-2-

2212 Words
Sejak penolakan itu, aku memutuskan untuk mengakhiri perasaanku pada Raka. Sebisa mungkin aku berusaha melupakan, bahkan jahatnya lagi aku coba membenci Raka. Tapi anehnya, sampai hari ini, tepatnya satu tahun setelah kejadian itu, aku masih belum bisa melupakan apalagi sampai benar-benar membencinya. Meskipun aku masih kerap jadi bahan olok-olokan oleh beberapa siswa sekolah ini yang notabene adalah penggemar Raka. Sampai detik ini, aku masih sanggup menatapnya dari jauh, seperti yang sudah-sudah. Seperti yang sedang kulakukan sekarang. "Woy!! lihat apaan?!" tanya Farah membuyarkan lamunanku. "Enggak," sanggahku menoleh padanya cepat sambil tersenyum, tapi Farah sudah mengikuti arah pandanganku. "Udahan dong ngefans sama dia!" gerutu Farah tak terima lalu duduk di sampingku, "perasaanmu itu terlalu berharga buat cowok k*****t macam dia." Farah, satu dari sedikit cewek di sekolah yang tak terpengaruh oleh pesona Raka. Kadang aku merasa iri padanya untuk hal ini. "Nggak jajan?" tanyaku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Udah tadi. Kamu sendiri? Kenyang cuma minum jus botolan begitu?" tanya Farah menunjuk minuman botol yang ada di samping buku paketku menggunakan dagunya. "Aku kenyang karena ini," jawabku mengangkat buku paket Matematika, Farah tertawa dengan ekspresi meledek. "Sinting!" oloknya puas, aku tak bisa untuk tak ikut tertawa karena aku tahu dia bercanda. "Nih!" tambahnya sambil menyodorkan sebungkus roti untukku. "Makasih," ucapku tulus diiringi senyum. Farah hanya mengangkat dua alisnya untuk merespon. Farah Nabiha, satu-satunya sahabat baik yang selalu ada untukku walaupun dua tahun berturut-turut kelas kami berbeda. Ketika jam istirahat, kami selalu rutin ketemu. Hanya saja, dia yang lebih sering mencari dan melarangku menghampirinya di kelas, alasannya ... karena dia sekelas dengan Raka. Farah tak mau melihatku datang ke kelasnya, karena khawatir akan muncul gosip baru yang kembali menyudutkan dan mengatakan aku tak tahu malu karena masih mencari perhatian Raka. Melihatku selalu berdua dengan Farah setiap jam istirahat saja sudah menimbulkan omongan-omongan tak enak, bahwa aku mendekati Farah untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Raka. Mereka mengenyampingkan fakta bahwa kami sudah bersahabat sejak kelas X, sebelum tulisanku tersebar di sekolah. "Yang!" panggil suara yang tak lagi asing bagiku dari arah belakang. Selain karena mengenal suara si pemanggil, hanya segelintir orang yang memanggilku dengan panggilan "Yang" di sekolah. Dan panggilan itu baru kudapat di tahun terakhir sekolah. Seorang cowok berpawakan tinggi, dengan senyuman kotak khas yang terbentuk dari bibirnya, berjalan menghampiri ketika aku menoleh. Namanya Luthfi Nalendra, panggilannya Luthfi. Dia teman sekelasku. Hanya dia dan teman-temannya yang memanggilku dengan "Yang", dan seingatku dia orang pertama yang memanggilku demikian. "Ada apa?" tanya Farah cepat. Nadanya terdengar galak, tapi aku tak lagi terkejut dengan responnya pada Luthfi, setidaknya dibanding awal-awal tahun ajaran baru kemarin. "Dih! aku manggilnya si Yayang, kok malah kamu yang nyahut!" timpal Luthfi dengan ekspresi tak suka. "Makanya kalau manggil jangan sampai kedengaran aku!" "Ya telingamu aja dituliin!" gerutu Luthfi dengan bibir mengerucut. "Enak aja!" sahut Ffarah galak. Aku cuma bisa tersenyum melihat perdebatan kecil mereka. "Ada apa, Fi?" tanyaku akhirnya. "Soal yang tadi ...," Luthfi berdiri di depan kami seraya menggaruk bagian belakang kepalanya yang aku yakin tak gatal sama sekali. "Soal apa?" tanya Farah duluan penuh selidik. Sepasang matanya sudah memicing tajam. "Iiissh, kamu diam kenapa sih!" protes Luthfi dengan raut gemas, membuat Farah ganti mengerucutkan bibir. "Ini?" tanyaku sambil mengangkat buku paket Matematika, Luthfi menyeringai menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. "Apaan?!!??" Farah tiba-tiba meninggikan suaranya. "Nggak!!" "Apa sih Fa!?! Kaget tahu!!!" Luthfi mengusap telinga kirinya dengan wajah terkejut, efek teriakan Farah yang memang lumayan mengagetkan. "Kamu ngerjain soal-soal setengah mati dan dia mau nyalin jawaban, gitu kan?" tanya Farah menatapku tak percaya. "Bukan nyalin! Aku cuma mau nyocokin aja!" sanggah Luthfi membela diri. "Nggak usah alasan deh, Pik!Aku tau ya modusmu itu!!" Pik atau Upik adalah panggilan Farah untuk Luthfi. Yang aku tahu, mereka tak pernah akur. Farah yang galak ketika bertemu dengan Luthfi yang cengengesan, pertemuan mereka selalu diawali dan diakhiri dengan perdebatan yang tak akan ada habisnya kalau tak dilerai. "Alasan gimana?" "Kalau cuma nyocokin, kenapa nggak sama Bintang atau Syuja?" "Gimana bisa nyocokin kalau mereka asik di sana!" sahut Luthfi sambil menunjuk lapangan basket yang letaknya tak jauh dari lapangan bola. Dua nama yang disebut Farah, adalah 2 siswa yang terkenal jago Matematika di sekolah, hanya saja ... nanti akan kujelaskan siapa mereka. Aku mengalihkan perhatian ke arah lapangan basket, suasana di sana sama ramainya dengan di lapangan bola. Beberapa dari siswa yang sedang berlarian di lapangan basket cukup familiar bagiku, karena sebagian besar dari mereka adalah teman sekelasku, dan Luthfi tentu saja. Wajah-wajah terlihat sumringah, seolah berebut bola itu sangat menyenangkan. Sebagian dari mereka memang setahuku cukup cengengesan di keseharian mereka, tapi beberapa dari mereka yang aku tahu adalah siswa-siswa yang tak banyak bicara dan selalu terlihat menakutkan dalam diamnya. "Kan bisa bilang minjem bukunya bentar?" ujar gadis tomboy di sampingku, masih berusaha menghalangi bukuku berpindah tangan ke Luthfi. "Dicuekin sama mereka!" "Kasihan!" ledek Farah dengan ekspresi iba yang dibuat-buat. "s****n!" rutuk Luthfi sebal, dua detik kemudian pandangannya kembali terarah padaku. "Boleh ya, Yang?" pintanya langsung memasang muka memelas. "Jangan!! enak aja mau nyalin kerjaan orang." "Bukan mau nyalin!!" protes Luthfi lagi. "Iya ... mau nyocokin terus disalin, kan?" "Nih anak ... kok kamu mau sih temenan sama dia, Yang?" tanya Luthfi masih dengan nada protes. "Hah?" aku terkejut lalu menatap Luthfi dan Farah bergantian. "Maksudnya apaan nih?" Kali ini Farah yang bertanya dengan nada tak terima. "Ya ... Yayang yang diem, manis, baik hati, nggak neko-neko gini kenapa bisa temenan sama makhluk ceriwis, galak dan emosian kayak kamu? kalian ibaratnya kayak kayangan dan neraka!" Wajah Farah langsung berubah masam. Sejak aku sekelas dengan Luthfi dan teman-temannya yang dikenal sebagai kumpulan siswa bermasalah di sekolah, Farah yang bicaranya selalu blak-blakan ini memang tak segan untuk berdebat tiap kali bertemu mereka, siapapun itu. Farah dengan terang-terangan juga bilang tak suka kalau aku terlalu dekat dengan Luthfi dan teman-temannya. Aku bisa memaklumi ketidaksukaan Farah terhadap Luthfi dan geng mainnya. Mereka memang dikenal sebagai siswa yang prestasi akademik dan kebandelannya berbanding lurus. Nama-nama mereka sangat sering dipanggil oleh Pak Damar, guru BK yang identik dengan penggaris kayu berwarna cokelat, dan selalu beliau bawa ke mana-mana. Dulu aku hanya sekedar tahu nama dan jenis kenakalan mereka, dan satu-satunya yang aku kenali dengan baik wajahnya hanya Luthfi. Dia memang terkenal supel dan murah senyum, beberapa kali kami juga tak sengaja berpapasan. Tapi saat naik kelas XII, aku ... entah bagaimana ceritanya, berakhir masuk ke lingkaran golongan siswa-siswa yang menjadi pengunjung rutin ruang BK. Aku juga tak tahu awalnya sampai bisa jadi teman sebangku ketua gerombolan siswa tengil ini. Tiba-tiba saja, aku seperti digiring untuk duduk di samping siswa yang sedang terlelap tidur waktu itu. Namanya Syuja Niswara, siswa paling ditakuti di antara siswa-siswa bandel di sekolah sekaligus jadi momok bagi siswa berprestasi yang memiliki predikat siswa baik-baik. Syuja, meski terkenal jago kelahi dan pengunjung rutin Pak Damar di ruangannya, bukan rahasia lagi kalau dia adalah sedikit dari siswa yang jago pelajaran MaFiA alias Matematika, Fisika dan Kimia. Setiap pengumuman peringkat akademik, namanya selalu bertengger paling atas. Siswa terbandel tetapi prestasi akademiknya sangat mumpuni, itu sebabnya dia pun tak kalah populer seperti Raka. Hanya entah kenapa, dia selalu menolak tiap kali ditunjuk menjadi perwakilan sekolah dalam urusan akademik, tetapi selalu cepat mengiyakan kalau berurusan dengan basket. Konon dari cerita Farah, Syuja adalah satu-satunya siswa di sekolah kami yang jumlah penggemarnya melebihi jumlah penggemar Raka. Itu dikarenakan reputasi Syuja juga sampai di sekolah-sekolah lain. Sering aku melihat siswi-siswi dari sekolah lain, terutama yang letaknya bertetangga dengan sekolah kami, ada di depan pintu gerbang sekolah saat jam pulang sekolah, pura-pura jajan atau dengan terang-terangan menunggu untuk sekedar melihat sosok Syuja sekilas. Tak jarang, siswi-siswi dari sekolah lain ini juga datang di hari Sabtu, saat aktivitas belajar mengajar digantikan oleh kegiatan ekstrakurikuler. Mereka datang ke sekolah untuk melihat Syuja dan teman-temannya berlatih basket. Aku sendiri tak tahu sampai sejauh mana popularitas Syuja, hanya sering mendengar cerita itu dari Farah yang juga aktif di ekstrakurikuler voli. Tak ada keinginan untuk mencari tahu juga tentang teman sebangkuku yang sebagian besar waktunya di kelas, dihabiskan dengan tidur. "Yang!" panggilan Luthfi menyadarkan bahwa fokusku sempat teralih darinya. "I-iya?" Aku tergagap menyahuti cowok yang menatapku jenaka. "Lihat Syuja nggak usah sampai segitunya juga kali," ledek Luthfi sambil tersenyum jahil. "Masak iya masih nggak puas duduk sebelahan tiap hari?" "Hah?" Kali ini aku terbengong dengar ucapan Luthfi, sementara dia justru malah tertawa melihat reaksiku. "Syuja makannya apaan sih?" tanya Farah tiba-tiba, tatapannya ternyata juga terarah ke lapangan basket. "Makannya sih biasa, tapi minumnya ...," Luthfi seperti sengaja menggantung akhir kalimatnya sendiri. "Minumnya apaan?" tanya Farah cepat, kali ini pandangannya tertuju ke Luthfi. "Minumnya AVTUR!" sahut Luthfi menekan kata avtur. Farah mengumpat sambil menendang tulang kering bagian kiri Luthfi cukup keras. "Duh!!! Sakit tahu, Fa!!" gerutu Luthfi dengan wajah cemberut seraya membungkuk mengusap tulang keringnya. "Makanya kalau orang nanya dijawab yang bener!" "Makanya kasih pertanyaan yang bener!" "Dasar otakmu aja yang nggak bener!!" Aku hanya bisa menggeleng pasrah melihat keduanya masih belum berhenti berdebat. "Ayo dong Yang ... waktunya udah mepet nih, boleh ya?" pinta Luthfi kembali padaku. "Jangan!" larang Farah cepat. "Diem bisa nggak, Fa?" tanya Luthfi sambil memelototkan matanya pada Farah. Meski berlagak marah, tapi aku tahu Luthfi tidak benar-benar marah. Dia terlalu baik untuk jadi sosok pemarah. "Kamu kan dengar tadi, Pak Sis nunjuk aku buat maju setelah jam istirahat, ya Yang?" lanjutnya tapi kali ini menatapku. "Ooh, jadi karena mau maju ... kenapa nggak coba dikerjain sendiri dari tadi?" tanya Farah, tak peduli dengan kekesalan Luthfi padanya. "Sudah, tapi aku nggak yakin dengan jawabanku." "Ya udah, nanti dilihat aja koreksi dari Pak Sis. Selesai," sahut Farah tak peduli. "Aku nggak mau ngabisin waktuku berdiri di depan kelas ngerjain soal." "Lah, kalau emang nggak bisa mau gimana lagi. Nggak usah mekso!" "Orang pintar macam kamu emang nggak akan pernah paham perasaan orang yang setengah pintar kayak aku!" protes Luthfi dengan mimik serius, membuatku tanpa sadar tertawa, dan Luthfi juga Farah menatapku bersamaan. "Maaf," kataku lalu berdehem pelan. "Tahu gitu kenapa nggak milih kelas IPS, malah masuk IPA. Gaya-gayaan aja!" "Aku juga maunya gitu, tapi nggak tahu kenapa hasil tesku malah masukin aku ke IPA!" Pengakuan Luthfi bukan hal aneh di telinga kami, meski awalnya memang sempat membuat siswa yang bersangkutan jelas terkejut saat penjurusan kelas. Di sekolah, apapun pilihan kita saat menjelang kenaikan kelas XI, pada akhirnya hasil tes lah yang menentukan akan masuk di kelas apa nantinya. Pihak sekolah benar-benar memantau akademik siswanya sejak pertama kali masuk di kelas X. Aku sendiri awalnya menempatkan Kelas Bahasa sebagai pilihan pertama, tapi nyatanya sama seperti Luthfi, aku justru berakhir di kelas IPA. "Protesnya jangan sama aku dong! kamu pikir aku emakmu yang bakal belain kamu?" "Untung kamu cewek," sungut Luthfi absurd, rupanya dia masih mau meladeni ocehan Farah. "Emang kalau cowok kenapa?" "Udah kuajak kelahi dari tadi." "Kalau mau kelahi, ayo!! Nggak usah main gender!" sahut Farah menantang cowok yang aku tahu sama sekali nggak punya hobi kelahi seperti teman-temannya. "Sudah, nggak capek debat mulu?" tanyaku akhirnya mencoba menyudahi perdebatan mereka. Lagi-lagi Farah dan Luthfi menatapku bersamaan. "Aku cuma berhasil ngerjain beberapa nomor, dan nggak tahu kamu dapat nomor berapa. Kamu cek sendiri," kataku menyodorkan buku paket milikku. Luthfi menerimanya dengan sumringah, tapi raut wajah Farah terlihat kontras. Setelah mengucapkan terima kasih, Luthfi berlari cepat masuk ke gedung sekolah. "Kamu kok mau sih? Ntar kebiasaan loh dia!" protes Farah jelas dengan ekspresi tak suka. "Baru kali ini kok." "Iya, baru kali ini tapi entar pasti jadi ngarepin ke kamu lagi kalau dia butuh," timpalnya, membuatku tersenyum dengar sahutan Farah. Aku yakin Luthfi tak akan mencariku lain kali, toh dia berteman karib dengan siswa terpintar di sekolah. Dibandingkan aku, jelas kemampuanku berada jauh di bawah dua temannya itu. Beberapa menit kemudian, suara bel tanda jam istirahat berakhir, berbunyi cukup nyaring. Terdengar desahan kecewa dari siswa-siswi yang aku yakin belum puas bermain. "Selamat kembali ke kelas masing-masing, selamat belajar dan jangan lupa bahagia!" seru Sania, teman sekelasku yang mengawal siaran radio sekolah di jam istirahat. Aku dan Farah berdiri bersamaan dan jalan masuk ke gedung sekolah. Langkahku sempat terhenti ketika melihat Raka juga ada di jalur yang sama memasuki gedung sekolah, tapi seseorang menyentuh pundakku, lebih tepatnya sedikit mendorongku ringan, semacam kode menyuruh untuk tetap berjalan. Saat menengok ke sisi kanan, Syuja dan Yudha yang berjalan sedikit di belakang adalah sosok terdekat dariku. Apa salah satu dari mereka yang baru saja menyentuh pundakku?? "Apa?" tanya Syuja tiba-tiba saat mata kami bertemu, aku menggelengkan kepala. Setelah itu dia berjalan melewatiku, diikuti oleh Yudha, Bintang, Galih dan Iman yang tersenyum dan menyapaku bergantian. "Apa pada nggak lihat aku?" protes Farah dengan suara sengaja dikeraskan. "Nyapa kamu juga yang ada digalakin, Fa," sahut Iman yang sekarang sudah berjalan tak jauh di depan kami, aku tersenyum mendengarnya sedangkan Farah mendengkus kesal. Setibanya di lantai 3, kami berpisah di depan kelas Farah, aku berjalan sendiri menuju kelasku yang hanya selisih satu kelas dengannya. Yang di luar dugaan, sosok Raka yang tadi kulihat berjalan lebih dulu di depanku, sekarang malah datang dari arah berlawanan waktu aku hendak masuk kelas. Mungkin begitu naik tadi, dia tak langsung masuk kelas tapi mampir ke kelas lain. Sosoknya yang semakin mendekat membuat jantungku tiba-tiba berdetak cepat. Padahal tak ada alasan tepat aku bisa merasa seperti ini. Karena yang sudah sering terjadi, Raka akan selalu melewatiku begitu saja, seolah aku ini bukan sosok nyata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD