Fragmen

1078 Words
Acara makan siang antara Naren dan Clara berubah jadi sedikit menegangkan. Beberapa saat yang lalu, seseorang meminta bergabung dengan mereka. Awalnya Naren menolak, tapi Clara merasa bahwa sebaiknya seseorang itu diberi kesempatan. Orang itu adalah Pak Saragih. Seorang mantan pengacara yang pernah menangani kasus Clara. "Saya tahu, Clif, bahwa saya berutang besar kepadamu. Saya juga sudah pernah bertindak tidak manusiawi. Akan tetapi, ijinkan saya untuk mengetahui semuanya dari awal. Meskipun saya tahu beberapa hal, tapi saya tidak tahu semuanya. Ijinkan saya." Mendengar kalimat dari Pak Saragih, Clara sedikit terbatuk. Teringat kalimat demi kalimat intimidasi, cercaan, hujatan, yang pernah pengacara itu lontarkan kepadanya dahulu. "Jangan panggil dia Clif, Pak. Panggil saja Clara. Itu nama aslinya," kata Naren. Clara pun mengangguk . "Saya dengar, kamu sudah tidak menulis lagi. Kemarin, saya lihat Naren memposting foto lukisan di instagramnya. Itu, kamu yang buat?" Clara mengangguk pelan. "Iya, saya mulai mencari kesibukan lain, akhir-akhir ini." "Baik. Clara, demi anak saya yang mengidolakan kamu, demi menebus dosa-dosa saya, saya akan membeli lukisanmu, berapa pun harganya." Clara dan Naren saling menatap. Mereka berdua terkejut. Memang benar, anaknya Pak Saragih, Arga, adalah seseorang yang menyukai tulisan-tulisan Clara. Arga adalah fans Clara yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Clara mencari alasan. Mungkin, karena Arga sudah tiada, maka dari itu Pak Saragih menemuinya dan sampai ingin membeli lukisannya. Itu yang ia yakini. "Berapa harganya?" Sekali lagi, Clara melihat ke arah Naren. Laki-laki itu hanya membalas dengan senyuman sebelum akhirnya bersuara, "Kami akan pikirkan harganya, Pak. Beri kami waktu. Lukisan abstrak itu dibuat bukan hanya karena semata-mata dibuat asal-asalan. Clara membuatnya demi menuangkan isi hatinya selama ini. Saya yakin, Pak Saragih tahu, sepanjang kasus tuduhan plagiat itu bergulir, bahkan sampai akhirnya selesai, Clara tidak bisa hidup seperti dulu, sebelum mengenal ...." Kalimat Naren tertahan. "Politisi b******k itu?" Clara dan Naren tak bisa berkata-kata ketika justru Pak Saragih melontarkan pertanyaan yang cukup mengejutkan. "Iya, saya mengerti. Dia orang yang buruk. Bukan bermaksud membela diri, saya mungkin orang jahat, tapi dia lebih jahat dan lebih buruk." Clara terbatuk lagi. Naren menyodorkan es teh manis. Alih-alih mencairkan suasana, semakin lama, perkataan Pak Saragih justru membuat suasana semakin lebih menegangkan. "Maaf, Pak. Sepertinya, kami harus pergi." Naren mengambil langkah. Ia tahu kalau Clara sudah sedemikian tidak nyaman dengan kehadiran Pak Saragih yang tiba-tiba dan terkesan penuh kepalsuan. "Ah, tidak-tidak. Saya yang harus pergi. Maaf, ya. Saya yang akan pergi. Maaf tiba-tiba saja saya menghampiri kalian. Hanya saja, saya harus tekankan, kalau niat saya serius. Saya akan beli lukisan Clara, berapa pun harganya. Dan saya ingin tahu cerita di balik lukisan itu." "Baik, Pak. Nanti saya hubungi lagi kalau kami sudah menemukan harga yang tepat." Pak Saragih pun beranjak pergi dan meninggalkan Naren serta Clara yang masih tak percaya akan kejadian barusan. "Kenapa Pak Saragih tiba-tiba begitu?" Naren menggeleng. "Entah, mungkin dia baru sadar kalau Arga begitu menyukaimu, kalau anaknya pernah begitu termotivasi untuk bertahan melawan penyakitnya karena Arga suka tulisan-tulisanmu." "Iya, mungkin saja." "Lagipula, kita bisa saja tidak mengijinkannya bergabung tadi. Kita bisa pergi ke tempat lain." "Iya." "Clara, begini ... berhenti memikirkan perasaan orang lain dengan berlebihan. Kamu datang ke acara penghargaan karena diundang oleh panitianya, kamu tidak punya pikiran buruk dengan itu? Pak Saragih menghampiri kita dan kamu memberinya kesempatan untuk bicara?" "Kenapa kamu jadi cerewet?" Clara jadi kesal. "Dengarkan dulu." "Oke." "Tempatkan perasaanmu jadi nomor satu. Itulah cara untuk bisa terus bertahan. Kalau kamu berurusan dengan orang lain, maka pastikan aku ikut serta." "Hah?" Naren terdiam sesaat. Ada sedikit rasa canggung karena kalimatnya barusan. "M-maksudku, kita harus kerja sama. Jangan sampai, kamu menghadapi semuanya sendirian. Ehm, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi, tetaplah berhati-hati." Clara mengangguk. "Oke. Aku terima saranmu." "Bagus." "Begini, Pak Saragih bilang, dia ingin tahu semuanya." "Iya. Aku masih ragu niatnya itu apa. Tak apa, Clara. Kita bisa memberinya penolakan kalau perlu." "Benar. Ah, menyebalkan ketika kamu ingin mempercayai kata-kata seseorang, tapi kamu sudah terlalu sering dibodohi. Begini jadinya." "Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kita pulang." "Oke. Oh iya, ada yang lucu." "Apa?" "Pak Saragih tertarik dengan lukisanku, atau ia hanya ingin tahu kisah di baliknya?" "Entah. Kan, kita sama-sama belum tahu apa niat sebenarnya laki-laki tua itu." Clara ingin tertawa mendengar Naren mengumpat. "Dia belum terlalu tua. Dan jangan mengejeknya." "Maaf, aku hanya bilang dia laki-laki tua, karena memang dia tidak lagi muda." "Iya, tapi kan, dia juga belum terlalu tua." "Kalau begitu, laki-laki setengah tua?" Kali ini, Clara tak bisa menahan tawa. "Apa yang salah? Itu benar, 'kan?" Clara mengangguk dan masih berusaha mengontrol tawanya. *** Di dalam mobil, Clara sesekali mencuri pandang pada Naren yang tengah menyetir. Mengingat apa yang dikatakan oleh Pak Saragih, mengingat apa yang dikatakan Naren barusan, pikiran gadis itu melayang jauh. Melayang ke saat pertama kali ia mulai bercita-cita jadi penulis. Saat-saat yang menyenangkan, menggebu-gebu dan penuh perjuangan. Karena di saat-saat itulah, Clara menemukan Naren, Clara pernah menemukan orang-orang yang menyenangkan. Meskipun sekarang, semuanya sudah tak lagi sama. "Naren, kenapa orang-orang berubah?" Tiba-tiba saja, Clara melontarkan pertanyaan itu. Sambil tak henti melihat jalanan di depannya, Naren menjawab pertanyaan Clara. "Tidak ada alasan yang tetap soal itu. Setiap orang pasti berubah, Clara. Beberapa orang bahkan harus berubah." "Pak Saragih juga?" "Ah, masih tentang dia, ya. Entah." "Seandainya tubuh kita punya alat pendeteksi ketulusan atau kejujuran, kita tidak perlu takut dibohongi. Iya, kan?" "Haha, iya. Itu benar. Tapi, dengarkan aku. Mungkin kedengaran aneh, hanya saja, sering kali kita memang ditakdirkan untuk mendengar kebohongan agar kita tidak terlalu terluka." Clara tersenyum. "Oke, lagi-lagi kamu menang, Naren." Laki-laki itu membalas senyum Clara. Semuanya mungkin berubah. Begitu juga dengan Naren. Hanya saja, laki-laki itu berubah menjadi lebih dekat, menjadi lebih hangat. "Naren, kamu pasti akan bertemu dengan perempuan baik." Lagi, Clara memang begitu. Sering memberi pertanyaan atau pernyataan acak yang tiba-tiba. Naren tertawa. "Jawaban apa yang ingin kamu dengar?" "Maksudnya?" "Bagaimana kalau, jawaban ini? Aku sudah menemukan perempuan itu." Clara ingin mendebat tanggapan Naren. Hanya saja, ia lebih memilih bungkam. Karena jujur saja, Clara cukup menyukai kalimat Naren. Ah, Naren. Seandainya aku bisa lebih lapang menerima semuanya, aku tidak akan pernah menolak pernyataan cinta yang pernah kamu lontarkan berkali-kali itu, ucap Clara dalam hati. Clara masih merasa terlalu takut. Ia takut pada penilaian publik, takut pada pandangan keluarga, ia merasa tidak pernah pantas dimiliki atau memiliki seseorang. Bahkan sampai detik itu pun, Clara masih sering bertanya-tanya. Apakah Naren memang akan terus berada di sampingnya? Atau justru suatu hari akan merasa tidak tahan dan pergi? Sama seperti yang lain?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD