Halo, Clif?

1007 Words
Karin terisak. Di kursi tunggu rumah sakit, gadis itu tak bisa menahan sesak di d**a. Penyesalannya semakin menjadi. Baru saja ia meniatkan diri untuk menjaga kakaknya dengan lebih baik, tapi rencananya itu bahkan sudah hancur sebelum dimulai. Naren juga masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Tangannya sangat dingin dan hatinya masih kacau, belum bisa tenang. Naren merasa sudah sangat maksimal menjaga Clara. Namun, mengapa? "Naren, apa yang terjadi?" tanya El. Perempuan itu berlari menghampiri Naren. "Siapa yang sudah melakukan hal gila itu kepada Clara?" tanyanya lagi dengan penuh emosi. "Menurutmu, El. Menurutmu, siapa? Aku pikir, kau pasti sudah tahu." El menarik napas panjang, tangannya terkepal. "Seharusnya, manusia buruk sepertinya, tidak pernah terlahir ke dunia." Naren diam, tak menanggapi. Ia merapalkan doa-doa semoga Clara bisa selamat. *** Tiga tahun yang lalu. "Selamat, Clif. Novel barumu benar-benar akan masuk deretan novel best seller kalau begini." Anrez tersenyum. Clara tak bisa berkata-kata. Jujur, ia terharu dan tak menyangka bahwa novelnya yang bertajuk Immortal Souls itu dicetak ulang untuk yang kedua kalinya. "Sayang, tetaplah rendah hati, ya." Mami Renata memeluk Clara. "Iya, Mami. Terima kasih banyak. Tanpa kalian, aku tidak akan bisa sampai sejauh ini." "Ah, sekarang bahkan ada beberapa artikel yang menyorot namamu, Clif. Mungkin sebentar lagi, kamu akan jadi selebriti." Anrez bersorak. "Tidak mungkin," sanggah Clara, sambil bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. "Mungkin saja, Sayang. Berbahagialah," ucap Mami Renata lagi. Clara mengangguk. Kemudian ia menatap sekeliling kafe. Beberapa temannya dari klub menulis belum semuanya datang. Ia sengaja memilih hari itu untuk merayakan atas meledaknya novel Immortal Souls di pasaran. Clara masih tak percaya sebenarnya, bahwa kerja kerasnya bertahun-tahun, akhirnya dapat terbayar dengan manis. "Hai, Clif. Hai, Anrez, Hai, Mami." El menyapa dengan riang. Perempuan berkacamata itu mengulurkan lengan pada Clara. "Selamat, Clif. Aku tahu, akhirnya pasti akan manis." Clara menerima uluran tangan El dengan berusaha menahan haru. "Sudah, jangan menangis, Sayang, ini hari bahagia," ucap Mami Renata. "Iya, benar. Siapa yang belum datang? Ada lagi?" tanya El. "Ada. Sam dan Lora," jawab Clara. Tepat setelah kalimat yang Clara ucapkan, rupanya Sam dan Lora masuk ke kafe bersamaan. Keduanya tertawa menyadari itu. "Kalian datang bersama?" tanya Clara. "Iya, sepertinya Lora mulai menyukaiku," ucap Sam. "Sahabat jadi cinta? Seperti dalam drama saja." Mami Renata tak mau ketinggalan berkomentar. "Mami, aku kangen," ucap Lora. Mami Renata hanya mendelik. Clara, Sam, Anrez, dan El tertawa melihatnya. Setelah selesai makan-makan, mereka kemudian kembali membicarakan novel Clara. Tak lupa, Sam dan Lora mulai menggoda Clara. "Clif, kamu tahu, San?" tanya Lora penuh semangat. Clara menarik napas panjang. "Iya, aku tahu." "Sayang, jangan terjebak cinta semu," ucap Mami Renata. "Iya, Mami. Lora yang berlebihan. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya." "Jangan seperti itu, Clif. Tidak baik menolak cinta dari seseorang. Apalagi jika cinta itu berasal dari seorang penulis surealis seperti San. Bayangkan metafora macam apa yang akan dia gunakan demi membuatmu abadi di dalam tulisannya." Lora mengatakan kalimat itu dengan sangat tegas, sambil menatap mata Clara dengan tajam. "Benar, Clif. Ini kesempatan emas. Buat postingan di ** dengan caption semacam kode atau apa pun. Jadilah sedikit misterius," timpal Sam. Anrez menepuk pundak Sam. "Ide bagus." "Kalian ini, bagaimana menurutmu, El?" tanya Clara. "Ehm, coba saja." Terdengar konyol, tapi pada akhirnya Lora membajak ponsel Clara dan benar-benar membuat postingan sebuah foto di ** dengan caption: "S" "S di sini bisa berarti San, atau hal lain. Iya, kan?" tanya Lora. "Jadi, kamu tidak perlu cemas, Clif," lanjutnya lagi. "Kalian ini, aku akan menghapus postingannya setelah satu jam. Aduh, merepotkan," ujar Clara dengan menampilkan wajah kesal. Suasana kafe semakin ramai, live music di sana membuat sekumpulan penulis itu betah berlama-lama. Sesekali Anrez bahkan bersenandung, membuat semuanya jadi risih, karena pengunjung lain melihat ke arah meja mereka terus-menerus. "Woah! San memberi komentar di postinganmu!" Teriakan Lora membuat Clara panik. "Tidak mungkin, Lora. Mustahil!" "Wah, secepat itu?" Sam juga antusias. Clara bergegas mengecek postingannya. Setelah itu, ia menatap Lora tajam. "Loraaaa!" "Maaf, memangnya kenapa kalau San benar-benar berkomentar? Itu bagus, 'kan?" tanya Lora. Rupanya tadi itu Lora hanya berakting. San tidak berkomentar di postingan Clara. Dan gadis itu bergegas menghapus postingan dengan caption S tadi. Konyol dan benar-benar aneh, pikir Clara. Meskipun sebenarnya, di dalam hati, Clara sedikit berharap San benar-benar melihat postingannya. San, penulis yang cukup terkenal itu mulai mengikuti Clara di ** sejak novel Clara booming. Gadis itu sudah mengagumi San sejak lama, tapi semakin lama, ia semakin kagum saja. Entah kenapa. Karena San mulai mengikuti Clara di **, penggemar mereka tentu saja tahu. Baik di postingan Clara atau San, beberapa penggemar mulai menjodoh-jodohkan mereka. Padahal, keduanya sama sekali belum pernah bertegur sapa. "Clif?" "Hah?" "Melamun?" tanya Anrez. Clara hanya tersenyum. "Aku hanya merasa, ini benar-benar malam yang tidak akan pernah kulupakan. Kalian berada di sini dan aku sangat bersyukur untuk itu." "Sayang, seperti halnya berada di dalam kesedihan, kamu juga jangan larut atau terlena dalam kebahagiaan terlalu dalam dan lama. Kamu harus terus berjuang," ucap Mami Renata. "Baik, Mami." "Mami, kenapa Mami selalu bijak, tenang dan elegan?" tanya Sam. Mendengar pertanyaan tersebut, Anrez, El, Lora, dan Clara menunggu jawaban Mami Renata. "Ya, tentu saja. Kalian harus selalu tahu. Penulis seperti mami ini, yang sudah menikah, punya anak pula, selalu bisa mengendalikan emosi dengan benar. Kalian harus belajar juga dari mami," ucapnya dengan senyum elegan. Semuanya mengangguk. Mami Renata memang yang paling tenang di antara mereka. Meskipun usianya sudah lebih dari dua puluh tujuh, tapi ia bisa berbaur dengan anggota klub menulis lain yang usianya masih muda. "Semoga BBA Club semakin dikenal orang dan setiap dari kita benar-benar meraih kesuksesannya," ucap Mami Renata. Lima orang yang mendengar kalimat dari Mami serempak mengaminkan. Mereka memang sudah berjuang cukup lama. Ada yang bahkan sejak kecil sangat ingin jadi penulis, termasuk Clara. Sebelum mereka benar-benar mengakhiri perayaan itu, Clara mendapat panggilan telepon dari seseorang. Panggilan telepon yang membuatnya merasa setelah hari itu, hidupnya akan berubah. Memang, setelah telepon hari itu, hidup Clara benar-benar berubah. "Halo, Clif? Saya ajudan Pak Kristo. Salah satu angggota dewan. Saya yakin, kamu juga pasti tahu." "Ah, iya." Clara tiba-tiba saja menjadi gugup. "Bisa kita bertemu?" "Bisa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD