Seina melangkahkan kakinya ke kedai kopi dekat apartemen. Sepertinya ia membutuhkan sedikit asupan kafein untuk membuatnya tetap terjaga, agar dapat membantu Tristan lebih banyak saat lelaki itu membutuhkan bantuannya pada saat tengah malam.
Seina mengeluh pelan. Kepalanya sedikit pening. Walaupun Dini menyewa apartemen untuk tempatnya istirahat, namun Seina hampir selalu menghabiskan malamnya di rumah sakit. Apalagi sejak Tristan sadar, ia selalu menginap di rumah sakit. Memang, lelaki itu tidak pernah meminta bantuannya, namun Seina tahu Tristan masih kesulitan melakukan beraktivitas. Huh, andai saja Tristan tidak sedingin itu padanya. Mungkin ia akan semakin bersemangat untuk merawat lelaki itu.
Tapi, entah kenapa Seina sulit menghalau perasaan aneh yang timbul ketika ia berdekatan dengan Tristan. Perasaan aneh yang timbul dalam bentuk debaran yang lebih kuat. Entah apa artinya. Mungkin hanya debaran yang timbul karena kebohongan ini. Lagi-lagi ia menghela napas. Rasa bersalah itu selalu menghantuinya setiap mengingat ia tengah berbohong.
Andai saja, waktu itu ia tidak ceroboh. Tidak akan ada yang celaka dan mengalami amnesia. Tidak ada perjanjian konyol. Seina juga tidak akan terjebak oleh kehidupan Tristan. Ia akan tetap tinggal di rumah panti asuhan, tertawa dan berbagi cerita dengan Bunda dan anak-anak panti.
Huh, Seina benar-benar merindukan mereka.
BUGH!
Seina terjungkal ke belakang. Ia mengusap pantatnya yang terbentur hebat dengan lantai. Astaga, sakit sekali. Namun tidak sesakit mengingat begitu banyak mata yang melihat dan menertawakannya.
“Kamu ini punya mata tidak? Lihat, kamu menumpahkan kopi yang baru kupesan!” Gadis cantik di hadapannya menatap tajam.
“Aku minta maaf. S-sungguh, a-aku—”
“Ah, sudahlah!” Gadis itu mengalihkan pandangan pada pria di sampingnya, “Kita tinggalkan saja dia. Kita pergi ke tempat yang lain saja ya, Sayang.” Sengitnya, seraya menyipit tajam ke arah Seina yang masih terduduk.
Pria itu tersenyum pada Seina. Ia membalas senyumannya, Seina tahu pria itu meminta maaf dari senyuman ramah yang dilemparkannya sebelum mereka pergi menjauh.
“Kamu tidak apa-apa, Sein?”
Seina menatap wanita di sebelahnya. Ia bersyukur Dini datang walaupun di waktu yang kurang tepat, setidaknya ia tidak sendiri sekarang.
“Kamu ringan sekali, berapa berat badanmu?” Candanya seraya membantu Seina berdiri.
Seina tersenyum geli, “Hanya 37. Bunda bilang, ukuran tubuhku memang segini saja. Makan sebakul pun, tidak akan menambah berat badanku. Atau bila aku berenang jauh ke sungai sss pun, aku juga tidak akan bertambah tinggi.” Seina tersenyum sedikit mendongak karena ia baru menyadari, secara dekat Dini mempunyai kemiripan dengan Tristan di wajahnya juga pada postur tubuhnya yang terbilang tinggi.
Dini terbelalak, “Kamu serius?”
“Yep.”
“Ehm, maksudku, kamu bersungguh-sungguh akan memakan sebanyak satu bakul penuh dan berenang di Sungai sss?” Dini tersenyum geli.
Seina merenggut, “Ya ampun, aku hanya bercanda.” Bibirnya mengerucut.
Dini terkekeh geli memandangnya, “Oh aku akan sangat bahagia kalau kamu menjadi adik iparku,” Gumamnya sangat lirih. Seina menatapnya heran, ia tidak mendengar dengan jelas apa yang Dini katakan. Dini tersenyum padanya, “Ah tidak, Sein. Oh iya, mengapa kamu tidak menungguku di apartemen saja? Mengapa harus di sini?” Dini mengernyitkan dahi.
“Ehm, aku hanya ingin membeli kopi. Sepertinya aku perlu sedikit kafein untuk membuatku tetap terjaga,” jelasnya dengan senyuman mengembang, membuat Dini semakin tidak mengerti.
“Untuk apa?” tanyanya.
Seina menarik napas, “Untuk berjaga-jaga jika Tristan membutuhkan bantuan malam hari.” Ia menghembuskan napasnya, mengulum senyum.
***
Aneh, Seina benar-benar aneh.
Dini tahu bagaimana perlakuan Tristan pada gadis mungil di hadapannya itu. Begitu dingin, tidak acuh, bahkan seperti tidak menganggapnya ada. Namun, mengapa Seina terlihat begitu peduli? Bahkan merelakan jam tidurnya hanya untuk membantu Tristan.
Atau jangan-jangan? Seina mulai menyukai Tristan? Jika memang benar, ia akan sepenuhnya mendukung. Tanpa disadarinya, Dini tersenyum hangat pada Seina. Ia sungguh terharu dengan kebaikan dan kepolosan Seina. Apa mungkin ini hanya rasa bersalah gadis itu saja? Semoga tidak. Semoga Seina memang mempunyai perasaan terhadap adiknya, dan mampu menaklukan Tristan yang begitu dingin pada gadis itu, menjadi lelaki yang hangat seperti yang dilakukannya pada Teressa dulu.
Gadis b******k itu!
Dini melihat dengan jelas kejadian tadi. Sebelum ia menghampiri Seina, ia menajamkan penglihatannya. Meyakinkan apa yang dilihatnya. Teressa bergandengan mesra dengan seorang pria yang terlihat mapan di saat Tristan sedang membutuhkannya. Bahkan gadis itu tidak menjenguk Tristan saat ia memberitahu kalau adiknya tengah mengalami masa kritis. Memang gadis yang tidak tahu diri!
Dini menarik napas dalam, “Terima kasih Seina. Kamu begitu baik pada Tristan.” Dini tersenyum padanya. Seina membalasnya dengan senyuman seraya mengangguk.
***
Seina menarik selimut yang dibawanya dari apartemen, menutupi seluruh tubuhnya sampai dagu. Kepalanya bersandar pada lengan sofa di sisi ruangan tempat Tristan dirawat. Matanya bergerak-gerak membaca buku yang diletakkan di bawah dadanya yang bergerak teratur.
Dari atas tempat tidur rumah sakit, sepasang mata menatap setiap gerak gerik gadis itu. Alisnya bertaut melihat ekspresi gadis itu yang berubah-ubah seiring lembaran buram itu dibalik olehnya. Seina merasa diperhatikan. Namun, ia tetap tidak mengalihkan pandangannya dari novel itu. Ia tahu Tristan sedang memandanginya. Apa lelaki itu membutuhkan sesuatu? Oh ya ampun, kenapa kakinya jadi terasa lemas sekali. Ia menggantungkan kakinya pada lengan sofa, bertekad tidak akan menanyai lelaki itu kalau bukan Tristan yang meminta bantuannya.
Kepalanya pening. Adegan yang dibacanya dalam novel itu telah buyar seiring denyutan di kepalanya. Konsentrasinya menurun. Padahal keheningan di antara mereka harusnya cukup membuatnya fokus. Ia baru ingat, sejak menyesap kopi yang dibelinya bersama Dini, belum ada secuil makanan pun yang disentuhnya.
“Tolong ambilkan segelas air hangat.”
Seina menoleh, dilihatnya Tristan mengucapkan itu dengan mata terpejam. Seina tersenyum, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Selama beberapa saat ia hanya bersandar pada sofa. Seperti ada batu besar yang menghantam kepalanya.
Seina berdiri, melangkah dengan pandangan kabur.
BRUK!
“Apa it—” Tristan membuka matanya, terbelalak melihatnya.
“SEINA!”
***
Dokter Renza yang menanganinya kini tengah memeriksa kondisi Seina. Tristan memandangi wajahnya yang begitu tenang dan sedikit pucat. Gadis itu kini terbaring lemah di sofa yang sudah menjadi tempat tidur kedua. Apa ia terlalu keras kepada Seina? Oh tidak, gadis itu yang salah. Mengapa ia terus berada di sini?
Bukankah Seina adalah tunangannya?
Lagi-lagi! Ia sedang tidak ingin bergulat dengan pikirannya sendiri.
“Bagaimana keadaannya?”
Dokter Renza tersenyum, “Tidak apa-apa. Sepertinya gadis ini terlalu lelah. Kondisi perutnya yang kosong juga membuat kondisinya menurun drastis.”
Gadis bodoh. Tristan hanya berdecak pelan dan bergumam seraya mengangguk samar membalas penjelasan Dokter Renza. Ia kembali memandangi wajah Seina yang begitu tenang. Diam-diam, ada perasaan hangat yang masuk ke dalam hatinya.
Saat Seina ambruk tadi, belum pernah Tristan merasa sangat tidak berdaya. Tak terhitung berapa kali ia mengumpat karena tidak dapat menghampiri Seina akibat perban laknat yang melekat di beberapa bagian tubuhnya. Ia tidak dapat melakukan apa pun selain berteriak sambil menekan bel di sisi ranjang, memanggil siapa pun untuk datang membantunya.
Harusnya wajar kan kalau ia merasa seperti itu terhadap tunangannya sendiri. Tapi, kenapa Tristan merasa asing dengan perasaan itu. Perasaan ini seperti… seperti orang yang baru jatuh cinta.
Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Tristan Rivandhi meragukan perasaannya.
***
Cahaya matahari menembus kedua mata Seina yang terpejam. Ia mengulat ringan. Hari ini badannya terasa ringan, padahal tadi malam kepalanya terasa berat sekali. Seperti ada puluhan buku yang menindih kepalanya sampai terhuyung dan limbung.
Eh? Seina mengernyit dalam tatkala mendapati dirinya terbaring di atas sofa. Seingatnya—ah, sudahlah. Yang terpenting sekarang adalah ia bisa terbangun dari tidur nyenyaknya. Semenjak menemani Tristan di rumah sakit, tidurnya selalu terganggu. Oh, bukan. Bukan karena Tristan mengusik apalagi menyusahkannya. Namun karena imajinasi horornya tentang “penghuni” gedung rumah sakit seperti di film-film.
Hiyyaaa!
Seina ambruk ke bawah, membuat bokongnya membentur lantai. Sakit sekali!
“Kamu kenapa?”
Seina mengalihkan pandangannya pada Tristan yang terduduk di sisi ranjang. Posisinya yang di bawah semakin membuat Tristan terlihat menjulang. Kedua kaki Tristan yang tergantung nyaris menyentuh lantai, padahal ranjang itu lumayan besar dan tinggi.
Oh Tuhan, lelaki itu sangat tampan. Kemeja hitam yang dikenakannya digulung sampai siku, beberapa kancing di atasnya terbuka menampilkan kaos putih polos di dalamnya. Kedua kakinya dipadu dengan celana chino lembut. Membuat lelaki itu tampak segar dan maskulin.
Tunggu.
Ke mana baju pasien yang Tristan kenakan sebelumnya? Hanya plester-plester kecil yang mengganggu wajah tampannya.
Aih! Seina merutuki dirinya sekali lagi.
“Tidak ada waktu untuk hanya memandangku. Cepat bersiap-siap, aku sudah tidak tahan di sini.” Ia menatap Seina dengan tatapan tidak bisa dibantah.
“Memangnya ada apa?” Seina bertanya dengan polos.
Tristan mendengus kesal, “Dokter sudah mengizinkanku pulang. Kalau kamu ingin tetap di sini, silahkan.”
Senyum Seina mengembang, memamerkan deretan giginya yang rapi dan mungil. Astaga, ia terlihat semakin menggemaskan di matanya.
Apa yang ada di pikirannya?!
Tristan menggeleng samar, menepis pikirannya yang mulai melantur. Ia melirik Seina yang berjalan masih dengan senyuman mengembang, menghampiri Tristan yang menautkan alisnya. Seina mengulum senyum.
Tristan mengerutkan dahi dengan alis bertaut, “Ada apa?” tukasnya seolah tak sedang menyembunyikan desiran hebat dalam dirinya.
Seina menyentuh dahinya dengan lembut. “Benar kamu sudah boleh pulang? Lukamu sepertinya belum sembuh,” ujarnya dengan nada lembut, ibu jarinya tidak terlepas dari perban yang melingkar di kepala lelaki itu.
“Ini hanya luka kecil. Kau tidak perlu mengurusiku.” Tristan membalas senyum lembut Seina dengan sebelah mata menyipit, tajam. Seketika itu juga Tristan menyesal telah mengeluarkan kata-kata setajam itu. Apalagi ketika ia melihat wajah Seina yang tertegun dan terluka.
Seina berdeham pelan, “Tapi, kita kan bertunangan, Tristan. Apakah salah kalau aku peduli kepada orang yang aku sayangi?”
Seina tidak tahu bagaimana kata-kata itu bisa keluar dengan lancar dari bibirnya. Demi Tuhan, ia malu sekali.[Tata1] [EYS2]
Dengan pipi yang merona, membuat wajahnya kini seperti saus tomat, ia berlalu. Meninggalkan Tristan yang memandanginya dengan alis terangkat. Namun tak urung sudut bibirnya terangkat samar, pipi gadis itu begitu menggemaskan dengan rona merahnya karena malu.
Jangan-jangan, Seina memang benar menyukainya? Tentu saja. Seina adalah tunangannya seperti yang diucapkan gadis itu. Lalu mengapa tidak ada perasaan apa pun pada gadis itu?
Argh! Tristan menepis pikiran itu. Astaga, siapa pun kali ini yang menjadi malaikat kecil maupun iblis yang membisikannya dengan kalimat itu lagi, tolong hentikan! Ia hampir gila dengan sendirinya bila terus memikirkan “siapa” gadis itu sebenarnya. Mungkin ia memang lupa, tapi perasaannya tidak mungkin dapat membohonginya.
Dan saat-saat bersama dengan Seina. Apakah ia sanggup untuk semakin terlihat membenci gadis itu? Apa mungkin kini perasaannya telah berubah seiring waktu? Atau mungkin memang beginilah seharusnya perasaannya pada Seina, karena memang gadis itu adalah tunangannya?
Lihat saja, seberapa jauh waktu akan mempermainkannya. Tristan hanya dapat menghela napas menunggu Seina yang tengah bersiap-siap. Ia mendengus kesal, begitu gemas pada gadis itu. Perempuan selalu lama!
***
“Aku senang sekali kamu sudah sembuh, Tristan.”
Dini tersenyum seraya mengemudikan mobilnya. Tristan yang duduk di sebelah kemudi menaikan sebelah alisnya, “Aku kira kamu akan membenci kepulanganku. Karena itu artinya, kamu tidak dapat lagi menikmati rasanya jadi bos besar, bukan?” Tristan terkekeh.
Dini mencebik, “Tanpaku, restoran kesayanganmu itu sudah bangkrut!”
Tristan mengakui. Apa yang dikatakan Dini ada benarnya. Kembali pada kenyataan bahwa dirinya tengah mengalami amnesia akan kejadian 6 bulan terakhir. Ia tidak ingat seperti apa restorannya kini? Dini pernah mengatakan restoran itu telah berubah menjadi restoran mewah nan romantis. Dan wanita itu mengatakan bahwa Tristan mengubah interior restorannya [Tata3] [EYS4] juga sistem pelayanannya menjadi lebih hangat dan romantis semata-mata karena kehadiran gadis itu dalam hidupnya.
Seina.
Mengapa sampai saat ini Tristan masih meragukan status gadis itu?
Mungkin memang benar apa yang dikatakan kakaknya itu. Tristan akui, ia bukanlah tipe lelaki yang mudah mengubah segalanya yang telah terbentuk sejak awal pemikirannya. Apalagi menyangkut soal restoran yang dirintisnya, hingga menjadi restoran terbesar di kota tempat tinggalnya.
Dan mungkin karena gadis itulah yang membujuk Tristan mengubah nuansa restorannya yang megah dan elegan, menjadi suasana hangat dan romantis. Ah, tidak. Ia tidak melihat Seina seorang gadis yang seperti itu. Dilihat dari penampilan Seina yang terlalu biasa untuk menjadikannya di pandang sebagai gadis dengan pesona yang mengagumkan.
Atau mungkin saja ia sendiri yang berinisiatif mengubah semuanya demi membuat gadis itu tersanjung? Entahlah, sepertinya memang karena Seina. Tidak ada lagi alasan kuat untuk membuat pikirannya tidak menentu seperti itu.
Kejadian itu kembali terlintas. Tanpa Seina sadari, sebetulnya malam-malam ketika Seina sibuk membaca dan menemaninya, Tristan sesekali mencuri pandang kearah Seina. Mata bundarnya yang memiliki pandangan lembut. Pipinya yang menggemaskan. Hidung rampingnya yang mungil namun tidak terlalu mancung. Juga bibir merahnya yang menggoda.
Tristan merutuki dirinya. Mengapa wajah itu susah sekali luput dari pikirannya?! Mungkin memang benar pertahanannya telah runtuh dan ia sanggup mengubah konsep restoran yang ia bangun dari nol.[Tata5] [EYS6]
Tristan melirik spion tengah. Dari pantulan kaca ia mengamati bayangan Seina yang tertidur pulas di belakang, juga Dini yang bersenandung kecil menikmati nada lembut dari radionya yang mengalun indah. Ia terus memandangi Seina. Entah mengapa, ia sangat menikmati pemandangan itu.
Dini yang menyadari itu tersenyum jahil. Ia memutar arah spion tengah, membuat alis Tristan bertaut. Sedetik kemudian ia tersadar. Berpura-pura tidak peduli, dan mengalihkan pandangan keluar jendela.
“Apa pemandangannya lebih indah dari tunanganmu sendiri?” Dini terkekeh geli.
“Setidaknya tidak ada yang merusaknya.”
Baru ia sadari apa yang dikatakannya barusan. Itu artinya ia mengakuinya? Astaga, mengapa ia jadi sebodoh ini di hadapan kakaknya sendiri?!
Semoga Seina tidak mendengar kata-katanya!
***
Seina menghempaskan tubuhnya di sofa. Tubuhnya yang begitu mungil sangat ringan saat terhempas. Ia memejamkan matanya sesaat. Apartemen yang dipinjamkan Dini itu sangat besar dan membuatnya begitu nyaman. Dan sepertinya ia tidak mempunyai alasan lagi untuk tinggal berlama-lama di apartemen itu. Tristan sudah diizinkan pulang. Itu artinya ia juga harus pulang ke panti asuhan tempatnya dibesarkan.
Tristan sudah sembuh, namun belum pulih total. Dia masih butuh seseorang mendampinginya. Huh, apa lelaki itu masih perlu dibantu olehnya? Tentu saja, kamu ini kan tunangannya, Seina.
Bayangan kata-kata yang keluar tidak disengaja itu seperti terus membayangi Seina. Entah kenapa pipinya selalu panas dan jantungnya berdebar setap mengingat kejadian itu. Apakah… ah, entahlah.
***
Tristan merasa tidak berguna sekarang. Dini memapahnya dengan senang hati, namun lain hal dengan Tristan. Seharusnya ia tidak perlu merepotkan Dini. Namun, siapa yang bisa diandalkannya saat ini?
Dini menuntunnya ke kasur king size. Tristan sempat meringis ketika Dini tanpa sengaja menyenggol kaki Tristan yang masih sakit.
“Masih sakit begitu, tetap berkeras mengendarai mobil?!” Dini berdecak, “Sepertinya aku akan mengikuti langkahmu nanti!”
Tristan terkekeh. “Dini, kamu bisa mengurus restoranku kan? Sampai aku benar-benar pulih.”
“Ck… ck… ck… kamu minta bantuanku tapi nadamu sombong sekali,” Dini menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Aku memang berniat seperti itu. Biar Seina yang menjaga dan mengurusimu, anak bayi.” Dini terkekeh geli akan julukan yang dibuatnya untuk Tristan.
“Seina?” Tristan menautkan alis. “Aku tidak ingin membuatnya repot—”
“Dia tunanganmu, Tristan. Percayalah padanya.” Dini tersenyum penuh arti. Astaga, bagaimana Tristan sanggup menolak? Dini sudah begitu baik dengannya.
“Baiklah,” Tristan menghela napas, memandangi punggung Dini yang mulai menjauh. “Dini?”
Dini menoleh dengan dahi berkerut samar, “Ya? Ada apa adik kecil?”
Tristan mendengus seraya memutar bola matanya. “Buatkan aku cream sup.”
“Hm? Sejak kapan kamu suka cream sup?” Dini mendelik curiga. Kemudian ia tertawa diiringi dengan tatapan jahil.
“Baiklah, akan kubuatkan khusus untukmu,” ujarnya nada meniru suara lembut Seina.
Lembut? Ya, gadis itu memang tidak pernah berbicara dengan tekanan maupun nada tinggi. Gadis itu selalu menghargai lawan bicaranya. Itu membuat sudut bibirnya tanpa sadar tertarik.
Hah! Lupakan saja.
[Tata1]Kalau begini gimana El? Kesannya dia berani mengungkapkan kata-kata ini sehingga dia memerah karena malu.
[EYS2]Sip mbak! Oke.
[Tata3]Gimana kalau yang diubah cuma interior dalamnya, jadi lebih masuk logika juga.
[EYS4]Okay!
[Tata5]Berhubung adegan di atas tadi aku ubah, bagian ini juga jadi terpengaruh karena kaitannya dengan kejadian awal tadi harusnya kan ya?
[EYS6]Hmm, ini okay kok mbak. Iya, berubah juga hehe