-1-

1380 Words
Aku meletakkan pensil dan menutup buku paket yang ada di hadapanku. Pada akhirnya aku memilih menyerah mengerjakan soal-soal Matematika yang membuat kepala terasa panas, seperti cuaca siang ini. Sementara lagu Life yang dinyanyikan Desree, terdengar dari pengeras suara yang terpasang tak hanya di area bagian dalam gedung sekolah tapi juga di bagian luar, tepatnya di lapangan dan taman sekolah, tempat aku duduk sekarang. Suasana di lapangan bola cukup ramai, beberapa siswi terlihat berdiri bersorak-sorai di samping lapangan. Aku rasa bukan semata karena menyukai olah raga sepak bola sampai mereka rela berdiri belasan menit di jam istirahat, tapi jelas karena ada siswa yang mereka puja sedang bermain sekarang. Rakata Wijaya atau lebih dikenal dengan Raka, siswa kelas XII IPA-1, salah satu siswa idola di sekolah ini. Selain fisiknya yang menunjang, Raka juga dikenal jago olah raga dan berotak encer. Itu sebabnya, dari kelas XI hingga tahun terakhir kami sekarang, dia masuk di kelas IPA-1, kelas yang secara turun-temurun dikenal sebagai kelas bagi siswa-siswi unggulan. Raka tak hanya jadi idola bagi teman-teman sebaya dan adik kelas, saat masih berstatus siswa baru 2 tahun lalu, dia sudah langsung jadi idola di antara siswi-siswi senior. Aku sendiri jujur saja juga mengidolakannya, lebih tepatnya aku menyukainya diam-diam. Kukatakan diam-diam, karena aku tak seperti siswi-siswi lain yang kebanyakan secara terang-terangan dan percaya diri mengaku di depan teman-temannya kalau menyukai Raka, sang idola sekolah. Entah sejak kapan awalnya, siswa maupun siswi di sekolahku punya kebiasaan menyampaikan perasaan mereka melalui surat yang dikirim dengan berbagai cara. Ada yang diberikan secara langsung, dititipkan ke teman, diselipkan di buku, laci meja atau loker. Ada siswa-siswi yang nekat mengirimkan salam melalui radio sekolah yang melakukan siaran setiap jam istirahat, tapi tak sedikit juga dari mereka yang berani mengungkapkan secara langsung. Sementara aku ... seperti yang kuakui tadi, memilih menikmati rasa sukaku dalam diam. Mungkin karena memang pembawaanku yang pendiam dan tak punya banyak teman. Bukan karena aku pemilih, tapi aku memang cenderung tertutup dan sulit membaur dengan yang lain. Aku juga tak cukup pandai memulai atau mencari topik pembicaraan. Sepertinya itu yang membuat orang lain juga tak betah bersamaku lama-lama. Satu-satunya teman yang setia di sampingku mulai dari kelas X sampai sekarang, meskipun kami beda kelas, adalah Farah Nabiha. Dia gadis yang supel, termasuk populer di sekolah karena karakternya yang menonjol. Dia pemberani, tak pernah ragu berdebat dengan siapapun selama tahu kalau dia benar. Tapi meskipun ada Farah, tak sekalipun aku cerita tentang perasaan yang aku punya untuk Raka. Aku benar-benar menyimpannya untuk diriku sendiri. Tapi entah bagaimana, suatu hari cerita tentang aku menyukai Raka diam-diam tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Tepatnya setahun lalu. Seperti biasa, suasana jam istirahat selalu hiruk pikuk oleh siswa-siswi yang asik bercanda, bahkan ada beberapa siswa yang berlari-lari kecil menggoda satu sama lain. Aku tengah menuruni anak tangga untuk kembali ke kelas setelah membantu Bu Widya membawa setumpuk buku tugas siswa ke ruang guru, ketika tiba-tiba Tania, siswi seangkatanku yang juga termasuk populer seperti Raka, menghentikan langkahku secara paksa. Beberapa temannya langsung mengerubungi, menghalangi jalanku untuk menghindari mereka. Tania dan teman-temannya memojokkan dan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang awalnya tak aku mengerti untuk apa. Pertanyaan semacam, "Jadi kamu yang namanya Kahiyang?" // "Jadi ini cewek yang kegenitan itu?" // "Kamu pikir kamu siapa?" // "Nggak usah cari perhatian dan sok romantis deh!" diberondongkan padaku secara beruntun, tanpa memberiku kesempatan menjawab. Sampai ketika Tania mulai angkat bicara di depanku, "kamu ... sama sekali nggak pantas buat suka sama Raka. Kamu bukan level dia." Seketika aku sadar ... bahwa ini tentang Raka, ini tentang perasaan yang kupendam untuk Raka selama ini. Tapi sebuah pertanyaan langsung muncul di benakku, dari mana mereka tahu? Tania melepaskanku setelah memperingatkan agar aku menjauhi Raka, sebuah peringatan yang sesungguhnya sia-sia. Sebab selama ini tak pernah sekalipun aku berinteraksi dengan Raka. Jangankan mendekati, berpapasan dengannya saja aku akan langsung menunduk dan melangkah secepat mungkin. Aku baru berani melihat sosok Raka jika kami berada pada jarak yang cukup jauh, jarak yang aku pikir akan membuat Raka tidak akan pernah menyadari keberadaanku. Selama ini aku memperhatikan Raka hanya saat jam istirahat berlangsung. Bersembunyi di atas rooftop, mengikuti setiap pergerakannya di lapangan bola, dan bersorak dalam hati jika dia berhasil mencetak gol. Aku yakin, Raka sama sekali tak mengenalku. Bahkan besar kemungkinan dia juga tak menyadari keberadaanku di sekolah ini. Jadi aku rasa kekhawatiran Tania sangat amat tidak beralasan. Setibanya di kelas, Farah yang di tahun kedua ini berbeda kelas denganku, sudah menunggu dan langsung menyodorkan sebuah kertas. Selembar kertas hasil fotocopy. Dan waktu kulihat di bagian bawah, aku baru menyadari sesuatu. Dulu, saat kelas X aku pernah secara tak sadar menulis puisi singkat di secarik kertas, dan kusimpan di salah satu halaman buku yang kupinjam dari perpustakaan. Aku menulis nama Raka cukup jelas, katakan ini adalah kebodohanku yang pertama. Berlanjut dengan kebodohan keduaku, menulis puisi singkat tentang perasaanku. Kebodohan ketiga, aku lupa bahwa secarik kertas berisi puisiku itu masih ada di dalam buku yang telah kukembalikan ke perpustakaan. Dan kebodohan yang keempat adalah dengan menulis inisial namaku ... KG. Sebenarnya aku sudah menyadari kesalahan ini beberapa hari setelah mengembalikan buku yang kupinjam. Aku kembali ke perpustakaan berulang kali tapi tak pernah menemukan buku yang sama. Sampai entah sudah keberapa kalinya, aku memutuskan menyerah dan coba mengatakan pada diri sendiri bahwa tak seorangpun akan tahu siapa pemilik inisial KG itu. Tapi aku salah, setahun kemudian tepatnya sekarang, entah siapa yang telah menemukan buku itu dan memiliki pikiran untuk menyebarkannya. KG ... hanya ada dua siswa dengan inisial itu di sekolah ini. Keanu Gunawan, siswa kelas XII yang jelas tak mungkin menulis puisi cinta untuk seorang siswa laki-laki karena dia normal, juga sudah punya pacar. Dan Kahiyang Gantari ... aku sendiri. Hanya dalam hitungan menit, nyaris seluruh penghuni sekolah mengetahui cerita tentang aku yang menyukai Raka diam-diam. Aku baru sadar arti tatapan yang ditujukan padaku sejak keluar dari ruang guru tadi. Sebagian besar dari mereka menatapku sinis, berbisik-bisik di depanku. Beberapa dari siswi sekolah ini bahkan dengan sengaja mencibir ketika aku lewat di depan mereka. Dan karena kejadian ini, aku menanggung rasa malu sekaligus sakit hati di waktu bersamaan Ya, akhirnya ... seorang Raka menyadari, ada seorang siswi bernama Kahiyang Gantari yang menyukainya sejak kelas X. Aku pikir dia akan bersikap tak peduli dan menganggapnya bukan masalah penting, seperti yang biasa dia lakukan ke siswi-siswi lain selama ini. Siswi-siswi yang kata Farah pernah ditolak Raka, faktanya tetap memuja Raka seakan mereka tak pernah mengalami penolakan. Aku pikir, mungkin karena Raka menolak mereka dengan halus. Atau Raka memilih bersikap biasa saja dan tetap ramah pada mereka, karena tak ingin melukai perasaan orang lain. Tapi aku salah ... Raka tak sebaik itu. Sore di hari yang sama, saat aku baru masuk ruang loker, kejanggalan sudah kurasakan melalui tatapan dan cibiran siswi-siswi yang kebetulan berpapasan denganku. Sampai ketika langkah kakiku berbelok ke arah lokerku berada, kulihat Raka berdiri di sana ... tepat di depan lokerku. "Kamu yang namanya Kahiyang Gantari?" tanya Raka waktu melihatku berhenti tiga langkah di depannya. Aku mengangguk pelan karena ragu bercampur terkejut dan penasaran. "Puisi yang tersebar itu ... benar tulisanmu?"  Sekali lagi aku menganggukkan kepala pelan, namun kali ini ada rasa tak nyaman ketika aku melihat bagaimana caranya menatapku. "Aku nggak pernah keberatan sama cewek yang mengakui perasaannya duluan," ucapnya seraya menatapku dalam. "Jujur aja aku senang kalau ada cewek yang berani seperti itu." Aku mendengarkan sambil menunduk menatap ujung sepatuku, sebab rasa tak nyaman kian menyergapku. "Tapi dengan apa yang kamu lakuin, nulis puisi terus nyebarin sampai jadi omongan orang satu sekolah, bahkan jadi olok-olokkan, aku rasa ini keterlaluan ... dan murahan." Menyebarkan? Murahan? "Kalau kamu mau narik perhatianku, lakuin dengan cara yang lebih berkelas," tambahnya, membuat rasa nyeri tiba-tiba terasa di bagian dadaku. Puisi yang kutulis dengan sepenuh hati dia bilang murahan?? Puisi ... hal yang paling aku suka karena mengingatkan pada almarhum Ayah, dia bilang murahan. "Terima kasih sudah menyukaiku, tapi ... aku sama sekali nggak punya perasaan apapun untukmu." Raka mengucapkan kalimat penolakannya dengan santai. "Jangan suka aku lagi, dan jangan pernah nulis perasaanmu dengan sembarangan lagi." Tepat setelah dia mengatakannya, tiba-tiba rasa nyeri di salah satu bagian dadaku makin menguat. Ada sesak yang terasa menyakitkan. Setelah itu Raka pergi begitu saja, tanpa menyadari bahwa dia sudah melukai hatiku. Tanpa pernah menyadari ... ... bahwa ada air mata yang jatuh karenanya sore ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD