Bab 1

3110 Words
Namaku monica, aku sudah menjalani pernikahan ini sekitar satu tahun, namun sayang selama perjalanan pernikahan kami. Tak pernah sekalipun suamiku memberikan cintanya. Aku sama seperti halnya wanita kebanyakan, yang menginginkan sebuah pernikahan yang sempurna dan bahagia. “Ngapain lo bengong, kerjain pekerjaan lo sana.” ucap revan sambil menantap nica jijik. “Ii…iya “ nica menjawab dengan nada ragu. Sudah hampir satu tahun mereka bersama. Namun belum ada perubahan dalam rumah tangga yang sedang mereka jalani. “Rajin banget non pagi-pagi udah di dapur bibi aja kalah.” gurau bi cici “Nica mau maasak bi” jawab nica “Aduh non biar bibi saja yang masak. Non kan masih sakit, mending istirahat aja” saran bi cici Memang dari kemarin tubuh nica kurang sehat. Di tambah lagi revan yang melarangnya makan karena kesalahan yang nica perbuat. Hanya karena menjatuhkan foto di ruangan kerja revan menyebabkan nica kelaparan. “Gak papa bi, lagian kan ini memang tugas aku sebagai istri.” “Ya udah non tapi jangan sampai kelelahan, kalau begitu bibi kebelakang dulu atuh mau jemur pakaian.” “Ya udah sana gih bi” Nica melanjutkan aktivitas memasaknya, hingga tersaji beberapa menu yang siap di makan. “Mas sarapannya udah siap” panggil nica pada revan. “Gue gak sarapan di rumah.” “Oh, mau aku bawain bekal mas” “Lo mau permaluin gue. Lo kira gue anak kecil yang nenteng bekal dan satu lagi gue gak sudi di bawain bekal sama lo.” “I..iitu mas maksud aku bukan begitu” “Alahhh alasan. Pagi-pagi bikin mood ancur aja dasar jalang sialan” maki revan meninggalkan nica. Setelah mendengar bentakan revan, nica hanya menunduk dan menyeka air matanya yang sudah mendesak untuk di keluarkan. “Kamu harus kuat nic. Kamu jangan jadi wanita lemah”  nica memberi semangat untuk dirinya sendiri. Karena dia akui dirinya tidaklah sekuat harapanya. Ya. Nica hanyalah wanita lemah. Yang  mengharapkan kasih sayang dari seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Siapa lagi kalau bukan suaminya. Namun harapn tinggalah harapan karena suaminya dengan berbaik hati selalu memberikan luka untuknya. “Bi, sekarang nica aja yang pergi belanja bulanannya.” Pamit nica pada bi cici “Iya, hati-hati non, kalau belanjaannya kebanyakan kabarin bibi aja ya.” “Siiip bi. Dadah nica berangkat dulu”nica keluar sambil terus melambaikan tangannya. Untuk pergi kepasar nica hanya berjalan kaki. Karena pasar yang di tujunya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Di banding dengan naik angkot hanya membuang-buang uang saja. Bukannya pelit, hanya saja ia juga harus lebih pandai mengatur keuangan agar terhindar dari amarah suaminya. “Bang gula sekilo berapa” Tanya nica “20 ribu neng” “Si abang mah, mau boongin saya ya, kemarin aja saya beli 10 ribu, naiknya kecepetan atuh bang” “Mana ada neng paling juga 15 rebu, kalau 10 rebu mah pedagang pada rugi atuh” “Ya udah 15 ribu aja bang. Padahal saya langganan loh bang, masa nawar 5 ribu aja gak bisa” bujuk nica, kalau masalah tawar menawar nica gak boleh di remehin. Malah patut di acungin jempol, tapi sekedar mengingatkan, nawar boleh tapi jangan berlebihan yang ada pedangangnya jengkel. “Nggak neng, 15 rebu juga itu harga udah jatoh banget, kasian atuh sayanya gak dapat untung” “Ya udah nih bang uangnya pas ya” “Iya neng, jangan lupa besok belanja kesini lagi” “Ahsiapp bang” Saatnya nica berkeliling lagi di pasaran untuk mencari stok belanjaan lainnya. Sudah hampir satu jam nica belanca dan di rasa semua kebutuhan sudah terpenuhi. Akhirnya nica pun memutuskan untuk pulang. *** “Bi kamar mas revan sudah di beresin belum” “Aduh non maaf, bibi kelupaan” jawab bi cici “Gak papa biar nica aja yang beresin” “Tapi non” belum sempat bi cici menjawab, nica langsung memotong ucapannya. “Gak ada tapi-tapian, pokoknya biar nica aja toh bibi juga masih banyak kerjaan lain kan” “Iya sih non, tapi bibi gak enak” “Ah si bibi pake acara gak enak segala. Mangkannya bi kalau ngasih bumbu itu dicicipin dulu biar rasanya enak” sahut nica seraya tersenyum. Sementara bi cici hanya menatap kepergian sang majikannya di seratai dengan helaan nafasnya. “aishh, berantakan sekali kamar suamiku” Mendengar kata suami dari mulutnya sendiri nica hanya mampu tersenyum. Ada rasa hangat namun juga pedih secara bersamaan. Nica selalu bersemangat ketika membereskan kamar revan, karena selama ini revan selalu melarangnya. Ya, banyak larangan yang revan terapkan pada nica contohnya saja jangan memasuki area pribadi revan, jangan menyentuh barang-barang yang berhubungan dengan revan dan masih banyak lagi yang lainnya. *** Tok tok tok Nica berlari kearah pintu untuk membukanya. “Cih dasar jalang pemalas, lama sekali buka pintunya” “Maaf, tadi aku lagi bantu bi cici di dapur” “Alasan, minggir” revan sedikin mendorong tubuh nica yang berada di ambang pintu. “Ayo sayang masuk, pasti kamu lelahkan” suara revan terdengar lembut bagi nica, dan nica tidak menyukai hal itu, karena nada suara revan yang lembut bukan di tujukan untuk dirinya. Melainkan untuk seorang wanita yang kini berada di rangkuran suaminya. “ Tunggu mas, dia siapa” Tanya nica lantang, meskipun keadaan rumah tangganya sedang kacau, tapi nica tidak menyukai perilaku revan yang membawa perempuan seenaknya. “Pacar guelah, siapa lagi” “Gak mas, mas gak boleh begini” “siapa elo hah? Ngatur-ngatur gue” “AKU ISTRI KAMU” ucap nica penuh penekan seolah-olah ingin membuat revan tersadar atas kelakuannya. “HAHAHA lo itu jalang dan harusnya jalang macam lo sadar sesadar sadarnya. Kalau gak mungkin bisa jadi istri seorang revan” “Aku bukan jalang” timpal nica Plak Tapi dengan cepat tangan revan melayang dan mendarat mulus di pipi nica. “Dengar ya monica rafasya. Gue gak pernah nganggap lo itu istri gue dan gak akan pernah, jadi lo gak usah bermimpi” “Dan ya, ini pacar gue namanya shilla andini” lanjut revan Melihat kejadian tersebut. Wanita yang datang bersama revan hanya tersenyum puas, seolah mengejek nica yang sama sekali tidak di harapkan oleh suaminya. “Sayang kita ke kamar aja yuk, lama-lama disini juga malah bikin muak” ucap revan diiringi dengan langkah kakinya. “Sorry, tapi ini kemauan revan. So, lo harus hormatin gue sekarang. Karena itu semua biar lo gak makin di benci sama revan” bisik shilla dan berlalu mengikuti revan. “Apa yang aku takutkan selama ini akhirnya terjadi” batin nica. Tak henti-hentinya nica menangisi pria yang sama. Pria yang selalu menorehkan luka pada hati nica. Seolah kesakitan yang selama ini belum cukup untuk nica rasakan. Kini pria itu membawa kesakitan yang berkali lipat dari sebelumnya. Apa wajar seorang suami membawa seorang kekasih, di saat istrinya sendiri menunggu kepulangannya di rumah. Sungguh terbuat dari apa hati revan. Sampai dengan tenganya dia berbuat seperti itu pada nica. Memang sebelumnya nica pernah berbuat salah, tapi apa harus balasannya semenyakitlan ini. Tak akan ada wanita yang sanggup jika berada di posisi ini terua menerus. Setangguh apapun wanita itu pasti akan menyerah pada akhirnya. Mungkin sekarang nica masih bias kuat untuk menghadapi revan, tapi tidak dengan wanita yang kini berstatus sebagai kekasihnya. Hatinya terlalu hancur jika harus menyaksikan perbuatan b***t mereka. "Apa yang harus aku lakukan tuhan?" Gumam nica seraya menangisi keadaan rumah tangganya. "Kenapa suami ku sendiri tega berbuat seperti itu." Tak ada kekuatan apapun lagi, kini hanya pasrah dengan takdir yang terus mempermainkannya. Menyerah? Haha bahkan kata itu selalu terlintas di otak bodohnya, namun sama sekali tak pernah dirinya untuk melakukan itu semua. Kebodohanlah yang kini menjadi penyesalan nica. Kenapa waktu itu dirinya begitu bodoh, dirinya sama sekali tak memikirkan masa depan yang akan ia lewati sendirinya. "Non kenapa lagi?" "Bibi gak pulang?" Sebenarnya nica malu, harus melihatkan keterpurukannya kepada bi cici, apalagi dengan kondisinya sekarang. Sudah di pastikan ini bakal mendapat empati orang untuk mengasihaninya. "Bibi sengaja gak pulang, karena tuan belum dateng juga." "Bibi tau tadi mas revan bawa wanita." Bi cici mengangguk lemah, mengasihani majikannya yang terus terluka akibat rumah tanggannya. "Semua rumah tangga pasti ada aja cobaannya non." Memang benar apa kata bicici semua rumah tangga memiliki cobaan masing-masing. Tapi kenapa selama ini cobaan tak pernah henti datang menghampirinya. Setidaknya kasih waktu untuk nica menjernihkan kembali pikirannya. Tapi rasanya itu tak mungkin, revan tak akan membiarkan nica tenang walau hanya sekejap. "Tapi bi..." nica tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Dirinya terlalu lemah hanya untuk menceritakan kesedihannya selama ini. Tak kuat untuk mengingat setiap kejadian yang terus dia hadapi setahun belakangan ini. "Cup... cup... cup... sudah non, jika mau nangis, nangis aja gak papa. Bibi paham dengan kondisi non sekarang." Bicici merangkul nica, mengusap punggung majikannya dengan penuh kasih sayang. Padahal yang bicici tau, tuannya itu adalah sosok pria baik, penyang dan lemah lembut. Dia tak menyangka kini revan bakal berubah menjadi sosok yang kejam, keras dan egois. Tentu saja bi cici tau sifat revan, karena selama ini bicici adalah asisten keluarga prasetyo ayah dari revan. "Sekarang non harus istirahat dulu. Memgahadapi kenyataan pahit ini butuh tenaga." "Makasih bi, bibi selalu bisa ngertiin keadaan nica." "Itu memang sudah kewajibannya non. Jika butuh apa- apa jangan sungkan. Sebisa mungkin bibi akan selalu ada buat non." Nica di buat tetharu dengan pernyataan bicici, tak menyangka asisten yang dikirim oleh mama rara ternyata begitu baik dan pengertian terhadap dirinya. "Heh jalang, siapin makanan buat gue dan pacar gue." "Tapi mas, ini udah terlalu malam buat masak. Lagian selama ini kamu kan gak pernah makan masakan aku" "Itu bukan urusan gue, pokoknya gue gak mau tau, lo masak sekarang atau malam ini lo tidur diluar sekalian." Mendengar ancaman dari revan, mau tak mau nica lebih menuruti perintah suaminya. Bagaimana mungkin dirinya harus tidur diluar? "Baik mas, sebentar aku masak dulu." "Jangan lama, gue udah laper banget." Setelah mengucapkan itu revan kembali ledalam kamarnya. Nica lebih cocok sebagai pembantu dirumah ini, yang harus melayani tuan dan nyonya. "Bibi bantuin ya non." "Iya bi boleh, makasih ya." Untung bicici hari ini tak pulang, meski tak enak karena malam hari bukanlah jam kerjanya bicici. Setelah lama berkutat di dapur akhirnya semua masakan pun telah tersedia. Padahal selama ini suaminya tak pernah menyuruhnya untuk masak, apalagi sampai mau memakannya. "Mas, makanannya udah siap." Ucap nica didepan pintu kamar suaminya. Ceklek Pintu terbuka dan terlihat wanita yang mengenakan pakaian tipis keluar, nica kira yang akan membukanya revan ternyata malah kekasihnya. "Mbak makanannya udah siap, bisa bangunin mas revannya." "Aduh lo lama amat masaknya, gue sama revan bahkan udah kelelahan karena bercinta." Bercinta? Bahkan selama ini revan tak pernah berniat untuk menyentuhnya, tapi dengan wanita lain revan melakukannya. Ini sama saja suaminya telah melakukan dosa besar, bagaimanapun alasannya zina tetaplah salah. "Maaf mbak, apa mbak gak malu menjadi w*************a?" Sejujurnya nica sudah muak dengan sifat wanita itu, memang dia diakui revan sebagai kekasihnya. Namun disini nicalah istrinya, tentu dia lebih punya hak ketimbang pacar suaminya itu. "Hah penggoda? Yang ada suami kamu yang ngegoda saya." "Jika mbak memang wanita yang bermoral juga beretika, saya yakin, mbak gak bakal tergoda dengan suami saya." Nica tau jika ucapannya ini bakal memancing amarah revan lebih parah, tapi biarlah itu urasan nanti. Jika pun revan marah itu gak terlalu berarti buat nica. Karena tiap harinya revan akan terus memarahinya. "Setidaknya saya lebih unggul dibanding kamu, yang sengaja menjebak seorang pria agar menjadi milikmu." Jawaban shila menjadi tamparan tersendiri buat nica, jadi suaminya sudah menceritakan seluruh kejadian yang telaha nica perbuat di masalalu. Pantas wanita ini semakin menjadi dan tak tau malu. "Ada apa ini sayang?" Tanya revan yang tiba-tiba muncul dengan handuk yang melilit dipinggangnya, bertanda dia telah membersihkan diri dikamar mandi. Jadi benar apa yang di ucapkan shila, bahwa tadi mereka telah menghabisakan malam bersama. Seburuk itukah nica hingga suaminya sendiri lebih memilih wanita di luar daripada istrinya sendiri. "Mas" ucap nica lirih "Ngapain lo di depan kamar gue." Tanya revan emosi. "Dia tuh mas, datang-datang langsung marahin aku, pake bilang aku ini ngegoda mas." Adu shila yang langsung memdapat respon dari revan. "Lo berani sama kekasih gue." "Mas aku cuma mau bilang, masakannya udah matang. Jika terlalu lama nanti keburu dingin." Nica sengaja tidak menjawab pertanyaan revan, dan lebih memilih untuk mengalihkannya kepertanyaan lain. Dia yakin akan ada masalah baru lagi. "Alah, gue gak sudi makan masakan lo. Buang aja tuh masakan." Buang?? Bukannya tadi dia sendiri yang menyuruh dirinya untuk memasak, terus setelah mematuhi perintah itu. Dengan seenaknya dia bilang buang. "Seenak itu kamu bilang." Nica di puncak emosinya sekarang, dia yang tadi lelah. Bela-belain masak untuk suaminya dan sekarang, cih memuakkan sekali mereka. "Tunggu disini kalian, aku ada sesuatu." Ucapku seraya pergi. Nica memgambil dua piring makanan yang telah dipasaknya. Lalu berjalan menuju kamar revan berada. Byur Sayur dalam mangkuk telah berubah tempat kekepala shila, begitu pun dengan rendang yang kini telah memenuhi wajah revan. Setidaknya nica tidak akan merasa sia-sia telah masak sebegitu capeknya. "Kalian tidak mau memakannya malah menyuruhku membuang masakanku sendiri." Nica melihat miris kepada dua orang yang kini akan langsung mengahajarnya tanpa ampun. "Tempat sampah di rumah ini udah penuh, dan tadi aku lihat kalian ini sama saperti sampah, bahkan mungkin lebih busuk dari itu." Revan mengeratkan tangannya, dia tak terima dengan perlakuan nica kali ini. Di tambah dengan kekasihnya pun yang ikut dia guyur dengan sayur. "Ku rasa kalian mesti mandi kembali, karena gak mungkin kan, jika kalian b******a dalam keadaan menjijikan seperti itu." Huh setidaknya sekarang nica gak mikirin apa yang bakal terjadi selanjutnya. "Kau.." Plak plak plak Tamparan revan langsung mendarat di pipi nica dengan begitu keras, revan tak akan pernah mengampuni semua perbuatan nica yang sangat lancang padanya. "Sejak kapan lo berani hah." "Lo harus sadar, kalau lo itu yang sampah. Bahkan keluarga lo sendiri udah buang lo layaknya sampah." Jleb Ya, nica sadar jika keluarganya sendiri telah membuangnya, tapi menurut nica tak ada yang salah dengan yang dilakulannya kali ini. Revan dan shila memang telah berbuat salah, dan sebagai istri, nica perlu mengingatkannya. "Aku hanya ingin mengingatkan, jika yang kalian lakukan itu salah." "Salah dimananya, kami sepasang kekasih, kami juga salung mencintai. Yang salah itu kenapa gue meski nikah sama lo." Kenapa revan tak sadar jika setiap ucapan yang keluar dari mulutnya itu begitu menyakitkan untuk nica. Jika pernikahan ini sebuah kesalahan lalu, kenapa revan masih belum melepaskannya. Seharusnya revan langsung menalaknya saat itu juga. Nica tak mungkin mengajukan perceraian karena dirinya tak memiliki uang lebih untuk melakukan itu semua. Andai saja keluarga besarnya mau membantu nica untukenyelesaikan masalah ini. Mungkin kejadiaannya akan langsung selesai. "Sudahlah mas, aku capek ngadepin kamu yang keras kepala." Nica memilih untuk pergi, menenangkan pikiran saat ini sangatlah dibutuhkan. Apa orang lain di luar sana juga ada yang mengalami hal serupa dengan dirinya? Di benci oleh suami sendiri, di benci oleh seluruh keluarga sendiri. Tak ada yang mendukung dikala keputus asaan ini selalu datang. Apa hidup nica akan terus seperti ini sampai dia meninggalakan dunia ini. "Bi, buang aja makanannya." "Loh kenapa emangnya?" "Mas revan gak mau memakannya bi." Nica menaruh piring dan mangkuk bekas tadi. Padahal nica telah memasak banyak agar revan bisa mencicipi berbagai aneka rasa masakannya. Memang ya, jika memiliki harapan itu jangan terlalu besar. Karena jika harapan itu tak terjadi jatuhnya malah sakit banget. "Sayang atuh, mending kita makan aja non." "Tapi bi.." "Udahlah non, jangan terlalu dipikirin. Sayang banget jika harus di buang." Bicici telah mengalas nasi besrta lauk pauk yang masih tersisa untuk nica. "Nih non, pura-pura kuat juga butuh tenaga." "Hehe bibi bisa aja. Nica mah emang kuat dari sananya kali bi." Akhirnya nica pun memilih untuk memakan maskannya sendiri. Meski selera makannya tak ada tapi dia memaksakan untuk menelan semua makanannya. Nica harus tau bahwa di buang itu sakit, begitupun jika nica membuang semua makanan ini. Bisa saja makanan ini juga merasakan apa yang tengah nica rasakan. "Gimana non, enak pan." "Hehe iya bi, sekarang perut nica kenyang deh." "Perut kenyang hatipun kudu senang." "Bibi bisa aja." "Eh bi, nanti bibi tidur bareng nica aja ya. Nica gak mau sendirian dulu saat ini." Jika dulu saat sedih nica bakal meminta mamanya untuk memeluk dan menenagkan dirinya, kini bicicilah sebagai sandaran nica. Sifat keibuan yang dimiliki bicici membuat nica merasa nyaman sekaligus bisa merasakan kembali kasih seorang ibu. "Emang boleh non." "Tentu dong bi, kan nica sendiri yang minta." "Ya udah, abisin dulu makanannya, nanti kita langsung istirahat di kamar non." Jika dulu nica mau, bicici lebih memilih ujang anaknya untuk menjadi suami nica, setidaknya ujang gak bakal tega menyiksa istrinya sendiri meskipun dia tak mencintainya. Toh banyak pepatah yang mengatakan cinta datang karena terbiasa. Tapi selama bersama, tuannya tak pernah melirik nica sama sekali. Berarti pepatah itu hanya mengada ada saja. Dan nol pada kenyataannya. "Bi jika bibi ada di posisi nica, apa yang bakal bibi lakuin." Bicici kaget mendapat pertanyaan mendadak dari nica, pasalnya jika boleh jujur bicici sendiri pun sudah tak tahan melihat revan selalu semena mena kepada nica. "Jika bicici sendiri sih, bibi lebih baik cerai sama suami bibi." Nica pun menghela nafas, nica sudah tau jika semua jawaban orang rata-rata adalah memilih untuk pergi. Daripada mempertahankan rumah tangga yang cacat. "Tapi kembali lagi non, pada diri masing-masing. Jika yakin masih kuat untuk menghadapi semuanya kenapa tidak bertahan." "Nica bingung bi, di sisi lain ingin mengakhiri semuanya, tapi sebagian hati nica menolak dan memilih untuk bertahan." Perasaannya belum semantap itu, meski nica berkata ingin pisah namun tetap hati kecilnya terus berontak. Dirinya masih ragu untuk mengambil tindakan sejauh itu. "Coba non pikir ulang lagi. Sampai keputusan non matang." "Iya bi, semuanya harus di persiapkan dengan sematang mungkin. Tak mungkin nica asal pilih." Tak berselang lama bicici pun telah beralih ke alam mimpinya, sementara nica masih terus bimbang dengan hatinya. Ingin menjerit, melepaskan semua beban hidupnya. Nica tau semua orang memiliki beban hidup yang berbeda, perasaan yang berbeda. Tak mungkin nica memaksa semua orang untuk mengerti akan masalah yang sedang dihadapinya saat ini. Mungkin saja di luar sana banyak yang lebih-lebih sulit menjalani hidupnya. Seharusnya nica masih bersyukur karena dalam keadaan terpuruk pun, masih ada seseorang yang peduli akan hidupnya. Menasehati juga menyemangatinya agar tidak kalah dalam pertarungannya. "Mam, andai mama masih ada dibumi ini. Apa mama akan sama seperti mereka, membenci nica." Nica kembali menangis, ya, mama kandung nica sendiri telah meninggal di saat dirinya tengah duduk di bangku sd. Saat itu juga nica telah merasakan kesepian yang sangat dalam. Namun sekarang keluarganya sendiri malah membuangnya. Ayah beserta mama barunya yang telah nica anggap sebagai mamanya sendiri tega melakukan semua itu. Memang tak ada yang benar-benar menyayangi nica dengan tulus. Mereka hanya menyayanginya di saat nica masih menjadi anak kebanggaannya. Tapi disaat nica melakukan kesalahan yang memalukan. Mereka seolah tutup mata juga telinga. Bahkan dalam kisah hidupnya sendiri nica tak pernah menemukan kebahagiaannya. Mungkin jika nica berbahagia itu sebuah bencana bagi orang-orang sehingga hanya derita yang didapatnya kini. Bertahanlah sampai kamu menyerah, bersabarlah sampai puncaknya. Tak mungkin mereka memperdilikan keadaan nica saat ini. Meskipun nica mati ditangan suaminya, nica yakin semua itu tak akan merubah apapun. Dirinya akan tetap terlupakan seloah mereka memang tak mengetahui keberadaan nica. Bukan hanya revan yang menjadi alasannya menjadi lemah seperti ini. Tapi juga keluarganya. Jika dulu nica adalah pribadi yang ceria, aktif dan membuat siapapun tersenyum didekatnya kini nica hanya seorang wanita, pemurung, penyendiri, pendiam. Siapapun yang berada di dekatnya akan merasakan hal sedih. Itu semua berubah karena tak ada lagi dukungan dari orang-orang tercintanya. Nica harus mampu berdiri sendiri diantara rasa sakit ini. "Maafkan nica mam, telah mengecewakan mama disana." "Nica janji akan mengembalikan suasana seperti dulu." "Doakan nica mam, agar nica kuat menghadapi hari- hari nica yang penuh derita juga air mata." Papa? Bahkan papa nica hanya mementingkan pekerjaannya. Dihari pernihannya saja papa nica tak bisa hadir. Bukan karena tak peduli tapi memang pernikahannya terjadi mendadak sekali. Sehingga pamannya sendiri yang menjadi walinya saat itu. Nica pikir itu gak bakal sah, tapi semua orang berkata jika itu sah-sah saja. Nica akui jika dirinya memang buta agama. Selama ini juga nica selau melukan tuhanya serta kewajibannya. Tapi disaat dirinya tersiksa, dengan tak tau malunya nica akan meminta doa pada tuhannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD