2. Arvino

2164 Words
“Pagi, Bos. Sudah rajin saja pagi-pagi.”  Aku menoleh pada orang yang sudah berani memukul keras pundakku. Sebenarnya tanpa menoleh pun, aku tahu siapa si pelaku. Di dunia ini hanya satu orang yang berani menyentuhku seperti itu. Danu Raharja.  “Loe bisa enggak, sih, menghilangkan kebiasaan pukul-pukul gue kayak gitu? Kayak yang loe bilang tadi, gue itu bos loe,” kataku sambil tersenyum miring. Itu gayaku supaya kelihatan keren. Walaupun tanpa bersikap seperti itu, aku sudah keren.  Serius! Aku memang sekeren itu. Setidaknya menurut orang-orang yang sudah pernah bertemu denganku, terutama kalangan wanita. Mereka sering menawarkan hubungan padaku. Maaf saja, aku tidak percaya dengan yang namanya cinta atau status hubungan pernikahan.  Cinta itu hanya omong kosong yang dikatakan oleh orang yang serakah. Mereka mengatasnamakan cinta untuk memenuhi egonya yang tidak bisa dibendung. Menjadikannya alasan untuk merasa menang dari orang lain.  Sudah lama aku membuang kata cinta antara dua insan berbeda jenis. Pengalaman pahit tentang kata “cinta” membuatku sulit memercayai perasaan itu atau bahkan tidak bisa menerimanya. Setiap berdekatan dengan wanita, aku tidak merasa tertarik.  Bukan berarti aku jadi berpindah haluan mencintai sesama jenis, ya. Maksudku, aku bukannya tidak menyukai wanita. Aku bisa menyukai mereka, tapi tidak bisa memberikan hubungan melebihi pertemanan.  Banyak yang mengatakan aku kejam ketika menolak wanita. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku bukan orang yang bisa berpura-pura menyukai seseorang, padahal hatiku menolak. Lebih baik aku berkata sejujurnya dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Keputusanku sudah tepat, bukan?  Meskipun di sekitarku sudah banyak orang yang membuktikan jika cinta itu nyata, aku masih tetap ragu. Entah karena aku memang belum siap atau karena belum bertemu sosok yang tepat. Aku sendiri tidak yakin dengan jawabannya.  Danu, misalnya. Dia satu-satunya orang yang tahu mengapa aku membenci kata “cinta”. Pemuda itu sudah menikah dengan wanita yang dipacarinya selama empat tahun. Sementara pernikahannya sudah berjalan tiga tahun.  Namun, itu belum membuatku yakin. Cinta yang membuatku terpuruk adalah cinta buta. Ya, cinta yang tidak bisa dipisahkan meski tambatan hati sudah menikah. Cinta membuatnya menggunakan segala cara untuk merebut kebahagiaan rumah tangga orang lain. Padahal jelas-jelas ada orang lain yang mencintainya dengan tulus.  Rasanya tidak ada yang bisa memahamiku. Aku hanyut sendiri dalam penderitaan bertahun-tahun. Selalu mendapatkan mimpi buruk karena tidak bisa melupakan kejadian itu. Hari di mana aku tidak lagi memercayai cinta.  “Pagi-pagi jangan melamun, Bos. Nanti kesambet.”  Aku memicingkan mata ke arah Danu. “Percaya. Soalnya kan setannya sudah di sini,” ujarku sambil menunjuk dirinya.  “Enak saja. Ganteng begini dibilang setan,” protes Danu. Dia menyingkirkan tanganku dengan kasar setelah pura-pura membenahi kerah bajunya. Aku terbahak.  “Narsis loe sudah enggak bisa ditolong. Kalau pun ada yang bilang loe ganteng, itu pasti istri loe doang,” kataku kejam, lalu kembali terbahak.  Tentu saja Danu itu sebenarnya lumayan ganteng. Tapi tetap lebih menarik aku. Kalau ada wanita yang gagal mendekatiku, biasanya mereka langsung menoleh pada Danu. Sayangnya, mereka harus patah hati lagi karena Danu sudah beristri.  “Yang penting kan gue bisa mencintai dengan tulus,” kata Danu bangga. Aku mematung mendengar kalimat itu. Harus aku akui, Danu memang harus diacungi jempol untuk kesetiaannya pada sang istri. Dalam hal ini, aku memang selalu kalah. “Maksud gue ....”  “Enggak usah merasa enggak enak gitu. Gue memang enggak bisa mencintai dengan tulus kayak loe.” Aku memotong ucapan Danu begitu melihat gelagatnya yang gelisah. Mungkin dia merasa telah menyinggungku.  Aku mungkin sedikit tersinggung, tapi memang itulah kenyataannya. Sampai saat ini, aku belum bisa membuktikan pada dunia kalau aku bisa mencintai dengan tulus. Yang kumaksud di sini adalah cinta pada lawan jenis, ya. Jangan salah paham. Aku selalu tulus mencintai sahabat dan rekan kerjaku, tapi aku tidak bisa mencintai wanita dan berkomitmen. Padahal usiaku sudah dua puluh enam tahun. Memalukan!  Mencintai wanita itu bukan hal yang mudah bagiku. Seperti yang sudah aku katakan tadi, aku pernah membenci kata cinta setengah mati, bahkan sekarang masih. Walaupun tidak separah dulu. Aku masih belum siap terluka karena cinta atau lebih tepatnya, aku belum siap untuk menyatukan kata “cinta” dengan seorang wanita.  “Loe harus buka hati, Bro. Ada banyak orang yang mencintai dengan tulus. Loe enggak bisa menilai semua pencinta itu perusak kebahagiaan orang lain,” kata Danu sok bijak.  Danu bisa saja berkata begitu dengan mudah. Dia tidak pernah berada di posisiku. Bagaimana rasanya hancur karena cinta buta. Bagaimana rasanya terpuruk karena mengalah demi cinta. Bukan cuma dalam hitungan bulan, tapi bertahun-tahun. Aku bahkan masih bisa mengingat setiap kata yang terlontar ketika menuntut penjelasan.  “Kami saling mencintai. Memangnya apa salah kami kalau kami akhirnya menikah?” Ucapan pria itu sungguh membuat darahku mendidih. Aku pasti sudah membuatnya babak belur kalau saja tidak teringat pesan Mama.  “Cinta itu perasaan tulus dari dalam hati. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk mencintai kita,” kata Mama dengan tersenyum. Seolah aku tidak berhak menghakimi pria dan wanita yang sangat kubenci.  “Bahkan setelah bertahun-tahun bersama, tidak bisakah cinta itu tumbuh?”  Mama kembali tersenyum. “Tidak mudah mengubah hati seseorang, Sayang. Kamu akan tahu itu nanti.”  “Tapi, bagaimana bisa cinta tulus dikalahkan dengan cinta buta. Ini benar-benar tidak masuk akal.”  “Kamu tidak pernah mendengar kalau cinta itu kadang tidak menggunakan logika?”  Keningku berkerut mendengar hal itu. Benarkah ada cinta yang seperti itu? Tidak menggunakan logika? Lalu, apa yang mereka gunakan untuk berpikir saat mereka jatuh cinta?  Aku ingin mendengar lebih banyak lagi mengenai cinta tanpa logika yang dimaksud Mama. Namun, keinginan itu sirna ketika Mama meninggal hanya beberapa saat setelah mengatakan semua hal tidak masuk akal itu. Meninggalkan tanda tanya besar untukku.  Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak jatuh cinta. Aku yakin jika cinta hanya akan membuat sakit hati. Rasa sakit itu bahkan tidak hilang meski wanita itu menangis dan bersujud di kakiku. Aku mati rasa pada cinta. Entah sampai kapan.  Banyak cinta yang berakhir bahagia. Aku tahu itu. Bahkan menyaksikan sendiri dengan kedua mataku. Namun, aku seolah menolak untuk percaya. Saat hatiku ingin memulai, semuanya terasa salah. Jadi, aku memilih mundur dan tidak mendekati jalan menuju cinta.  “Hari ini jadi ke rumah sakit?” Aku ingat kalau Danu hari ini izin untuk memeriksakan kandungan istrinya.  “Jadi. Ini sudah mau berangkat. Sori, ya, loe jadi harus ke gudang pakan sendiri.”  “Gaya loe pakai bilang sori. Gue juga bisa kok pergi ke sana sendiri. Loe saja yang selalu memaksa pengin ikut.”  Danu tertawa. “Oke, Bro. Gue berangkat, ya. Istri tercinta gue sudah menunggu.”  Danu melambaikan tangan pada wanita yang baru saja muncul dari gerbang lokasi kolam. Aku melambai dan tersenyum sopan padanya. Hasty, istri Danu, membalas dengan anggukan seperti biasa. Jujur saja, aku sedikit heran bagaimana wanita pendiam seperti Hasty bisa bertahan dengan Danu yang ramai.  “Namanya juga cinta, Bro. Sesuatu yang enggak mungkin, bisa jadi mungkin,” jawab Danu pongah saat aku mengungkapkan keherananku itu padanya.  “Sana pergi. Gue sudah enek lihat wajah loe,” balasku.  Aku mendorong pundak Danu agar cepat pergi. Danu masih sempat tertawa sebelum pergi. Dia menghampiri dan menuntun istrinya yang hamil tua ke dalam mobil. Dalam hati, aku berdoa semoga rumah tangga mereka bahagia.  *** “Makasih ya, Bro!” teriakku pada dua orang yang membantu mengangkat pakan ikan. Mereka mengacungkan jempol, lalu menghilang.  “Sendirian aja, Vin?” tanya Heru, si pemilik usaha pakan ikan.  “Iya, Mas. Sekalian ada urusan di sekitar sini.”  “Tempat Pak Yoga?” Aku mengangguk. “Sukses usaha kolam ikannya?”  “Berkat bantuan banyak pihak, Mas. Termasuk Mas Heru,” jawabku kalem. Heru menepuk pundakku. “Pamit, Mas.”  Aku memasuki mobil L 300 kesayanganku, tersenyum pada Heru, lalu melaju pergi. Jalanan di sekitar rumah Yoga lengang seperti biasa. Perumahan di situ memang lumayan sepi. Aku heran mengapa Yoga bisa bertahan di tempat itu selama bertahun-tahun.  Sebelum kalian bertanya-tanya siapa itu Yoga, aku akan menjelaskan. Yoga itu adalah orang yang menolongku saat aku terlunta-lunta di kota ini. Eh, tapi aku bukan gembel. Ayahku sebenarnya orang yang kaya, tapi aku tidak menyukai ibu tiriku yang sok suci, jadi aku kabur dari rumah.  Kalian tidak salah baca. Aku memang kabur dari rumah. Usiaku masih belum genap delapan belas tahun kala itu. Tepat di hari pengumuman kelulusan, aku angkat kaki dari rumah Papa. Aku sudah tidak tahan melihat kemesraan Papa dengan ibu baruku. Menyebalkan!  Papa benar-benar egois. Sejak awal aku tidak setuju dengan pernikahannya, tetapi dia tetap menikahi wanita itu. Mama bahkan belum genap sebulan meninggal. Teganya Papa menikah dengan sahabat Mama. Jangan-jangan selama ini mereka main gila di belakang Mama.  Semakin dipikir, aku semakin membenci Papa dan istrinya. Wanita itu sudah sering membujukku untuk menerima pernikahan mereka. Dia bilang itu adalah keinginan Mama sebelum meninggal. Yang benar saja! Memangnya aku akan percaya padanya? Mana mungkin!  Oke. Cukup! Aku selalu terbawa emosi jika membicarakan masalah pernikahan Papa. Jadi, kita bahas hal ini lain kali saja. Mungkin kalau perasaanku sedang baik nanti. Lagi pula, kita tadi sedang membicarakan Yoga, kan?  Seperti yang sudah aku katakan tadi, Yoga itu adalah sosok yang sangat berjasa. Dia menolongku dengan ikhlas saat aku tidak mempunyai tempat tujuan. Dia menampungku selama hampir tiga tahun.  Tenang saja! Yoga itu duda tanpa anak. Jadi, tidak akan ada drama aku menikahi anak perempuannya karena balas jasa. Ini bukan sinetron seri. Ini kehidupan nyata. Jangan membayangkan hal yang tidak-tidak.  Yoga tidak pernah memaksaku pulang ke rumah Papa. Dia hanya berpesan kalau aku harus tetap menghormati Papa, meskipun Papa melakukan sesuatu yang kubenci. Menurutnya, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Sayangnya, aku tidak sebaik itu. Aku tidak bisa begitu saja melupakan perbuatan Papa.  Aku membantu usaha restoran Yoga yang belum sebesar sekarang. Dulu, tempat itu hanya warung tenda kecil yang sepi. Kata Yoga, aku membawa keberuntungan pada bisnisnya. Semenjak aku membantunya di sana, restoran menjadi semakin besar dan ramai.  Saat itu, aku ingin sekali tetap berada di dekat Yoga. Namun, dia ingin aku berkembang dengan usahaku sendiri. Cukup lama aku mencari kegiatan yang bisa dijadikan bisnis menguntungkan. Pilihanku jatuh pada penjualan ikan.  Sejak kecil, aku sudah sering melihat Papa merawat ikan-ikan di kolam belakang rumah. Aku pernah bercita-cita ingin menjadi pengusaha di bidang ini. Aku suka sekali saat Papa mengajakku ikut serta membesarkan ikan.  Lalu, ketika SMA, aku memiliki kolam sendiri dan mulai berinovasi. Aku senang sekali karena sudah menemukan kegiatan yang sangat menyenangkan. Itu pertama kalinya aku merasa telah menemukan impian.  Siapa sangka jika kegemaranku memelihara ikan akan menjadi sumber penghasilan. Kalau ada sesuatu yang membuatku berterima kasih pada Papa, maka itu adalah hal ini. Mungkin aku memang harus menemuinya suatu hari. Sekadar untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja tanpa dirinya.  Sekarang usahaku sudah sangat berkembang. Aku punya puluhan karyawan dan penghasilan yang memuaskan. Bahkan, tahun kemarin aku mendapat penghargaan sebagai pebisnis muda paling sukses dari sebuah majalah bisnis bergengsi. Memang masih tingkat nasional, tapi itu cukup baik untukku.  Penghargaan itu membuat bisnisku lebih diakui. Banyak pihak yang menawarkan kerja sama dengan keuntungan yang menggiurkan. Aku menerima beberapa dari mereka yang layak. Maksudku, aku harus berhati-hati dalam bidang ini. Kalau aku tidak cukup jeli, bisa-bisa aku yang akan rugi.  Nah, pelajaran menganalisis ini aku dapatkan dari Yoga. Sebenarnya dia bilang ini merupakan bakat turunan dari Papa. Lagi-lagi Papa. Ya, ya. Aku akui jika aku terlihat mirip dengannya. Mungkin juga sama. Aku dan Papa sama-sama mempunyai ambisi kuat untuk sukses.  Papa itu gila kerja. Dia bisa tidak tidur berhari-hari saat menemukan ide baru. Katanya, tidur terasa melelahkan saat dia belum bisa menuntaskan ide baru itu. Dulu, aku benci sekali ketika Papa tidak memiliki waktu untuk keluarga karena terlalu sibuk. Kurasa sekarang aku bisa merasakan apa yang Papa alami waktu itu.  Meski berat mengakui kenyataan, aku tumbuh seperti Papa. Alam bawah sadarku sepertinya masih menginginkannya. Namun, sekali lagi, egoku sangat tinggi. Aku tidak akan sudi memaafkan Papa karena sudah mengkhianati Mama.  “Kejar dia!” Aku mendengar suara ramai yang mengiringi teriakan itu. Setelah memastikan mobilku terparkir dengan benar, aku memperhatikan segerombolan orang yang mengejar anak kecil. Mereka berkali-kali berteriak ‘maling’. Mataku membulat ketika tanpa ampun mereka memukuli anak malang itu.  Apa-apaan itu? Apa yang mereka pikirkan saat memutuskan untuk memukuli seorang bocah. Walaupun dia salah, pemukulan bukan hal yang benar. Bagaimana kalau anak itu mati? Siapa yang akan bertanggung jawab?  Kakiku melangkah cepat ke kerumunan itu, tetapi seseorang menabrakku cukup keras. Aku terhuyung sebentar. Untungnya tidak sampai terjatuh. Aku bersiap memaki siapa pun yang sudah menghalangi jalanku. Niat itu urung kulakukan begitu sadar siapa si pelaku.  Seorang gadis berjilbab oranye tergesa-gesa menghampiri tempat tujuannya. Mataku mengerjap-ngerjap untuk memastikan penglihatanku. Dia terlihat masih muda. Mungkin anak SMA atau kuliah. Wajahnya menegang begitu dia sampai di hadapan kerumunan itu.  “BERHENTI!”  Teriakan gadis itu membuatku refleks menutup telingaku yang berdengung. Aku tidak percaya jika dia bisa berteriak sekencang itu. Dilihat dari penampilannya, dia itu gadis yang lembut. Aku memang tidak mengenalnya, tapi penampilannya menyatakan hal itu.  Aku senang ketika orang-orang itu berhenti memukuli si anak malang. Mereka memperhatikan sosok yang menegur dengan wajah bengis. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku bisa melihat gadis itu mengepalkan kedua tangannya erat-erat.  Menyadari sesuatu, aku segera mendekati gadis itu. Keringat mulai membasahi keningnya. Aku juga bisa melihat napasnya yang memburu karena pergerakan kedua bahu kecil sang gadis. Meski begitu, mata indahnya menatap tajam pada setiap pelaku.  Entah apa yang ada di pikiran gadis itu saat memutuskan untuk berteriak. Harus aku akui jika itu sangat mengesankan. Dia memiliki keberanian luar biasa. Wajah cantiknya tidak menyunggingkan senyum sedikit pun, tapi aku malah terpesona padanya.  “Kamu mau apa?” Salah seorang pelaku mendekati si gadis. Aku segera mengenyahkan pikiran konyol yang menguasaiku, lalu berdiri di dekatnya. Gadis itu menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan. Sedekat ini dengan sepasang mata jernih miliknya, aku menyadari jika dia tidak seberani perkiraanku. Kedua netra itu berkaca-kaca.  Aku menelan ludah merasakan sensasi aneh yang menjalari hatiku. Naluri melindungi mendesakku untuk maju dan melindungi gadis itu. Gadis yang membuatku terpesona untuk pertama kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD