Chapter 2

1606 Words
"Akh!" Lia kecil meringis setelah sebuah peluru meleset melukai dagunya. Dagu. Beruntung sekali bukan bagian tubuh lain. Jika tidak, batang leher gadis kecil itu akan dibolongi oleh timah panas milik penjahat. Bruk. Jonathan termundur ke belakang sementara Lia Kecil jatuh terlentang sambil memegang senjata menindih atas tubuh Naufal. "Nona!" Miki melirik ke arah Lia kecil sambil bersembunyi di pojok. Sial, Nona mudanya berdarah di dagu! Habis! Dia akan habis! Tuan besar akan marah! Pasti marah! Naufal tersadar dengan cepat, dia cepat - cepat jongkok lalu tangannya yang masih memeluk Lia kecil itu berusaha untuk mempertahankan kekuatan agar bisa memeluk Lia kecil dan keluar dari restoran. Kaca - kaca telah pecah akibat tembakan di mana - mana. Naufal beruntung, ada tiga bodyguard yang melindunginya, jika tidak, dia sudah dari tadi menjadi almarhum. "Lia kecil! Keluar! Kita harus lari!" Naufal menyeret mundur tubuh Lia kecil yang masih ada di pelukannya. Satu hal yang membuat tatapan Lia kecil berubah setelah peluru melukai dagunya. Tatapan bengis Lia kecil berubah menjadi tatapan bingung. Dia melihat ke arah kedua tangannya yang memegang pistol. Kebingungan besar melanda dirinya. Tubuhnya telah ditarik jauh oleh Naufal. Sedangkan Jonathan melihat suasana sekeliling sambil berlari mengikuti Naufal. Sret! Naufal membawa tubuh mereka berdua di balik dinding. Sedangkan Jonathan berada di belakang Naufal. Dia melihat ke arah belakang, tugasnya menjadi mata belakang Naufal. "Um?" Lia kecil bingung. Dia melihat tangan berdarah yang merangkulnya. Lia kecil mendongak lalu menatap ke arah wajah Naufal yang sedang menahan sakit. "Kakak Opal ...," ujar Lia kecil dengan nada takut. Naufal tersadar dari acaranya melihat situasi di depan. Dia menunduk melihat wajah kebingungan dan wajah ketidaktahuan dari Lia kecil. "Tidak apa, kita di sini, jangan jauh - jauh dengan Kakak Opal, ada Om penjahat di sana, tetap dengan Kakak Opal." Naufal menenangkan Lia kecil. Aneh sekali. Sifat Lia kecil berubah, tidak seperti beberapa saat yang lalu setelah dia menghabisi beberapa penjahat. Naufal yang memeluk Lia kecil menjadi bingung dengan sifat sang adik sepupu. "Um." Lia kecil mengangguk lalu memeluk Naufal. Jonathan yang melihat ekspresi dari adik sepupu sang teman juga bingung. Aneh. Pikir Jonathan. Dari yang dia lihat, gadis kecil yang merupakan adik sepupu Naufal ini tidak begini, dia terlihat sangat berani, namun sekarang malah terlihat takut dan mencoba berlindung pada Naufal. Kepribadian Lia kecil berubah. Saat peluru bersamaan melukai dagu dan Naufal memeluknya mundur ke belakang. Tatapan mata ganas dan bengis dari Lia kecil berubah. Kepribadian pertama Lia kecil muncul alias Ariella. Tuan dari pemilik tubuh yang sebenarnya. "Opal, kita harus keluar dari gedung! Itu! Banyak sekali orang asing yang datang membawa senjata laras panjang-hmp?" Jonathan membungkam mulutnya agar tidak berteriak kaget. Matanya melotot ke arah sepuluh orang yang datang. Mereka telah terjebak selama sepuluh menit tembakan. Naufal melirik ke arah belakang. "Sial sekali." Naufal menggertakkan giginya kesal. Dia tahu, sekarang target orang - orang bersenjata itu adalah dia. Lantai di mana menjadi ladang tembak - menembak itu telah kosong dari pengunjung ataupun orang - orang. Dari tangga sampai lift, ada saja yang berjaga. Dan itu bukan orang - orang Basri yang dia kenali. Naufal harus mencari cara agar bersembunyi lebih dalam lagi. Toko sepatu. Naufal melihat ke arah tokoh sepatu. "Masuk ke sana." Naufal menggendong Lia kecil sambil menunduk berjalan cepat ke arah toko sepatu. Mereka memasuki pintu toko sepatu yang telah sunyi itu. Setelah sampai di pojokan, Jonathan dan Naufal mengambil napas. Mereka berusaha untuk tidak ketahuan. Sret. "Um, Kakak Opal, itu ... jatuh ...." Ariella menunjuk ke arah pistol yang dia pegang tadi. Dia juga bingung kenapa ada pistol di tangannya, dia juga tak tahu benda yang dia pegang itu adalah pistol. Jonathan yang melihat pistol jatuh hanya melirik ke arah Naufal. "Ambil, jaga - jaga." Perintah Naufal. "Tapi aku tidak tahu menembak," ujar Jonathan. "Tahan saja, pemicunya masih aktif, kamu hanya perlu menjaga diri jika ada yang mendekat. Keselamatan kita sekarang terancam," balas Naufal. Jonathan mengangguk mengerti. Dia meraih pistol itu. Ini ... Pistol ini terlihat sangat mewah. Tangan kanan Naufal memegang gagang pistol dari musuh yang ditembak mati tadi, sedangkan tangan kirinya memeluk sang adik sepupu. Naufal menaikan tubuh Ariella agar dia dapat memangku tubuh sang adik sepupu. Dilihatnya leher sang adik sepupu. Darah mengalir menetes turun dari ujung dagu membasahi baju kaos hijau tosca. Naufal meletakan pistol di samping kanan lalu memutar tubuh Ariella agar menghadapnya. "Kakak Opal ... Aril takut ...." Aksen Perancis terdengar sangat kental dari ucapan Lia kecil, dia mencicit takut. "Jangan takut, ada Kakak Opal di sini." Naufal menenangkan adik sepupunya. Dia membuat Ariella duduk di atas paha lalu merogoh sapu tangannya yang berada di saku celana belakang. Sapu tangan itu dia gunakan untuk membersihkan darah yang menetes dari dagu Airella. "Sakit?" tanya Naufal. "Um ... Kakak Opal ... ini sakit ...," jawab Ardilla sambil mengangguk. Matanya terlihat berkaca-kaca seakan segera menangis. "Kakak Opal obati yah, tiup supaya jangan sakit." "Um." Ariella mengangguk. Ariella merasakan basah di daerah yang dia duduki, namun dia tidak tahu cairan apa itu. Rupanya itu adalah darah yang keluar dari paha kiri Naufal. "Kakak ... Opal ...." Suara takut Ariella keluar. "Ya?" "Tangan ... ini ... darah ...," ujar Ariella kikuk. Dia menunjuk takut penuh kikuk ke arah tangan Naufal yang berdarah. "Tidak apa - apa, ini hanya darah, tidak sakit," balas Naufal menangkan sang adik sepupu. "Tidak sakit?" tanya Ariella, suaranya terdengar kecil. "Ya, tidak sakit. Kakak Opal laki - laki, harus tahan sakit. Ini tidak sakit," jawab Naufal, dia tersenyum menenangkan adik sepupunya. "Sekarang Kakak Opal sumbat luka ini yah supaya jangan berdarah dan sakit lagi. Kakak Opal tiup supaya tidak sakit." Naufal meniup dagu sang adik. Wajah Ariella terlihat memuja Naufal. Orang yang dia panggil 'Kakak Opal' ini adalah laki - laki yang sangat kuat. Tatapan mata yang diperlihatkan oleh Ariella terlihat takjub dengan keberanian Naufal. "Apa masih sakit?" tanya Naufal. Ekspresi adik sepupunya ini terlihat berbeda. Ariella menggeleng. "Tidak lagi ... Kakak Opal telah obati ... tiup ... tidak sakit lagi ...," jawab Ariella pelan. Naufal mengangguk mengerti. "Kakak Opal ...." "Ya?" "Ariel takut ...." "Tidak apa - apa, ada Kakak Opal di sini." Naufal memeluk sang adik agar tidak takut. Sedangkan Jonathan selalu melihat ke arah depan, berjaga - jaga jangan sampai ada musuh yang masuk. Setelah menenangkan adik sepupunya yang 'ketakutan itu', Naufal meraih pistol dengan tangan kanan. Jonathan melihat ke arah Naufal. "Bro, darahmu banyak sekali." Wajah Jonathan terlihat khawatir. Sudah hampir satu jam mereka bersembunyi di dalam toko sepatu ini. Wajah sang teman telah berubah pucat. Pucat karena kehilangan banyak darah. "Aku tidak apa - apa," balas Naufal. Satu yang Naufal sesalkan. Ponselnya berada di atas meja restoran. "Vano ... hp kamu mana?" Jonathan merogoh ponselnya. "Mati. Baterainya habis. Satu hari ini kita bermain. Aku tak mencharger hp-ku," jawab Jonathan. Naufal hanya bisa menarik dan menghembuskan napas agar dia bisa menenangkan dirinya. "Kakak ... Opal ...." Suara kecil Ariella terdengar. "Ya ...." Naufal berusaha untuk menyahut panggilan sang adik sepupu. "Aril ... Aril rasa ... mengantuk ... ingin tidur ...," ujar Ariella. "Tidur saja, tidak apa - apa ... ada Kakak Opal yang menjaga Ariel …," balas Naufal. "Um ... Ariel tidur ... ada Kakak Opal ... yang menjaga ... Ariel ...." Ariella menutup mata sambil mengeratkan pelukannya, lalu kesadaran anak umur 9 tahun itu menghilang. Sedangkan kesadaran Naufal mengabur, dia terlalu banyak kehilangan darah karena luka tembak yang dideritanya. Perlahan - lahan Naufal tak dapat mempertahankan kesadarannya. Sebelum matanya benar - benar tertutup. Dia mendengar suara tembakan mendekat ke arahnya. "Jangan ... tidak boleh tidur ... Opal belum memberikan ... rekaman kamar lama ke Nenek ... Momok ...." Suara lemah Naufal terdengar, dia berusaha untuk membuka matanya dan mempertahankan kesadaran, namun sayang sekali dia tidak kuat. Hilang kesadaran. "Opal." "Opal!" Jonathan berusaha menahan panik bercampur takut. Jangan sampai terjadi apa-apa pada temannya, Jonathan tidak mau hal buruk terjadi. Dia mendekat ke arah Naufal, jari telunjuknya bergetar saat dia dekatkan ke arah dua lubang hidung sang teman. Hidup. Setidaknya Jonathan masih bisa menarik napas lega. Namun dia tidak bisa terus menerus menghibur dirinya bahwa sang teman akan baik-baik saja, situasi tidak baik, dia tahu, jika orang yang terluka kehilangan banyak darah, maka akan fatal, bisa terjadi kematian. Dor! Dor! Jonathan terkaget setelah dia mendengar dua tembakan di luar toko sepatu yang sekarang mereka bernaung mencari keamanan. Dia menggenggam pistol yang tadi dipegang oleh Lia kecil. Mata Jonathan membulat saat dia melihat dua orang pria bersenjata laras panjang ke arahnya. Dia menekan pelatuk pistol silver itu, namun sayang sekali, tak dapat berfungsi. Pistol itu seakan mati. Jonathan tak dapat menggunakan pistol itu. Itu adalah pistol khusus yang dirancang sendiri oleh Aqlam–Kakak sepupu Ariella khusus untuk Lia kecil. Jadi, pistol itu akan berfungsi saat sidik jari Lia kecil terdeteksi di gagang pistol. Tangan Jonathan bergerak. Dia melirik ke arah Naufal dan Ariella yang telah hilang kesadaran. Jemari Naufal telah lepas dari pistol yang tadi dia genggam. Dengan tangan yang bergetar hebat, Jonathan meraih pistol itu. Dia mengarahkannya ke arah dua orang yang datang. Dor! Dor! Dua tembakan Jonathan yang membabi buta. Randra–Kakek dari Naufal yang berusia 72 tahun melirik ke arah toko sepatu. Ada tiga orang di sana, dua tembakan keluar dari dalam tokoh itu. "Kakek Opal!" Jonathan berteriak di atas paru - parunya setelah melihat penampakan kakek dari sang teman. Seakan Jonathan melihat malaikat penyelamat. Randra berlari masuk ke dalam toko sepatu. Dia melihat wajah teman dari sang cucunya pucat pasi sambil memegang pistol ke arah luar. "Di dalam! Opal di dalam! Opal di dalam! Darah! Banyak darah! Kakek! Ayo! Ayo!" Jonathan berlari membawa jalan. Tidak ada kata santai-santai untuk dia tetap slow, nyawa sang teman menjadi taruhan. Saat Randra sampai di pojok dalam tokoh sepatu. Darah telah mengelilingi tubuh sang cucu. Naufal bersandar di dinding, tangan kanan terkulai begitu sedangkan tangan kiri di atas paha kiri, ada seorang anak perempuan memakai pakaian hijau tosca dan celana hitam duduk di pangkuan sang cucu sambil bersandar di d**a sang cucu. Wajah sang cucu putih. Tubuh Randra bergetar takut. "Opal ...." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD