Alfa Siapa, Sih?

1459 Words
Memang ya, perasaan yang sudah bebas, mau menjalani hari-hari akan jauh lebih tenang dan nyaman. Berasa beban di bahu terangkat tinggi. Mau napas pun rasanya ya lancar-lancar aja. Kata siapa patah hati bikin malas-malasan? Penginnya rebahan doang, nangis-nangis sambil mendengarkan lagu-lagu galau? Nggak, dong! Kerin bilang begini karena dia baru saja mengalami apa itu yang namanya patah hati! Kerin telah melewati masa kritisnya soal cinta. Nggak percaya? Coba, sini kalian ambil kursi, siapin kopi sama camilan, kita diskusi masalah percintaan. Kerin, perempuan berusia dua puluh enam tahun yang baru saja melepas sang pujaan hati. Gila aja, Bro, dua tahun sama-sama, Kerin nggak mendapatkan benefit apa-apa selama menjadi tunangan pura-puranya! Iya, pujaan hati yang Kerin maksud, nih, mantan calon suaminya, tapi pura-pura doang. Ceritanya panjang, deh. Seriusan. Kalian kalau mau diceritain dari A sampai Z, bisa balik lagi ke A sampai tiga kali mungkin. Dari intinya nih, ya. Kerin jatuh cinta sendiri. Mirisnya, Kerin mau-mau aja diajak tunangan bohongan sama lelaki itu. Bodoh ya? Emang! Kerin nggak akan mengelak, kok. Langen sudah bilang berapa kali ke Kerin. Katanya, Kerin kalau mau bahagia ya lepasin apa yang menjadi beban. Tapi bodohnya, Kerin nggak melepaskan lelaki itu. Lalu dijawablah sama Langen pakai nada nyinyir, "Yeee, itu mah lo emang cari penyakit!" Kerin cuma haha-hihi aja. Padahal dalam hatinya kepikiran sama kata-kata Langen. Namanya Rialvo Tjandra. Lelaki tiga tahun lebih tua dari Kerin, anak sulung dari keluarga Tjandra pemilik hotel berbintang di Jakarta. Kerin naksir Alvo dari lama, tapi karena mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu, Kerin jadi agak ragu nih mau bilang suka. Secara ini lelaki ngomong sekata dua kata, cuma kadang-kadang nyelekit. Menerawang pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Kerin menyesali kenapa dua tahun lalu dia mengiyakan ajakan Alvo untuk pura-pura menjadi pacarnya. Ya, awalnya pacaran doang. Tapi nggak tahu kenapa mamanya Alvo sayang banget sama Kerin, sampai-sampai ambil keputusan sepihak untuk mengadakan pesta pertunangan. Kerin udah nggak punya orang tua. Di Jakarta, dia tinggal sama Bu Ratna, pemilik kos yang sudah Kerin anggap seperti ibunya sendiri. Bu Ratna nggak mengatakan apa-apa mengenai namanya Alvo yang tahu-tahu datang ke rumah. Bu Ratna bilang, semua keputusan ada sama Kerin. Nah, karena menurut pandangan namanya Alvo, nih, Kerin sayang sama Alvo. Jadilah keputusan diambil sendiri. Tahu-tahu undangan kelar, udah disebar, acara kurang tiga hari baru ngomong. Kalau kata anak zaman sekarang, "a***y nggak, tuh?!" Pokoknya Kerin sama Alvo langsung panik! Nggak tahu lagi bagaimana cara menghentikan pertunangan yang sudah terlanjur digelar. Kurang tiga hari doang, woy! Seandainya mamanya Alvo bilang dari jauh-jauh hari, kan, Kerin bisa putar otak, ya? Hari pertunangan tiba. Mau nggak mau Kerin sama Alvo tukar cincin. Jangan tanya bagaimana perasaan Kerin saat itu. Campur aduk banget. Di satu sisi dia senang karena bisa bertunangan sama Alvo. Tapi di sisi lain, Kerin merasa ini nggak benar. Gimana bisa Kerin tunangan sama Alvo, tapi Alvo sendiri nggak punya perasaan apa-apa sama dia? Pacaran pura-pura, tunangan pun sama. Kelar acara pertunangan, Alvo tahu-tahu bikin surat kontrak untuk mereka berdua. Okay. Kerin iyain aja. Kerin pikir, mungkin selama berperan sebagai tunangan pura-pura Alvo, Kerin bisa membuat Alvo sedikit melihatnya. Dalam artian, Alvo mau belajar menerima Kerin sungguhan suatu hari nanti. Eh, nggak tahunya, si bangke tetap sama pendiriannya. "Kita cuma pura-pura." Alvo menekan kalimat itu setiap kali Kerin nggak sadar menuntut lelaki itu. Entah soal saling mengabari atau Alvo yang tiba-tiba menghilang. "Lo tahu, kan, di kontrak tertulis supaya nggak pake hati?" tanya Alvo kala itu. "Gue bilang gini karena mau ingetin doang." Seperti didorong dari tebing yang tinggi, Kerin tersadar, kalau di mata Alvo, dia nggak lebih dari tunangan pura-puranya. Rasanya nyesek di d**a. Dua tahun mereka sama-sama, biarpun statusnya cuma bohongan, nggak ada tuh sekali pun Alvo baik sama dia, memberi perhatian, atau seenggaknya Alvo ngomong agak enakan. Nggak. Semua digas sama dia pake mulut pedasnya itu! Kadang Kerin heran. Kok ya Lando sama Natan awet banget pertemanannya. Padahal setiap kali ngobrol, Alvo selalu nyelekit kalau ngomong! "Sama kayak lo." Langen naik ke atas sofa lalu mendorong kepalanya. "Dua tahun lo sama-sama si kulkas, baru sekarang aja lo menyerah. Kenapa? Tiba-tiba dapet hidayah?" Mulut Langen emang seberisik itu! "Capek merenung tiap malem gue, La." Kerin yang duduk di bawah sofa pun mendongak ke atas. Tepat saat itu Langen menatapnya dan berdecak. "Gara-gara Alvo, nih, hape gue isinya lagu galau semua!" Langen terbahak mendengar keluhan Kerin. "Ya suruh siapa lo memperdalam kegalauan lo?" sungut Langen melebarkan kedua matanya. "Gue udah bilang ke lo, Ke. Udah, stop. Alvo cuma manfaatin lo. Dia minta lo pura-pura jadi pacarnya, terus jadi tunangannya, supaya apa? Supaya dia nggak disuruh namanya nikah mulu! Lo, sih, g****k jadi manusia! Mau gue katain t***l, tapi temen sendiri!" "La." Kerin menaikkan lengannya ke pinggiran sofa. "Barusan juga lo ngatain gue t***l, ya!" Langen meringis. "Eh? Iya." Perempuan itu menggaruk kepalanya sambil cengar-cengir. Kerin mendengus keras dengan sengaja. Langen berhenti cengar-cengir. Keduanya setia di tempat duduk masing-masing. Langen di atas sofa, Kerin di bawah sembari mengamati berita di TV. "Ke." Langen menjawil bahu Kerin. Matanya fokus ke layar TV. Kerin menggerakkan bahunya kemudian berdecak. "Apa sih!" "Buka pintu, Ke. Itu, ada suara orang ngetuk pintu di luar." Langen masih menjawil bahu Kerin. Tapi kali ini lebih cepat dan menyebalkan. "Lo aja," kata Kerin. "Dih, kok gue? Di sini gue tamu. Lo, dong, yang buka pintu!" Kerin mencebik. Dilemparkannya bantal sofa yang sejak tadi dia pangku. "Tamu ngerepotin lo!" Mau nggak mau Kerin bangun dan pergi ke depan membuka pintu. Langen menggigit keripik kentang dari bungkusnya sesekali cekikikan sendiri melihat Kerin mengomel. *** "Halo, gue Alfa. Lo Langen, kan? Temennya Kerin?" Raut wajah Langen mirip orang paling bodoh sedunia. Sepasang alisnya saling beradu kala lelaki bernama Alfa tersebut memperkenalkan dirinya. Yang membuat Langen heran, Alfa tahu namanya. Di belakang Alfa, Kerin memberengut nggak suka. Alfa sok kenal, sok akrab padahal ini pertama kalinya bertemu Langen. Nggak salah kalau Langen melihat Alfa sampai kedua alisnya nyureng begitu! "Siapa ya?" tanya Langen pada Alfa. Ya heran aja sih. Langen hampir kenal semua temannya Kerin. Selain karena mereka satu kantor, otomatis teman mereka ya sama aja. Kalau Kerin kenal ini, ya pasti Langen juga. Cuma, rasa-rasanya baru sekarang Langen melihat wajahnya Alfa. "Masa depannya Kerin." Alfa mengatakannya dengan senyuman selebar iklan pasta gigi di TV. "Ha?" Langen membeo. "Bohong, La!" seru Kerin cepat-cepat. "Apa sih, lo! Dari pertama kita ketemu, lo ngaku jadi masa depan gue mulu! Lo manusia dari mana sih? Kenal juga nggak! Berani banget lo ngaku jadi masa depan gue?!" Sesungguhnya Langen juga bingung kenapa ada lelaki yang mengaku sebagai masa depan temannya. Sebentar. Langen kurang paham. Siapa lelaki ini, apa statusnya sama Kerin. Nggak apa-apa kalau emang ada hubungan khusus. Toh, Kerin juga lajang. Asal ini lelaki juga sama lajangnya. Atau, jangan-jangan lelaki ini yang memotivasi Kerin bebas dari Alvo? "Kemaren lo mengiyakan, nih." Alfa menunjuk Kerin. "Mengiyakan apaan?" Kerin mendorong tangan Alfa. "Lo ya. Gue nggak habis pikir sama lo! Kita nggak kenal, tiba-tiba duduk di samping gue dan cium pipi gue depan Alvo! Sekarang tahu-tahu ada di depan pintu kosan gue. Sebenarnya lo nih siapa? Mahluk asing dari mana?" Langen beneran kayak orang b**o sekarang. Dari menatap Kerin, kemudian pindah ke Alfa. Kerin dan Alfa kelihatan banget kalau mereka punya kepribadian yang mencolok. Kerin yang misuh-misuh, Alfa yang santai tapi setengah selengekan. "Gue pusing," keluh Langen sambil menggeleng. Mulut Kerin komat-kamit memaki Alfa. Mulai dari bahasa yang agak bagus, sampai akhirnya keluar semua isi kebun binatang karena saking kesalnya sama Alfa. Gimana nggak pusing, sih?! Kerin beneran nggak kenal sama lelaki ini. Bayangin aja ya. Kalian enak-enak duduk, ngobrol serius sama orang yang lo suka, tahu-tahu ini orang duduk dan cium pipi lo sambil panggil Sayang! Gimana?! Dan yang bikin ngeri, Alfa tahu semua tentang Kerin! Lihat, dong, sama Langen aja Alfa kenal, lho! Dumelan Kerin tiba-tiba berhenti setelah mendengar suara mobil di halaman kosannya. Perempuan itu langsung menatap Langen dan berkata, "Lando, ya? Lando jemput lo? Gimana, sih. Katanya lo mau nginep di sini?!" "Masa Lando, sih?" gumam Langen sendiri. "Gue udah bilang kalau gue mau nginep di sini. Ngapain juga Lando ke sini, Ke?" Dan benar aja dong. Nggak lama suara Lando terdengar dari depan. Karena melihat pintu yang dibuka lebar, Lando masuk ke dalam sembari memanggil Langen dan Kerin. Bukannya apa-apa, ini kan tempat kosan perempuan. Pintu dibuka lebar, sementara yang menghuni semuanya perempuan. Kalau ini tanda-tanda maling masuk, bagaimana? "Tuh, kan." Kerin menunjuk Lando geram. Lando melihat Langen ada di tengah-tengah Kerin dan seorang lelaki. "Ke..." Lando mengamati lelaki itu, lantas menoleh ke belakang. Pas banget ya. Ada Alfa di kosan. Alvo tahu-tahu muncul di belakang Lando. Sialan! Lando, setan! "Lo Alvo, kan?" seru Alfa menunjuk ke Alvo. "Hai! Kita ketemu lagi," sapanya sok akrab. Langen, Kerin dan Lando jadi saling lihat-lihatan.   To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD