Chapter 32

1687 Words
Saat mobil berhenti di depan pintu restoran, seorang penjaga pintu restoran membuka pintu mobil agar Ariella turun, namun sayang sekali dia takut keluar dari pintu mobil yang tadi dibuka oleh penjaga pintu restoran. Ariella takut dengan orang asing atau orang yang tidak dia kenal. Dia memilih menunduk sambil diam dan tak bergerak. Naufal yang mengetahui ketakutan dari Ariella, dia membuka pintu mobil lain dan keluar, kemudian Naufal mengulurkan tangannya ke arah Ariella. "Adik Aril, ayo keluar," ujar Naufal. Melihat telapak tangan Naufal di depan wajahnya, tangan Ariella perlahan terangkat dan menerima uluran tangan dari Naufal. Hangat. Satu kata untuk telapak tangan Naufal dalam penilaian Ariella. Ariella diam-diam tersenyum sambil menunduk. Dia turun dari mobil sambil bergandengan tangan dengan Naufal, Ariella merasa dia tidak rela melepas dengan besar yang hangat ini. "Selamat datang, Tuan. Anda sudah reservasi?" tanya seorang pelayan hotel. "Saya sudah pesan dari tiga puluh menit yang lalu," jawab Naufal. "Baik, mari ikut saya!" pelayan itu mengantarkan Naufal dan Ariella ke bilik VIP. Pulau Sumba adalah pulau yang terkenal dengan wisata alamanya yang indah, maka tak heran para pebisnis membuka cabang restoran mereka di tempat-tempat strategis. Ketika dipersilakan duduk oleh pelayan, Naufal melepaskan tangannya dari tangan Ariella, namun Naufal sadar bahwa Ariella menggenggam telapak tangannya cukup erat. "Adik Aril, ayo duduk," ujar Naufal. Ariella mengangguk patuh. Dia dengan agak canggung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Naufal dan duduk berhadapan dengan Naufal. Ariella merasa bahwa ada yang baru saja hilang darinya, dan yang hilang itu adalah genggaman tangan Naufal. "Mohon tunggu sebentar, makanan akan segera disajikan," ujar pelayan. Naufal mengangguk. * Saat Naufal melihat cara makan Ariella, itu terlihat sangat elegan dan rapi. Table manner Ariella terlihat seperti seorang bangsawan eropa. Naufal berpikir mungkin saja Ariella belajar table manner dari ayahnya yang adalah orang prancis. Ayah dari Ariella bukanlah orang yang sembarangan, keturunan Rousseau adalah orang terpandang. Ariella makan dengan anggun dan juga pemalu, dia tidak terburu-buru dalam mengambil makanan meskipun dia sangat lapar. Sementara itu Naufal yang merasa bawa dia juga lapar mengambil makanan seperti biasa, normal-normal saja, namun saat melihat betapa elegannya Ariella mengambil makanan, Naufal menyesuaikan dengan aturan table manner. "Apakah Adik Aril suka dengan makanannya?" tanya Naufal di sela-sela makan malam. Ariella mengangguk, dia menelan makanan yang telah dikunyah lalu meraih gelas dan meneguk seteguk air mineral. "Ya, aku … suka makanannya," jawab Ariella jujur. Naufal mengangguk. "Adik Aril suka dengan makanan Perancis?" tanya Naufal. Ariella mengangguk. "Ya, suka makanan Perancis," jawab Ariella. Naufal melanjutkan makan. Entah mengapa Naufal lebih suka dengan perilaku yang ditunjukan oleh Ariella sekarang ketimbang Ariella yang baru naik mobil bersamanya dari bandara. Mungkin karena Ariella penurut dan membalas setiap pertanyaan atau kalimat yang dilontarkan olehnya, jadi dia merasa seperti dihargai. "Jika Adik Aril ingin mencicipi makanan lain, silakan," ujar Naufal. Ariella menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak … um … ini saja sudah cukup." Naufal tersenyum. "Baik, setelah makan mari kita langsung ke resort," ujar Naufal. "Baik, langsung ke resort," sahut Ariella. Pada saat makan, ponsel Naufal berdering. Dia merogoh ponsel yang dimasukan di dalam saku jaket. "Halo, Ma. Assalamualaikum," salam Naufal. "Waalaikumusalam," balas Popy, "Opal, Aril ada bersama denganmu?" "Ada, Ma," jawab Naufal. "Kalian sudah sampai mana?" tanya Popy. "Kami singgah di restoran Perancis, Ma. Aril lapar jadi Naufal bawa ke restoran," jawab Naufal. "Setelah makan langsung ke sini yah, keluarga menunggu kalian," ujar Popy. "Baik, Ma," sahut Naufal. "Baiklah, tolong jaga Aril baik-baik ya, apapun yang terjadi jangan jauh-jauh dari dia," ujar Popy. "Baik, Ma," sahut Naufal. "Mama Poko tutup teleponnya. Assalamualaikum," ujar Popy. "Waalaikumsalam," balas Naufal. Panggilan diakhiri. Naufal agak heran dengan orang-orang yang berkata padanya untuk menjaga Ariella dan jangan biarkan Ariella jauh darinya. Dia diam selama beberapa detik sebelum sadar bahwa mungkin saja orang-orang menyuruhnya menjaga Ariella karena dia adalah seorang laki-laki sementara Ariella adalah perempuan, di pemikiran Naufal mungkin juga karena Naufal adalah kakak yang harus menjaga saudara perempuan. Naufal manggut-manggut mengerti setelah dia berkesimpulan demikian, namun dia saja yang tak tahu mengenai kepribadian ganda yang dialami oleh adik sepupunya. Ariella selesai dengan aktivitas makan. Dia duduk diam sambil menunggu instruksi dari Naufal. Naufal yang baru saja meneguk segelas air mineral, kini melirik ke arah Ariella. "Sudah selesai?" tanya Naufal. Ariella menganggukan kepalanya. "Ya, sudah selesai, Kaka Opal," jawab Ariella. "Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke resort," ujar Naufal. "Um, ke resort," sahut Ariella. Senyum kecil tanpa sadar tercetak di sudut bibir Naufal. Dia berdiri dan diikuti oleh Ariella, namun saat melewati pintu restoran, Ariella menggigil kedinginan, angin malam menyerangnya. Dia yang lemah itu hanya bisa menggigil sambil diam mengikuti Naufal berjalan, namun mata Naufal menangkap bayangan Ariella yang menggigil di kaca jendela restoran. Dia berhenti melangkahkan kakinya. Buk! Ariella tak sengaja menubruk belakang Naufal. "Ugh!" Ariella yang menggigil terkaget. Dia mendongak dan menatap wajah Naufal. "Kakak Opal, um … maaf," ujarnya pelan. Dia merasa bersalah karena telah menabrak punggung Naufal, padahal dia tak salah apa-apa. Naufal melepaskan jaket yang membungkus dirinya lalu dia menutupi tubuh Ariella yang diterkam angin malam. "Nggak apa-apa, Kakak Opal yang ceroboh karena berhenti di tengah jalan," balas Naufal. "Kamu kedinginan, pakai jaket ini." Ariella mengangguk patuh. "Um, dingin … pakai jaket Kakak Opal." Tanpa sadar Naufal tersenyum lagi. Memang gadis di depannya benar-benar penurut. Mereka melanjutkan ke mobil, Naufal sendiri yang membuka pintu mobil untuk dimasuki Arilla, lalu dia ikut menyusul masuk. Ariella duduk di jok penumpang sambil menunduk, dia telah memakai jaket itu dan terlihat seperti memeluk badannya, Naufal berpikir Ariella masih kedinginan. "Apakah suhu AC-nya terlalu dingin?" tanya Naufal. Ariella menggelengkan kepalanya. "Tidak dingin," jawabnya. Namun Naufal tak percaya, dia masih melihat Ariella dengan posisi seperti menggigil ketika mereka keluar pintu restoran. "Naikkan suhu AC-nya! jangan terlalu dingin," perintah Naufal pada bodyguard. "Baik, Tuan." Bodyguard mengangguk patuh dan melakukan apa yang diperintah oleh Naufal. Diam-diam Ariella tersenyum, hatinya merasa hangat karena Naufal begitu lembut dan perhatian padanya. Siapa yang tahu bahwa Ariella tak sedang kedinginan, dia seperti menggigil karena memeluk sayang jaket milik Naufal yang sekarang membungkus tubuhnya. Ariella begitu terpukau dengan jaket milik Naufal, jaket itu harum, namun aroma parfum yang menempel di jaket itu tak tajam atau berlebihan, Ariella malah suka dengan aroma parfum itu, itu adalah aroma tubuh pria yang disukainya. Beberapa menit kemudian. Buk. Naufal melirik ke samping kanan, rupanya Ariella telah jatuh tertidur pulas. "Cepat sekali tertidur," gumam Naufal. Meskipun Ariella tertidur di lengannya, dia sama sekali tak marah atau kesal. Naufal memperbaiki posisi Ariella yang tak sengaja jatuh tertidur di lengan kanannya. Dia menyediakan pundaknya untuk menjadi bantalan tidur Ariella. Bodyguard yang menyetir tak berkata apapun, toh itu bukan urusannya, urusannya adalah menjemput Tuan dari bandara ke resort. Lampu terang dan indah tertangkap di pandang mata. Dari pagar dan pohon-pohon di sekitar lampu itu terdapat hiasan cantik berupa bunga-bunga yang indah. Gapura besar terlihat di pandang mata dengan tulisan 'Opal's Resort'. Mobil yang membawa Naufal dan Ariella memasuki gapura itu dan terus berjalan maju hingga ke depan pintu gedung utama. Mobil berhenti di situ. "Tuan Opal, kami sudah sampai di resort." Naufal mengangguk mengerti, namun sayangnya dia tak bisa langsung begitu saja turun dari mobil sebab Ariella masih tertidur nyenyak di pundaknya. Bodyguard melirik ke arah kaca spion dalam mobil. Ah, rupanya seperti itu kondisi dan situasi dari Tuannya. "Keluar dan temui keluargaku, beritahu Mamaku kalau aku sudah tiba dan berada di sini," pinta Naufal. "Baik, Tuan." Body keluar dari mobil dan segera memberitahu Popy. Setelah kepergian bodyguard, Naufal melirik ke arah wajah Ariella yang tertidur pulas. Gadis itu tidur tanpa rasa takut pada siapapun. Mungkin saja karena Naufal yang berada di sisinya hingga Ariella tak takut pada apapun. Beberapa saat menunggu, Popy dan Bushra buru-buru berlari kecil ke arah mobil Naufal. Saat Popy membuka pintu mobil, suara Bushra terdengar lebih dulu ketimbang Popy. "Aril sayang!" Bushra menatap wajah Naufal yang memberi isyarat diam. "Aril tertidur," ujar Naufal. "Oh, dia sudah tidur rupanya," gumam Popy. "Em … ini … Aril tidur. Bagaimana membangunkannya?" tanya Bushra. Namun sedetik kemudian Bushra menggelengkan kepalanya. "Jangan! jangan bangunkan Aril, biarkan dia tidur seperti ini!" Bushra merasa takut jika sang anak dibangunkan, maka yang terbangun berikutnya bukan lagi anaknya–Ariella, melainkan kepribadian yang lain. Popy menarik dan mengembuskan napas saat melihat situasi ini. Dia mengerti apa yang ditakutkan oleh adik sepupunya. "Opal, tolong gendong Aril dan bawa dia ke kamar!" perintah Popy. "Ah benar, tolong yah! Tante Sira minta tolong," timpal Bushra yang setuju dengan ucapan kakak sepupunya. Naufal mengangguk, ini perintah dua orang tua. "Ma, agak jauh dikit, Opal mau keluar," ujar Naufal. Popy dan Bushra mundur dua langkah ke belakang. Naufal keluar dari mobil lalu menggendong Ariella yang tertidur pulas. "Ke mana?" tanya Naufal. "Ikut Tante!" Bushra membawa jalan. Di sepanjang perjalanan, orang-orang melihat mereka, namun Naufal tidak peduli toh dia merasa tidak berbuat sesuatu yang salah. Bushra membawa jalan ke arah paviliun milik keluarga, ini adalah tempat mereka menginap. Saat melewati dua paviliun, beberapa keluarga yang sedang mengobrol tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Naufal. Mereka buru-buru berdiri, termasuk para sepupu Naufal yang tampan. "Bro, itu siapa?" tanya seorang pemuda, umurnya sebaya dengan umur Ariella. "Adik Aril," jawab Naufal. Naufal tak merasa berat atau kelelahan saat menggendong Ariella. "Wow! barang bagus! cantik sekali-adoh!" dia mengaduh sakit. Plak! Seorang pria menjitak kepalanya. "Yang sopan, itu juga saudara perempuan," ujar pria itu. "Kak Amran, Askan cuma canda doang kok, gitu aja dibawa serius," balas pemuda itu yang adalah Askan–anak nomor dua dari pasangan Bilal Basri dan Miranda. "Kalau kamu nggak sopan lagi sama saudara perempuan, aku laporkan ke Ayah, biar nanti Ayah beritahu atasan kamu di angkatan laut biar kasih skors untukmu," ancam Amran. "Ck! jaksa tukang lapor!" cebik Askan. "Masih membangkang?" Amran menatap tajam ke arah sang adik. "Heum, lihat saja nanti, sholat subuh nanti Askan lapor ke Nenek Momok melalui doa, biar nanti Nenek Momok datang marahin Kak Amran pas lagi tidur, bila perlu roh Nenek Momok cekik leher Kak Amran," ujar Askan lalu dia buru-buru mengejar Naufal yang telah memasuki sebuah pintu paviliun untuk keluarga Rousseau. Amran, "...." punya adik gini amat, biar sudah jadi perwira angkatan laut tapi tetap saja masih songgong seperti dulu. "Tidak pernah berubah dari kecil," ujar Amran. "Pfft!" beberapa keluarga menahan tawa. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD