bc

Fated to Marry You (End)

book_age18+
734
FOLLOW
3.0K
READ
family
love after marriage
fated
arranged marriage
CEO
drama
sweet
Multi-professional Billionaire Writing Contest
humorous
like
intro-logo
Blurb

Desakan menikah mulai membuat Raka jengah. Memang, sebentar lagi usianya akan mencapai kepala empat, tapi sampai saat ini ia masih tak punya seorang wanita di sisinya. Bahkan, adik bungsunya sudah menikah.

Raka bukannya tidak mau menikah. Hanya saja, ia selalu disibukkan dengan pekerjaan. Sejak kematian orang tuanya, ia yang harus bertanggung jawab menjaga ketiga adiknya. Baginya, tak ada yang lebih penting dari adik-adiknya, dan perusahaan keluarganya.

Ketika salah satu sahabat ayahnya menawari Raka menikah dengan putrinya, Raka langsung setuju. Terlebih, wanita yang akan dinikahinya tak tertarik dengan perusahaan. Namun, Raka tak tahu jika wanita yang menjadi istrinya itu menyembunyikan kenyataan bahwa ia ... bermasalah.

Raka memilih wanita yang salah. Namun, bisakah ia melawan jika takdir yang dihadapinya? Pun ketika takdir menuliskan kata cinta, bisakah ia mengelak darinya?

chap-preview
Free preview
Bab 1 Bride to be
“Kak Raka tahun depan umurnya udah empat puluh, lho,” Dera menyebutkan, sengaja menekankan di bagian empat puluhnya. Raka masih menunduk di atas berkas yang sedang dibacanya. “Dera udah nikah dan bahagia. Kak Angga sama Kak Dimas juga udah punya posisi mantap di perusahaan. Udah waktunya Kak Raka ngurus diri Kakak sendiri,” ucap Dera lagi. Raka masih tak membalas. “Kak Angga sama Kak Dimas juga mungkin belum nikah karena Kak Raka belum nikah.” Suara Dera terdengar tajam kali ini. Raka mendesah berat, meletakkan berkas di tangannya. Ia mengusap rambut pendeknya dengan tangan sembari menatap adik bungsunya. “Nggak ada cewek yang mau sama Kakak,” jawab Raka asal. Dera mendengus kasar. Bahkan, keponakannya, Rendra, tertawa di saat yang sama, seolah menertawakannya. Namun, saat Raka menoleh, anak itu masih asyik menonton film kartun dari tab Raka. “Kalau aku ngumumin, Kak Raka lagi nyari calon istri, percaya deh, bakal ada ratusan cewek yang daftar,” sebut Dera. “Dan semuanya ngincar uang Kakak. Kalau nggak, ngincar perusahaan keluarga kita,” balas Raka enteng. “Kamu mau Kakak mati di tangan cewek yang pengen nguasain perusahaan keluarga kita?” Dera ternganga tak percaya. “Kakak baik-baik aja, Ra. Kamu kalau mau nyariin cewek, tuh buat Angga sama Dimas aja. Kakak nggak keberatan mereka nikah duluan. Kakak lebih suka ngurus perusahaan daripada ngurus makhluk paling ribet sedunia.” Kalimat Raka membuat Dera melotot galak dengan tangan di pinggang. “Pengecualian buat kamu,” Raka buru-buru menambahkan. Dera kembali mendengus kasar. “Dera bakal cariin cewek yang pas buat Kakak.” “Nggak perlu, Ra,” tolak Raka. “Dera juga pengen lihat Kak Raka bahagia.” Adiknya itu menatapnya frustasi. “Kakak bahagia,” balas Raka. “Kamu udah nikah, punya suami yang baik dan anak yang lucu. Kakak udah bahagia lihat itu. Angga dan Dimas udah mantap sama kerjaan mereka. Bahkan, perusahaan Angga juga udah cukup kuat buat berdiri sendiri. Itu kebahagiaan yang Kakak butuhin.” Dera mendesah berat, lalu mendekat ke meja kerja Raka. “Dera ngerasa belum cukup bahagia kalau belum lihat Kak Raka nikah dan bahagia. Dera juga pengen Kakak ngerasain apa yang Dera rasain,” ucap Dera. “Kakak nggak bisa hamil kayak kamu, jadi Kakak nggak bakal bisa ngerasain apa yang kamu rasain,” debat Raka. Dera memutar mata. “Gini nih efeknya, kalau kelamaan tinggal sama Kak Angga.” Raka menahan senyum gelinya. “Makanya, Kakak buruan nikah, biar aman dari pengaruh nyebelin Kak Angga,” ucap Dera. “Walau Kakak nikah, Kakak bakal tetap tinggal sama Dimas sama Angga,” Raka memberitahu. Dera meringis. “Mereka yang mungkin nggak mau tinggal sama Kakak.” Raka mengerutkan kening. “Kenapa?” “Damar aja aslinya udah mau tinggal sendiri sejak dia kuliah. Katanya, bosan lihat orang pacaran tiap hari.” Dera tersenyum geli. Raka memutar mata. “Apa kamu pikir, kalau Kakak nikah, Kakak bakal mesra-mesraan di depan orang-orang gitu? Kayak suamimu, atau kayak teman-temanmu itu?” “Coba dulu, baru ntar kita ngomongin ini lagi.” Dera mengerdip. Raka mendengus tak percaya. “Dhika jam berapa jemput kamu nanti?” Raka mengalihkan pembicaraan. “Nanti sore. Aku bilang, aku pengen ngobrol lama sama Kakak,” balas Dera cuek sembari berjalan menghampiri Rendra di sofa pojok ruangan. Raka diam-diam mendesah berat. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke meja di sisi kiri ruangan. Ia menuangkan air ke gelas dan meneguknya ketika Dera berkata, “Nanti kalau Kak Raka punya anak cewek, Rendra yang bakal jagain dia.” Detik itu, Raka tersedak dan terbatuk. Matanya terasa perih ketika ia menatap adiknya dengan kesal. “Ah, Dera juga bakal mulai nyariin cewek buat Kakak. Dan Kakak tahu kan, Dera bisa keras kepala banget?” Dera tersenyum padanya. “Jangan protes. Dera nurunin itu dari Kakak.” Raka mendengus tak percaya. Namun ia tahu, yang dikatakan Dera itu benar. Dan seringnya, Raka berakhir menuruti adik bungsunya itu. *** “Papa!” Seruan itu membuat Raka menoleh ke sumber suara. Seorang wanita berambut ikal sepunggung melambai riang ke arah mejanya, lebih tepatnya ke arah pria paruh baya yang duduk semeja dengannya. “Oh, Febi Sayang!” Pria paruh baya di depan Raka balas berseru. Pria itu, Anton Hendrian, merupakan sahabat ayahnya sekaligus rekan bisnis perusahaannya. “Itu putriku,” Anton berkata pada Raka ketika wanita yang dipanggilnya Febi tadi menghampiri mereka. “Kamu ada acara apa di hotel ini?” tanya Anton ketika Febi tiba di meja mereka. “Teman kuliahku menikah di ballroom hotel ini,” Febi menjawab. “Aku udah bilang ke Papa minggu lalu, padahal.” “Ah, maaf, maaf, Papa lupa lagi.” Anton tampak menyesal ketika melihat kecemberutan putrinya. Raka bisa melihat dengan jelas, betapa manja dan merepotkannya putrinya itu. “Papa masih lama?” tanya Febi kemudian. Anton lantas menatap Raka. “Enggak, ini juga Papa mau balik ke kantor.” “Oke, bareng mobil Febi aja,” ucap putrinya riang. Anton mengangguk. “Oh, dan ini, kenalin, Raka Jendra Fabian. Ini putra sahabatnya Papa,” Anton memperkenalkan Raka pada Febi. Febi menatap Raka, mengangguk kecil dan tersenyum. Raka membalas dengan anggukan kecil juga. “Febi tunggu di mobil aja deh, Pa,” pamit wanita itu kemudian. Sebelum Anton sempat membalas, wanita itu sudah berdiri, mengangguk kecil sekali lagi pada Raka, sebelum pergi. Sepeninggal wanita itu, Raka mendengar desahan berat. Dilihatnya Anton masih menatap punggung putrinya. “Apa putri Om Anton suka bikin masalah?” iseng Raka bertanya. Anton terkekeh. Menggeleng. “Om sebenarnya khawatir sama dia, Raka. Dia sebentar lagi tiga puluh tahun, tapi ... terkadang Om lihat, dia masih kayak putri kecil Om. Om khawatir, kalau dia dimanfaatin sama orang-orang di sekitarnya.” Raka tercenung. Ia pun selalu berpikir seperti itu tentang Dera. “Karena Om, dia nggak pernah punya teman, nggak punya teman laki-laki juga.” Anton tersenyum kecut. “Tapi, Om sama sekali nggak menyesal. Begitu lebih baik daripada Om harus lihat dia dimanfaatin orang lain.” Raka mengernyit. Dulu, Dera menyalahkan Raka karena itu. Apakah Febi juga ... “Kalau seandainya, Om minta kamu buat nikah sama Febi, apa kamu keberatan?” Pertanyaan Anton mengejutkan Raka. Ia pasti salah dengar, kan? “Anak itu sama sekali nggak tertarik sama perusahaan. Dia nggak akan berusaha nyentuh perusahaanmu, atau keluargamu. Karena itu juga, Om khawatir. Nanti kalau Om nggak ada, gimana dengan Febi? Selama ini, Om berusaha nyari laki-laki yang bisa dipercaya, tentang perusahaan Om, juga tentang Febi. Tapi, belum ada satu orang pun yang bisa Om percaya.” Anton mendesah berat. “Seandainya Om minta kamu menikah sama Febi, apa Om bisa percayain putri Om dan perusahaan Om ke kamu? Apa Om bisa percaya sama kamu?” Anton menatap Raka lekat, tampak serius. Raka tak menjawab. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana, bahkan ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ini masih mengejutkannya. Kenapa tiba-tiba ...? “Om udah pernah ngomongin ini sama papamu dulu, sewaktu papamu masih hidup. Kalau nanti ada apa-apa sama Om, Om akan nitipin Febi ke dia. Tapi, papamu malah pergi duluan.” Anton tersenyum getir. “Tapi, kalau itu kamu, Om bisa percaya, Raka.” Raka masih tak menjawab. “Om juga tahu, kamu menghindari pernikahan karena kamu khawatir mengenai perusahaan, kan? Kamu takut, istrimu akan berusaha merebut perusahaanmu.” Anton tersenyum. “Tapi, kayak yang Om bilang tadi, Febi nggak akan ngelakuin itu. Jadi, Om minta kamu serius mikirin ini. Karena bukan cuma Febi yang akan jadi tanggung jawabmu nanti, tapi juga perusahaan Om.” Seumur hidupnya, Raka tak pernah mendapat tawaran yang bisa lebih baik dari ini. Dukungan di perusahaan, dan istri yang tak akan berusaha mencekiknya di malam hari untuk merebut hartanya. Dua hal yang ia inginkan. Saat ini ada di depan matanya. “Putri Om ... apa dia bakal setuju sama pernikahan kami?” Raka akhirnya angkat bicara. Anton tersenyum. “Febi selalu dengerin kata-kata Om. Karena, dia satu-satunya yang Om miliki di dunia ini, dan Om juga satu-satunya yang dia punya.” Raka mengangguk. “Nanti Raka pikirin lagi, Om. Lagian, mungkin juga putri Om nolak nanti.” Anton mendengus pelan. “Febi dan perusahaan Om, akan sepenuhnya mendukung kamu, Raka.” Benar-benar penawaran yang menggoda. Terlebih, dengan begini ia bisa terselamatkan dari serangan Dera nanti. Raka tak tahu wanita macam apa yang akan Dera kirimkan padanya. Namun, yang ia tahu, tak akan ada yang bisa lebih baik dari penawaran di hadapannya ini. *** Febi masih menatap papanya keheranan ketika memasuki ruangan papanya. “Papa mau ngomongin apa? Kenapa nggak nanti aja pas Papa pulang?” Febi tak tahan untuk bertanya. Papanya mengambil tempat di sofa tengah ruangan. “Duduk dulu,” papanya berkata. Febi mengangguk, menuruti papanya. Ia duduk berhadapan dengan papanya. “Sayang, kamu ingat dulu Papa pernah bilang ke kamu tentang pernikahanmu?” tanya papanya kemudian. Febi mengerutkan kening. Pernikahan? Kenapa mendadak papanya membicarakan itu? “Papa pernah bilang, Papa baru ngizinin Febi nikah pas Febi umur tiga puluh,” sebut Febi. Papanya tersenyum, mengangguk. “Tapi, Papa akan ngizinin kamu menikah setahun lebih cepat.” Febi mengerutkan kening. Apa maksudnya? Papanya menatap Febi lekat. “Kamu percaya kan, sama Papa?” Di dunia ini, memangnya siapa yang bisa Febi percaya selain papanya? Febi mengangguk. “Ini Papa lakuin buat kamu, Febi,” ucap papanya. “Kamu juga tahu kan, Papa sayang kamu, lebih dari apa pun di dunia ini?” Febi tersenyum sendu. “Febi juga sayang banget sama Papa,” balasnya. Papanya mengangguk. “Begitu kamu menikah nanti, Papa bisa lebih tenang. Kalau itu Raka, Papa percaya. Dia pasti bisa jagain kamu.” Febi mengerutkan kening. Raka? Nama itu ... ah, pria yang di restoran hotel tadi? Febi akan menikah dengan pria itu? Febi bahkan tak tahu apa pun tentang pria itu. Namun, ia juga tak mungkin mendebat papanya. Dan ... tunggu! Apa pria itu setuju menikah dengan Febi? Bahkan meski ia tidak tahu Febi? Ah, perusahaan. Apa ini masalah perusahaan? Namun, Febi tahu, papanya tak akan pernah menggunakan Febi untuk perusahaan. Lalu, untuk apa pernikahan ini? Meski tanya demi tanya terus berkelebatan di kepalanya, tapi tak satu pun pertanyaan itu lolos dari bibirnya. Pun tak satu protes pun. Febi tak pernah melawan papanya. Dan tidak akan pernah. ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
571.2K
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Loving The Pain

read
3.0M
bc

DRIVING ME CRAZY (INDONESIA)

read
2.0M
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

The crazy handsome

read
465.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook