Chapter 4

2179 Words
Keluarga besar Nabhan terlihat sangat bahagia. Anak-anak dari Agri dan Lia berkumpul bersama. Tiga anak laki-laki Lia dan Agri mengelilingi ibu mereka. Mereka tertawa senang dan terharu saat mendapat usapan sayang dari sang ibu. "Ibu, sehat-sehat, kami hanya perlu itu," ujar Rafi, anak bungsu dari Lia dan Agri. Lia tersenyum sambil mengangguk pelan. "Suamiku," panggil Lia. "Ya, istriku," sahut Agri. "Anak-anak kita sudah besar, aku merasa senang dan lega jika meninggalkan mereka," ujar Lia. Agri mengangguk. "Ya, mereka telah besar." Para anak mantu dari Lia dan Agri menahan tawa geli. Jelas saja anak-anak Lia dan Agri telah besar, ada yang telah lebih dari delapan puluh tahun, bahkan mereka telah memiliki cicit. Agri dan Lia telah memiliki banyak cicit dan generasi di atasnya. "Ibu, jangan berkata begitu, kami masih ingin terus melihat Ibu sehat," ujar Rafi. "Ibu, kami semua hanya butuh Ibu sehat, itu sudah lebih dari cukup," timpal Busran. Farel mengangguk membenarkan ucapan dua adiknya. Lia tersenyum teduh, dia menggenggam tangan Rafi lalu berkata, "Selama aku hidup, kami berjauhan … Rafi anakku, maafkan Ibu yang tak bisa menjengukmu ketika jauh …." Mata Lia memerah dan memancarkan aura kasih sayang dari seorang ibu pada pada anaknya. Air mata Rafi–sang anak bungsu langsung tumpah. Seumur hidupnya, dia baru mendengar ucapan maaf dari sang ibu. Bibir Rafi bergetar, dia menangis dalam diam. "Rafi anakku, kau sudah sangat besar … apakah kau sudah punya cucu?" tanya Lia. Rafi mengangguk, dia menelan suara tangis jauh ke dalam perut dan menjawab, "Ibu, aku memiliki empat cucu." Lia tersenyum. "Beruntunglah kamu Nak … jangan marah-marah pada mereka, kamu harus sayangi mereka. Contohi kakakmu Farel, dia tidak pernah marah pada tiga anaknya dan juga lima cucunya … ah, tapi jangan tiru kakakmu Busran, dia selalu memarahi cucu-cucuku." Rafi mengangguk patuh, sementara itu ekor Farel naik melambung tinggi, Busran malah menelan ludah bak menelan pil pahit setelah mendengar ucapan sang ibu. Para menantu Lia terkekeh geli saat melihat reaksi Busran. "Busran kakakmu memang anak yang nakal, dari kecil pun dia nakal, Ibu pernah melihat dia memukul temannya ketika sekolah, tetapi Ibu tahu, dia melakukan itu karena dia yang paling sayang pada Ibu, tidak ingin mendengar orang lain menghina Ibu dengan sebutan gila," ujar Lia. "Ibu!" Busran tiba-tiba memeluk Ibunya. Ternyata ingatan yang telah lebih dari enam puluh tahun saja, ibu mereka masih mengingatnya pada hari ini, Busran menangis penuh haru saat mendengar langsung dari lisan sang ibu bahwa dia adalah anak yang paling sayang pada ibunya. "Oh anakku Busran … jangan menangis … jadilah anak baik dan jangan pernah memarahi siapapun … sayangilah anak cucumu …," ujar Lia sambil mengusap punggung Busran. Busran mengangguk. Agri menatap diam selama beberapa detik ke arah istri dan tiga anaknya, malam ini dia merasa sangat damai. "Ayah tidak punya pesan banyak, hanya ingin agar anak-anakku hidup rukun walaupun Ayah dan Ibu telah tiada. Jika kami telah tiada, jangan putuskan tali silaturahmi antara kalian, anak cucu bahkan cicit kalian harus saling mengenal, jika ada keberuntungan Allah memberi jodoh di antara cucu-cucu kalian, Ayah dan Ibu senang, itu mempererat lagi keluarga kita," ujar Agri. Semua mata melihat ke arah Agri. Hari ini, ayah mereka sama sekali tak marah atau cemburu pada anak-anaknya, bahkan ketika Busran memeluk ibunya, ayah mereka sama sekali tak marah seperti biasanya. Busran masih sambil memeluk ibunya melirik ke arah sang ayah, mata Busran memerah. "Hanya itu yang Ayah pesan," ujar Agri. Semua orang mengangguk patuh. Tangan tua Agri yang telah keriput terangkat dan mengusap kepala Busran dan Rafi. "Rafi, setelah kau menikah, kau memutuskan untuk tinggal jauh dari Ayah dan Ibu, namun rasa sayangmu pada Ibu tak pudar, kau bahkan dalam satu tahun datang mengunjungi Ibumu sebanyak enam atau tujuh kali. Ayah harap, di masa depan jika Ayah dan Ibu tidak ada lagi di dunia, barangkali kau mau bersudi diri sesekali datang mengunjungi kakak-kakakmu di sini," ujar Agri. Rafi mengangguk, dia sangat senang sekali dengan usapan sayang sang ayah. Kemudian Agri melirik ke arah Busran. "Busran, benar apa kata Ibumu. Dari semua anak-anaknya, kamu adalah anak yang paling nakal, pernah tidak menjawab pertanyaan ibumu, berbohong bahkan memukuli orang, namun itu semua kamu lakukan untuk menjaga perasaan ibumu, kamu adalah anak yang paling peka terhadap perasaan ibumu, meskipun kamu sering membuat Ayah marah dan kesal padamu, tapi kamu tak pernah membuat marah ibumu, kamu adalah orang pertama yang membalas kejahatan orang yang menyinggung perasaan ibumu, mungkin sifat nakalku turun padamu tapi tak apa, aku bersyukur setidaknya kamu tidak memandang rendah ibumu," ujar Agri. Busran menangis, malam ini dia banyak menangis karena mendengar pesan-pesan dari ayah dan ibunya. Tangan Agri yang tadi mengusap kepala Busran beralih mengusap air mata Busran. "Jangan menangis, kamu lelaki, juga sudah tua." Beberapa orang tertawa ringan atas ucapan Agri. Agri melirik ke arah Farel. "Kamu yang paling tua, jangan menangis!" Farel mengangguk, padahal matanya memerah. "Jangan terus adik-adikmu datang mengunjungi kamu, sesekali kamu yang datang mengunjungi mereka," ujar Agri. Farel tersenyum, dia mengangguk. "Baik, Ayah." Agri melihat ke arah tiga menantunya. "Jihan," panggil Agri. "Ya, Ayah," sahut Jihan. "Kamu adalah menantu pertama yang telah Ayah anggap sebagai anak sendiri, jika selama Ayah dan Ibu hidup, pernah membuang kata yang menyinggung perasaan kamu, maafkan kami," ujar Agri. Mata Jihan memerah, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, Ayah. Ayah dan Ibu tidak pernah menyinggung perasaan Jihan," balas Jihan. Perlahan tangan Agri hendak mengayun roda dari kursi roda, namun Jihan berdiri dan datang pada Agri. Agri tersenyum lalu berkata, "Ayah tidak bisa lagi terlalu banyak berdiri." Jihan mengangguk, dia diambilkan kursi oleh pelayan laki-laki dan duduk di dekat Agri. Tangan kanan Agri mengusap kepala Jihan sambil berkata, "Terima kasih telah memberikan Ayah dua orang cucu perempuan yang cantik dan satu cucu laki-laki penerus yang baik. Terima kasih juga karena telah menjadi istri untuk anakku Farel." Jihan Kamala mengangguk lalu air mata haru jatuh. Usahanya sebagai seorang menantu dihargai oleh ayah mertua. Agri melirik ke arah Gea. Tangannya melambai. "Kemarilah, Nak." Gea berdiri dibantu seorang pelayan perempuan, seorang pelayan laki-laki mendekatkan kursi di depan Agri agar Gea duduk di kursi itu. "Gea anakku, dari pertama Busran mati-matian ingin mengatakan pada Ayah untuk hanya ingin melamarmu jadi istrinya, dari situlah Ayah telah menganggapmu sebagai anak, terlepas dari kepergian ayah dan ibumu yang cukup cepat, Ayah tahu, kasih sayang Ayah dan Ibu tidak bisa dibandingkan dengan kasih sayang ayah dan ibumu yang telah lama tiada, namun Ayah berharap kamu tidak membedakan kasih sayang Ayah dan Ibu dari suamimu." Gea menangis, dia memeluk sayang Agri. Ayah mertua ini terkenal sangat dingin, tetapi sebenarnya sangat penyayang pada keluarga keluarga. "Gea tidak pernah membedakan rasa kasih sayang yang Ayah dan Ibu berikan, justru Gea sangat senang dan bersyukur, Allah memberikan dua orangtua yang luar biasa pada Gea melalui suami," balas Gea. Agri tersenyum, dia balas memeluk Gea. Busran yang melihat hal itu kembali sesenggukan, dia memeluk ibunya dan menangis penuh haru. Sambil memeluk Gea, Agri tersenyum ke arah Cici Cila. "Ah menantu bungsu Ayah, kemari Nak!" panggil Agri. Cici Cila mendekat. Dia masih sanggup berjalan ke arah ayah mertua. "Ayah, sehat-sehat selalu," ujar Cici Cila. Agri terkekeh. "Terima kasih telah mengurus anak bungsuku ketika hidup di perantauan, anakku Cici," ucap Agri. Cici Cila tidak duduk di kursi yang telah disediakan oleh pelayan, dia memilih berdiri dan mencium punggung tangan Agri. Setelah itu dia berkata, "Ayah, mengurus anak bungsu Ayah adalah tugasku, aku tidak punya pekerjaan, jadi senang mengurus anakmu." Agri terkekeh. "Duduklah, jangan terlalu lama berdiri, aku tahu tidak nyaman," ujar Agri. Cici Cila terkekeh, namun dia menuruti apa kata ayah mertuanya. Agri menatap ke arah Nibras dan Atika yang sedang duduk sambil sesekali memberikan mainan pada Anas dan Aini. "Atika," panggil Agri. "Ya, Kakek?" sahut Atika. "Kemarilah," panggil Agri. Perempuan yang telah lebih dari lima puluh tahun itu berdiri. Gea dan Jihan memberi ruang untuk Atika. Mata Agri menatap penuh kasih sayang pada Atika. "Di antara istri dari cucu-cucuku, kamu yang paling Kakek kasihi, bukan karena pilih kasih, Kakek tidak suka jika kalian berpikir Kakek pilih kasih, bukan juga karena kamu yang lebih lama tinggal dengan Kakek dan Nenek, bukan juga karena kamu adalah orang yang membawa pulang istri Kakek ke rumah waktu itu, bukan juga karena kamu teman dari istri Kakek. Kakek menyayangi kamu lebih dari yang lain karena Kakek tahu, betapa kerasnya hidupmu tanpa seorang kasih sayang ayah maupun ibumu … Kakek sayang padamu karena Kakek tahu betapa perihnya perjuangan hidupmu setelah menjalani ujian berat dari Tuhan pada masa remajamu … Kakek bersyukur, Nibras tidak memandang rendah kamu setelah belajar apa itu arti kasih sayang yang tulus pada seseorang." Atika menangis keras sambil duduk di depan Agri, dia menangis dalam pangkuan Agri. Nibras berdiri dan menyusul sang istri, dia mengusap sayang punggung istrinya. Agri berkata pada Nibras. "Hormatilah istrimu, hargai dia, kau sudah tahu masa lalunya, jika kalian berselisih paham, jangan sekali-kali membuang kata yang menyinggung perasaannya, apalagi kau mengatakan dia tidak punya ayah." Nibras mengangguk. "Kakek, Ibas tidak pernah mengucapkan kata-kata itu maupun masa lalu istri Ibas. Ibas mengambil dia sebagai istri murni karena cinta padanya atas izin Tuhan." Agri tersenyum bangga. Ketika dia tersenyum, dia melirik ke arah cicitnya yang telah menikah. "Aqlam, Kakek Besar tahu kamu yang paling jenius di dalam keluarga. Kakek Besar juga tahu kamu yang paling pengertian meskipun kamu terlihat tidak peduli pada siapapun kecuali istrimu sebab kakek besar juga pernah berada di posisimu, di mana hanya ada istri kakek besar yang ada di mata." "Tapi ingat, jangan mengabaikan saudaramu yang lain meskipun kamu anak tunggal, kamu memiliki saudara sepupumu, jagalah mereka," sambung Agri. Aqlam mengangguk. "Baik, Kakek Besar." Agri melirik ke arah Chana yang sedang dirangkul pinggangnya oleh Aqlam, dia tersenyum. "Terima kasih telah memberikan Kakek Besar seorang piut laki-laki, dia adalah penerus cilik yang tampan." (Piut adalah anak dari cicit, generasi ke-empat setelah anak, cucu dan cicit.) Chana tersenyum. "Kakek Besar, Chana hanya ingin Kakek dan Nenek Besar sehat, itu saja," balas Chana lembut. "Kakek Besar juga ingin kamu sehat dan umur panjang, doa dari Kakek Besar, tetaplah sehat-sehat," ujar Agri. Chana mengangguk. "Aamiin," balas Chana. Agri melirik ke arah Lia kecil yang tiba-tiba jadi pendiam dan bermain bersama Anas dan Aini. Pandangan Agri agak lama ke arah cicit perempuannya, kemudian dia memanggil sang cicit. "Aril." Mendongak. Sang empunya nama mendongak dan melihat ke arah Agri. Agri tersenyum. "Syukurlah itu kamu, Kakek senang melihat kamu malam ini." Semua mata memandang ke arah Lia Kecil, ah malam ini dia adalah Aril. Mereka telah tahu mengenai kepribadian dari cucu perempuan Busran. "Kamari, anak manis," panggil Agri. Dengan wajah agak pemalu, Ariella berjalan maju dan mendekat ke arah Kakek buyut. Agri mengusap kepala Ariella, lalu dia berkata, "Gadis manis, Kakek Besar yakin, suatu saat ada seorang pria yang akan mencintaimu tanpa syarat." Pipi Ariella memerah tersipu malu, dia menunduk lalu menahan senyum malu-malu. "Tetapi mungkin itu tidak mudah, tapi tenang saja, Allah itu Maha Adil. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, dan pasangan itu saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing," ujar Agri. "Kamu bersabar yah, Kakek Besar yakin, suatu saat kamu tidak lagi harus melawan diri sendiri untuk bisa hidup," ujar Agri. Ariella mengangguk pelan. "Baik, Kakek Besar …," sahut Ariella. Agri terkekeh, dia melihat ke arah Anas dan Aini yang saat ini menatap serius ke arah arahnya. "Anas, hormati Tante Aini, jangan kasar dan buat Tante Aini menangis. Ingat pesan Kakek Besar, umur kamu dan Tante Aini boleh sama, tetapi kamu dan Tante Aini berbeda, kamu adalah anak dari Ibumu, sementara Tante Aini adalah adik dari ibumu, itu berarti kamu berada di bawah Tante Aini, dia adalah orang tua," ujar Agri. Anas mengangguk patuh. "Baik, Kakek Besar." Agri tersenyum. "Mungkin setelah kamu dewasa baru kamu akan paham kata-kata Kakek Besar yang ini. Jika sudah waktunya kamu tidak ingin sendirian lagi, ambillah istri yang menurutmu damai di hatimu, bisa menyenangkan hatimu, jangan melihat dari betapa dia cantik, memang tidak bisa Kakek Besar pungkiri bahwa setiap lelaki pasti ingin perempuan cantik menjadi istri mereka, itu hal lumrah, tapi pesan Kakek Besar, lihatlah dari hati mereka, hargai perempuan itu dan jangan sekali-kali menyakiti hatinya," ujar Agri. Anas yang tahun ini akam berusia tujuh tahun itu hanya mengangguk patuh, dia belum terlalu tahu maksud dari kakek Besar, berbeda dengan sang ayah, pada umur lima tahun telah mengerti ucapan dan maksud dari orang dewasa. Melihat anggukan dari Anas, membuat Agri mengangguk puas. "Uh … cucuku yang lain tidak datang …." "Biar aku menelpon Gaishan untuk datang, Ayah. Anak itu memang dari dulu kepala batu, sampai sudah tua dan beruban pun masih saja kepala batu!" ujar Busran. Agri tertawa. "Hahahahaha!" Tertawanya Agri menular pada yang lain. "Hanya kamu anakku yang suka mengutuk dan mengoceh!" setelah Agri mengatakan ini, dia tertawa lagi sambil memegang perut. "Hahahaha!" keluarga yang lain ikut tertawa. Setelah beberapa detik kemudian, Agri berkata, "Tidak perlu memanggil dia ke sini, biarkan dia menemani istrinya di rumah." Busran mengangguk. "Baiklah," sahut Busran. Agri melihat ke ada Busran dan berkata, "Jika di masa depan Ayah dan Ibu tiada di dunia ini, kami ingin dimakamkan di rumah tua Nabhan dan bersamaan satu liang lahat." "Barulah kamu memanggil semua anak-anakmu, anak-anak kalian," sambung Agri. Semua orang diam. Mereka tak berani menjeda ucapan Tuan Besar Nabhan. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD