Rumit

1015 Words
Clara Amira sudah bersumpah. Ia tidak akan pernah menulis lagi. Apa pun yang terjadi, ia bukan seorang penulis. *** Clara keluar dari ruangan besar itu dengan napas terengah-engah. Langkahnya terus menuntun untuk turun dari lantai empat sebuah gedung melalui tangga darurat. Gadis itu merasa beruntung, pintu menuju tangga darurat bisa diakses untuk umum. Ia memutuskan untuk tidak naik lift. Clara tidak mau berurusan dengan orang-orang yang sedang ia hindari saat itu. Orang-orang yang telah mempermalukannya di acara penghargaan bergengsi yang tengah berlangsung meriah. Sebuah acara penghargaan yang berisi kumpulan penulis dan sutradara ternama. Clara menuruni anak tangga sambil terus menahan sakit di dadanya. Kepalanya terasa berat, kalimat-kalimat sindirian dan cercaan yang ia dengar kembali terngiang-ngiang .... "Terima kasih, karena kami sudah diundang di acara yang amat bergengsi ini. Tentu, kami yakin, semua penulis, sutradara, dan orang-orang yang hadir di sini adalah mereka yang memiliki kompetensi dan kualitas yang mumpuni." Kalimat manis yang seharusnya bisa diterima oleh siapa saja di sana, termasuk Clara. Akan tetapi, seseorang yang mengatakan kalimat itu, menatap langsung tepat pada Clara yang tengah duduk di bangku paling depan. Lalu, kamera, dengan enteng menyorotnya juga. Semua yang ada di sana pun berbisik-bisik. "Heh, itu si Clif, atau Clara, si plagiat yang juga perebut kekasih orang." "Clif, si plagiat yang tidak tahu diuntung." "Clif, si plagiat yang tebal muka." Semua kalimat itu menyerangnya terus-menerus sampai akhirnya Clara sadar, bahwa ia tak seharusnya berada di sana. Tadi, sebelum gadis itu keluar dari ruangan, ia sempat melirik panitia yang mengundangnya, menampilkan senyum picik. Semua sudah direncanakan. Skenario mempermalukannya sudah diatur. Bahkan bangku paling depan untuk Clif--nama pena dari Clara, merupakan salah satu rencana licik mereka. Clara tak kuat menahan sakit. Ia hampir terjatuh. Gadis itu menarik napas sekuat-kuatnya, namun udara seolah pergi, menjauh dari hidungnya dan dengan tega membiarkannya seperti orang yang hendak mati. Bagaimana kalau aku mati hari ini? Clara bertanya di dalam hati. Ia memikirkan hal-hal yang telah dilaluinya selama ini, usaha demi usahanya untuk terus bertahan hidup, serta orang-orang yang selalu mendukungnya. Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki terdengar. Awalnya pelan, lama-lama semakin cepat. Clara berusaha untuk melanjutkan langkahnya. Ia takut, kalau seseorang itu mungkin salah satu penulis atau wartawan atau siapa saja yang berada di acara tadi. "Clif!" Suara itu .... Clara berhenti. Mendengar suara itu, ia merasakan udara perlahan kembali masuk dengan lancar melalui hidungnya. "Naren?" Laki-laki itu mendekat. Ia juga seperti sedang ketakutan. "Serangan panik lagi?" Clara mengangguk. Ia tak kuasa menahan air mata yang mendesak ingin keluar. "Sudah makan?" Gadis itu menggeleng. Sebenarnya, ia tidak ingat apakah ia sudah makan atau belum. Pertanyaan Naren aneh sekali, tapi Clara mengerti. Itu salah satu cara agar pikirannya dapat sedikit teralihkan. "Duduk. Tarik napas, embuskan perlahan. Berulang-ulang. Itu juga kalau kamu tidak ingin pingsan." Clara menurut. "Ayo, menangislah. Tidak ada yang akan melarang. Barulah setelah itu, kita makan. Setuju?" "Makan? Kamu selalu aneh, Naren. Kamu pikir, aku bisa makan dalam keadaan seperti ini?" "Bisa." Lelaki itu menjawab pertanyaan Clara dengan mantap. Tanpa keraguan. "Kamu ini sedang melucu atau bagaimana? Kamu tidak mengerti, Naren. Apa yang sudah aku terima di acara penghargaan itu. Orang-orang terima penghargaan, aku terima penghinaan." Naren menghela napas panjang. Kedua telinganya sudah sangat siap untuk serbuan ocehan yang Clara layangkan. "Mereka aneh. Mereka masih berpikir kalau aku memang plagiat. Ini sudah tiga tahun, Naren. Dan kasus itu masih terus diangkat. Aku tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Aku sudah hancur, Naren. Aku sudah memutuskan untuk tidak menulis lagi. Kamu tahu itu, 'kan?" Naren mengangguk. "Dan beberapa waktu lalu, ada yang bertingkah baik. Dia mengundangku ke acara penghargaan sialan itu. Aku pikir dia benar-benar baik. Aku bodoh, Naren. Aku payah." "Iya." "Aku benci situasi ini. Aku sudah tidak punya nama lagi. Apa lagi yang mau mereka ambil dariku? Aku berusaha keras untuk bisa tampil lagi di depan umum. Kamu juga! Kenapa kamu terlambat? Kalau kamu tidak terlambat, setidaknya aku tidak akan terlalu malu." "Iya. Aku yang salah." Clara menarik napas lagi. Kini, dadanya sudah tak terlalu sakit. Setelah beberapa saat hanya hening yang tercipta di antara mereka, Naren bersuara. "Kamu bilang, kamu bodoh, 'kan? Kamu juga bilang kamu payah? Kamu sudah tidak punya apa-apa lagi? Tapi kamu harus tahu, Clif. Di depan orang-orang yang mencintai kamu dengan tulus, kamu itu berharga." Clara tak menanggapi. Ia sebenarnya cukup merasa tenang mendengar kata-kata Naren. Jujur, hanya di depan Naren, Clara bisa sebebas ini. Naren selalu bisa membuatnya jujur, sejujur-jujurnya. "Naren, berhenti panggil aku Clif. Bukannya sejak lama, aku bukan penulis lagi? Jadi, jangan panggil aku Clif lagi. Itu nama pena, nama pena yang ingin aku lupakan." "Maaf, aku tidak akan memanggilmu Clif lagi, aku akan panggil kamu Clara." "Iya, itu bagus. Itu terdengar lebih baik." "Makan?" tanya Naren sambil beranjak, tangannya terulur pada Clara. Gadis itu baru sadar, kalau sebelah wajah Naren dicoreti spidol. Mata gadis itu kembali berkaca-kaca. Ia meraih tangan Naren dan menggenggamnya erat. "Kenapa? Masih sakit?" tanya Naren panik. Clara menggeleng. "Kenapa setiap mau pergi denganku, kamu selalu melakukan itu?" Naren meraba sebelah wajahnya. "Ah, ini. Memangnya tidak boleh? Aku mau juga sepertimu. Mau buat face painting, tapi tadi buru-buru. Jadi kucoreti pakai spidol. Ini terlihat lebih estetik, 'kan?" Laki-laki itu tersenyum, lesung pipinya terlihat mempesona. "Kenapa kamu melakukan itu demi aku?" "Demi kamu? Haha, kamu terlalu percaya diri. Aku melakukan ini demi diriku sendiri. Aku merasa kamu akan lebih nyaman kalau aku melakukan hal semacam ini." Clara tersenyum. "Iya, terima kasih, ya. Sudah mau melakukan itu untuk diri kamu sendiri." Mereka berdua kembali melangkah, menuruni anak tangga untuk sampai ke lantai satu. Clara meraba sebelah kanan wajahnya. Sebelum ke acara tadi, ia bahkan sudah membayar seseorang untuk melakukan face painting. Meksipun biasanya ia bisa melakukannya sendiri, tapi Clara ingin menampilkan yang terbaik. Sayang, acara itu tak berjalan sesuai keinginan. Sebagian wajahnya yang rusak itu, disebabkan oleh siraman air keras. Salah satu teror yang tak bisa Clara hindari di masa lalu. Karirnya yang hancur, nama baiknya yang tercemar, mimpinya yang musnah, wajahnya yang rusak, hatinya yang tertekan, serangan panik yang sering dialaminya, gosip demi gosip yang tersebar di media tentangnya, semua itu hanya berawal dari satu kasus. Tuduhan plagiat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD