Chapter 6

1909 Words
Setelah makan malam yang cukup ramai, keluarga Nabhan ingin duduk bersantai di ruang keluarga. Namun, Agri mengatakan hal lain. "Aku dan istriku ingin kembali istirahat di kamar kami, kalian nikmati waktu kebersamaan," ujar Agri. Anak-cucu Agri mengangguk mengerti. Mereka tahu, pasangan tertua dalam keluarga Nabhan itu memang harus istirahat lebih awal karena umur mereka telah terlalu tua. Kursi roda Agri dan Lia didorong masuk ke dalam kamar. Kamar itu adalah kamar yang telah mereka tempati dari hari pertama Lia pindah ke rumah utama Nabhan setelah menjadi istri dari Agri, sudah terhitung delapan puluh empat tahun. Melihat bahwa orang tua mereka telah masuk ke kamar, Busran menarik kakaknya menjauh dan duduk di sudut ruang keluarga. "Jangan menarikku keras, kau pikir kita ini usia muda? kita sudah delapan puluh tahun," ujar Farel protes. Busran mengabaikan ucapan protes sang kakak. Dia membalas, "Kakak merasa adakah sesuatu firasat yang menghampiri?" "Firasat apa yang kamu maksud? bicara yang jelas," balas Farel. Wajah Busran berubah serius. "Tentang pesan-pesan yang dikatakan oleh Ayah dan Ibu," ujar Busran. Wajah Farel berubah serius, namun sedetik kemudian dia membalas, "Memangnya kamu punya firasat apa?" "Aku … entahlah. Antara yakin dan tidak yakin, tapi … aku merasa bahwa hari ini Ayah dan Ibu sangat berbeda dengan kemarin," jawab Busran. "Jelaskan, berbeda bagaimana maksudmu?" tanya Farel. "Kak, jangan berusaha menghindar dari jawaban yang telah kakak tahu," ujar Busran. "Aku tidak berusaha menghindar!" balas Farel. "Lalu untuk apa Kakak cepat-cepat mengambil ponsel dan mengirimi pesan pada dua anak perempuan Kakak agar cepat datang ke rumah ini? jangan kira aku tidak tahu," tanya Busran. Farel diam beberapa detik, dia menelan susah air ludahnya. "Kakak sendiri tahu, umur Ayah dan Ibu sudah lebih dari seratus tahun," ujar Busran. "Ada yang hidup sampai usia seratus tiga puluh tahun," balas Farel. "Ya, ada memang. Dan aku berharap Ayah hidup sampai umur yang Kakak bilang, tapi kita sebagai anak, ayolah, sadar apa tanda-tanda yang terlihat," ujar Busran. "Tidak ada tanda-tanda, tanda-tanda apa yang kamu maksud?" tanya Farel. "Ah sudahlah, bicara denganmu akan membuatku darah tinggi, biarkan aku menelepon Abang Davin," ujar Busran. "Mau menelpon dia untuk apa? dia saja kesusahan untuk berjalan ke sini," tanya Farel. "Hanya memberi tahu, mungkin saja besok Abang Davin ada waktu untuk datang menjenguk Ibu. Biar bagaimana pun juga, Abang Davin besar di pangkuan Ibu," jawab Busran. Rafi mendekat ke arah dua kakaknya. "Aku merasakan apa yang kalian rasakan." Farel dan Busran melirik ke arah Rafi. "Kau saja merasakan, bagaimana dia tidak?" tunjuk Busran ke arah Farel. "Aku ragu apakah kau benar kakak kita," ujar Busran. "Hei! bicara apa kamu?!" Farel melotot ke arah Busran. "Tentu saja aku kakak kalian! aku lebih dulu yang lahir dari kalian berdua!" ujar Farel. "Sudah-sudah! jangan ribut, Ayah dan Ibu sedang istirahat, jangan mengganggu waktu istirahat Ayah dan Ibu, jika kalian ingin ribut, ribut saja di luar rumah biar tidak ada yang mendengar," ujar Gea. "Benar," timpal Jihan yang setuju. Alhasil, tiga bersaudara itu diam. Di sisi lain ruang keluarga, Anas dan Aini sedang menonton berita bencana alam yang disiarkan di televisi. Mereka duduk di sofa, sementara itu ada Ariella yang menemani di sofa. Naufal duduk mendekati Aini, dia melebarkan tangannya seperti hendak memeluk Aini yang sedang duduk. "Belum mau pulang? kamu bisa nonton berita di rumah," ujar Naufal. Blush! Wajah Ariella tiba-tiba tersipu malu. Dia menunduk diam dan berusaha untuk melirik ke arah kirinya, tepat ada Anas dan Aini yang duduk, di sebelah kiri Aini ada Naufal yang melebarkan tangan kanan hingga hampir menyentuh bahu kirinya. Dug dug dug. Bunyi detak jantung Ariella menggila. Dia tidak bisa mengontrol detak jantung yang berdetak tak karuan jika seperti ini. Aini menggelengkan kepalanya, dia memberi isyarat diam yaitu jari telunjuk di depan bibir. "Sstt!" "Huh, baiklah," ujar Naufal setelah menghembuskan napas agak kasar. Naufal melirik ke arah kanan, dia berkata, "Adik Aril, bagaimana sekolahmu? kapan kalian ujian sekolah?" tanya Naufal. "Um … hari ini hari terakhir sekolah kami ujian sekolah, Kakak Opal," jawab Aril agak pelan. "Ah begitu, cepat sekali sekolah kalian ujian sekolah pada bulan Maret," balas Naufal. "Um … kata kepala sekolah … biar kami fokus pada ujian selanjutnya," jawab Ariella agak kebingungan. Dia tidak tahu harus menjawab ujian selanjutnya adalah ujian apa, sesungguhnya dia jarang muncul dalam dirinya sendiri. "Ah begitu … Kakak Opal mengerti, pasti fokus untuk ujian nasional, kan?" tanya Naufal. Ariella mengangguk tanpa pikir panjang. "Um," jawabnya singkat. Dia tersenyum. "Kakak Opal hebat … um … bisa tahu ujian apa itu." Naufal terkekeh. "Kamu bisa saja, Kakak Opal yang lebih dulu ujian sekolah dari pada kamu, kamu yang semangat yah!" Tangan kanan Naufal mengusap kepala Ariella. Hal ini membuat Ariella menahan napas. Dia tidak menyangka, pemuda yang dia puja dari kecil mengusap rambutnya. Blush! Seluruh wajahnya merona malu. Naufal tak merasakan kecurigaan atas merahnya wajah Ariella, dia kembali menonton televisi. Setelah setengah jam kemudian, siaran berita di televisi selesai. Naufal berpikir bahwa jika selesainya siaran berita maka sang adik akan pulang, buktinya adik perempuannya mencari remot televisi. Perkiraan Naufal meleset, nyatanya sang adik mengganti chanel siaran lain yang juga menyiarkan berita bantuan sosial. Naufal, "...." tidak mampu berkata-kata, dia hanya mampu menarik dan menghembuskan napas. Apalagi ditambah suara Aini pada Anas. "Anas, aku ingin bantal dan selimut. Aku ingin tiduran di ambal bulu saja." Sebagai tuan muda Nabhan, Anas telah diajarkan sopan santun. Anak itu mengangguk. "Baik." Anas memerintahkan seorang pelayan perempuan. "Tolong ambilkan bantal dan selimut untuk Tanteku!" "Baik, Tuan Kecil," sahut pelayan. Naufal melirik adiknya. "Kamu sudah mengantuk? kenapa tidak pulang? ayo kita pulang," bujuk Naufal. Aini menggelengkan kepalanya. "Belum mengantuk, masih harus menonton berita," jawab Aini. "Iya, nonton di perjalanan pulang saja, nanti Bro Opal nyalakan siaran berita di mobil," bujuk Naufal. "Di sini saja," balas Aini. "Bisa sambil tiduran," bujuk Naufal lagi. "Di sini saja," ujar Aini untuk yang kedua kali. "Baiklah," desah Naufal. Dia memilih mengalah. Satu jam kemudian. Naufal melirik jam di pergelangan tangan kiri. Dia terkantuk-kantuk saat duduk di sofa menemani Ariella nonton televisi. Adiknya telah dari satu jam yang lalu tiduran sambil menonton berita, sementara itu Anas terlihat telah tertidur pulas di samping sang adik. Ariella duduk diam, dia tidak bergerak, takut jika dia bergerak maka Naufal akan merasa tidak nyaman, begitulah pemikiran polos dari Ariella. "Um … sudah jam sepuluh," gumam Naufal. Naufal melirik ke arah Aini. "Aini, beritanya sudah selesai, apakah kamu sudah selesai nonton? ini sudah jam sepuluh malam, sudah jam tidur." Aini mengangguk. "Aini sudah selesai nonton, Bro," balas Aini. Aini bangun dari posisi tiduran. "Bro, Aini mengantuk." Aini menguap. Naufal berdiri, dia bersiap untuk menggendong sang adik, namun adiknya malah mendekat dan naik ke pangkuan Ariella, adik sepupunya. "Kakak Aril, ayo kita tidur," ujar Aini manja. Naufal melotot. Lah?! Minta tidur di Aril?! Ariella melirik ke arah Naufal, dia melihat wajah syok Naufal. "Um … Aini … di manakah kamu ingin tidur?" tanya Ariella. "Tidur dengan Kak Aril saja," jawab Aini. Eh?! Naufal terbelalak. "Loh, Aini, tidak pulang?" tanya Naufal. Aini mengangguk. "Besok kan libur sekolah, Aini tidur di sini saja yah," ujar Aini manja. Naufal hanya mampu menarik napas dan mengangguk. "Tapi jangan tidur dengan Kakak Aril, nanti kamu mengganggunya," ujar Naufal. Ariella menggelengkan kepalanya. "Tidak! tidak mengganggu!" balas Ariella. Aini melirik ke arah sang kakak, dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya. "Hehehehe, tidak menganggu Kak Aril." Naufal menggaruk kepalanya, dia kehabisan ide dan alasan untuk membujuk sang adik pulang. Chana terkekeh. "Opal, sesekali tidur lah di sini." Naufal menengok ke arah sang kakak. "Kak," panggil Naufal. Ternyata ada juga Aqlam. "Bro," panggil Naufal ke arah Aqlam. Aqlam mengangguk. "Tidur di sini saja," ujar Aqlam. "Kamu bisa menemani keponakanmu," sambung Aqlam, dia melirik ke arah anak laki-lakinya yang telah tertidur pulas. Naufal mengangguk. "Baik," sahut Naufal. "Di mana kamar Anas?" tanya Naufal. "Di sisi kanan pintu terakhir nomor dua," jawab Aqlam. Naufal mengangguk. "Kak Aril, ayo kita tidur," ujar Aini. "Baik," sahut Aini. Ariella menggendong Aini, namun Naufal dengan cepat mencegah. "Jangan! biarkan Bro Opal yang menggendong kamu, kamu berat di Adik Aril!' Alhasil Aini hanya membuka lebar tangannya menunggu sang kakak menggendongnya. Naufal menggendong Aini, dia berkata pada Aqlam. "Setelah membawa Aini ke kamar Adik Aril, aku akan membawa Anas ke kamarnya." Aqlam dan Chana mengangguk. Mereka duduk di sofa menemani anak mereka yang tidur. Sementara itu rumah sudah agak sunyi, orang-orang telah naik ke atas ranjang mereka dan beristirahat. "Di mana kamarmu?" tanya Naufal. "Di lantai dua … um … aku akan menunjuk jalannya," jawab Aril. Naufal berjalan mengikuti langkah kaki Ariella. Mereka naik tangga lalu berjalan agak dalam untuk mencapai kamar Ariella. Ariella membuka lebar pintu kamarnya agar Naufal bisa masuk. Badan kekar milik Naufal cukup membuat banyak gadis tergila-gila. Termasuk Ariella yang diam-diam merona tersipu malu. "Aini ingin tidur di sebelah mana?" tanya Naufal pada Ariella. "Um … di mana saja," jawab Ariella. "Ok," sahut Naufal. Naufal meletakan Aini di sisi kiri ranjang. "Jangan menendang Kakak Aril waktu tidur," ujar Naufal pada Aini setelah dia menaikkan selimut sampai perut Aini. Aini mengangguk. "Ok, Bro! beres!" Aini menaikkan dua jempolnya. Naufal terkekeh. Dia berkata pada Ariella. "Aku turun ke bawah, ingin istirahat di kamar Anas." Ariella mengangguk. Saat Naufal hendak meninggalkan kamar Ariella, suara Ariella terdengar. "Kakak Opal," panggil Ariella. "Ya?" sahut Naufal sambil melirik ke arah Ariella. "Um … selamat tidur," ujar Ariella agak ragu-ragu. Naufal tersenyum tipis, dia mengangguk. "Selamat tidur," balas Naufal. Naufal menutup pintu kamar Ariella. Ariella tersenyum saat mendengar balasan dari Naufal. Wajah polos Aini menatap Ariella. "Kak Ariel, kenapa wajahmu merah?" "Um … tidak ada apa-apa," jawab Ariella. "Oh begitu …," gumam Aini. Ariella mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu kamar tidur. * Pagi hari telah tiba. Ariella bangun dengan perasaan senang. Dia melirik jam beker, ah jam enam tiga puluh. Senyum melintas di bibirnya, dia melirik sebelah kiri, Aini masih tertidur pulas. "Ke kamar Kakek Agri dan Nenek Lia, ucapkan selamat pagi," gumam Ariella. Dia dengan cepat-cepat masuk ke kamar mandi dan mandi pagi. Setelah itu lima belas menit kemudian Ariella terlihat rapi dengan dres selutut dan rambut diikat dua, di mana setiap ikatan rambut berada di depan bahunya. Gadis cantik blasteran Prancis-Indonesia itu keluar kamarnya dan turun ke lantai satu. Di setiap sapaan para pelayan, dia hanya mengangguk kecil. Tangan putih mulusnya mengetuk pintu kamar milik kakek dan nenek buyutnya. Tok tok tok! "Kakek Agri, Nenek Lia!" panggil Ariella. Tak ada balasan. Dia mengetuk lagi. Tok tok tok! "Kakek Agri, Nenek Lia!" panggil Ariella untuk yang kedua kali. Tidak ada balasan. Tok tok tok! "Kakek Agri, Nenek Lia!" Untuk yang ketiga kalinya, tak ada sambutan seperti biasa. Ariella membuka gagang pintu, pintu kamar terbuka. Dengan nada suara normal, dia berkata, "Selamat pagi." Ketika melihat ke arah ranjang, dua orang tertua di keluarga Nabhan itu masih tertidur diselimuti oleh selimut, mereka saling berpelukan. Ariella berdiri menatap kakek dan nenek buyutnya. Entah kenapa kakinya melangkah maju mendekat ke arah ranjang itu, seolah ada yang berbisik padanya untuk segera mendekat ke arah pasangan itu. Begitu berada di dekat ranjang, suara Ariella terdengar. "Kakek Agri … Nenek Lia, selamat pagi …." Tidak ada respon. Mata pasangan itu masih tertutup rapat. "Um … masih tidur, aku akan keluar lagi," gumam Ariella. Dia hendak berbalik, namun dia kembali melirik ke arah wajah kakek dan nenek buyutnya. Arah tatapan matanya perlahan turun ke d**a Agri dan Lia. Dia menatap lama di daerah itu, Ariella menelan air ludahnya, tangan kanannya terulur menyentuh wajah sang nenek. Dingin. "Dingin …," gumam Ariella. Perlahan jari Ariella menyentuh lubang hidung neneknya. "Tidak ada napas …," mata Ariella terbelalak kaget. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD