Intro

1074 Words
"Baik-baik di rumah, tunggu Karin pulang. Adikmu itu akan selesai kuliah beberapa menit lagi. Jangan berpikir terlalu berlebihan. Telepon aku kalau ada apa-apa." Kalimat Naren dijawab oleh anggukan dari Clara. Gadis itu lalu memilih untuk merebahkan diri di kamarnya, memejamkan mata sambil mengenang beberapa hal. *** Menjadi penulis adalah cita-cita besar yang Clara kejar mati-matian dulu. Berawal dari mengagumi beberapa buku yang membuatnya merasa memiliki pandangan lain terhadap dunia, maka ia juga berkeinginan berbagi pandangan yang ia miliki untuk orang lain. Gadis itu merasa, ketika sudah membaca satu buku, apa yang dibacanya itu akan cukup berpengaruh pada setiap apa yang ia lakukan. Clara merasa bahwa dirinya tidaklah sendirian dan kehidupan itu benar-benar beragam. Clara ingat, ketika dulu ibunya memberikan komik Shinchan saat masih SD kelas 1. Sailor Moon, Kungfu Boy, Majalah Bobo. Clara yang masih kecil pernah berharap namanya akan muncul di majalah, bersanding dengan karyanya. Gadis itu merasa mungkin sang ibu akan sangat bangga karena hal itu. Meskipun sebenarnya, tanpa itu pun, ibu Clara selalu bangga. Setelah Clara beranjak dewasa, ia baru menyadari kenyataan lucu kalau beberapa komik yang dibacanya saat masih SD, bukanlah bacaan anak-anak. Ibunya mungkin tidak terlalu paham, tapi Clara merasa itu bukan masalah besar. Setelahnya, beranjak remaja, Clara mulai menulis. Ia mulai menulis puisi ketika menonton film sedih. Ia selalu begitu, dari dulu, bahkan sering kali untuk waktu yang lama, selalu mencari-cari banyak kesedihan. Clara sengaja mencari cara agar bisa menangis melalui bacaan atau film. Itulah cara agar ia bisa membangun rasa di dalam cerita yang akan ditulis olehnya. "Kamu ini aneh, Clara." Itu adalah kalimat yang terlontar dari salah satu teman ketika Clara masih berada di sekolah menengah pertama. Seringnya, Clara mengatakan kata yang tidak dimengerti oleh kebanyakan teman-temannya. Mereka pun memandang gadis itu dengan aneh. Karena itulah, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis dan membaca saja sendirian. Di masa SMP itu pun, Clara pertama kali mengenal sosok Naren. Mereka berdua terhubung lewat telepon genggam. Sebelum media sosial menjadi sangat tenar, ketika kebanyakan ponsel layarnya masih berwarna hitam dan putih saja, Clara mengenal Naren. Clara lupa tepatnya pesan pertama yang ia kirim kepada Naren. Hanya saja, Clara dan Naren sering berdiskusi banyak hal. Mereka sering kali mengatakan hal-hal sok filosofis, sok jenius, dan seperti saling menempatkan diri sebagai dua orang yang memiliki peran penting bagi kelangsungan perputaran dunia. Sedikit kocak memang dan terdengar berlebihan. Clara dan Naren selalu merasa demikian. Mereka bahagia karenanya. Masa remaja mereka diisi dengan pemikiran-pemikiran semacam itu. Namun, sebenarnya sering kali ketika Clara menghadapi dunia luar, gadis itu tidaklah setangguh ketika berbicara dengan Naren. Maksudnya, bukan berarti Clara berpura-pura. Akan tetapi, ketika berdebat dan berdiskusi dengan Naren, ia selalu merasa jadi yang paling tahu dan selalu berusaha menyombong. Clara punya ruang untuk itu dan Naren memberikannya dengan cuma-cuma. Naren menghargainya, percaya padanya, bahwa suatu hari Clara mampu mewujudkan semua hal yang ia katakan dan sombongkan itu. Clara sebenarnya sering berpikir saat itu. Mungkin saja, Naren hanya pura-pura menanggapi dengan serius dan aslinya laki-laki itu mungkin menertawakannya. Akan tetapi, ia tidak peduli. Ia tidak memikirkan hal buruk tentang Naren. Ia membaca setiap pesan-pesannya dan percaya bahwa sikapnya pun sedemikian baik. Begitulah. Tentang Naren, Clara merasa sebanyak apa pun kata-kata, tidak akan pernah cukup. Kalau tentang laki-laki itu, ya, semuanya terasa penuh sekali. Pertama kali laki-laki itu menelepon, Clara lupa tepatnya kapan. Ia bahkan tidak ingat tentang apa saja yang diobrolkan. Gadis itu hanya ingat betapa gugupnya ia saat itu. Bahkan wajahnya memerah. Padahal, ia dan Naren belum pernah bertemu saat itu. Waktu kemudian cepat berlalu. Mereka saling kehilangan kontak. Namun, ketika era media sosial mencuat, mereka dipertemukan kembali. Mereka kembali saling mengobrol. Saling mengakui sebagai teman. Sebagai sahabat. Sebagai dua orang yang tentunya masih merasa mengambil peranan penting bagi keberlangsungan peradaban manusia. Ya ampun. Hanya saja, Naren jadi bersikap dewasa dan tidak banyak omong. Meskipun memang sedari dulu begitu, tapi semenjak masuk kuliah, Naren sepertinya benar-benar minim kata. Tapi, bukan Clara namanya kalau selalu sama-sama diam. Gadis itu sering mengambil topik, bercerita mengenai hari yang buruk dan kehidupan yang sedemikian tidak adil kepada Naren hanya demi mendengar kata-kata motivasi keluar dari mulutnya. Clara sering banyak bercerita mengenai dirinya sendiri tanpa ragu dan malu. Naren adalah orang yang membeli antologi pertama Clara ketika Clara masih jadi penulis yang malu-malu. Gadis itu mencantumkan sebuah puisi dan tanda tangan untuknya. Ia sangat gugup ketika menulis puisi itu di lembar pertama buku tersebut. Clara memberi semangat pada Naren agar segera mengerjakan tugas kuliah dan lulus dengan baik. Clara tahu, Naren sangat menginginkan itu. Kenapa? Karena gadis itu juga tahu, satu tahun sebelum Naren benar-benar diterima masuk universitas, laki-laki itu tidak lulus tes. Clara yakin bahwa Naren pintar dan mampu. Laki-laki itu mengejar apa yang diinginkannya dengan sungguh-sungguh. Clara sering terharu ketika menemukan kisah kegigihan seseorang. Gadis itu juga sering kali merasa bimbang. Pada satu waktu, ia selalu merasa benar-benar telah mengenal seseorang sepenuhnya. Di waktu yang lain, ia merasa asing dengan orang itu. Hanya saja, kepada Naren, Clara tidak pernah kehabisan cara untuk mengenalnya. Ia menyukainya. Meskipun berkali-kali Naren menegaskan bahwa mereka hanya berada di dalam kotak persahabatan. Tidak kurang, tidak lebih. Ya, itu sebelum Naren jatuh cinta kepada Clara. Lalu, sayangnya setelah itu, Clara jadi tidak bisa menerimanya. Bukan karena Clara mencintainya. Bukan. Sekali lagi, karena Clara merasa jadi tidak pantas. Naren, laki-laki itu bilang, ia tidak percaya pada kebetulan. Kemudian Clara pun yakin, memang tidak ada kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah terencana. *** "Clara, kamu tahu? Aku tidak percaya kebetulan." "Ya. Hanya kadang semua hal jadi terkesan kebetulan saja." "Apakah alam bekerja sama dengan Tuhan? Untuk membuat semuanya jadi terasa serba kebetulan? Kita saling kenal, berteman bertahun-tahun. Kamu juga harusnya tidak percaya kebetulan. Kita ini bukan kebetulan. Kita ini sudah ditakdirkan." Sebuah percakapan di suatu hari yang membuat Clara merasa bahagia sekaligus sengsara. Bertemu dengan Naren adalah kebahagiaan. Itu takdir. Bertemu dengan masalah-masalah dan kenyataan menyedihkan juga adalah takdir. Selalu begitu. Ada sisi yang ingin gadis itu enyahkan dari kenyataan, tapi tak bisa. *** "Kak?" Clara terkejut. Karin rupanya sudah pulang. Adiknya itu melihat sekeliling kamar dengan menyeluruh. "Kakak mau tidur?" tanyanya sambil matanya masih memperhatikan lantai kamar dan sudut. Clara menggeleng. "Iya, nanti." "Kalau Kakak tidak bisa tidur, jangan minum obat tidur banyak-banyak, ya. Panggil aku kalau ada apa-apa." Kemudian Karin perlahan keluar dari kamar dan menutup pintu dengan pelan. Clara hanya tersenyum pahit, memikirkan kalimat yang barusan dilontarkan oleh Karin. "Jangan minum obat tidur banyak-banyak, ya." Kalimat yang mengingatkannya pada masa-masa yang sulit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD