02 | Bittersweet

2015 Words
Seina meremas tangannya gelisah. Bibirnya bergetar samar. Air mata pun berlinang, tidak kunjung berhenti membasahi pipinya. Ia panik. Ralat, sangat takut. Seina tidak akan sanggup menepis bayangan yang berkelebat dalam pikirannya. Rasa bersalah kian membesar merayapi hati. Mengapa semua ini bisa terjadi? Seina menahan napas melihat pintu ruang UGD terbuka. Seorang pria berjas putih pun keluar dan melempar senyum padanya. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Seina, cemas. Dokter itu menghela napas berat. Seina meringis kecil, sepertinya dugaan mengenai seseorang yang terbaring di ranjang dalam ruangan itu nyaris benar. Ia akan mendapatkan apa yang memang seharusnya dipertanggung jawabkan. Ya Tuhan, Seina benar-benar ingin berteriak. Frustrasi dibuat ulahnya sendiri. “Anda keluarganya?” Dokter itu bertanya dengan nada lembut, merasakan betapa terguncangnya gadis di hadapannya. “Saya perlu memberitahukan kabar ini kepada pihak keluarga terlebih dahulu,” lanjutnya menatap gadis mungil di hadapannya. “Apa kondisinya begitu parah, Dok?” Seina menggigit bibirnya. Suaranya begitu parau, sekarang dadanya mulai terasa sesak. Sungguh, ini menyakitkan. “Begitulah. Apa Anda keluarganya, Nona?” Sekali lagi Dokter itu bertanya. Seina memandangi dokter di hadapannya dengan tatapan kosong. “Oh, saya bu—” “Dia tunangannya, Dok.” Seorang wanita cantik dengan tubuh indah dibalut dress tosca berjalan menghampiri mereka. Namun, raut wajahnya yang murung juga mata yang sembab menandakan ia sedang tidak baik-baik saja. “Dia tunangan adik saya, Dok. Dia sudah termasuk dalam keluarga kami,” lanjutnya dengan satu helaan napas. Dokter itu mengangguk paham. Ia sudah mengira bahwa gadis mungil di hadapannya itu adalah orang terpenting dari pasien yang sedang ditanganinya, mengingat betapa risaunya gadis itu. Seina menatap heran ke arah perempuan itu, tapi ia tidak pernah sekalipun menatap atau sekadar melirik Seina. “Baiklah, mari ke ruangan saya.” ***   Setelah mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Tristan, Senia diajak Dini, nama wanita itu, berbicara berdua. Begitu menemukan tempat duduk yang enak di kafetaria rumah sakit, Dini mulai mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata dan menatap lurus Seina. Ia menghela napasnya dengan berat. “Aku akan membantumu, kalau kamu bersedia membantuku.” Seina mengerjapkan matanya yang sembap, ia mengusap hidungnya yang merah dengan punggung tangannya. Dahinya mengernyit samar, “Maksudnya?” tanyanya polos. Seina tidak mengerti apa maksud Dini. “Kartu atau meja hijau.” Seina semakin tidak mengerti. Tapi, dari nada suaranya, ia tahu Dini bukan mengerjainya dengan memanfaatkan kesempatan itu, tapi memohon. “Aku tidak akan memproses ini lebih lanjut dengan pihak kepolisian. Aku akan bilang ke mereka kalau kita telah menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Dan aku tidak akan mengajukan tuntutan…,” Dini menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, “dengan sebuah syarat.” “Apa itu?” Gadis itu balas memandang Dini dengan wajah polos. Dini nyaris membatalkan rencana yang terlintas dalam pikirannya melihat tatapan Seina. Tapi, ini harus dilakukan untuk masa depan Tristan, adiknya yang kini sedang terbaring koma karena Seina. Ini adalah kesempatannya untuk menjauhkan Tristan dari Teresa, gadis jahat yang bahkan mengabaikan adiknya di saat-saat seperti ini. “Berpura-pura menjadi tunangannya.” ***   Seina sama sekali tidak menduga permintaan itu akan keluar. Ia menyangka Dini akan menghukumnya dengan segala cara agar membuatnya lelah dan tidak akan berani lagi berurusan dengan keduanya. Namun Seina salah, justru wanita itu menginginkannya menjadi tunangan adiknya. Ah tidak, hanya berpura-pura. Bukankah itu sama saja dengan mengeratkan hubungan mereka? Membuat Seina tidak mungkin terlepas dari lelaki itu, seseorang yang telah ia celakakan. “Kamu harus selalu berada di sisinya. Memperlakukannya seakan kamu adalah calon istrinya. Kamu dengar sendiri penjelasan dokter. Tristan akah kehilangan ingatan 6 bulan terakhir dalam hidupnya. Ia tidak akan ingat tentang kalian, jadi kamu hanya perlu membuatnya percaya bahwa kamu benar tunangannya ketika ia sadar nanti,” lanjut Dini. “Tapi bagaimana jika dia tidak percaya? Mungkin dia lupa, tapi perasaan dan kata hatinya tidak akan salah.” Seina menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Lalu, bagaimana dengan kehidupannya sendiri? Ini pasti akan menjadi tanda tanya besar untuk Bunda dan anak-anak panti asuhan, tempat hidupnya selama ini. Seina tidak mungkin meninggalkan mereka dengan alasan itu. Bunda dan anak-anak juga tidak akan rela kalau ia harus mengorbankan dirinya seperti ini walaupun itu untuk menebus kesalahannya sendiri. Mereka tidak boleh tahu, ia harus mengarang alasan agar mereka percaya. “Buatlah dia mencintaimu.” ***   Dini sudah menduga ini terjadi. Kalau saja ia tidak melarang Tristan untuk menemui Teressa, kejadian ini tidak akan terjadi. Tristan tidak akan pergi dengan amarah yang memuncak, Dini tahu bagaimana lelaki itu meluapkan emosinya saat mengendarai mobil. Tristan akan terlihat seperti seseorang yang dirasuki setan, iblis, maupun semacamnya. Saat seseorang menghubungi dan memberitahukan apa yang terjadi, Dini menjerit histeris. Ia mendatangi tempat kejadian dengan perasaan gelisah. Tidak ada kalimat yang sanggup diucapkannya saat melihat kondisi jalan yang terlihat porak poranda. Mobil Fortuner adiknya terlihat di ujung jalan, kondisi mobil itu rusak parah. Ia tak henti-hentinya membatin, berharap Tristan akan baik-baik saja. Beberapa polisi terlihat sibuk mendengarkan saksi yang melihat kejadian tersebut. Dini juga turut mendengarkannya, namun para saksi tidak dapat mengingat wajah gadis penyebab kecelakaan tersebut karena ditutupi oleh tudung merahnya, ditambah dengan hujan yang mulai deras saat itu. Mereka hanya melihatnya sekilas sebelum akhirnya mobil Fortuner Tristan terlihat membanting stir menghindari gadis itu, sehingga tertabrak oleh truk pengangkut balok yang melintas cepat dan terseret sejauh 10 meter sampai di ujung jalan. Lelaki itu dibantu oleh seorang pria, yang mengantarnya segera ke rumah sakit terdekat dengan gadis itu. Saat mendengar bahwa penyebabnya adalah seorang gadis, Dini bertekad untuk mencari tahu siapa gadis itu. Ia mengatakan pada pihak polisi bahwa mereka akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, sehingga pihak polisi tidak perlu turun tangan untuk menyelesaikan kasus itu. Dini ingin memberikan perhitungan sendiri pada siapa pun gadis itu. Gadis yang telah membuatnya nyaris kehilangan Tristan. Namun, semuanya berbeda saat ia bertemu dengan gadis itu. Saat ia mendatangi rumah sakit terdekat dari tempat kejadian, gadis itu memunggunginya dengan bahu berguncang hebat. Dini langsung tahu bahwa gadis itu tidak sengaja melakukannya. Ia sempat merasa iba dengan kondisi gadis itu, namun mengingat adiknya yang terbaring tak berdaya membuat hatinya bimbang. Bagaimanapun ia adalah seorang perempuan. Saat ia melihat seorang dokter keluar dan mengajak gadis itu berbicara, Dini tahu apa yang akan pertama kali dikatakan oleh dokter itu pada gadis mungil di hadapannya. Dari posisinya berdiri di samping gadis itu, ia terlihat sangat muda. Entah apa yang ada di pikiran Dini, namun rencana itu tiba-tiba saja terbersit begitu dokter menanyakan hubungan atara gadis itu dengan adiknya. Ia tahu gadis itu kaget dan akan menolak permintaannya. Tapi ia harus tetap melaksanakan rencana ini. Demi adiknya. Dan gadis itu tidak akan bisa menolak, mengingat ancaman yang ia berikan bila gadis itu menolaknya. Sesungguhnya, Dini sudah memaafkan gadis itu. Dan benar dugaan Dini, gadis itu menerima tawarannya. Benar-benar gadis yang baik. Kini ini hanya bisa berharap Seina mampu menaklukan Tristan. ***   Seina menatap langit-langit kamarnya yang memburam seiring air mata yang semakin menggenang di pelupuk matanya. Sungguh, Seina tidak pernah menduga hidupnya akan seperti ini. Ia harus membohongi Bunda dan anak-anak panti, bahwa mulai besok ia akan bekerja di perusahaan yang jauh dari rumah panti asuhan itu. Ia akan meninggalkan mereka semua, membentuk rindu yang semakin menumpuk nantinya. Ya, besok ia akan pindah ke salah satu apartemen yang tak jauh dari rumah Tristan. Tristan Rivandhi. Seandainya lelaki itu tidak mengalami benturan keras di kepalanya yang mengakibatkan amnesia, mungkin Dini akan meminta pertanggungjawaban yang lain darinya. Tidak, yang lebih tepatnya adalah ‘seandainya kejadian itu tidak pernah terjadi’! “Buatlah dia mencintaimu.” Bagaimana bisa kalimat itu terucap dengan mudah? Apa wanita itu tidak bisa melihat seperti apa dirinya? Oh Tuhan, Seina memohon untuk tidak mempersulit alur permainan ini. Seina pesimis dengan harapan itu. Harapan untuk membuat seorang CEO sebuah restoran ternama, mampu bertekuk lutut padanya. Oh jangan harap. Bahkan membuat lawan jenis tertarik padanya saja tidak pernah berhasil. Apa lagi seorang direktur utama sekaligus pemilik restoran berusia 31 tahun yang telah sukses seperti Tristan? Kau memang melakukan kesalahan, namun kau malah menambah kesalahan itu dengan berpura-pura memiliki hubungan dengan seorang pangeran.[EYS1]  Betapa bahagianya Seina bila takdir mempertemukan keduanya dengan indah dan mampu membuat Seina tidak dapat tidur nyenyak mengingat wajah Tristan yang begitu tampan, seperti pertemuan singkat yang ada pada setiap novel roman yang pernah dibacanya. Namun kenyataan mencubitnya seakan membangunkannya dari mimpi indah, justru Seina di pertemukan dalam kejadian tragis dan mampu membuat Seina tidak dapat tidur nyenyak mengingat tubuh Tristan yang penuh dengan perban. Seina memejamkan matanya. Semoga besok Tuhan memberikan pencerahan. ***   Seina membuka pintu apartemennya. Ia harus segera membereskan semua barang yang dibawanya, sebelum pergi untuk menjenguk Tristan. Ralat. Merawat Tristan. Ponselnya berdering, Seina melirik deretan angka di layarnya. Ia memiringkan kepalanya heran. Namun ia tetap mengangkat panggilan itu. “Hallo?” “Bagaimana? Kamu sudah berada di apartemen yang ku sewakan?” Seina mengenali suara itu. “Sudah.” “Bagus. Tunggu aku di sana, kita pergi ke rumah sakit bersama.” Sambungan terputus. Ia segera membereskan semua barangnya. Seina melirik arloji mungilnya, sepertinya tidak akan cukup. Seina segera merapikan dirinya, mengunci pintu apartemennya, dan keluar dari gedung untuk menemui Dini. ***   Dini menatap lurus jalan di depannya sambil mengemudikan mobilnya dengan tenang. Seina menggigit bibirnya, rasa bersalah masih menyesaki dadanya. Seina tidak ingin seperti ini. Ia tidak ingin ada rasa bersalah, ia tidak ingin ada orang yang membencinya. Maka, ia akan melakukan apa pun. Termasuk memenuhi sebuah permintaan kecil. Ini hanya sebuah sandiwara kan? Sandiwara kecil yang seharusnya tidak akan menyakiti siapa pun. Seina berdeham pelan, “Aku mau minta maaf,” ucapnya tulus. Dini dapat merasakan ketulusan dari ucapan gadis itu walau tidak memandangnya. Dini tersenyum kepadanya, “Tidak apa-apa. Aku sudah memaafkanmu. Dan sebagai imbalannya, kamu harus melakukan perjanjian kemarin dengan sempurna,” jelasnya. Dini merogoh tas jinjingnya yang terbuka tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di hadapannya, “Ini, ambilah.” Seina mengernyitkan dahi. Ia mengambil dengan perlahan kotak kecil merah tua itu dan membukanya. Seina tertegun. Sebuah cincin yang indah. Sebesar itukah keinginan Dini untuk menyempurnakan penyamarannya? “Pakailah. Aku sudah mengatur semuanya.” Seina memakai cincin itu dengan jari sedikit gemetar. Mungkin, mulai dari sekarang ia harus pandai berbohong. Dini memperhatikan Seina dari sudut matanya. Gadis itu terlihat terkejut, namun tetap menuruti perintahnya untuk memakai cincin itu. Ia melihat jari-jari mungil itu sedikit gemetar, sampai cincin itu masuk dan melingkar manis di jari mungil gadis itu. Pas. Dini tersenyum. ***   “Aku akan kembali.” Dini meninggalkan Seina di ruangan tempat Tristan terbaring lemah, setelah sebelumnya mengenakan cincin di jari manis Tristan. Seina menghela napas perlahan. Belum ada tanda-tanda Tristan akan membuka matanya. Astaga, Seina sungguh menyesal setiap kali melihat kondisi lelaki itu. Seperti ada beberapa batuan tak kasat mata yang menghimpit dadanya. Sesak. Bahkan ingin menangis. Seina mendekatkan kepalanya, melihat dengan jelas bagaimana tenangnya raut wajah lelaki itu. Perbannya yang melilit di kepala, juga beberapa di bagian wajahnya tidak mampu menyembunyikan garis tegas wajah tampan lelaki itu. Sungguh, benarkah ini nyata? Karena kecerobohannya, ia malah mendapatkan apa yang selama ini hanya menjadi khayalannya sebelum tidur. Seina tersenyum getir mengingatnya. “Hai,” sapanya pada lelaki itu. Seina menarik napas dalam, “Cepat tersadar ya, aku berjanji akan merawatmu. Sampai kamu pulih.” Seina mengulum senyum melihat ketenangan raut wajah Tristan yang dibalut perban. Matanya beralih pada tangan kanan Tristan, sikunya dibalut dengan perban. Jari-jari lelaki itu begitu kaku. Seina menyentuhnya dengan gerakan ringan. Ia mengelus lembut cincin dengan ukiran namanya di jari manis lelaki itu. “Aku akan menjagamu. Seperti kamu telah menyelamatkan nyawaku,” Seina menahan napas mengingat kejadian itu. Mobil Fortuner yang dikemudikan oleh Tristan membelok tajam menghindarinya. Jangan-jangan Tristan memang sengaja membanting stir agar gadis itu tidak terlempar karena benturan keras dari mobilnya? Seina menggeleng, mengenyahkan pikiran itu. Tidak mungkin karena dirinya. Aduh, sudahlah Seina, jangan berasumsi tentang kecelakaan itu. Ia sudah cukup terluka melihat Tristan yang mengalami koma karenanya, juga melihat Dini yang sangat berduka membuat rasa bersalah di hatinya makin memuncak. Seina kembali tersenyum memandangi wajah Tristan, “Kamu boleh menghukumku setelah kamu sadar. Aku akan menerimanya.”  [EYS1]Mbak, sebenarnya ini hanya words saya aja, perlu juga diubah ya? Soalnya saya udah agak hapal dengan words pertama ._. hehe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD