Chapter 3

1779 Words
Sembilan tahun telah berlalu. "Nenek Lia, bubur ayam ini enak," ujar seorang gadis remaja, dia terlihat rapi dengan pakaian sekolah menengah atas. Parasnya sangat cantik, jika orang sekali melihat, mereka akan terpaku melihat wajah nak elok itu. Seorang nenek tua yang telah berambut putih seluruhnya mendongak perlahan melihat wajah gadis cantik itu. Dia tersenyum. "Oh … diriku yang manis …," ujar Lia Besar. "Lia Kecil akan ambilkan lebih banyak bubur ayamnya untuk Nenek Lia," ujar Lia kecil hendak menyendokkan bubur ayam. Tangan tua keriput Lia Besar terayun bergetar ke arah pergelangan tangan Lia Kecil-sang cucu buyutnya. Lia kecil menghentikan aktivitasnya, dia menatap wajah cantik sang nenek meskipun sang nenek telah berusia lebih dari seratus tahun. Lia besar tersenyum teduh, dia mengusap sayang punggung tangan Lia kecil lalu berkata, "Jadilah baik wahai diriku yang kecil … lindungilah orang-orang baik … kau sangat manis …." Lia kecil menatap lama wajah sang nenek buyut, kemudian dia mengangguk patuh. Tangan Lia besar terangkat lebih tinggi mengusap kepala Lia Kecil. "Anak manis … jangan mudah menangis … kau tidak sendirian, suatu saat, akan ada pria yang akan terus menemanimu ke mana pun kau pergi … sama seperti suamiku yang menemaniku ke manapun aku pergi, kami menua bersama hingga kembali pada Tuhan bersama-sama …," ujar Lia besar. "Benar kan suamiku?" tanya Lia Besar. Agri Arelian Nabhan–pria yang kini berusia 115 tahun itu mengangguk. "Benar, istriku," jawab Agri, suaranya bergetar. Agri telah berhasil melewati satu abad hidup, di umurnya yang sekarang, dia hanya membutuhkan sang istri, dia merawat istrinya, meskipun aktivitasnya dan sang istri telah terbatas karena usia dan harus dibantu oleh orang lain, namun dia masih berusaha untuk merawat sang istri, dia merasa nyaman dengan sang istri. Lia besar tersenyum gembira setelah mendapat jawaban yang pas dari sang suami. Melihat kegembiraan sang nenek buyut, Lia kecil ikut tersenyum, dia mengangguk. "Suatu saat Lia kecil akan memiliki suami seperti Kakek Agri," balas Lia kecil. Lia besar tersenyum sambil mengangguk. Agri tersenyum teduh saat melihat cucu buyut kesayangannya, tangannya terulur dan mengusap kepala Ariella. Jadilah dua tangan tua keriput dari tetua Nabhan itu mengusap kepala Lia Kecil. Paman dan Tante Lia Kecil, yaitu Nibras dan Atika ikut senang dengan kebahagiaan Agri dan Lia, Kakek dan Nenek mereka. Sementara itu, Farel yang telah berusia 83 tahun itu tersenyum. Lia kecil adalah hiburan yang diberikan oleh Tuhan pada ayah dan ibunya. Cucu perempuan dari sang adik laki-lakinya itu sudah dia anggap seperti cucu sendiri. "Ibu, jika Ibu berkata bahwa Lia kecil akan memiliki suami yang akan menjaga dan mengikutinya ke manapun, maka Lia kecil pasti akan memiliki suami seperti yang Ibu katakan," ujar Farel yakin. Senyum kecil melintas di bibir Lia kecil, bayangan dua pria muda terlintas di kepalanya. Dua pria itu adalah pria yang disukai oleh Lia Kecil. Lia besar melirik ke arah anak sulungnya, dia tersenyum lalu beralih hendak menggapai wajah Farel. "Kemarilah …," panggil Lia Besar. Farel berdiri dari kursi makan, seorang pelayan perempuan dengan cekatan membantu mendekatkan kursi Farel ke arah Nyonya Besar Nabhan. Setelah Farel mendekat ke arah sang ibu, dia menundukkan kepalanya, Lia Besar mengusap kepala Farel. "Farel anakku … rupanya kau telah besar Nak … jadilah baik dan jangan menjadi pemarah … tetaplah rendah hati …," ujar Lia. Farel terperangah. Dia mendongak menatap wajah sang ibu, namun dia tidak meninggikan kepalanya, sebab sang ibu masih mengusap kepalanya. "Ibu …," ujar Farel seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Ya, anakku Farel?" sahut Lia Besar, meskipun suaranya bergetar, namun semua orang bisa mendengar jelas ucapan Lia besar. Mata Farel berkaca-kaca setelah mendengar ucapan sang ibu. Hari ini adalah hari keberuntungannya, sebab di usia sang ibu yang lebih dari seratus tahun itu, dia mendengar dengan jelas sang ibu menyebut dia sebagai anak. Sang ibu telah lama pikun, yang diingat oleh ibunya hanya sang ayah yang sebagai suami. "Ibu … mengingatku?" tanya Farel. Lia besar tersenyum. "Tentu saja aku mengenalmu, aku yang membawamu ke dunia, bukankah kau keluar dari perutku? Suamiku menyaksikan kamu keluar dari perutku, benar kan Suamiku?" tanya Lia ke arah Agri. Agri mengangguk. "Benar, istriku. Aku yang menyaksikan anak kita keluar dari perutmu," jawab Agri. Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Agri selalu berada di dekat sang istri, pasangan suami-istri ini tidak pernah terpisahkan. Farel tersenyum senang, hatinya gembira. Selama berpuluh tahun, dua orang tuanya tidak membicarakan anak-anak mereka, termasuk Farel yang tinggal bersama Agri dan Lia. Rutinitas pasangan tua Nabhan itu hanya pergi berkeliling rumah utama Nabhan sambil mencari makanan sisa di tempat sampah gadungan. "Suamiku … kita punya tiga anak laki-laki … sekarang aku ingat mereka … anak kami yang pertama adalah Farel Adzkia Nabhan, anak kami yang kedua adalah Busran Afdal Nabhan dan anak ketiga kami adalah Rafi Nabhan," ujar Lia. Agri mengangguk membenarkan. "Benar istriku," sahut Agri. "Sayangnya kami tidak memiliki anak perempuan … tapi tak apa, sekarang kami memiliki tiga cucu dan seorang cicit yang cantik," ujar Lia besar sambil memandangi Lia Kecil. Wajah Lia kecil merona karena senang dipuji oleh sang nenek buyut. Agri mengangguk membenarkan. "Benar, istriku, kami memiliki tiga cucu dan satu cicit perempuan yang cantik." Lia besar melirik ke arah sang suami dan dia berkata, "Suamiku, aku rindu anak-anak kita, bisakah kau membawa mereka untuk bertemu dengan kita? aku ingin bertemu mereka sekarang." Wajah Lia besar memelas penuh kemanjaan. Agri tak mampu menolak, dia mengangguk menyanggupi. "Tentu bisa, istriku," balas Agri. "Ah … aku ingin mengusap kepala anak-anak kita, sudah sangat lama kita tidak mengusap kepala anak-anak kita," ujar Lia besar. "Baik, istriku," sahut Agri. Jihan Kamala tersenyum, syukurlah suatu keberuntungan, ibu mertuanya tidak melupakan anak-anaknya, suatu keberuntungan juga karena Tuan Besar Nabhan di pagi hari ini tidak cemburu pada anak-anaknya. Agri mengusap kepala Farel. Farel terperangah, ini pertama kali dalam berpuluh-puluh tahun sang ayah mengusap kepalanya. Terakhir sang ayah mengusap kepalanya itu ketika dia masih kecil, lalu setelah beranjak remaja dan dewasa, sang ayah sangat pencemburu pada anak-anaknya. "Nenek Lia, hari ini Lia kecil akan mendengar mengadakan ujian terakhir SMA," ujar Lia kecil. Lia besar menengok ke arah Lia kecil. "Kau pasti akan lulus, wahai diriku yang manis," balas Lia besar. "Terima kasih atas doanya Nenek Lia!" Lia kecil mendekat ke arah Lia besar lalu mengecup sayang pipi sang nenek dengan menggunakan hidung. * "Busran, cepat datang ke rumah sekarang!" perintah Farel lewat panggilan telepon rumah. Nada suaranya terdengar sangat sombong saat memerintah sang adik, maklum saja, suasana hati Farel sangat senang pasca usapan tangan dua orang tuanya ke kepalanya. "Ada apa? sesuatu terjadi? kepalaku sedang pusing sekarang," balas Busran, adik kandung dari Farel. "Jika aku katakan yang sejujurnya, kau dan seluruh keluargamu satu rumah tidak akan percaya," ujar Farel. "Kak, katakan, jangan bertele-tele, aku tahu kau sudah tua, bicaramu juga berputar-putar hingga lidahmu terlilit sendiri baru kau berhenti," balas Busran. "Omong kosong!" ujar Farel. "Aku kasih tahu yah, tadi pagi waktu sarapan, Ibu dan Ayah mengusap sayang kepalaku!" ujar Farel dengan nada sombong dan bangga. Satu detik. Otak tua milik Busran Afdal Nabhan membuka kunci pintu menuju ke akses brankas memori. Dua detik. Brankas memori tua milik Busran didobrak paksa oleh suatu daya ingat. Tiga detik. Pintu ingatan milik Busran akhirnya terbuka. "Apa?!" Busran molotot, dia bahkan berdiri dari duduk. "Kak, katakan sekali lagi!" pinta Busran. "Hehehehe!" Farel terkekeh mengejek. "Kau kalah dariku, Bus. Ibu dan Ayah mengusap sayang kepalaku, Ibu juga berpesan agar aku menjadi anak yang baik, tidak mudah pemarah. Nah, karena Ibu telah berpesan demikian, aku tidak akan marah padamu. Sekarang datanglah ke rumah, Ibu ingin mengusap kepala anak-anaknya, Ibu mengatakan bahwa Ibu rindu pada tiga anak lelakinya! sekarang, tidak pakai lama!" ujar Farel sombong, setengah detik setelah dia berkata kalimatnya, dia memutuskan panggilan secara sepihak. * Di kediaman Busran Afdal Nabhan, setelah panggilan telepon dari Farel, Busran berteriak penuh semangat ke arah sang istri. "Hei! hei! Kak! Kakak Farel! dimatikan! dasar orang tua sombong!" cecar Busran kesal. Di ruang nonton, anak pertama Busran yang tinggal dengannya melirik ke arah sang ayah. "Jangan teriak-teriak begitu, Pa. Nanti darah tinggi loh," ujar Gaishan. Busran hanya mencibir dan memanggil istrinya. "Sayang! Sayang! ayo kita ke rumah Ibu sekarang!" Busran buru-buru menaiki tangga, namun di pertengahan anak tangga, dia berhenti melangkah karena mendengar suara sang istri. "Naik ke lantai dua untuk apa? kamar kita di lantai satu!" hardik Gea yang ternyata ikut duduk nonton bersama anak pertamanya. Busran berbalik arah haluan ke arah sang istri, dia terkekeh. "Hehehe, aku agak lupa, Sayang." Mata Gea menyipit ke arah sang suami. "Baru delapan puluh satu tahun saja sudah pikun." Busran tak mengambil hati ucapan sang istri, dengan penuh semangat dia kembali menuruni tangga dan buru-buru menggapai tangan sang istri. "Ayo ke rumah Ibu, Kak Farel bilang Ibu rindu padaku!" "Hum, baiklah, aku sudah dengar dari Kak Jihan," sahut Gea. Busran langsung menggandeng tangan sang istri keluar dari rumah. Dia terlihat sangat bersemangat. * "Sudah memberitahu Rafi dan Cici?" tanya Jihan. Farel melangkah mendekat ke arah sofa santai dan duduk, dia mengangguk. "Sudah. Mereka akan datang dengan jet pribadi, lebih cepat lebih baik," jawab Farel. Jihan Kamala mengangguk setuju. "Hari keberuntungan kalian, Ibu dan Ayah rindu pada kalian yang adalah anak-anak mereka," ujar Jihan. Farel tersenyum. "Ya hari keberuntungan kami." * Di ruangan melukis, Aqlam sedang menemani istrinya melukis. Chana terlihat sangat mahir melukis dengan menggunakan dua kakinya. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun memasuki ruangan itu sambil memanggil kata 'Ibu'. "Ibu!" panggil anak lelaki itu. Chana menghentikan gerakan melukis sebuah pohon bambu dengan warna hijau, dia meletakan kuas lukis ke tempat dan menengok ke arah anak lelaki yang memanggil ibu ke arahnya. Senyum Chana terukir. "Anas, sudah pulang sekolah?" tanya Chana. Anas mengangguk. Di belakang Anas ada anak perempuan yang seumuran dengannya. "Ibu, Anas pulang bersama Tante Aini," ujar Anas. Anak kecil ini sangat sopan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Aini–gadis manis yang seumuran dengan Anas tersenyum ke arah sang kakak. "Kak Chana!" panggil Aini. Senyum Chana bertambah melebar. Anas mengecup pipi sang ibu, sementara itu Aini memeluk sayang kakak sulungnya. "Main dengan Anas yah," ujar Chana. Aini mengangguk. "Iya." Anas mendekat ke arah ayahnya dan mencium punggung tangan sang ayah, sementara itu Aini berubah haluan dari memeluk sang kakak melompat senang ke pangkuan kakak iparnya –ayah Anas. "Bro, apa kabar? Aini boleh main di sini?" tanya Aini dengan nada suara imut. Aqlam terkekeh pelan, dia cukup terhibur dengan datangnya adik ipar yang cilik. "Sesuka hatimu," jawab Aqlam sambil mengusap sayang pipi kiri Aini. Aini manggut-manggut. Terdengar suara Busran yang terdengar heboh. "Ibu! aku anakmu, Bu! Busran! ini Busran!" Semua melirik ke arah suara Busran. "Ya, aku tahu kau anakku, Busran …," jawab Lia. Terdengar suara tangisan Busran. "Aku diingat! akhirnya Ibu mengingatku sebagai anak!" Anas dan Aini buru-buru mendekat ke arah Busran. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD