03 | a Little White Lie

1859 Words
Sudah seminggu setelah peristiwa itu terjadi. Seina tak pernah absen mengunjungi rumah sakit tempat Tristan dirawat. Ia juga tidak lupa selalu memberi kabar kepada Bunda juga anak-anak panti. Seina menghela napasnya, menutup buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan tua yang sudah nyaris seminggu tak dikunjunginya. Dengan menghirup dalam-dalam aroma khas buku-buku baru maupun yang telah menguning saja mampu meredakan penat di kepalanya. Terakhir kali ia ke sana, ia tidak bisa berlama-lama seperti biasanya. Ia harus segera kembali, menunggu Tristan yang tak kunjung membuka mata. [DI11] [E2]  Di sinilah ia saat ini. Bersandar pada sofa tepat di samping ranjang tempat Tristan tertidur. Seina tersenyum getir mengingat dirinya yang selalu menganggap lelaki itu hanya tertidur. Semenjak kejadian itu, ia bahkan jarang berbicara. Mau berbicara dengan siapa memangnya? Dini sangat jarang menjenguk Tristan, memang wanita itu sibuk dengan restoran Tristan yang terlantar karena kondisi lelaki itu, sehingga ia harus turun tangan. Walaupun begitu, Seina tak jarang mengajak Tristan mengobrol dari hal yang tidak penting hingga cerita masa kecilnya. Seina juga senang membacakan cerita untuknya. Dengan begitu, ia merasa memiliki teman berbagi cerita. Membuatnya merasa nyaman. Seina menaruh empati pada Tristan. Ia merasa perlu membayar perlindungan Tristan padanya. Namun, ia tidak pernah mengira tindakannya ini membuatnya terbiasa. Pilihannya mungkin saja dapat menumbuhkan rasa asing dalam hatinya. Seina menarik kursi ke samping Tristan. Ia merebahkan kepalanya di sisi ranjang, matanya mulai meredup dan tanpa sadar ia sudah menjelajahi dunia mimpi. ***   Tristan membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat. Bahkan untuk bersuara rasanya sangat sulit. Pandangannya menelusuri ruangan bernuansa putih pucat tak bermotif itu. Seluruh tubuhnya nyaris dibalut perban. Ada apa dengannya? Tristan mencoba mengingat apa yang terjadi dengan dirinya, namun tidak satu pun yang mengingatkannya akan alasan ia terbaring di sini. Tak sengaja pandangannya beralih ke gadis di sampingnya. Kedua tangannya menjadi sandaran untuk kepalanya yang direbahkan di sisi ranjang. Tristan dapat melihat wajah gadis itu, begitu tenang seperti bayi polos yang tertidur. Benar-benar damai. Alisnya bertaut. Siapa gadis itu? Tristan tidak dapat mengingat apa pun tentang “siapa” gadis itu, dan apa yang di lakukannya di sini. Pintu terbuka, menampakan seorang wanita anggun yang berhenti melangkah begitu melihatnya. Wanita itu langsung berhenti melihat Tristan sudah sadar. “Apa yang terjadi padaku, Dini?” tanya Tristan.  “Kamu mengingatku, Tristan?” Matanya berbinar. Ia tidak mampu menyembunyikan kebahagiaan yang teramat sangat di balik tatapannya. Tristan memutar bola matanya, “Bagaimana aku bisa melupakan kakakku sendiri, hmm?” Tristan mendengus. “Tristan, kamu tunggu sebentar ya. Aku akan memanggil dokter.” Dengan langkah cepat dan senyum yang terukir di bibir, Dini melangkah keluar meninggalkannya bersama gadis itu. Lagi-lagi Tristan menatapnya, gadis ini sepertinya tidak terganggu dengan percakapannya dengan Dini tadi. Gadis itu bergerak, matanya terbuka perlahan. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mengangkat kepalanya memandangi ruangan dengan mata sayu. Saat pandangannya beralih pada Tristan kedua mata itu terbelalak lebar sebelum akhirnya ia tersenyum manis. “Kamu sudah sadar?” Senyumnya mengembang, matanya berkilat bahagia menatap lelaki itu. Tristan menatapnya datar, dan ia bisa melihat kekecewaan di mata gadis itu karena Tristan sama sekali tidak mengenalinya. “Siapa kamu?” Tristan menatapnya intens tidak mengerti. “Seina…” “Seina?” Sebelah alisnya terangkat. Tristan merasa tidak pernah mengenali nama itu. “Ya, a-aku—” “Dia tunanganmu, Tristan.” ***   Dini menghampiri Tristan dan Seina diikuti dengan dokter di belakangnya. Dokter itu memeriksa Tristan yang sudah ada kemajuan. Hanya saja luka-luka juga perban yang melekat di tubuh lelaki itu tidak akan terlepas secepat kondisinya yang membaik seperti sekarang. Dokter itu berlalu setelah memeriksanya. “Terima kasih, Dok.” ujar Dini seraya tersenyum. “Jadi apa maksudnya dari pernyataanmu itu?” Tristan langsung mengeluarkan pertanyaan yang mengganggu pikirannya saat Dini menyatakan sebuah kalimat yang tidak terduga. Bagaimana mungkin? Ia tidak pernah merasa bertunangan. “Lihat cincin itu. Kalian telah bertunangan, Tristan.” “Aku tidak pernah mengenalnya,” tukas Tristan tajam. Dini melihat reaksi Seina yang langsung menunduk dan berubah raut wajahnya, ia tidak tega melihat gadis itu. “Tristan, kamu tidak boleh berbicara seperti itu.” “Tapi kenyataannya aku memang tidak mengenalnya, Dini.” Suaranya semakin terdengar dingin, menembus sampai ke tulang rusuknya. Seina ingin sekali keluar dari ruangan itu. “Kamu lupa, Tristan. Kamu terkena amnesia karena kecelakaan—” Tristan tertawa sinis, “Yang membuatku seperti sekarang ini? Lalu kenapa aku tidak lupa denganmu, hmm?” Tatapan lelaki itu begitu mengintimidasi. “Aku tidak tahu. Dokter berkata bahwa kamu akan lupa dengan apa yang terjadi padamu dalam 6 bulan terakhir,” jelasnya membalas pandangan Tristan. Dini tidak takut bila Tristan mencari kebenaran di balik matanya, Dini bersungguh-sungguh mengatakan itu. Dokter Renza memang mengatakan seperti itu. Entah, Dini juga tidak tahu mengapa adiknya hanya melupakan kejadian 6 bulan terakhir. Namun ia bersyukur, dengan begitu Dini tidak perlu memulainya dari awal. Dan begitu pula artinya, Tristan tidak akan mengingat Teressa, gadis yang berdampak buruk untuk adiknya, gadis yang baru dikenalnya 3 bulan terakhir. Dini menghela napasnya. Setidaknya ia tidak perlu berurusan lagi dengan gadis jalang itu. Ah, bahkan kini ia tidak perlu merasa menyesal telah mengumpat k********r untuknya. ***   Tristan menatap kedua mata Dini, mencari kebohongan di baliknya. Namun tidak dapat ditemukannya, Dini benar-benar mengatakan sesungguhnya. Apa benar gadis di sampingnya adalah tunangannya? Jika benar, mengapa ia tidak merasakan apa pun pada gadis itu. Tak sengaja matanya menangkap tetesan air mata yang jatuh ke telapak tangan gadis itu. Benarkah apa yang dilihatnya? Gadis itu menangis. Mengapa? Apa mungkin benar yang dikatakan oleh Dini, bahwa gadis itu adalah gadisnya? Ada keraguan di hatinya, namun ada secercah kepercayaan saat dilihatnya gadis itu meneteskan air mata karena dirinya yang tidak mengakui gadis itu. Benarkah begitu? Seina. Bahkan nama itu terasa sangat asing baginya. Dini mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada telinga Tristan, “Kamu harus percaya Tristan. Kalian saling mencintai. Lihatlah dirinya, ia begitu terpukul mendengarmu tadi.” Ucapnya berbisik. Ia menegakkan kembali badannya, “Aku pergi dulu, mau mengurusi restoranmu yang terlantar karena kondisimu sekarang.” Tristan mendengus, “Kamu tahu ini bukan keinginanku.” Dini terkekeh pelan, “Ya, baiklah. Seina, kutinggal dulu, ya.” Ia melempar senyum pada Seina yang segera menghapus air matanya dan membalas senyuman wanita itu. Seina mengangguk samar. Pandangannya beralih pada Tristan yang memandangi pintu yang baru saja tertutup rapat. “Kamu mau makan?” tanya hati-hati. Seina sudah siap bila diperlakukan asing oleh Tristan. Tristan hanya menatapnya sekilas, membuatnya menarik napas dalam. ***   Seina mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa kantung plastik berisi makanan. Tristan hanya meliriknya dan kembali berkutat pada acara televisi membosankan, entah sudah berapa kali ia menghela napas karena perlakuan dingin lelaki itu. Sudah nyaris seminggu sejak Tristan sadar, namun Tristan masih saja bersikap dingin kepada Seina. Kalau saja Tristan selalu bersikap ramah terhadapnya, mungkin apa yang Dini katakan tempo hari akan lebih mudah dilakukannya. [DI13] [E4]  Seina meletakan belanjaan di atas meja di sisi ranjang dan membuka styrofoam berisi sup jagung sambil mengaduknya perlahan. Ia tersenyum pada Tristan yang tak kunjung mengalihkan pandangannya pada televisi di hadapannya. Lagi-lagi, ia hanya dapat menahan perasaan aneh yang datang setiap melihat wajah Tristan. “Aku membeli sup jagung. Kamu suka?” tanyanya meleburkan lamunan lelaki itu. “Tidak.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan. Sekelebat rasa kecewa muncul di dalam dadanya. Padahal, ia sudah bersusah payah mencari sup jagung ini karena tidak ada yang menjualnya di area rumah sakit. Sup jagung adalah sup favoritnya. Bunda selalu membuatkan sup itu saat ia sakit. Sup itu mampu menghangatkan tubuh, menenangkan pikiran dan melegakan pernapasan. Tanpa bertanya lagi, Seina menyendokkan sup itu ke bibir Tristan yang masih terkatup rapat. Tristan membuka mulutnya perlahan, menyeruput kuah sup yang begitu hangat. Tidak dapat dipungkiri, Tristan menyukai sup itu. “Bagaimana?” Seina menampilkan senyum manis, namun Tristan tidak menghiraukan itu. “Biasa saja.” Balasnya kembali menatap televisi di hadapannya. Seina tersenyum memandanginya, ia tahu Tristan hanya tidak mau mengakui kenikmatan sup itu. “Ayo makan lagi, jangan menunggu sampai dingin. Rasanya akan terasa beda nanti,” Seina dengan semangat menyuapi Tristan yang memandanginya dengan alis bertaut. “Siapa kamu sebenarnya?” Tristan memandanginya lekat. Seina menghentikan gerakannya mengaduk sup. Seina membalas tatapannya dengan senyuman manis, “Kamu bisa melihat buktinya, Tristan. Lihat jarimu, kita memiliki cincin yang sama,” ujarnya seraya memperlihatkan cincin yang melingkar indah di jari manisnya. “Benarkah? Lalu mengapa aku tidak merasakan apa pun saat melihatmu, hm?” Tristan menatapnya intens. Buatlah dia mencintaimu. Seina menarik paksa ujung bibirnya, ada kilat kesedihan di kedua mata bundarnya. “Mungkin karena… kamu benar-benar melupakanku?” Seina menarik napasnya dalam, menghembuskannya perlahan. Ia tidak tahu apalagi yang harus dikatakannya. Namun, hal itu justru membuat Tristan berpikir bahwa Seina merasa kecewa karenanya. “Kamu baru saja sadar, Tristan. Dokter pun berkata wajar jika kamu belum mengingat semuanya seperti biasa. Tapi, tidak apa-apa Tristan, aku akan membantumu.”[DI15] [EYS6]  Ini adalah kebohongan terbesar yang pernah kubuat. Batinnya menyesali. Namun ia sedikit lega karena bisa mengungkapkan kebohongan sepanjang itu tanpa terbata-bata. Begitu mulus. Ditambah wajahnya yang polos, memungkinkan orang yang melihatnya mudah percaya kepadanya. Tapi, apakah ia akan seberuntung itu dan lelaki itu tidak akan menyadarinya? Tristan masih memandanginya dengan tatapan yang tidak terbaca. Matanya begitu tajam dan menusuk, menatap Seina tepat di kedua manik matanya. Raut wajahnya begitu datar. Garis tegas wajahnya membuat ia makin terlihat tampan bila seperti itu. Seina merutuki dirinya sendiri. Astaga, kenapa dalam keadaan seperti ini ia malah memikirkan wajah Tristan? “Aku masih tidak yakin.” Tristan berhenti memandanginya. Diam-diam Seina menarik napas. Lelaki itu sanggup membuatnya susah bernapas. Seina memandangi wajah Tristan dari samping. Hidung mancung lelaki itu bagai papan seluncur yang pernah dimainkannya bersama anak-anak panti. Seina menggeleng samar. Mengumpat dalam hati. “Jangan menunggu sampai dingin, rasanya akan berbeda nanti.” Tristan mengulang kembali kalimat Seina seraya mengutak-atik remote televisi di tangannya yang bebas perban. Seina tersenyum seraya menyuapi sup itu kembali. ***   Tristan tidak bisa menahan keinginan untuk memperhatikan Seina dari sudut matanya, gadis itu selalu menampilkan senyuman manis yang menggemaskan. Seperti anak kecil yang tengah mengaduk lembut serealnya. Seina tidak menyadari Tristan tengah memperhatikannya dalam diam. Mengapa? Tidak ada perasaan apa pun terhadap gadis itu? Rasa rindu mungkin, atau jantungnya yang berpacu cepat setiap jari-jari Seina menyentuh wajahnya sekedar menyeka kuah sup yang nyaris terjatuh di sudut bibirnya. Seina benar-benar memperlakukan lelaki itu layaknya orang yang dicintai. Atau memang Seina adalah tipe gadis yang lembut? Mungkin. Ia berharap, semoga kebaikan gadis itu tidak bertahan lama karena sikap dinginnya yang tak acuh. Tidak ada secuil perasaan pun. Sanggupkah Tristan tetap bertahan pada sikap tidak peduli di saat gadis yang sangat peduli padanya membutuhkannya? Ia menantang, terlebih pada dirinya sendiri.  [DI11]El, gimana kalau di bagian ini ditambahin lagi tentang apa saja yang dilakukan Seina sambil mengisi waktu. Misalnya Seina selalu mengajak Tristan mengobrol atau membacakan cerita. Di Seina sendiri mulai timbul perasaan bahwa dia tidak sendiri dan ada teman untuk berbagi cerita. Mulai timbul perasaan asing di dalam diri Seina yang coba ia tepis dengan selalu mengingatkan dirinya bahwa itu semua hanya sandiwara.  [E2]Okay mbak!  [DI13]El, ditambahkan berapa sudah berapa lama sejak Tristan sadar namun Tristan masih saja bersikap dingin kepada Seina.  [E4]Sip!  [DI15]Kalau begini gimana, El?  [EYS6]Bagus kok mbak. Saya setuju.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD