-4-

3610 Words
Sejak saat itu, aku sering melihat mereka berdua bicara. Aku pikir akhirnya mereka pacaran, tapi aku sama sekali tak mendengar cerita apapun tentang ini. Yang sering aku dengar hanya kecemburuan fans-fans Syuja melihat seorang siswi kelas X bisa bicara dengan si cowok dingin dan misterius. Karena hal ini juga, aku berusaha menjaga jarak dengan Syuja. Aku menjaga interaksi seminimal mungkin dengannya. Terutama jika di luar kelas, aku tak mau menimbulkan salah paham. Walaupun sebenarnya interaksiku dengan Syuja sebenarnya sudah sangat minim. Aku paham, seseorang yang menyukai sosok populer seperti Syuja, sedikit banyak pasti akan merasa tak suka atau bahkan cemburu ketika ada sosok cewek di sekitar sosok yang disukainya. Seperti Tania. Farah sudah berdiri di luar kelasku ketika jam pulang sekolah berbunyi. Kami memang selalu pulang bersama meski rumah kami tak berdekatan. Aku bergegas keluar kelas dan menghampiri Farah, lalu segera menyeretnya untuk segera berjalan. "Ada apa?" tanya Farah dengan mimik heran. "Nggak ada apa-apa kok." Farah menatapku dengan mata memicing, tapi tak berniat melanjutkan pertanyaannya. Dia penasaran, aku tahu. Saat kami akan menuruni tangga, sepasang mataku menangkap sosok Arbita menaiki anak tangga dengan semangat. Aku yakin dia akan ke kelasku untuk mencari Syuja, seperti yang biasa dia lakukan belakangan ini. Ketika kami sudah mencapai anak tangga paling bawah, aku refleks menghentikan langkah. Farah sempat terlihat bingung, lalu mengikuti arah pandanganku. Dalam jarak sekitar 5 meter di depan kami, terlihat Raka jalan beriringan dengan Tania. "Kay," panggil Farah pelan. "Eh ... sebentar, Fa," kataku lalu melihat ujung sepatu. Aku mengambil posisi miring dan berjongkok, dengan satu lutut menyentuh lantai, pura-pura memperbaiki tali sepatu yang sebenarnya masih terikat baik. Dengan sabar Farah menunggu, hingga setelah aku rasa Raka dan Tania berada jauh di depan, aku baru berdiri. "Sudah?" Sebagai balasan, kepalaku terangguk sembari bibir mengembangkan senyum. Aku yakin Farah tahu alasanku, tapi dia sama sekali tak bertanya atau komentar apapun. Ini yang membuatku senang bersahabat dengannya, meski bagi sebagian orang kepribadian Farah yang keras tak cukup menyenangkan. Raka dan Tania berbelok ke arah parkiran motor siswa. Aku menghela nafas lega dan mempercepat langkah, sementara Farah yang berjalan di sampingku mengikuti tanpa banyak bicara. Halte bus tempat kami biasa menunggu terlihat masih cukup ramai, beruntung masih ada bangku kosong di bagian ujung dan kami langsung menempatinya. "Eh, ngomong-ngomong si Upik gimana tadi?" tanya Farah penasaran. Sebenarnya dia lebih penasaran hukuman seperti apa yang sudah diterima Luthfi, daripada benar-benar tahu apakah Luthfi bisa menyelesaikan soal dengan baik. "Hah? Oh ... ya gitu deh," jawabku tersenyum, teringat betapa lucunya wajah Luthfi selama di depan kelas tadi. "Gitu gimana?" "Disuruh berdiri depan kelas." "Sukurin! males sih tuh anak!" Kan, seperti yang sudah aku prediksi. "Tapi kasihan juga sih sebenarnya, Fa." "Kasihan gimana?" "Ya, dia beberapa kali kena tegur Pak Sis." "Itu salahnya sendiri juga," ucap Farah tak peduli, "tahu udah kelas XII, masuk IPA pula ... mestinya kan belajarnya ditambah, bukan mainnya yang malah ditambah." "Mungkin dia tipe yang perlu diawasin gitu buat belajar? biar fokus." "Halah, dasarnya dia lebih seneng main daripada belajar." Aku tersenyum tipis mendengar dengkusannya. Tanpa kami sadari, sebuah motor perlahan berhenti tepat di depan kami. Si pengemudi melepas helm berkaca gelap yang dipakainya, dan seketika nampak cengiran kotak khas milik Luthfi. "Panjang umur," cibir Farah pelan. "Yang, ikut aku!" seru Luthfi tanpa basa-basi dengan ekspresi mengharap. "Hah?" "Mau bawa Kahi ke mana?" tanya Farah mewakili pertanyaan yang terhenti di ujung lidah saking kagetnya dengan ajakan Luthfi. "Urusan penting ... please, Yang?" pinta Luthfi menatapku masih dari atas motornya, sekalipun dia tak melirik Farah. "Kalau emang penting, turun dari motor. Nggak sopan amat ini bocah!" gerutu Farah, Luthfi kali ini menatapnya meski sekilas. Lalu tanpa kuduga, dia menuruti perkataan Farah. Luthfi turun dari motor dan menghampiriku dengan wajah memelas. "Ikut aku ya, Yang?" pintanya lagi, beberapa siswa yang sedang menunggu bus dan angkot bersama kami mulai memperhatikanku. "Ke mana? Urusan apa?" tanyaku bingung. "Pokoknya ikut aku dulu, ini penting!" "Eh, jawab dulu pertanyaan Kahi! Enak aja pakai 'pokoknya'!" protes Farah tak suka. "Ini masalah keberlangsungan masa depanku!" "Apaan sih? lebay!" sinis Farah, sementara aku semakin heran menatap Luthfi yang terlihat serius sekarang. "Nanti aku jelasin, aku nggak punya banyak waktu. Cuma tinggal 15 menit waktuku." "Emang kamu mau mati?" tanya Farah lagi dengan raut tak peduli. "Amit-amit jabang demit!! Enak aja! Bukan itu!" "Lah terus?" "Diem kenapa sih Fa?! Aku tuh urusannya sama Yayang! bukan sama bodyguarnya Yayang!" Farah menggerutu mendengar protesan Luthfi yang kelihatan sebal. "Masalahnya apa dulu? Nggak mungkin aku tiba-tiba ikut tanpa tahu alasannya kan?" tanyaku mencari tahu. "Nanti aku jelasin, yang penting kamu ikut aku dulu." "Kamu mau nyulik Kahi ya, Pik?" tuduh Farah yang kembali bersuara. "Ngawur!" bantah Luthfi cepat. "Pokoknya penting, Yang!" Luthfi masih mencoba meyakinkanku, "sumpah aku nggak akan macem-macemin kamu kalau itu yang kamu takutin! Kalau perlu aku kasih nomor HPku, nomor telepon rumah bahkan alamat rumah buat jaminan." "Oke ... jawab pertanyaanku yang ini, kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku, Luthfi nampak bingung menjawabnya dan itu membuat rasa heranku bertambah. "Kalau dia nggak mau jawab, nggak usah ikut Kahi!" Aku mengangguk menyetujui perkataan Farah barusan. "Yaa Allah ... kenapa susah sekali jadi akuuuuu!!" seru Luthfi dengan nada frustasi, sambil memegang sisi kepalanya dengan kedua tangan. Melirik sekitar, kulihat beberapa siswi dari sekolah kami nampak tersenyum menyaksikan tingkah Luthfi. Bus yang biasanya aku tumpangi dengan Farah akhirnya tiba. Farah mengajakku berdiri, tapi dengan gesit Luthfi segera meraih pergelangan tanganku. "Please, Yang ... aku mohooooonnn!?" rengek Luthfi, beberapa penumpang yang ada dalam bus memperhatikan kami. Aku yakin mereka memikirkan hal yang salah tentang aku dan Luthfi, apalagi dari cara dia memanggilku. Mereka pasti mengira aku dan Luthfi sedang melakukan drama pasangan yang sedang bertengkar sepulang sekolah. "Apaan sih Pik! Udah ah!" seru Farah terlihat risih sembari menepis tangan Luthfi dari pergelangan tanganku, tapi Luthfi menolak melepas pegangannya. "Yang ... masa depanku ada di tanganmu Yang, tolong aku?!?" rengek Luthfi belum mau menyerah. Sebenarnya saat ini perasaanku bercampur antara malu, geli sekaligus penasaran secara bersamaan. Malu karena jadi perhatian banyak orang, geli karena melihat tingkah Luthfi yang kadang suka di luar dugaan. Dan penasaran dengan maksud sesungguhnya dia datang ke halte, lalu mohon-mohon ke aku seperti sekarang. "Fa ... kali ini aja, tolong aku! Aku butuh Yayang, sekarang juga! Nggak bisa ditunda!" "Buat apa?!" tanya Farah mulai kesal sebab cowok super ramah di depanku ini tak kunjung memberi kami jawaban pasti. "Aku nggak bisa jelasin sekarang, waktunya tinggal 10 menit!" "Kamu maunya apa sebenernya?" tanyaku bingung. "Aku nggak bisa jelasin sekarang, Yang. Nanti ... nanti aku jelasin, tapi kamu ikut aku dulu, ya?" Aku menatap Farah dan Luthfi bergantian. Tak tahu harus mengambil keputusan apa. Di satu sisi, Farah sudah menyorotkan rasa tak suka lewat mata dan ekspresi wajahnya, sementara di sisi lain, Luthfi pasti punya alasan kuat kenapa dia sampai rela bersikap konyol, meski sesungguhnya dia memang sudah konyol. "Mbak-mbaknya nggak jadi naik?" tanya kondektur bus memecah kebingunganku. "Naik Pak, naik ... tapi mbak yang ini." Luthfi menjawab sambil menunjuk Farah. Aku dan Farah sama-sama kaget melihat respon Luthfi. "Ayo mbak, sudah mau jalan," kata kondektur bus lagi, Farah dan aku saling bertatapan bingung. "Fa ... percaya deh, aku nggak akan ngapa-ngapain Yayang. Sumpah, demi Allah!" janji Luthfi mencoba meyakinkan Farah. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang dan sebenarnya antara bingung juga terpaksa, aku dan Farah menyetujui permintaan Luthfi. Farah pulang naik bus sendirian, sedangkan aku ikut Luthfi. Aku masih tetap tak tahu akan dibawa ke mana meski sudah duduk di boncengan motor. Maksudku, aku masih mengenali jalanan yang kami lewati, tapi aku tak tahu tujuan kami ke mana. Luthfi sama sekali tak bicara karena dia memacu motornya lumayan kencang. Dia sudah memperingatkanku untuk pegangan. Aku memilih berpegangan erat pada besi yang ada di bagian belakang motor. Hampir 10 menit, Luthfi perlahan mengurangi kecepatan dan menghentikan motornya di depan sebuah cafe. Setelah aku turun dan Luthfi memarkir motornya, dia bergegas mengajakku masuk. "Sebenarnya ada urusan apa?" tanyaku masih diselimuti rasa penasaran yang belum terjawab dan semakin jadi. "Beneran Yang, demi Allah!! Aku nggak akan aneh-aneh. Ikut aja, ya?" pinta Luthfi sembari meraih pergelangan tangan lalu membawaku ke dalam. "Aku nggak terlibat human trafficking kok!!" sambungnya yang membuatku menahan senyum. Tentu saja aku langsung percaya omongannya. Luthfi dan human trafficking bukan hal yang sangat masuk akal akan berkaitan. Apalagi mengingat bagaimana sosok Luthfi selama ini. Begitu kami sudah menginjakkan kaki di dalam, aku mengedarkan pandangan ke seluruh bagian cafe. Pandanganku terhenti di salah satu sudut, begitu juga langkahku. "Kenapa, Yang?" tanya Luthfi ketika aku mendadak berhenti. Dia ikut berhenti setengah langkah di depanku. "Itu ... Bintang sama Syuja kan?" tanyaku mengkonfirmasi apa yang aku lihat. Luthfi menganggukkan kepala. "Mereka minta aku bawa kamu," jawab Luthfi, aku terbengong dan belum memahami maksudnya. "Aku?" tanyaku bingung. Lagi-lagi Luthfi menganggukkan kepala. Dia kembali mengajakku berjalan, sedangkan aku masih menatap Luthfi dengan perasaan bingung yang makin menjadi. Lalu pandanganku beralih ke tempat Bintang dan Syuja duduk. Keduanya menatap kami dengan ekspresi berbeda. Bintang tersenyum melihat kedatangan kami, sedangkan Syuja menatap kami dengan raut wajah datar yang lekat dengan dirinya selama ini. "Nggak telat kan?" tanya Luthfi ketika kami sudah berdiri di depan keduanya. "Kurang 30 detik," sahut Bintang sambil menunjukkan pergelangannya yang dibalut jam tangan. "Seperti tebakanmu, aku harus jinakin Farah dulu tadi," adu Luthfi yang disambut senyuman tipis oleh Bintang. Aku berdiri kikuk. Tak tahu harus bagaimana di depan 3 bersahabat yang entah membicarakan apa. Ini pertama kalinya aku berhadapan dengan mereka di luar sekolah. Benar-benar hanya aku sendiri, tak ada Farah yang biasa membantuku dengan kata-kata pedasnya. "Duduk, Yang," tawar Bintang, aku mengangguk ragu. Luthfi mengarahkanku untuk duduk di samping Syuja, sedangkan dia sendiri duduk di samping Bintang. "Kamu ... di sini," kata Syuja yang tiba-tiba berdiri saat aku baru akan duduk. Dia memintaku duduk di bagian dalam, tepat di samping jendela, kursi yang semula dia duduki. Aku menatapnya bingung tapi akhirnya menurut tanpa bertanya. "Makasih," ucapku singkat lalu duduk. Bintang yang duduk di depanku tersenyum waktu kami tak sengaja saling melihat, begitu juga Luthfi. "Oke, kita mulai sekarang!" seru Luthfi bersemangat sambil mengeluarkan buku dari ranselnya. Aku mulai menyadari ini tentang apa. Ini tentang Bintang dan Syuja yang sedang menemani Luthfi belajar Matematika seperti yang diminta Pak Sis tadi. Tapi pertanyaanku adalah, untuk apa aku ada di sini? Apa hubungannya denganku? Kan yang disuruh cuma Bintang dan Syuja, lalu kenapa aku harus ikut duduk bersama mereka? Salah satu pegawai cafe menghampiri meja kami dan menyodorkan menu. Luthfi memesan ice americano untuk dia, Bintang dan Syuja lalu menanyaiku ingin minum apa. Saat aku katakan tak perlu, dia kembali memintaku untuk memesan dengan sedikit memaksa. "Kopi atau milkshake?" tanya Syuja tiba-tiba, matanya tajam menatapku. "Nggak usah," tolakku mencoba meyakinkan dia dan dua sahabatnya untuk kesekian kali, padahal jujur saja aku gugup setengah mati menyadari betapa tajam sorot mata Syuja sedari awal. "Milkshake ... strawberry," kata Syuja memesankan minuman untukku. Membuatku terkejut karena dia memesan minuman dengan rasa kesukaanku. Setelah pegawai cafe mencatat pesanan kami dan pergi, Luthfi kembali sibuk dengan buku paket Matematikanya. "Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Luthfi lalu melihat Bintang dan Syuja gantian. "Kata Pak Sis disuruh fokus di bab 4 kan?" Luthfi mengangguk setuju dengan pertanyaan Bintang. "Ya sudah, mulai dari situ." Keduanya lalu terlihat sibuk dengan buku paket yang ada di depan Luthfi, mereka hanya terlihat mengangkat kepala ketika pesanan kami datang lalu kembali sibuk mengerjakan latihan soal. Sesekali keduanya mengambil kentang goreng yang tersaji di depan mereka. Syuja hanya diam memperhatikan kedua sahabatnya, dia mengambil ice americano miliknya dan meminumnya. Pandangannya sama sekali tak teralih dari Luthfi dan Bintang. Aku sendiri masih kebingungan dengan fungsiku di antara mereka saat ini. Aku sama sekali tak tahu kenapa harus ikut serta dalam kegiatan belajar Luthfi, kalau kenyataannya aku sama sekali tak diajak diskusi, seperti Syuja. Sudah 30 menit sejak kedatanganku. Bintang mengajari Luthfi dengan telaten. Baru kali ini aku lihat Bintang dan Luthfi begitu akur dan serius, karena sehari-hari saat di kelas, keduanya selalu bercanda. Terutama Luthfi, dia moodbooster kami di kelas. Seperti yang aku bilang, Luthfi anak yang baik. Saking baiknya, dia tak pernah marah ketika dijadikan bulan-bulanan oleh teman-temannya, kadang dia justru ikut tertawa meskipun dia adalah korban kejahilan mereka. Aku jarang melihatnya serius, kecuali jika sedang ngegame atau membaca manga. Bahkan saat pelajaran Fisika yang diajar oleh Bu Widya yang terkenal killer saja dia masih bisa cengengesan. Jadi saat ini aku merasa seperti sedang melihat Luthfi yang lain, yang benar-benar berbeda dari biasanya. Begitu juga dengan Bintang, biasanya dia tak pernah serius menghadapi Luthfi. Dia selalu menjahilinya dan terkadang kesannya menindas. Bintang tak pernah bisa diam kalau melihat Luthfi diam, selalu saja ada yang dilakukannya untuk mengganggu sahabat sekaligus teman sebangkunya. Kali ini dia juga terlihat sama seriusnya dengan Luthfi, aku mengamati keduanya bergantian dengan sedotan menempel di bibir. Merasa heran sekaligus takjub. Pandanganku tanpa sengaja beralih ke Syuja, dia juga terlihat serius seperti Bintang dan Luthfi. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku sendiri kesulitan menebak-nebak. Tapi melihatnya dalam posisi duduk, dengan ekspresi serius seperti sekarang juga merupakan hal baru bagiku. Aku terbiasa melihatnya rebahan bahkan tertidur di kelas. Tiba-tiba dia menoleh padaku dan kami bertemu pandang, membuatku tersedak hingga terbatuk saking terkejut dan malunya. Bintang dan Luthfi langsung mengangkat kepala mereka. "Kenapa, Yang?" tanya keduanya bersamaan, aku menggelengkan kepala sebagai pernyataan bahwa aku baik-baik saja. Syuja menyodorkan tisu, aku menerima tanpa berani melihat sosok si pemberi. Bintang dan Luthfi menatap kami bergantian, lalu tanpa berkata apa-apa keduanya kembali fokus ke latihan soal di buku paket. Aku bergerak dengan kikuk, Syuja masih menatapku meskipun aku tak melihatnya langsung, tapi aku bisa merasakannya. Dengan sengaja aku mengalihkan perhatian keluar jendela, selama beberapa menit, tapi aku tetap bisa merasakan tatapan Syuja masih tertuju padaku. "Bisa nggak lihatnya ke tempat lain?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri karena kesal bercampur risih, tak tahu harus bagaimana lagi. Bintang dan Luthfi kembali mengangkat kepala dan melihat kami "Ada masalah?" tanya Syuja datar. Aku mengerutkan kening, heran melihatnya begitu santai mendengar protesanku. "Masalahnya apa?" tanya Syuja lagi. "Masalahnya ... " Aku menggantung kalimatku, tatapan matanya yang begitu intens membuatku mendadak kehilangan kata-kata. "Apa?" ulangnya, dengan ekspresi datar tapi sorot matanya sedikit melembut. Aku mengerjapkan mata kebingungan, lalu tiba-tiba kulihat Syuja tersenyum tipis. Ya, dia tersenyum tipis! Aku yakin tak salah lihat! "Kenapa tersenyum?" tanyaku tanpa sadar. "Siapa?" tanya Syuja terkejut, satu alisnya terangkat singkat. "Memang aku ngomong sama siapa?" tanyaku balik yang kemudian kusadari kalau aku terdengar menantangnya. Kalau saja bisa, aku ingin sekali menampar bibirku sendiri karena sudah lancang sekaligus nekat. Sesi bertukar pertanyaan kami terputus ketika tiba-tiba ponsel di dalam ranselku berbunyi. Aku tahu itu telepon dari Ibu, karena bunyi ringtone panggilan Ibu memang kusetting khusus. Mengabaikan Syuja yang masih menatapku, aku segera menerima telepon dari Ibu. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, Adek di mana? Kok Ibu telepon ke rumah nggak ada yang angkat?" "Masih di luar Bu, nemenin teman belajar," jawabku sambil melihat ke arah tiga cowok yang duduk di samping dan depanku. Ketiganya bersamaan melihatku dengan seksama, membuatku salah tingkah. "Kok nggak bilang kalau mau pulang telat?" "Soalnya dadakan, lupa mau ngabari Ibu." "Terus belajarnya di mana?" Aku lihat Bintang dan Luthfi sudah kembali dengan soal-soal latihan, tapi Syuja masih menatapku dengan lekat. "Mmm ... di Cafe Appetite." jawabku sambil mengabaikan tatapan Syuja dan mengalihkan pandangan keluar jendela. "Cafe Appetite? Yang dekat rumah?"  Mendengar pertanyaan Ibu, aku baru menyadari bahwa lokasi cafe ini memang tak terlalu jauh dari lokasi rumah kami, hanya sekitar 10 menit. "I-iya Bu." "Sama siapa? Farah?" "Bukan, teman sekelas." "Siapa? Sania?" "Bukan," jawabku kembali salah tingkah karena tak mungkin menyebutkan nama 3 cowok ini. Seumur-umur, Ibu tahu kalau sampai saat ini aku belum pernah dekat dengan lawan jenis. "Ya sudah, sampai jam berapa belajarnya?" "Kurang tahu, Bu," jawabku sambil menggigit bibirku sendiri. "Kalau begitu nanti kalau Ibu pulang, Adek kabari ya masih di cafe apa sudah selesai belajarnya. Biar sekalian Ibu jemput." "Iya." "Ya sudah, belajar yang baik ya Dek. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," sahutku lalu memasukkan ponsel ke ransel lagi. "Kenapa?" tanya Syuja, aku meliriknya dan menggelengkan kepala pelan. "Mau diantar pulang?" "Memang boleh?" tanyaku tanpa pikir panjang, Syuja hanya diam menatapku, membuatku refleks menundukkan pandangan. "Dicariin orang rumah ya, Yang?" tanya Luthfi tiba-tiba. Aku mengangkat kepala menatap Luthfi dan mengangguk. "Disuruh pulang?" kali ini Bintang yang bertanya. "Nggak juga." "Kalau gitu masih bisa kan di sini dulu?" tanya Luthfi lagi. "Mau pulang sekarang?" Syuja seperti tak peduli dengan pertanyaan Luthfi barusan. "Yah, kalau Yayang pulang, terus kamu juga pulang kan, Ja? Terus aku berdua aja sama Bintang gitu?" "Iya," jawab Syuja singkat tanpa melihat ke arah Luthfi. "Dih ... ogah! Ntar apa kata orang coba lihat kami berduaan?!" "Eh Kunyuk, kamu kira jeruk makan jeruk?!" protes Bintang sambil menoyor kepala Luthfi pelan. "Enggak lah, tapi pikiran orang kan kita nggak tahu, Musang!" "Kalau kamu nggak mepet-mepet juga orang nggak akan mikir yang aneh-aneh, Nyuk!" "Dih, males mepet-mepet sama kamu! Kita bukan mahram!" sahut Luthfi membalas omongan Bintang. Bintang langsung meraih leher dan memiting Luthfi seperti yang dilakukannya tadi di kelas. Luthfi refleks meronta agar dilepas. Kali ini aku melihat sosok Bintang dan Luthfi yang biasanya, yang tak pernah akur dan selalu saja saling menyela satu sama lain. "Ayo!" ajak Syuja padaku, dia sudah berdiri dan mengambil jaket berwarna hijau army. Aku menatap Syuja lalu beralih pada Bintang dan Luthfi. "Seriusan, Ja?" tanya Luthfi memelas. "Bintang sudah cukup buat ngajarin kamu," jawab Syuja, kali ini dia mengambil tas ranselnya. "Yang?" sekarang Luthfi mencoba merengek padaku, dia memasang muka memelas seperti yang dilakukannya tadi di halte bus. Syuja melihat tingkah Luthfi lalu mengetukkan punggung jari telunjuknya ke dahi Luthfi, membuat Luthfi langsung mengelus-elus dahinya dengan ekspresi cemberut. "Kan Pak Sis bilang belajarnya sama Bintang dan kamu, Ja?!" "Ini anak bawel ya! Nggak cukup kalau aku yang ngajarin?" sahut Bintang gemas. "Bukan nggak cukup, tapi rasanya ada yang kurang! Hampa tanpa kehadiran Syuja!" "Najis!!" Bintang memukul belakang kepala Luthfi agak keras. Luthfi mencoba membalas, tapi Bintang lebih gesit dan menahan kedua tangan Luthfi. "Ayo!" ajak Syuja lagi lalu meraih pergelangan tanganku. Dia seolah tak peduli kalau dua sahabatnya ini bisa saja adu gulat di tempat umum. Aku berdiri dengan canggung seraya mengambil ransel yang kuletakkan di samping kiri. "Balik dulu," pamit Syuja ketika aku sudah berdiri. Belum sempat aku berpamitan, dia sudah memegang pergelangan tanganku, dan kami berjalan keluar. Bintang dan Luthfi hanya menyerukan "Hati-hati" bersamaan. "Mmm, Ja ... aku bisa naik angkot dari sini," kataku ketika berjalan menuju motornya. Syuja diam dan mengabaikan perkataanku. "Rumahku dekat, jadi nggak perlu di antar." Aku mencoba untuk menghentikan Syuja, biar tak perlu mengantar pulang. Alih-alih merespon perkataanku, saat kami sampai di depan motornya, dia justru menyodorkan jaket yang sedari tadi dipegangnya. "Pakai!" perintahnya dengan nada datar. "Nggak usah," tolakku cepat. Tanpa bicara, dia membuka jaket hingga dalam posisi siap dipakai lalu menatapku. Semacam kode supaya aku memakai jaketnya. Aku menggelengkan kepala pelan, masih mencoba untuk menolak. Tapi tanpa aku duga, dia meraih ranselku lalu menyodorkan jaketnya hingga mau tak mau akhirnya aku memakainya. Tercium aroma maskulin, aroma khas Syuja yang cukup kukenali. Setelah memakai jaketnya, dia mengembalikan ranselku. Lagi-lagi tanpa bicara, dia menyodorkan helm yang diambilnya dari motor Luthfi padaku. Aku menerimanya dengan ragu dan memakainya. Syuja sudah duduk di atas motor, mesin motornya juga sudah menyala. Tapi aku masih berdiri di samping. "Kenapa?" tanyanya tenang, separuh wajahnya tertutup oleh masker, hanya terlihat kedua matanya yang memberi kesan makin tajam. Aku menggelengkan kepala lalu bersiap naik ke boncengan. "Tunggu!" cegah Syuja tiba-tiba, dia menahan pergelangan tanganku hingga aku berdiri menghadapnya lagi. Kedua tangannya meraih bagian bawah jaket yang kukenakan, lalu menarik resleting jaket hingga dagu. Aroma maskulin semakin menguar tajam dari jaket yang kupakai. Setelah itu Syuja menyuruhku naik. Bintang dan Luthfi yang melihat kami dari jendela melambaikan tangan mereka pada kami. Aku membalasnya dengan senyuman segan, sementara Syuja tak peduli. Yang tak aku sadari, sejak Syuja menggandengku dan berjalan menuju motornya tadi, ada sepasang mata yang terus mengamati kami dari sisi lain dalam cafe. Dalam perjalanan mengantarku, Syuja juga tak banyak bicara. Dia hanya bertanya untuk memastikan arah menuju rumah. Syuja menghentikan motor tepat di depan rumah. Aku turun dari boncengan, melepas helm yang kupakai, sementara dia menurunkan maskernya ke dagu setelah menerima helm yang kuberikan. "Kok sepi?" tanyanya ketika melihat suasana rumah. Aku mengangguk pelan seraya melepas jaket yang kukenakan lalu menyodorkan ke pemiliknya. "Nggak ada orang?" tanyanya lagi, membuatku menganggukkan kepala kedua kali, "terus yang telepon tadi?" "Ibu ... masih di tempat kerja." "Yang lain?" "Cuma berdua sama Ibu," jawabku yang membuat tatapan Syuja terasa makin lekat, dan aku sendiri kian kikuk. "Jam berapa Ibu pulang?" "Mmm ... bentar lagi," jawabku setelah melihat jam di pergelangan tangan. Syuja diam, akupun ikut terdiam. Setelah hampir 3 menit tanpa percakapan sepatah katapun, Syuja memakai jaketnya. "Ditinggal nggak apa-apa?" tanyanya sembari membetulkan bagian leher, aku menganggukkan kepala, agak bingung sebenarnya dengan maksud pertanyaan dia. "Ya sudah, masuk sana!" perintah Syuja tanpa nada tinggi. "Nggak apa-apa, jalan aja dulu," tolakku. Syuja menatapku tajam, sekarang aku tahu kenapa teman-temannya selalu menuruti setiap kata-kata yang dikatakannya. Tatapan matanya memang mengintimidasi, apalagi dengan kondisi kami sekarang. Tapi aku memilih tak menurutinya. Entah keberanian siapa dan dari mana yang tiba-tiba menempel padaku saat ini hingga berani melawannya. "Apa aku harus mengulangi kata-kataku?" tanya Syuja heran. "Jalan saja, toh aku di depan rumah sendiri." Kali ini Syuja menggelengkan kepala, bukan karena tak setuju tapi aku rasa lebih karena tak percaya melihatku yang tiba-tiba berani beradu pandang dengannya bahkan sampai melawan perkataannya. Aku ... yang biasa memunggunginya di kelas, dan tak berani berlama-lama membalas tatapan matanya. Setelah terdiam menatapku beberapa saat, akhirnya Syuja mengalah dan menyalakan mesin motor. "Cepat masuk setelah aku pergi," perintahnya lagi, yang kemudian kurespon dengan anggukan kepala. "Aku jalan," pamitnya singkat. Sekali lagi aku mengangguk pelan, lalu dalam hitungan detik Syuja berlalu pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD