ah, di mana ipar kami?" tanya Naufal pada yang lainnya. "Anwar sedang di kamar pengantin, ck! dia itu, bersembunyi terus di bawah ketek Didi," cibir Askan. "Pfthahah!" beberapa sepupu laki-laki yang lain terbahak. "Biasa, pengantin baru," timpal Marc. Askan menyipitkan matanya, dia melirik ke arah Naufal. "Bro, bagaimana kalau kita seret saja Anwar ke sini?" usul Askan pada Naufal. "Askan! kamu jangan keterlaluan," tegur Amran. Askan memutar bola matanya. "Apanya yang keterlaluan, kita kan cuma mau kenalan sambil quality time doang. Kak Am, setelah resepsi ini, kita bakal terpisah dan mengerjakan pekerjaan kita, jangan cupu-cupu amat deh, amat aja nggak cupu," ledek Askan. Amran melotot ke arah adiknya. "Memang kamu ini benar-benar." Beberapa saudara sepupu terkekeh ringan. "Hum … coba aku pikirkan, bagusnya kalau si Anwar kita apakan?" tanya Naufal. "Kita bakar saja dia atau jadikan dia manusia panggang," ujar Askan. "Bhahahahaha!" Naufal terbahak diikuti Askan. Sementara saudara sepupu yang lainnya ikut tertawa. "Kalian kejam, biar gitu-gitu dia itu suami sepupu kita," ujar Fattah. "Halah, suami pantatku, biarkan kita berkenalan dengannya, mueheheh!" balas Askan. Saudara sepupu yang lain tertawa. * Tok tok tok! "Aku hitung sampai tiga, jika kau tidak keluar kamar, maka kupisahkan dirimu dari adik sepupuku!" ini adalah peringatan dari Askan. "Satu," ujar Askan mulai menghitung. "Dua." Ceklek! "Dua setengah-ah, syukurlah kau muncul, adik ipar." Askan tersenyum tanpa dosa di depan seorang pria yang merupakan suami dari Gendhis. Askan dengan tak tahu malunya menyembulkan kepalanya ke dalam kamar pengantin dan berkata pada Gendhis. "Didi, kami pinjam suamimu yah." Gendhis terkekeh lalu dia mengangguk tak keberatan. Askan berbalik. "Ayo! gercep! ayo! gerakan militer!" ujar Askan sambil menepuk tangan ala militer. Prok prok prok! Gendhis tertawa. "Ada-ada saja, suamiku bukan orang militer, dia orang kedokteran." "Oh abaikan, dia mengambilmu sebagai istri berarti telah siap menjadi bagian dari keluarga militer," balas Askan. Anwar terkekeh, dia mengikuti Askan dari belakang. * Popy melirik ke arah Eric dan Bushra yang sedang menatap Ariella. "Jadi kalian sudah mau memulai pengobatan Aril?" tanya Popy. Bushra mengangguk. "Ya." Bushra melirik ke arah Popy. "Aku sudah berbicara dengan Tari, kita harus cepat menghapus dua kepribadian Aril, jika tidak maka Aril akan dikuasai oleh dua kepribadian itu, tapi sekarang Lia kecil yang paling mendominasi," ujar Bushra. "Baiklah, aku mendukung kalian," balas Popy. Popy melirik wajah damai Ariella yang sedang tertidur. "Dia gadis yang manis." "Jika dia bangun, entah siapa yang akan muncul, selama di medan perang, hatiku selalu takut jika anakku kenapa-napa, namun aku salah, dia lebih kuat dari orang lain, aku seharusnya bersyukur, namun di sisi lain aku tidak bisa, sebab itu bukanlah jati diri dari anakku. Anakku yang sebenarnya adalah Ariella, bukan Lia kecil, meskipun sebanyak apapun dia mencetak prestasi, namun dia bukanlah anakku," ujar Bushra. "Sayang." Eric menyentuh pundak istrinya. Eric tak menyangka bahwa sebenci itukah sang istri terhadap kepribadian anak mereka. "Aku, tidak terlalu mengerti mengenai kepribadian ganda ini, tapi jika aku melihat dari kamu, kamu sepertinya tidak begitu suka terhadap kepribadian yang ada pada tubuh Aril," ujar Popy. "Kak Poko, karena kepribadian ini, aku kehilangan hak untuk merawat anak perempuanku, anak perempuanku bahkan tidak ingin hidup bersamaku. Jika itu terjadi pada Aini, apakah Kak Poko akan terima?" tanya Bushra. "Aku … ini agak tidak biasa, seperti yang kamu tahu bahwa Aini telah diklaim terus-menerus oleh Alan, jadilah aku sudah terbiasa jika Aini tinggal dengan Alan atau denganku, um … sebab Aini telah memutuskan untuk mempunyai dua pasang orangtua, aku dan Ben, sementara itu Alan dan Nisa," balas Popy. Bushra diam beberapa saat. "Tapi ini berbeda, Lia kecil bahkan tak menganggap siapapun sebagai orangtuanya," balas Bushra. "Ini agak menakutkan jika Lia kecil tak menganggap siapapun sebagai orangtuanya," balas Popy. Bushra mengangguk. "Itulah sebabnya aku dan Eric mendesak Mentari agak cepat-cepat memulai pengobatan Aril, karena aku tidak mau Aril tidur untuk selamanya." "Aku mendukung, apapun itu jika untuk kebaikan seorang anak, maka aku tetap akan mendukung," ucap Popy. * "Oho! jadi kau ini senior yang sok sok galak pada Didi? hahahaha!" Naufal terbahak setelah bertanya pada Anwar. "Ck ck ck! tak kusangka, galak seperti senior, bergerak mengawini junior," ujar Askan sambil menggelengkan kepalanya saat melirik ke arah Anwar. "Hahahaha!" pada saudara sepupu terbahak. "Bro, sudah berapa kali kau coblos?" tanya Askan terang-terangan tanpa filter. Plak! Pukulan ringan mendarat di kepala Askan. "Adoh!" Askan mengaduh. "Kak Amran! selalu saja pelakunya kamu! tiap hari tuntut orang dengan dakwaan penganiayaan di pengadilan tapi nggak sadar diri sendiri suka melakukan penganiayaan pada adik sendiri!" Askan melotot ke arah sang kakak. "Kamu kalau bertanya yang sopan," ujar Amran. "Cuma bercanda! heum, hidup Kak Amran suram yah? makanya nggak pernah ada kebahagiaan dalam rumah tangga? ah, atau kah harus aku tanya juga, Kak Am semalaman bisa coblos berapa ronde?" balas Askan. "Anak ini benar-benar!" Amran meradang. Dia menggaet kepala Askan masuk ke dalam ketiaknya. "Ooii! pemukulan berencana!" teriak Askan. "Tidak ada pasal yang mengatur pemukulan berencana!" balas Amran sambil menjitak kepala adiknya. "Oho! penganiayaan berencana!" ujar Askan. "Tidak ada pasal," balas Amran. "Whatever lah, yang penting ini melanggar hukum!" teriak Askan. "Nggak peduli," balas Amran. "Hahahaha!" saudara sepupu yang lain terbahak-bahak. Anwar tak habis pikir dengan kekocakan para sepupu laki-laki dari sang istri. Naufal menoel lengan Anwar. "War, jangan kaget, kita udah biasa bercanda dari kecil kok, jadi jangan masukan ke hati, entar jadi sakit hati, kalau dimasukan ke jantung malah bisa bahaya, entar malah jadi serangan jantung." Anwar tertawa. "Nggak masalah," balas Anwar. "Tapi kalau ada candaan kami yang kelewatan, katakan saja, dengan begitu kami akan mengerti dan perbaiki," ujar Naufal. "Ok, beres." Anwar menaikkan jempol kanan ke arah Naufal. "Nggak nyangka yah kalian udah pada nikah. Kak Amran nikah sama junior, persis kayak kamu dan Didi," ujar Naufal melirik Anwar. Anwar tersenyum geli. "Yah mau bagaimana lagi, meskipun aku nggak terlalu suka sama profesi dokter jiwa, tapi aku sangat suka terhadap orangnya," ujar Anwar. Amran yang baru saja melepaskan kuncian kepala pada Askan, melirik ke arah Naufal. "Aku dulu udah bertekad, nggak akan mau nikah sama junior yang satu instansi, tapi lihat sendiri, aku malah buru-buru mau nikah sama anak CPNS yang baru masuk, menunggu dia menjadi PNS sungguh terlalu lama, bahkan aku tiap malam menahan diri agar nggak diam-diam lari ke kost-nya," ujar Amran. "Hahahahahaa!" yang lain terbahak. "Tuh kan, jadi b***k cinta, kemakan omongan sendiri, jilat ludah sendiri!" seru Askan. Orang-orang terbahak. "Iya benar, Kak Amran malah pergi minta bantu ke Ayah Bilal, bilangnya gini, 'Ayah, Amran mau melamar Putri, tapi dia belum PNS, masih calon jaksa, tolong bantuan Ayah agar Putri segera meraih SK PNSnya, wlleeee!" Askan meleletkan lidahnya ke arah Amran. "Askan! jangan buka-buka rahasia!" Amran melotot ke arah Askan. "Rahasia pantatku!" balas Askan. "Bhahahaha!" Gazebo itu ramai dengan canda dan tawa. Para orang tua yang yang berjarak sekitar lima puluh meter dari mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Sekarang sudah bukan zaman kita lagi yah, kita sudan tua," ujar Alan. Bilal melirik ke arah sang kakak. "Syukurlah kalau kamu ternyata sudah sadar diri sudah tua." Alan melotot ke arah Bilal. Ariansyah dan Alamsyah terbahak. Di situ juga ada Irwan Baqi. "Anak-anak muda berada di depan, kita yang tua hanya menonton dari balik layar," ujar Irwan. Orang-orang mengangguk mengerti. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD