-3-

4477 Words
Di dalam kelas, sebagian besar teman-temanku sudah kembali ke bangku mereka masing-masing. Luthfi nampak serius mengamati buku paket di depannya, lalu menulis dan kembali terlihat bingung menatap buku paket yang tak lain adalah buku paketku. Syuja dan teman-temannya yang tadi berjalan di depanku belum kembali ke bangku mereka. Tadi kulihat mereka berbelok ke kelas sebelah, entah untuk apa. Aku segera duduk di bangku yang tepat ada di belakang Luthfi. "Eh Yang, pas banget!" seru Luthfi ketika menyadari aku sudah duduk di tempatku. "Kenapa?" Luthfi mengambil buku paketku yang tadi dipinjamnya lalu menunjukkan padaku. "Ini gimana caranya bisa dapat hasil ini?" tanya Luthfi sambil menunjukkan coretan tanganku. Aku mengamati coretan yang dimaksud oleh Luthfi baik-baik. "Oh, yang ini?" tanyaku setelah tahu yang dimaksud olehnya. "Iya, gimana caranya? Sudah kucoba cari, tapi nggak dapat juga. Kertas buramku jadi makin buram gara-gara coretan rumus!" Aku menahan senyum melihat Luthfi mengadu dengan wajah masam. "Ini –" "Ada apa?" Suara yang jarang terdengar tapi cukup familiar di telinga, tiba-tiba menginterupsi perkataanku. Saat kuangkat kepala dan sedikit menengok, Syuja sudah duduk di sebelah, menatapku dan Luthfi bergantian. "Aku cuma nanya cara penyelesaian aja kok," jawab Luthfi, cengiran yang dibuatnya kembali menunjukkan barisan gigi yang putih dan rapi. Syuja melirik ke buku paket yang ada di depanku dan Luthfi. "Nomor yang harus kamu kerjain?" tanya Syuja lalu mengalihkan pandangannya ke Luthfi, cengiran Luthfi masih bertahan. "Bukannya hampir sama dengan soal yang tadi dibahas sebelum istirahat?" "Sama apanya? Sama-sama bikin puyeng sih iya!" gerutu Luthfi dengan bibir cemberut. "Makanya fokus!" tegur Syuja tenang, tapi mampu membuat raut wajah Luthfi berubah makin masam. "Ajari dong, Yang?!" pinta Luthfi padaku lagi. "Balik nggak?" tanya Syuja datar. "Bentar aja kok, Ja? Ya?" rengek Luthfi menatapku dan Syuja bergantian. Syuja menatapnya tajam tanpa berkata apapun, tapi lucunya tanpa menunggu lama Luthfi berbalik dengan wajah masih bersungut-sungut. Aku melirik Syuja, dia mengabaikanku dan menyondongkan badannya ke depan, lalu merebahkan kepalanya di atas tangan kanan yang terjulur hingga menyentuh bangku milik Bintang, salah satu sahabat baiknya selain Luthfi. Melihat bagaimana Syuja sehari-hari di kelas, dengan dia ketika jam istirahat benar-benar bertolak belakang. Saat jam istirahat, dia nyaris selalu menghabiskan waktunya di lapangan basket, berlari ke sana kemari dengan gesit seolah kelebihan energi. Tapi saat di kelas, dia seperti siput, begitu teman-temannya menjulukinya. Dia bergerak sangat lambat, lebih sering terlihat dengan posisi setengah rebahan daripada duduk normal. Syuja hanya akan duduk normal ketika guru-guru melakukan absen atau menyampaikan materi. Jika sudah sampai pada sesi mengerjakan dan pembahasan soal, biasanya dia akan kembali pada pose andalannya. Seperti sekarang, saat menunggu Pak Sis yang mengajar pelajaran Matematika masuk kelas, dia menghabiskan waktunya dengan tiduran. Ketika Pak Sis sudah masuk ke kelas dan menyuruh Yudha maju mengerjakan soal latihan, Syuja sama sekali tak mengubah posisinya. Dia seperti tak punya rasa takut, padahal sebagian besar teman-temanku biasanya malah terlihat sibuk membolak-balik buku mereka kalau bahasa tubuh Pak Sis seperti memberi tanda akan memanggil nama siswa untuk mengerjakan soal di depan kelas. Waktu Pak Sis terlihat mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas, refleks aku melirik teman sebangkuku yang sedang menikmati tidur siangnya. Mungkin dia sedang mengisi ulang energinya yang habis setelah main basket tadi. "Ja," panggilku pelan, khawatir Pak Sis mendengarku, karena suasana kelas memang sepi. Jujur saja, kami tak sedekat itu sebenarnya hingga membuatku berani membangunkannya. Tapi mau tak mau aku harus melakukannya, sebab beberapa waktu lalu, Bu Widya sempat menegurku karena membiarkan teman sebangku tidur saat jam pelajaran berlangsung. "Syuja!" ulangku, dia masih terlihat tak bergerak. Aku memberanikan diri meraih lengan kemejanya dan sedikit menariknya beberapa kali. Syuja membuka mata dan pandangan kami langsung bertemu. Sontak aku menarik tanganku kembali karena efek terkejut. Tanpa berkata apa-apa, perlahan, seperti dalam mode slow motion, dia kembali ke posisi duduk dan membuka buku paketnya dengan enggan. "Luthfi," panggil Pak Sis datar tapi cukup membuat jantung beberapa siswa mendadak seperti melompat. Luthfi yang duduk di depanku menghela nafasnya berat. Gerakannya ketika bangkit dari tempat duduk sampai berjalan ke depan white board terkesan selambat gerakan Syuja jika diminta guru maju ke depan kelas. Tanpa bertanya, Luthfi langsung menulis soal yang harus dia kerjakan, lalu meletakkan buku paketnya di meja guru dan mulai mengerjakan. Entah memang sudah bisa, atau hasil dari menghafal super kilat, dia dapat menulis dengan cukup lancar. Galih dan Iman yang duduk sederet dengan Luthfi dan Bintang tapi berada di sisi kiri barisan kami, terkekeh pelan melihat tingkah Luthfi. Sedangkan Bintang teman sebangkunya terlihat tersenyum sekilas. Yudha yang maju lebih dulu, selesai mengerjakan jatah soalnya tak lama kemudian. Pak Sis memeriksa dengan seksama pekerjaan Yudha, setelah sampai pada jawaban terakhir, Pak Sis menyuruhnya duduk kembali. Yudha terlihat menghela nafas lega saat berbalik dan berjalan kembali ke bangkunya, wajahnya juga sumringah. Sementara Luthfi, masih berkutat dengan uraian jawaban soal yang dia kerjakan. Aku melihat buku paket, mencari tahu sudah sampai mana jawaban yang ditulis oleh Luthfi. Rupanya dia masih sampai di baris ketiga dari tujuh baris uraian jawaban yang aku kerjakan. "Gitu kalo nggak mau belajar," gumam Syuja. Saat aku menoleh, matanya sedang menatap tajam ke arah Luthfi, dengan siku tangan kanannya bertumpu di atas meja, menyangga dagu. Di saat-saat tertentu, sorot mata dan ekspresi wajah Syuja terlihat lebih menakutkan dari Pak Sis menurutku. Pak Sis tiba-tiba berdiri dan berjalan keluar kelas sambil memegang ponsel di tangan, sepertinya ada telepon yang harus beliau terima. Seperti melihat kesempatan yang tak boleh disia-siakan, Luthfi berjalan cepat ke meja guru, dan langsung membuka buku paketnya. Berulangkali kepalanya menoleh ke arah pintu sambil mencoba menghafal jawaban yang tertulis di buku paket. Syuja yang duduk di sampingku berdecak pelan melihat tingkah salah satu sahabatnya yang lain, sementara beberapa teman mainnya terdengar tertawa pelan. Begitu dirasa cukup, Luthfi menutup buku paket, kembali ke white board dan menuliskan jawaban yang sudah dihafalnya. Selang beberapa detik setelah Luthfi kembali ke depan white board, Pak Sis kembali ke dalam. Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru kelas lalu berhenti pada Luthfi. Beliau mengamati jawaban Luthfi dengan wajah serius. Sewaktu Luthfi menuliskan baris terakhir, Pak Sis masih berdiri tak jauh darinya dengan tatapan tak lepas dari white board. Setelah jawaban terakhir selesai, Pak Sis nampak mengangguk-anggukkan kepala. "Bagus," kata beliau singkat. Luthfi terlihat puas dan hendak meletakkan spidol hitam yang dipegangnya. "Mau ke mana?" "Kan sudah Pak?" Luthfi menatap Pak Sis dengan sorot bingung. "Siapa bilang sudah? Kerjakan nomor selanjutnya!" Aku sama terkejutnya dengan Luthfi dan beberapa teman sekelas mendengar perintah Pak Sis barusan. Tapi teman-teman mainnya malah kebalikan dari kami, mereka justru terlihat senang melihat penderitaan Luthhfi. "Tapi Pak-" "Tapi apa? Kamu pikir saya tidak tahu kalau kamu tadi buka buku paket?" tanya Pak Sis sembari menunjuk buku paket yang ada di atas meja guru. "Menurutmu apa fungsi dari celah pintu?" tanya beliau lagi, kali ini terdengar tawa cekikikan dari teman-teman sekelas, mengerti apa yang dimaksud oleh Pak Sis. Syuja menggeleng-gelengkan kepala saat aku meliriknya, sedangkan Luthfi terlihat pasrah. Dia berjalan gontai mengambil buku paket untuk menulis soal berikutnya sesuai intruksi Pak Sis. Hampir 20 menit Luthfi berdiri di depan, berulang kali dia mencoba menulis jawaban tapi kemudian dihapusnya kembali. Sementara sisi white board yang tadi diisi oleh Yudha sudah digantikan oleh Bram, dan Bram juga sudah kembali ke bangkunya sejak 5 menit lalu. Pak Sis masih berdiri di samping Luthfi sambil memegang buku paket milik Luthfi. "Bisa kamu selesaikan soal itu?" tanya Pak Sis akhirnya, Luthfi menggaruk bagian belakang kepala sembari memberikan cengiran khasnya. "Ditanya kok malah nyengir!" "Bisa Pak, tapi ...," "Tapi apa?" "Call a friend boleh?" Sontak saja seisi kelas tertawa mendengar permintaan Luthfi. "Kamu pikir ini lagi kuis di televisi!" seru Pak Sis sambil memukul kepala Luthfi pelan menggunakan buku paket, Luthfi pasrah lalu mengusap kepalanya dengan wajah cemberut. "Berdiri di sana!" perintah Pak Sis, satu tangan beliau menunjuk pojok kelas yang memang biasa beliau gunakan untuk menghukum siswa-siswi yang tak bisa menyelesaikan latihan soal di papan. Luthfi melangkah gontai dengan tangan kanan tetap mengusap kepala. "Syuja, kerjakan!" panggil Pak Sis yang dalam hitungan detik sudah mengarahkan pandangan ke meja kami. "Haiisssssh!" desis cowok di sampingku pelan, anehnya dia tak langsung bangkit dari duduknya. "Syuja!" Pak Sis mengulang panggilannya karena tak ada respon dari Syuja. Butuh beberapa detik buat Syuja akhirnya berdiri pelan, lalu berjalan ke depan kelas dengan enggan. Tapi tak sampai 5 menit, dia bisa menyelesaikan soal yang tadi dikerjakan Luthfi. Bukan hal yang aneh lagi, semua juga pasti sudah paham betul dengan kemampuan Syuja. Pak Sis berdiri untuk mengecek, kedua tangan beliau terlipat ke depan dengan kepala mengangguk-angguk pelan. Ini adalah gaya beliau setiap kali memeriksa pekerjaan murid-murid. "Bagus!" puji Pak Sis menepuk pundak Syuja dan menyuruhnya kembali duduk. Melihat itu, Luthfi nampak tak rela, kedua matanya mengikuti Syuja yang berjalan kembali ke bangku. "Ada apa?" tanya Pak Sis melihat ekspresi Luthfi, seolah mengerti apa yang dipikirkan salah satu anak didik beliau yang unik itu. Luthfi menggelengkan kepala pelan. "Kalau mau seperti Syuja, belajar! Kerjakan latihan soal, jangan main game dan baca manga terus!" Bintang tersenyum mendengar Pak Sis menceramahi Luthfi, sedangkan Syuja sudah kembali pada pose setengah rebahannya. "Kamu bergaul dengan Bintang dan Syuja sejak kelas X, harusnya bukan hanya hobi berantem mereka saja yang kamu ikuti, caranya belajar juga harus kamu tiru!" omel Pak Sis menatap lekat ke arah Luthfi. "Sudah tahu masuk kelas IPA, bukannya makin rajin belajar malah makin rajin pinjam manga di perpus!" Luthfi menundukkan kepala tapi dengan mengerucutkan bibir. "Tapi saya nggak hobi berantem," sungutnya pelan tapi masih bisa di dengar seisi kelas, karena memang teman-teman sedang fokus mendengar omelan Pak Sis buat Luthfi. Pak Sis, meskipun terkenal galak sebenarnya beliau sangat perhatian. Beliau hafal betul kebiasaan murid-murid di sekolah ini, terutama murid-murid yang bermasalah dengan pelajaran beliau. "Kalian tahu kelas kalian bukan kelas unggulan, beberapa Guru juga mengeluh kalau masuk kelas kalian karena isinya murid-murid bermasalah. Apa kalian tidak merasa terganggu dengan predikat itu?" Pak Sis mengedarkan pandangan ke seluruh kelas lalu berhenti pada barisan bangkuku dan beralih ke barisan sebelah kiriku. Aku tahu apa dan siapa yang dimaksud oleh beliau. Syuja, Luthfi, Bintang, Iman, Galih, Wisnu dan Salman, seperti yang sudah kuceritakan, adalah murid-murid yang prestasi akademik dan kenakalan mereka berbanding lurus. Mereka kerap membuat masalah nyaris setiap hari, dan membuat guru-guru yang mengajar tak berhenti menggerutu. Masalah paling ringan adalah berisik saat pelajaran, bahkan ketika harusnya kami tenang mengerjakan soal, mereka, kecuali Syuja dan Bintang, tak akan berhenti bersuara bahkan kadang mereka menghampiri bangku teman-teman yang lain. Kenakalan mereka naik level dengan cabut dari kelas ketika malas mengikuti pelajaran. Dan yang terberat adalah kelahi, bukan hanya dengan teman sekolah, tapi dengan murid dari sekolah lain. Pemimpin kelahinya, siapa lagi kalau bukan Syuja dan Bintang. Keduanya dikenal sebagai jagoan kelahi di sekolah kami. Aku nyaris kesulitan membedakan mereka, meski sebenarnya mereka punya profil yang jelas berbeda. Yang aku tahu, dua siswa itu sesring kulihat di lapangan basket, itu saja. Saat masih kelas X saja, mereka sudah berani kelahi dengan kakak kelas, lalu mendapat skorsing hanya dalam waktu 3 minggu setelah kami resmi jadi siswa SMU. Sejak itu, nama Syuja dan Bintang sering sekali dipanggil karena urusan adu tinju. Yang terparah adalah saat mereka kelahi dengan murid sekolah lain sampai ada yang terluka dan masuk rumah sakit. Pihak dari sekolah lain dan wali murid siswa yang terluka datang ke sekolah, meminta Syuja dikeluarkan. Konon katanya Syuja adalah orang yang memukul siswa itu sampai babak belur. Pihak sekolah keberatan dengan tuntutan mereka, Kepala sekolah masih melihat Syuja sebagai siswa yang sebenarnya memiliki potensi sangat bagus di bidang akademik. Beliau bukannya menutup mata, Syuja akhirnya mendapat skors selama 2 minggu, sedangkan teman-temannya yang ikut serta dikenai skorsing 1 minggu. Kalau Syuja dan Bintang dikenal jago kelahi, Iman dan Galih dikenal hobi cabut dari kelas. Saat pelajaran berlangsung dan mereka merasa bosan, keduanya dengan santai akan keluar dari kelas, beralasan ke toilet tapi kemudian tidak pernah kembali sampai pelajaran selesai. Untungnya prestasi akademik keduanya juga moncer, tidak pernah keluar dari daftar 10 besar siswa berprestasi di sekolah. Luthfi, sebenarnya dia anak baik dan penurut. Tapi terkadang dia suka sekali menjawab perkataan Guru yang menegurnya. Saat aku mulai sekelas dengannya dan mengamati tingkah lakunya, aku rasa Luthfi terkesan "melawan" Guru yang menegurnya ketika dia yakin bahwa dirinya benar. Jadi kesimpulanku, dia tidak asal melawan. Meski kadang alasannya itu pada akhirnya dikoreksi oleh guru, karena nggak sepenuhnya benar. Duet Salman dan Wisnu terkenal sebagai pembuat rusuh di kelas. Keduanya sangat berisik, suka nyeletuk dan tak bisa duduk diam di bangku mereka. Meski sering ditegur oleh Guru yang sedang mengajar, keduanya hanya patuh sejenak tapi setelah beberapa saat akan kembali berisik. Anehnya, mereka baru akan benar-benar diam kalau Syuja atau Bintang yang bicara. Mereka-mereka yang terkenal bermasalah tapi berprestasi ini entah untuk alasan apa, di kelas XII dikumpulkan menjadi satu di kelas IPA-3. Padahal jika dilihat dari nilai akademik, mereka layak masuk kelas unggulan. Saat aku membicarakannya dengan Farah di awal tahun ajaran baru 3 bulan lalu, Farah bilang kemungkinan itu supaya guru-guru mudah mengawasi mereka. Terutama kalau mereka kelahi, karena biasanya yang jadi langganan peserta kelahi ya hanya golongan mereka. Kembali ke Pak Sis, meskipun beliau bukan wali kelas kami, tapi dari sekian banyak kelas yang beliau ajar hanya kelas kami lah yang menurutku paling beliau perhatikan. Mungkin karena faktor keberadaan Syuja dan teman-temannya juga. Siswa-siswa cerdas tapi suka bertingkah menguji kesabaran guru-guru. Saat ada murid dari kelasku dipanggil ke ruang BK, menurut cerita mereka, selain Bu Indah wali kelas kami, biasanya Pak Sis juga akan ada di ruang BK. Tidak ada yang tahu pasti alasan kenapa beliau seperti itu. Teman-teman yang rutin dipanggil pun tak pernah mau menceritakan dengan gamblang peran Pak Sis diruang BK. "Luthfi!" panggil Pak Sis, mata beliau menatap tajam ke arah Luthfi. Yang dipanggil segera mengangkat kepala dan melihat Pak Sis. "Sepulang sekolah, pastikan kamu belajar. Karena saat saya masuk kelas lagi, kamu adalah orang pertama yang akan saya suruh mengerjakan ke depan." "Pak-" "Apa?" tanya Pak Sis cepat. Luthfi nampak manyun dan menatap Pak Sis dengan raut wajah memelas. "Saya tidak akan kasihan melihat kamu seperti sekarang!" Luthfi kembali menunduk mendengar ucapan Pak Sis barusan, mungkin merasa strategi merajuknya tidak berhasil. "Kamu bisa minta bantuan Syuja atau Bintang buat belajar." "Tapi mereka galak," sahut Luthfi cepat, seisi kelas tertawa mendengar alasannya, sedangkan Bintang memelototkan mata pada Luthfi. Syuja ... dia tak peduli dan masih bertahan rebahan dengan kedua mata terpejam. "Ya memang harus galak biar kamu mau belajar." "Justru mereka galak karena nggak mau nemenin saya belajar Pak," adu Luthfi dengan nada merengek. Sekali lagi tawa pecah, dan Bintang hanya menggaruk samping kepala sembari menatap Luthfi lekat. Pak Sis yang mendengar jawaban Luthfi terlihat tak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum. "Kamu mintanya nggak baik-baik?" "Baik-baik kok Pak, sering saya tawarin sambil ngopi bareng." "Tapi bukan kamu yang bayar?" tanya beliau lagi, tawa kembali terdengar dari teman-teman sekelas, sedangkan Luthfi mengeluarkan cengiran andalannya. "Bintang, Syuja," panggil Pak Sis, tatapannya mengarah ke Bintang lalu ke Syuja yang ada persis di belakang Bintang. Syuja tak bergerak, padahal Pak Sis masih menatap Syuja diikuti oleh tatapan teman-teman yang lain. Aku memberanikan diri menurunkan tangan kananku, meraih bagian samping kemeja Syuja, lalu sedikit menarik-nariknya. Seperti yang kulakukan tadi. Dia masih tak bergerak, aku menghela nafas pelan dan kembali mencoba menarik kemejanya sedikit lebih kuat. Syuja terbangun, mata kami kembali bertemu. Aku memberikan kode dengan melirik cepat ke arah Pak Sis lalu kembali melihat Syuja. Dia masih terdiam sambil menatapku. Waktu 5 detik yang terasa lama bagiku gara-gara kontak mata kami. Syuja kemudian mengangkat kepala tanpa berkata apapun, dan duduk seolah tak terjadi apa-apa. "Nyenyak tidurmu, Syuja?" tanya Pak Sis, Syuja mengarahkan pandangannya ke Pak Sis. "Lumayan, Pak," jawabnya singkat tanpa rasa bersalah. "Kalian berdua," kata Pak Sis sambil melihat Bintang dan Syuja, "saya beri tugas menemani Luthfi belajar, sekaligus ajari dia mengerjakan soal-soal latihan." Bintang menghela nafas pelan, Syuja hanya diam dengan tangan kanan menyangga dagu, sedangkan Luthfi terlihat menyeringai senang. "Saya tidak mau saat saya masuk kelas ini lagi, Luthfi harus berdiri di depan kelas sepanjang pelajaran saya seperti sekarang," lanjut Pak Sis, "karena itu, kalian berdua punya kewajiban mengajarinya. Ajari dia soal-soal latihan yang ada di Bab 4. Paham?" Bintang menyahut pelan sedangkan Syuja bukannya menjawab justru menghela nafas. "Syuja, kamu keberatan?" tanya Pak Sis setelah melihat respon siswa di sebelahku. Syuja tetap diam sambil menatap Pak Sis dan Luthfi bergantian lalu menggelengkan kepala. Melihat reaksi Syuja, Luthfi nyengir dengan mata berbinar-binar. "Kamu," kata Pak Sis kali ini pada Luthfi. "Iya Pak," sahut Luthfi cepat dan lebih sumringah dari sebelumnya. "Jauhi dulu game dan bacaan manga-mu itu. Paham?" Luthfi menganggukkan kepala, kelihatan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sisa waktu pelajaran Matematika dihabiskan Pak Sis dengan menasehati Luthfi sekaligus seisi kelas. Begitu Pak Sis keluar kelas dan Luthfi kembali ke bangkunya, Bintang langsung meraih leher Luthfi dan memitingnya dengan ekspresi geram. "A-apaan?" tanya Luthfi panik sambil memukul lengan Bintang. "Kenapa tadi jawab gitu saat ditanya Pak Sis?" Bintang balik bertanya. Sepertinya dia masih tak terima dengan jawaban Luthfi tadi. Syuja menyandarkan punggung, dn hanya mengamati Luthfi dalam diam. "Cekek aja sekalian!" seru Galih mengompori Bintang. Mereka ini bisa dibilang geng yang senang sekali kalau ada yang ribut. Tapi hanya di lingkup mereka saja. Kalau sudah di luar golongan mereka, justru sebaliknya, mereka nggak mau ambil pusing. "Patahin Bro! Aku mendukungmu!!" sahut Salman lalu tertawa, sedangkan Luthfi masih memukul lengan Bintang sebagai tanda protes. "Lumayan kali, bisa bikin gantungan kunci giginya si Luthfi." Teman-teman yang lain tertawa setelah mendengar celetukan Salman. "Memang kapan aku pernah bilang nggak mau nemenin belajar?" tanya Bintang pada Luthfi dengan nada tenang. "Sering! Jangan sok pikun deh!" Mendengar jawaban Luthfi, aku hanya menggelengkan kepala sambil merapikan buku dari atas meja. Dengan posisi Luthfi sekarang, harusnya dia tak memberi jawaban yang justru membuat Bintang makin kesal kan? Dan benar saja, dalam hitungan detik Bintang menguatkan pitingannya pada leher Luthfi. "Mampus!" seru Salman lalu tertawa terbahak-bahak melihat Luthfi yang makin jadi menjerit-jerit. "K-kamu mau kugentayangin!?!" seru Luthfi kepayahan, tangan kirinya coba meraih kepala Bintang tapi tak sampai, sedangkan tangan kanannya melingkar di lehernya sendiri, mencoba melepas pitingan Bintang. "Kamu pikir aku bakalan takut kalau kamu jadi setan? Yang ada malah aku ajakin main jelangkung!" balas Bintang, teman-teman cowok yang melihat ulah mereka tertawa sambil terus mengompori Bintang. Sedangkan cewek-cewek, reaksi mereka relatif seragam, tersenyum atau menggelengkan kepala seperti reaksiku tadi. "N-nanti, kutraktir waktu kita belajar bareng." Kali ini Luthfi coba merayu salah satu sahabat baiknya. "Jangan percaya, Bin!" seru Salman yang terlihat makin bersemangat. "Percaya Luthfi sama aja musrik!" "Traktir apaan? Ujung-ujungnya juga tetap Syuja yang bayar!" Wisnu menyahut disambut gelak tawa yang lain. "S-serius! bener! su-sumpah!" ucap Luthfi terbata, mencoba meyakinkan sahabat-sahabatnya. "Sumpahmu palsu, Fi!" ledek Galih. "Cemen, baru dipiting wes sumpah-sumpah. Murah yo sumpahmu, Fi?" Iman ikut menimpali. "Awas kalian!" Luthfi tak terima dengan komentar keduanya. "Sumpah Bin ... kalian b-bisa minta apa aja, aku yang bayar!" rayu Luthfi, Bintang tak melepas pitingannya di leher Luthfi tapi menengok ke arah Syuja. "Yang bilang mau ngajarin siapa?" tanya Syuja datar, aku menoleh padanya heran. Cowok pelit bicara dan malas buang-buang energi ini, apa sekarang ikutan mau ngisengin sahabatnya? "Ta-tadi waktu ditanya Pak Sis ... kan kamu ngiyain, Ja?" Cowok-cowok masih cengengesan melihat Luthfi yang kepayahan bicara. "Jangan halu deh, Fi!" seru Iman. "Wah, imajinasi si Luthfi!" Salman menimpali dengan nada mengolok. "Kebanyakan nonton Sponge Bob nih anak!" "IMAJINASI!!" teriak Iman dan Wisnu bersamaan. "Apa tadi aku bilang mau?" tanya Syuja datar. "Nnggg-nggak sih," jawab Luthfi ragu dan wajahnya mulai memerah. "Itu namanya ke-GR-an Fi!" ledek Galih, Bintang tersenyum melihat Luthfi yang manyun. Aku tahu mereka sebenarnya bercanda, tapi kadang aku tak tahu alasan kenapa mereka suka sekali bercanda dengan main fisik seperti sekarang. "K-kalau nggak mau, a-aku minta tolong Yayang aja!" kata Luthfi tiba-tiba menyebut namaku. Terang saja aku terkejut dan langsung menatap Luthfi dengan sorot bingung. Memangnya, apa efek dari menyebut namaku sekarang? Bintang, Galih dan Iman refleks melihatku nyaris bersamaan. Dan beberapa detik kemudian Bintang makin menguatkan pitingannya, membuat Luthfi terbatuk-batuk. "Coba kalau berani," tantang Syuja, matanya tak lepas dari Luthfi yang posisi badannya setengah miring karena belum bisa melepaskan diri dari Bintang. "Beneran berani?" tanya Syuja, Bintang kulihat tengah melirik ke arah Syuja sekilas. "Be-berani!" sahut Luthfi, membuat Syuja bangkit dari duduknya dan mencondongkan badan ke depan karena posisi berdiri Luthfi yang memang jadi lebih rendah.. "Wah, mati beneran nih anak," kata Iman dengan nada dan raut khawatir yang dibuat-buat. "Siap-siap tahlilan woy nanti malam!" seru Salman lantang ke teman-teman sekelas. "Serius berani?" ulang Syuja, kali ini matanya dan mata Luthfi bertemu, Bintang tersenyum melihat reaksi Luthfi. "Be-be-bercanda, Ja." Wajah dan nada suara Luthfi memelas, sontak cowok-cowok tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Bintang melepas pitingannya dengan senyum lebar, Syuja menjitak kepala Luthfi lalu kembali duduk, sementara aku menatap mereka dengan tanda tanya di kepala. "Apa?" tanya Syuja saat tatapan kami bertemu, aku menggelengkan kepala lalu cepat-cepat mengeluarkan buku pelajaran Bahasa Indonesia. Entah kenapa aku selalu jadi kikuk kalau pandangan kami bertemu dan dia bicara padaku. Bagiku, Syuja memiliki aura yang mampu membuat orang merasa segan dan terintimidasi meski dia tak banyak bicara. Bu Naning datang ketika suasana dalam kelas begitu ramai, karena cowok-cowok masih heboh meledek Luthfi. Beliau berdiri di depan kelas dan mengedarkan pandangan ke seluruh bagian kelas. Setelah menyadari keberadaan Bu Naning, teman-temanku mulai berhenti bercanda meski sesekali Salman dan Wisnu masih mengeluarkan celetukan untuk meledek Luthfi. "Kalian ini berisik aja bisanya!" tegur Bu Naning, raut wajah beliau jelas terlihat tak bersahabat. "Nggak ah Bu! Disuruh diam juga kami bisa," sahut Salman santai. Aku masih tak percaya dengan tingkah teman-teman sekelasku yang kelihatan tak ada takutnya sama sekali dengan guru-guru. "Salman!" "Iya Bu?" "Kamu ikuti pelajaran saya dari luar!" perintah Bu Naning yang tentu saja tak mengejutkan siapapun di kelas ini. Sebab Salman memang sempat membuat Bu Naning marah besar minggu lalu. Kalau bagian depan pojok kelas adalah spot kesukaan Pak Sis menghukum murid-muridnya, maka Bu Naning sangat suka menyuruh murid-muridnya berdiri di luar kelas. Begitu kelas selesai, beliau akan meminta catatan dari murid yang sudah beliau hukum. Salman mengambil buku pelajarannya lalu berjalan keluar kelas dengan ekspresi tak bersalah. Bu Naning diam menatap seisi kelas, sorot tajam beliau seolah memberi pesan untuk tidak macam-macam dengan beliau hari ini. "Buka halaman 46!" perintah beliau tegas, seisi kelas membuka buku paket masing-masing secara bersamaan. "PMS kayaknya si Ibu," gumam Luthfi lirih tapi masih bisa kudengar, tangan kiri Bintang yang kebetulan terjulur di bagian belakang bangku langsung menjitak kepala Luthfi. "Apa?" protes Luthfi pelan. "Apaaa?" balas Bintang tak peduli, Luthfi mengusap kepala sambil menggumam tak jelas. Bu Naning membaca narasi yang ada di buku paket sambil sesekali memberikan contoh-contoh. Aku sibuk mencatat penjelasan yang diberikan Bu Naning dengan tangan kiri menyangga kepala. Secara tak sengaja, sekilas aku melihat ke arah Syuja, dia sudah dalam posisi setengah rebahannya dengan lengan kanan menumpu kepala. Pandangan kami bertemu lagi, dengan gelagapan aku mengubah posisi sedikit miring hingga memunggunginya. Terdengar Syuja menghela nafas pelan, tapi aku sama sekali tak berniat untuk melihatnya. Karena aku takut pandangan kami akan bertemu lagi. Ini sudah menjadi salah satu kebiasaanku sejak kelas XII. Aku sering sekali duduk memunggungi Syuja ketika merasa tak nyaman. Terutama, karena dia sering sekali tertangkap basah sedang melihatku. Saat kukira dia tertidur, ternyata dia sedang melihatku. Saat kukira dia sedang serius membaca buku paketnya, ternyata dia juga sedang menatapku. Atau saat kukira dia sedang melihat ke arah lain, pada akhirnya aku menemukannya sedang memperhatikanku. Aku tak pernah menceritakannya pada Farah, karena tak mau dia berpikir aku ke-GR-an. Selain itu, aku khawatir Farah tiba-tiba akan menghampiri Syuja dan menanyainya atau paling buruknya sampai adu mulut. Aku tak mau malu untuk kedua kalinya karena masalah cowok, terutama cowok yang jelas punya banyak fans. Sepanjang sisa jam pelajaran, aku berusaha menghindari kontak mata dengan Syuja. Aku rasa itu karena hari ini sudah lebih dari dua kali sepasang mata kami bertemu dan saling mengunci meski hanya beberapa detik, jika lebih dari itu aku seperti overdosis olahraga jantung rasanya. Meskipun aku tak menyukainya seperti aku menyukai Raka, tapi aku tak bisa berbohong bahwa Syuja memiliki daya tarik sama kuatnya dengan Raka, bahkan sepertinya lebih kuat. Perawakannya cukup tinggi, tidak terlalu berisi tapi juga tidak kelewat kurus. Kulitnya putih bersih, lebih putih dari kulitku, dengan rambut hitam berkilau dan sorot mata tajam. Di wajahnya jarang terulas senyum, bahkan ketika bercanda dengan teman-temannya juga nyaris tak pernah kulihat dia tersenyum. Satu-satunya cara jika penasaran ingin melihatnya tersenyum adalah, lihat dia ketika bermain basket. Syuja sering tersenyum saat tembakan three pointnya masuk, atau ketika Bintang dan teman setimnya mencetak poin. Dia tersenyum ketika trick yang dia lakukan untuk mengecoh lawan berhasil dan berakhir dengan poin untuk timnya. Di luar lapangan basket, aku rasa akan sulit untuk bisa melihat senyumnya. Ah, aku pernah memergokinya tersenyum ketika dia bercanda dengan teman-temannya. Tapi itu senyuman tipis, karena saat itu teman-temannya sedang meledek Luthfi. Banyak siswi bilang daya tarik Syuja justru ada pada kesan misteriusnya. Selain itu, Syuja hampir tak pernah terlihat bicara dengan lawan jenis. Meski banyak yang menyukainya, tapi fans Syuja berbeda dengan fans Raka. Fans Syuja lebih memilih menyukai tanpa mengutarakannya, tapi mereka akan selalu ada di sekitar Syuja. Mungkin karena pengaruh karakter Syuja yang pendiam, bahkan cenderung dingin. Tapi cerita tentang Syuja jarang bicara dengan lawan jenis terpatahkan saat tahun ajaran baru di mulai 3 bulan lalu. Seorang siswi kelas X, namanya Arbita, mungil, manis, ramah dan terkenal pintar. Bita menyukai Syuja, dan dia memilih untuk mengatakannya pada Syuja langsung. Aku tahu, karena saat itu aku secara tak sengaja menjadi saksi Bita menyatakan perasaannya. Sore hari, saat bel pulang sekolah lewat 15 menit yang lalu, aku berjalan pelan menuju ruang loker di lantai dasar. Kondisi sekolah sudah lumayan sepi, aku berjalan sendiri karena Farah hari ini tak mengikuti pelajaran, tim voli sedang mengikuti seleksi kejuaraan voli antar sekolah. Saat aku memasuki ruang loker, kondisinya sangat sepi. Hanya ada aku dan 2 orang siswi yang tak lama setelah aku masuk, mereka keluar. Aku tengah membuka loker dan mengeluarkan buku-buku dari dalam ransel, ketika tiba-tiba terdengar suara siswi dari deretan belakang loker di lorong yang lain. "Aku suka sama Mas, aku mau Mas tahu itu dan pertimbangin." "Pertimbangin apa?" Aku kenal suara rendah milik siapa yang baru saja kudengar. Ini suara teman sebangkuku, Syuja. Jujur aku agak terkejut karena tiba-tiba mendengarkan pengakuan seseorang ke orang yang kukenal, terutama seorang Syuja. Sosok yang super irit bicara, dan hampir nggak pernah kelihatan bicara dengan perempuan. "Pertimbangin buat nerima dan kencan denganku." Saking terkejutnya, aku tak sengaja menjatuhkan sticky notes yang ada di dalam loker. Panik dan takut ketahuan menguping, aku bergegas mengambilnya lalu mengunci loker dan berlari keluar ruangan. Dengan nafas terengah, aku berhenti berlari ketika sudah berada di luar kompleks sekolah. Aku harap mereka tak akan tahu siapa yang tadi tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Selang beberapa hari, aku baru mengetahui bahwa siswi yang mengakui perasaannya pada Syuja adalah Arbita, siswi kelas X, karena dia semakin sering datang ke kelas kami untuk mencari Syuja atau setia berdiri di pinggir lapangan basket untuk melihatnya bermain. Aku ... bisa mengenali suaranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD