Narasi yang Berubah

1108 Words
"Selamat pagi!" Kalimat itu terdengar penuh semangat. Clara masih belum sadar sepenuhnya. Pagi-pagi sekali, gadis itu sudah menerima telepon. Siapa lagi kalau bukan dari Naren. "Apa?" tanya Clara malas. "Selamat pagi ...." "Hah?" Clara masih belum mendengar suara itu dengan jelas. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. "Ya ampun. Selamat pagi dan segera bangun!" "Ini masih pagi sekali." "Clara, ini sudah siang. Cepat bangun." Gerutuan itu terdengar memaksa. "Oke." Clara menutup telepon. Gadis itu lalu kembali memejamkan mata dan menarik selimutnya. Namun, itu tak lama. Suara dering dari ponselnya kembali terdengar. "Halo." "Clara, aku tahu kamu tidak bangun. Cepat bangun, aku akan segera menjemputmu. Kita sarapan di studio. Ada yang menunggu kita di sana." Clara terperanjat. "Pak Saragih?" "Lelaki setengah tua itu? Kamu mengharapkan dia datang ke studio kita?" "Bukan begitu, tapi ya, bukannya kemarin itu dia mau lihat lukisanku?" "Iya, tapi kita belum menentukan harganya, 'kan? Aku juga belum menghubunginya." "Ya, baguslah. Siapa yang menunggu kita?" "Rahasia. Aku jemput setengah jam lagi." "Oke." Clara tidak suka kejutan, rahasia, atau apa pun itu namanya. Kalau bukan Naren yang membangunkannya, kalau bukan Naren yang menyuruhnya, mungkin gadis itu masih merebahkan diri dan enggan beranjak. Sambil menggosok gigi, Clara menatap wajah kusutnya di cermin. Kacau sekali wajahnya itu. "Kak?" Suara Karin terdengar di balik pintu kamar mandi. "Iya, Karin?" "Aku berangkat dulu, ya. Kata Kak Naren, Kakak akan sarapan di studio. Jadi aku tidak menyiapkan apa pun." "Iya, tidak apa-apa. Terima kasih, ya." Karin tersenyum. Namun, adiknya itu diam, menunggu. Sampai Clara selesai menggosok gigi dan membuka pintu. "Kenapa?" tanya Clara heran, tak menyangka Karin masih di sana. Karin menarik napas panjang, kemudian memeluk Clara. "Maaf," lirihnya. Clara semakin heran. "Ya ampun. Apa yang harus dimaafkan? Tidak ada, Karin." Tangan Clara mengelus punggung Karin berulang-ulang. Entah kenapa, tapi Clara merasa harusnya ia yang meminta maaf. "Sudah, nanti kamu kesiangan." Karin mengangguk, menunduk dan berlalu tanpa mengangkat kepalanya. *** "Selamat datang di BBA Club!" Kalimat serempak itu menyambut Clara dan Naren ketika membuka pintu studio. Clara terkejut melihat sekitar. Kepada wajah-wajah yang tak asing itu, Clara hanya bisa tersenyum, tak bisa berkata-kata. BBA Club? Rasanya sudah lama sekali. "Sepertinya, ada yang hilang ingatan," ucap El, salah satu anggota klub menulis BBA yang kini sudah sukses. El memberi pelukan hangat kepada Clara. "Halo, Clara. Kabar baik, Sayang?" tanya Mami Renata, salah satu penulis dan ibu muda yang dari dulu selalu tampil elegan. "Baik, Mami Ren." "Bagus. Angkat dagumu, Sayang. Jangan menunduk terus. Semua sudah berlalu." Clara mengangguk. Ada dua mahluk lain, yang menatap Clara dengan jahil. Sam dan Anrez. "Lihatlah, Clara yang sekarang sudah berubah. Atau, masih suka jus alpukat?" tanya Anrez. "Masih, Anrez." "Mari kita bergosip, Clara," ajak Sam dengan mengedipkan sebelah matanya. Naren langsung menepuk pundak Sam. "Sam, bersikaplah tahu diri." "Aku tahu, Naren. Aku memang tidak tahu diri. Lalu dua orang itu tertawa. Clara yang merasa bahwa jokes Naren dan Sam itu aneh, hanya bisa meringis. "Baiklah. Terima kasih kalian sudah datang dan menyambut Clara. Sahabat kalian ini sudah lama tinggal di goa dan sedikit sulit bersosialisasi dengan manusia. Jangan heran, kalau dia sulit bicara." Penjelasan dari Naren dibalas pukulan pelan dari Clara. Clara menarik napas panjang sebelum bicara. "Aku ... aku ingin berterima kasih karena kalian mau datang ke studio ini. Aku tidak tahu kalau Naren akan melakukan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bertemu kalian lagi, berbicara dengan kalian lagi, itu sebuah keajaiban." Clara hampir menangis. Namun, El buru-buru menyela. "Ah, sudah. Sambutannya jangan terlalu panjang. Aku lapar." Clara tersenyum. "Aku juga lapar." "Aku bawa makanan ini dari rumah. Jus alpukat juga aku yang buat," kata Anrez sambil mengeluarkan kotak makanan. "Kalian ini, aku benar-benar masih tidak percaya," ucap Clara lagi. "Simpan air matamu, Sayang. Kita harus makan dan punya tenaga untuk menjalani hari ini dengan baik," ucap Renata lagi. Clara mengangguk. Pagi itu, adalah momen sarapan yang menyenangkan. Perlahan, gadis itu yakin, kalau ia memang bisa berubah lagi. Mungkin, ia tidak bisa jadi Clara yang dulu, tapi ia bisa jadi Clara yang baru. *** Sepertinya benar, apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang. Bahwa sering kali, waktu terasa sangat singkat jika seseorang sedang berada pada pusaran kebahagiaan. Sebaliknya, waktu terasa berjalan lambat ketika seseorang berada dalam pusaran kesedihan. Akan tetapi, dua hal itu memiliki kesamaan. Sama-sama akan berlalu. Clara melambaikan tangan ketika empat sahabatnya sudah cukup jauh dari studio. Mereka sepertinya sudah punya jadwal lain. Jadwal yang padat. Mereka semua penulis terkenal dan sukses. Gadis itu bahkan masih merasa seperti sedang bermimpi. Apakah ia benar-benar masih hidup dan bernapas? Alasan apa yang membuatnya mau dan mampu bertahan? Clara masih merasa semuanya adalah keajaiban. "Melamunkan apa?" tanya Naren. Clara tersadar, sedari tadi ia masih berada di depan pintu. "Melamunkan diri sendiri." "Mau berbagi lamunan?" Clara menggeleng. "Berhenti jadi sok puitis, Naren. Sudah berapa banyak buku yang kamu baca demi mengatakan banyak kata-kata bijak dan romantis?" "Aku lupa," jawabnya sambil tersenyum. "Singkirkan lesung pipimu." "Tidak bisa, ini sudah tertanam sejak bayi." Clara merasa percakapan mereka sedikit aneh dan menggelikan. Gadis itu bahkan merasa sedikit konyol. "Naren, terima kasih." "Untuk?" "Untuk selalu ada di sampingku. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, karena selalu jadi orang yang berusaha dan aku terinspirasi karenamu. Terima kasih karena meskipun aku tahu, kamu juga punya kesulitan yang harus dihadapi, kamu selalu memberiku motivasi. Terima kasih banyak. Mungkin terdengar berlebihan, tapi inilah aku." "Sama-sama. Aku juga ingin berterima kasih, Clara. Terima kasih karena sudah menjalani hari ini dengan baik." Clara dan Naren saling menatap. Saling melempar senyum. "Mau pulang? Atau tetap di studio?" tanya Naren setelah beberapa saat berlalu. "Pulang. Aku pikir, aku mungkin harus lebih banyak berbicara dengan Karin. Aku tahu, aku dan dia sedikit berjarak. Jadi, aku pikir lebih baik untuk lebih sering berkomunikasi." "Ide bagus, Clara. Sudah saatnya bukan, kamu benar-benar keluar dari gua." "Ya ampun. Bahasamu itu. Baiklah. Ayo! Tapi aku ke toilet dulu, ya." Naren meraih kunci mobil dari sakunya. "Aku tunggu di mobil dan jangan lupa kunci pintunya setelah keluar." Clara mengacungkan jempol dan bergegas pergi ke toilet. Naren menatap langit sore yang cerah. Laki-laki itu perlahan percaya kalau waktu memang obat terbaik bagi setiap kesedihan. Clara, perempuan yang ia cintai mulai terlihat ceria. Sepuluh menit berlalu, dan Clara tak juga keluar dari studio. Naren yang sedikit cemas, segera keluar lagi dari mobil. Kemudian ia bergegas mengecek ke toilet, tapi tidak ada siapa pun di sana. "Clara!" "Clara!" Naren mencoba melihat sekitar. Seketika kakinya bergetar dan jantungnya berdegup kencang saat matanya melihat percikan darah di lantai. Naren mengikuti percikan darah itu. Sampai kemudian ia menemukan Clara tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Secepat itu, takdir dapat mengubah rencana dan harapan dua manusia, dan mungkin jutaan manusia lainnya di bumi. Secepat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD