Chapter 5

1763 Words
Lia menggenggam tangan suaminya, dia berkata, "Suamiku, aku tidak mau dipisahkan darimu." Agri merangkul pinggang Lia. Dia membalas, "Aku juga tak ingin pisah darimu." Busran dan yang lainnya memandang diam ke arah Lia dan Agri, mereka merasa bahwa malam ini ayah dan ibu mereka sangat berbeda. Sang ibu yang pikun itu kini tiba-tiba mengingat mereka, semuanya, mengingat berapa mereka memiliki anak, cucu, cicit bahkan piut. Busran menatap wajah tua ayah dan ibu, umur mereka sudah lebih dari satu abad. Tiba-tiba, sebuah firasat menghampiri Busran, dia menelan susah air ludahnya dan saling melirik ke arah dua saudaranya. Tiga saudara kandung itu saling melirik penuh makna. Seakan mengerti maksud dari arah lirikan, mereka dengan cepat merogoh ponsel dan mencari ponsel mereka. Busran mengetik pesan dan dikirimkan pada anaknya, yaitu Gaishan. 'Datang ke rumah Kakek sekarang!' Beberapa detik kemudian, dia mengetik pesan lagi. 'Bawa istri dan anakmu!' Setelah mengirim pesan pada anak tertua yang tinggal serumah, Busran kembali mengirimkan pesan pada anak nomor duanya. 'Besok datang dengan keluarga ke Jakarta, lihat Nenek dan Kakek!' Pesan terakhir dikirimkan pada anak bungsu, dia adalah ibu dari Ariella. 'Sira, jika ada kesempatan, kau dan Eric datanglah ke Jakarta dalam waktu dekat, besok atau lusa, lihatlah Kakek Agri dan Nenek Lia.' Rafi mengetik sebuah pesan yang dikirimkan pada dua anak laki-lakinya. 'Datang ke Jakarta kunjungi Kakek dan Nenek kalian!' Pesan-pesan yang dikirimkan oleh Busran dan Rafi, juga dikirimkan oleh Farel pada dua anak perempuannya. Setelah tiga bersaudara itu sibuk mengirimkan pesan, mereka kembali memandang ke arah ayah dan ibu mereka yang kini sedang merangkul sayang. Makan malam telah disiapkan, kepala pelayan mendekat ke arah Farel dan dengan sopan berkata, "Permisi Tuan Farel, makan malam telah siap." Farel mengangguk, dia berkata pada sang ibu. "Ibu, ayo kita makan malam bersama keluarga besar." "Ah baiklah …," sahut Lia setuju. "Suamiku," panggil Lia. "Aku di sini, istriku," sahut Agri. "Marilah kita makan malam bersama, aku ingin sekali makan malam bersama keluarga," ujar Lia. "Baik, istriku," sahut Agri patuh. Dua orang tertua di rumah Nabhan itu dibantu oleh pelayan ke ruang makan. Agri dan Lia duduk di kursi roda, bukan berarti mereka telah lumpuh, mereka hanya tak kuat lagi berdiri dan berjalan terlalu lama, sesekali Agri akan berdiri dan mendekat ke arah istrinya jika sedang berduaan dengan istrinya. * Kediaman Basri. "Loh, Aini di mana?" tanya seorang pemuda. Dia melirik ke arah sekeliling ruang makan dan sama sekali tak menemukan orang yang dicari. Popy, wanita yang kini telah lebih dari lima puluh tahun itu menjawab, "Main ke rumah Anas." Popy sedang berjalan ke arah lemari pendingin dan membuka kulkas, dia mengambil stroberi besar yang segar. "Kamu sudah selesai urusan di kampus? kapan wisudanya?" tanya Popy. Naufal manggut-manggut setelah mendengar jawaban dari sang ibu. "Sudah selesai. Makanya pulang hari ini agak telat, wisudanya dua minggu depan," Popy mengangguk. "Bi Rima, makan malam sudah selesai?" tanya Popy pada kepala pelayan perempuan. "Sedang dalam persiapan, Nyonya. Butuh waktu sekitar lima belas menit lagi," jawab Rima–kepala pelayan perempuan. "Oh!" balas Popy. Seorang pelayan perempuan mendekat dan hendak mengambil alih pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh Popy. "Nyonya, biar saya saja yang mengerjakan." "Tidak perlu, biar saya saja. Ayah saya ingin makan stroberi segar, jadi biarkan saya yang menyiapkan," tolak Popy. Pelayan perempuan mengangguk mengerti. "Saya ambilkan piring dan sendok," ujar pelayan perempuan. "Ok," sahut Popy tak keberatan. "Ma, Opal mau jemput Aini di rumah Kak Chana," ujar Naufal. "Boleh," sahut Popy. "Takutnya dia malah keenakan main sama Anas, terus nggak mau pulang ke sini," ujar Naufal. Popy terkekeh. "Kenapa kalau dia tidur di rumah Anas? kan ada Mama-nya Anas yang jagain, Mama-nya Anas kan anaknya Mama Poko juga," ujar Popy lalu dia terkikik. "Nggak kenapa-napa juga sih, Ma. Tapi kalau Aini nginep di rumah Kak Chana, di sini sunyi. Nggak ada yang ribut-ribut nyalain tv sambil besarin volume suara, mana yang dinonton Aini itu suara berita yang liput bencana mulu," balas Naufal. Popy tertawa hingga memegang perutnya. "Terus siapa tau aja Om Alan tiba-tiba muncul di sini dan bawa lari Aini lagi ke Bandung! memang Om Alan itu benar-benar halunya ketinggian! mimpi punya anak perempuan sih boleh, asal jangan mimpi mau jadiin Aini anak perempuannya! amit-amit jabang bayik! Aini itu adik perempuanku!" ujar Naufal. "Hahahahahaha!" Popy malah tambah terbahak. Setelah puas tertawa, Popy membalas ucapan sang anak nomor tiga. "Kamu lupa yah, Aini bahkan sudah punya nama di kartu keluarga Om Alan." Wajah Naufal cemberut, dia mencibir. "Heran aku, adik-adik laki-laki Mama yang lain perasaan nggak halu-halu amat soal anak perempuan," ujar Naufal. Popy tertawa lagi, kali ini air matanya menguap. "Yah mau gimana lagi, mereka semua nggak ada anak perempuan. Coba kamu hitung, ada berapa cucu perempuan Kakek Ran?" tanya Popy. "Dua, Ma," jawab Naufal. "Siapa saja mereka dan anak siapa?" tanya Popy. "Kak Chana dan Aini, yah dua-duanya anak Mama Poko lah," jawab Naufal. Popy terkekeh. "Yah itu, cucu perempuan Kakek Ran cuma dua, dan dua itu anak Mama Poko, om-om kamu pasti ingin juga punya anak perempuan tapi Allah hanya menitipkan anak laki-laki pada mereka," ujar Popy. Naufal manggut-manggut. "Ini udah abis maghrib, Opal mau ke rumah Kak Chana, terlalu malem juga nggak baik," ujar Naufal. Popy mengangguk. Naufal meninggalkan rumah tanpa berganti pakaian hitam putih. Dia mengendarai mobilnya keluar dari halaman rumah Basri. Pemuda yang dua bulan lagi akan memasuki usia dua puluh dua tahun itu telah menyelesaikan sidang skripsi dengan sangat singkat. Dia memilih kuliah sarjana manajemen bisnisnya di dalam negeri dan tak jauh-jauh dari kota kelahiran karena dia ingin menjaga adik bungsunya dari penculikan sang paman. Siapa lagi paman yang suka menculik adik bungsunya kalau bukan Alan Arkin Basri. Adik laki-laki dari sang ibu yang selalu mengklaim adik perempuannya sebagai anak sang paman. * Meja makan keluarga Nabhan sangat ramai. "Ibu, sup ayam ini enak!" Farel buru-buru menyendokkan sup ayam ke dalam mangkuk sang ibu, namun sayang sekali keduluan adiknya yaitu Busran. "Ibu, sup tulang sapi enak untuk kesehatan, sum-sum tulangnya bagus, apalagi ini sapi ternak alami, tidak makan makanan lain selain rumput hijau yang segar," ujar Busran. Lia manggut-manggut. "Baiklah." Farel melirik ke arah sang adik, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ingat apa kata Ibu, jangan mudah pemarah," ujar Busran. Farel membalas, "Aku mengalah saja, sebagai kakak aku membiarkan kamu duluan." Busran terkekeh senang. Kepala pelayan datang mendekat ke arah meja makan, dia agak mendekat ke arah Farel dan berkata, "Maaf, Tuan. Ada Tuan Muda Basri datang berkunjung untuk menjemput Nona Aini. Beliau berada di dalam mobil di depan pintu rumah." "Hum? Opal datang jemput Aini yah?" Gea mendongak menatap kepala pelayan. Ariella yang sedang menyuapi Aini makan, tiba-tiba diam, beberapa detik kemudian wajahnya memerah tersipu. "Benar, Nyonya," jawab kepala pelayan. "Loh, nggak disuruh masuk saja?" tanya Farel. "Um, beliau berkata menunggu Nona Aini di dalam mobil saja, tidak ingin mengganggu keluarga yang sedang makan malam," jawab kepala pelayan. "Anak itu, suruh masuk saja ke sini, gabung makan malam, lagi pula Aini sedang makan, menunggu Aini pasti lama," ujar Busran. Farel mengangguk setuju. "Undang Opal makan malam, toh dia juga masih terhitung cucu adik Gea," ujar Farel. Gea mengangguk. "Tolong bilang ke Opal, Nenek Gea panggil untuk makan malam." Kepala pelayan mengangguk. "Baik, Nyonya." Mata Ariella melirik ke arah kepergian kepala pelayan, tiba-tiba dia tak lagi menyuapi Aini makanan dan hanya menunduk diam. Sesekali dia akan melirik lagi ke arah perginya kepala pelayan. Aini tidak merasa curiga, toh masih ada makanan di dalam mulut yang dia kunyah. Beberapa saat kemudian Naufal muncul di ruang makan bersamaan dengan Gaishan dan istri. "Nenek Lia! Gaishan rindu!" Gaishan buru-buru menarik kursi dan memaksa mendekat ke arah sang nenek, hal ini membuat paman dan ayahnya tersingkir. "Anak ini!" cebik Busran. Namun, dia agak geser agar sang anak dekat dengan ibunya. Gaishan terkekeh. "Oh cucuku, Gaishan. Makanlah!" pinta Lia. Gaishan mengangguk senang. Fathiyah berkata, "Kami bertemu Opal, jadi Abang Gaishan suruh masuk saja dan makan malam bersama." Yang lain mengangguk. "Fatah di mana? Papa suruh kamu datang bawa anak istri tapi malah muncul dengan istri dan ponakan," ujar Busran. "Fatah tadi siang sedang keluar kota, Pa. Dia ke Lampung," jawab Gaishan. "Hum … bilang padanya, besok luangkan waktu untuk datang jenguk Kakek dan Nenek Besar," ujar Busran. Gaishan hanya mengangguk sebagai tanda balasan, dia fokus mencicipi makanan yang disajikan di atas meja makan. "Halo, Kakek Besar, Nenek Besar," sapa Naufal. Agri mengangguk. Sementara itu Lia menengok ke arah Naufal, dia tersenyum sumrigah dan berkata, "Ah, cicitku sudah datang!" "Ah, iya, Gaishan cucu Ibu sudah datang," ujar Busran yang mengira bahwa sang ibu salah ucap. "Duduklah, mari duduk di dekat istrimu!" Lia menunjuk sebelah kanan Areilla. Blush! Wajah Ariella memerah tersipu malu. Seluruh wajah dan daun telinganya memerah. Naufal tertawa pelan. "Nenek Lia, Opal belum menikah, jadi tidak ada istri," ujar Naufal. "Ah begitu rupanya," sahut Lia sambil manggut-manggut mengerti. Keluarga yang lain tertawa pelan saat mereka mengira bahwa Lia telah salah mengira Naufal. Namun, Naufal tetap mengambil tempat duduk di dekat Ariella, itu juga tempat yang dekat dengan sang adik. "Bro, kau datang menjemputku?" tanya Aini. "Ya, Benar," jawab Aini. "Aku sedang makan," ujar Aini. "Um, ok, tidak masalah. Mari kita makan bersama," balas Naufal. Naufal hendak menyuapi sang adik, namun adiknya menggelengkan kepala. "Kakak Aril yang menyuapiku," ujar Aini. Naufal menatap ke arah Ariella yang menunduk malu-malu, dia tersenyum pada Ariella. "Terima kasih sudah menyuapi adikku," ujar Naufal. Airella mengangguk pelan. "Sama-sama, um … Kakak Opal," balas Ariella. "Ayo, semua makan malam bersama!" ujar Farel. Terdengar suara Lia yang berkata pada istrinya. "Suamiku, aku senang melihat diriku yang manis sedang bahagia bersama suaminya." Agri mengangguk membenarkan saja ucapan istrinya, tak masalah apakah ucapan sang istri benar atau salah, yang penting istrinya senang. "Aku juga senang," balas Agri. Blush! Wajah Ariella semakin memerah tersipu malu. Terdengar suara cilik Aini. "Kak Aril, apakah makan cabe?" tanya Aini polos. Ariella menggelengkan kepalanya. "Tidak …," jawab Ariella. "Apakah makan sambal?" tanya Aini lagi. Ariella menggelengkan lagi kepalanya. "Tidak." "Tapi kenapa wajahmu merah?" ini adalah pertanyaan dari Naufal. Blush! Wajah Ariella malah bertambah tersipu malu. Naufal berinisiatif mengambil segelas air mineral lalu diberikan pada Ariella. "Adik Aril, minum." Ariella mengangguk malu-malu. "Terima kasih, Kaka Opal." "Tidak masalah, sis," balas Naufal. Naufal menghabiskan makan malam bersama keluarga besar Nabhan, sementara itu Ariella sering mencuri-curi pandang ke arah wajah Naufal. Setiap kali menatap Naufal yang sedang makan, wajahnya pasti tersipu malu. Di meja makan itu, hanya seorang yang memperhatikan apa yang terjadi antara Ariella dan Naufal, namun orang itu tak mengambil pusing. Dia tetap makan malam dan sesekali mengambil menu untuk istrinya yang saat ini makan dengan menggunakan kaki. Sesekali dia akan membersihkan punggung kaki istrinya yang terkena saus makanan. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD