Meant to be together

2248 Words
“Bisa diem enggak,” bentakku pada gadis yang sedari tadi heboh sendiri sama foto yang terpajang di dinding rumah kontrakanku. “Iya ini diem,” katanya sambil cemberut. Dasar cewek gila. Seenaknya saja tadi menabrak motorku dengan motornya. Dan mau tidak mau sekarang aku harus bertanggung jawab atas luka yang dia dapet karena kesalahannya sendiri. Apes. “Rumah kak Bagas rapi ya,” katanya lagi sambil mengedarkan matanya ke segala penjuru. Aku hanya menjawabinya dengan gumaman saja. Sekarang aku masih mengobati lututnya yang berdarah karena insiden gak jelas tadi. Sebenarnya ini cewek sudah beberapa hari suka banget sliweran di depan rumah kontrakanku. Bahkan sempat beberapa kali aku melihatnya sengaja terjatuh di depanku namun aku selalu pura-pura tidak melihatnya. Yang pasti cewek ini benar-benar mencurigakan. “Kak Bagas tinggal di sini sendirian?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk sambil masih sibuk dengan lukanya. “Boleh dong kalau gitu aku nebeng tinggal di sini,” katanya tanpa dosa yang langsung membuatku menoleh ke arahnya dengan kaget. “Bercanda,” katanya lagi dengan cengiran lebar. “Aku cuma bercanda.” Aku hanya mendengus. Bisa-bisanya bercanda soal hal begituan. Lagian kan aku tidak mengenalnya. “Tapi kalau Kak Bagas serius mau ngajakin tinggal di sini aku nggak keberatan,” tambahnya tertawa kecil. Sontak aku langsung memandangnya takut bercampur ngeri. Ini cewek otaknya ketinggalan di jok motor apa ya? Kenapa ngomongnya gak pakai mikir gitu. “Bercanda, Ka. Bercanda. Nggak usah kaget gitu,” katanya seraya tertawa. “Aku cuma bercanda kok.” Dia tersenyum lebar yang menampakkan gigi gingsulnya. Bisa-bisanya bercanda dengan orang asing seperti itu. Benar-benar tidak lucu. “Udah selesai. Sana pulang,” kataku datar ketika aku berhasil menempelkan plester di lututnya. “Ini belum,” rengeknya sambil menyodorkan tangan kirinya yang ada luka kecil. “Ini obati sendiri,” kataku sambil menyodorkan kotak p3k kepadanya. “Kenapa gak sekalian?” gumamnya pelan. Kemudian aku meninggalkannya untuk pergi ke dapur mengambil minuman kaleng di kulkas. Setelah itu aku kembali ke tempat dia berada. Aku mengambil tempat duduk di seberangnya sambil meletakkan minuman tersebut di meja. “Itu diminum,” kataku datar sambil membuka keleng minumanku dan meminumnya. Dia masih sibuk mengobati lukanya sambil sesekali melirikku. Setelah dia selesai dengan lukanya, dia langsung memandangku sambil tersenyum lebar. Ini cewek kenapa lagi? “Kak Bagas, ini foto siapa?” tanyanya sambil menunjuk salah satu pigura foto yang berada di lemari kaca dekatnya. Di pigura tersebut terdapat fotoku yang sedang mencubit pipi Lova–adikku–sambil tertawa bahagia. Kalau tidak salah, foto tersebut diambil ketika kami sedang liburan ke Bali tahun lalu. “Pacarnya? Kak Bagas jadi udah punya pacar ya?” tanyanya dengan nada murung. “Iya,” jawabku singkat dan padat. “Masak sih pacarnya? Kok mukanya mirip gitu?” tanyanya tidak percaya. Iyalah, namanya juga kakak adik. Wajar saja kalau mirip. “Kata orang, kalau muka pasangan kita hampir mirip sama kita, itu tandanya jodoh,” kataku meliriknya malas. “Masak sih kak, kata siapa?” tanyanya lagi.             Aku menghela napas dalam. “Kata orang,” jawabku sewot. “Pulang gih. Udah diobatinkan lukanya.” “Yah diusir,” sahutnya kecewa. “Paling enggak kasih makan dulu kek,” pintanya tanpa dosa. “Nggak ada makanan,” balasku. “Ya udah aku masakin kalau gitu. Di kulkas ada apa?” tanyanya lagi antusias. “Es batu. Sana masak aja,” kataku cuek sambil memandang sebal ke arahnya. Astaga. Apa mauanya sih, dia? Luka sudah diobati. Udah dikasih minum juga. Masih juga belum puas. Heran deh. “Iya deh aku pulang,” katanya akhirnya setelah melihat ekspresi kesalku. Kemudian dengan sedikit pincang dia berjalan menuju pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang sambil sesekali melotot ke arahnya ketika dia menengok ke arahku. “Aku pulang dulu kak,” pamitnya ketika kami berada di halaman rumah kontrakanku. “Itu motornya juga dibawa,” kataku menunjuk motor matic yang terparkir di sebelah motorku. “Nitip dulu motornya,” katanya. “Kan kakiku masih sakit. Nggak bisa buat ngendarai motor. Besok aku ambil.” Aku hanya menghela napas dalam dan mengangguk. Setelah mengatakan hal tersebut, dia langsung berjalan menuju jalan di depan kontrakanku. Tanpa mempedulikan dia lagi, aku langsung kembali ke dalam kontrakan dan membereskan kotak p3k yang tadi aku gunakan untuk membersihkan lukanya. Sudah duapuluh satu tahun aku hidup sebagai manusia, baru kali ini aku bertemu cewek aneh gak jelas kayak tadi. Tapi bagaimana dia tahu kalau namaku Bagas ya? Perasaan aku juga gak kenal sama dia deh. Atau aku memang pernah bertemu dengannya? Kalau dipikir-pikir wajahnya tampak tidak asing. Ya, sepertinya aku memang pernah bertemu dengannya. Tapi sungguh aku tidak ingat kapan dan di mana. Tapi bisa jadi juga aku bertemu dengannya di kampus. Entahlah. Kemudian aku kembali ke ruang tengah dan duduk di sofa sambil menyalakan televisi. Dengan bosan aku mengonta-ganti channel dan berharap ada saluran yang bagus, namun sampai puluhan kali pencet remot tetap saja tidak ketemu acara yang bagus. Di meja aku melihat kaleng minuman yang aku berikan ke cewek tadi. Ternyata isinya masih penuh dan belum dibuka. Gak diminum ternyata. Perlahan aku mendengar tetesan air hujan yang mulai jatuh di genting rumahku. Dan lama kelamaan suara tetesan hujan berganti dengan gemuruh derasnya hujan. Lebih baik aku mengunci pintu depan dan bersiap untuk tidur. Kalau ujan-ujan begini kan enaknya tidur. Kemudian bergegas aku pergi ke pintu depan untuk menguncinya. Sebelumya aku mengintip dari balik jendela untuk memastikan keadaan luar aman. Namun betapa terkejutnya aku ketika mendapati seorang gadis sedang berdiri di pinggir jalan depan rumahku sambil berteduh di bawah pohon. Bukannya itu cewek yang tadi? Bukannya dia bilang mau pulang?? Kenapa masih di situ? Tanpa pikir panjang, aku langsung menyambar payung yang ada di dekat pintu dan langsung keluar untuk menghampirinya. Setelah sampai di sebelah cewek tersebut, aku langsung memayunginya dengan payung yang kupakai. “Kak Bagas? Ngapain ujan-ujan keluar?” tanyanya bingung. “Lha kamu sendiri ngapain ujan-ujan masih di sini? Katanya tadi mau pulang?” tanyaku juga bingung. “Nyari taksi,” jawabnya. “Ya mana ada taksi lewat di kompleks perumahan kayak begini,” ucapku geleng-geleng kepala.             “Kan aku nggak tahu. Aku juga nggak bawa ponsel. Nggak bisa telepon taksi.” Aku menghela napas dalam. “Ya udah, ayo masuk ke rumah,” ajakku sambil menarik tangannya untuk kembali ke dalam rumahku. Dari sudut mataku, aku bisa melihatnya tersenyum senang entah karena apa. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. “Duduk dulu, aku ambilin handuk,” kataku ketika kami sudah berada di ruang tengah. Kemudian aku pergi ke kamarku untuk mengambil handuk bersih di dalam lemari. Setelah itu aku kembali ke ruang tengah namun aku tidak menemukan cewek tadi. Aku celingukan mencarinya. Ke mana perginya cewek itu? “Hei? Lo di mana?” panggilku. Aku bahkan tidak tahu siapa nama cewek itu. “Flita, namaku Flita, Kak,” ucapnya dari arah dapur. Kemudian aku berjalan menuju dapur. Di sana aku melihat Flita sedang berdiri sambil mengamati rentetan gelas yang berada di rak. “Itu namanya gelas. Gak pernah lihat yang namanya gelas ya?” tanyaku bingung sambil memberikan handuk kepadanya. “Tau kok kalau itu gelas. Tapi yang ini lucu,” katanya sambil mengambil gelas couple warna biru yang Lova kasih ketika aku pertama kali kost di jogja. Dulu Lova bilang kalau itu gelas kembaran sama punyanya dia. Katanya biar aku inget terus kalau punya adik cantik yang wajib dibeliin oleh-oleh ketika aku balik ke Jakarta. Lova memang baik kalau ada maunya saja. Dasar adikku. “Minta teh anget dong,” ucapnya santai sambil mengambil gelas couple tersebut dan menyerahkannya ke arahku. “Aku buatin juga ya,” kataku mengambil gelas dari rak dan mengulurkannya ke arahnya. Sambil mendecak kesal dia menerima uluran gelasku dan mulai membuat teh hangat untuk kami berdua. Ini cewek lucu juga. Aku hanya duduk di meja makan sambil menunggunya membuat teh anget. “Kak Bagas kapan balik Jakarta?” tanyanya padaku sambil masih berkutit dengan teh dan gelas. “Belum tau,” jawabku singkat. “Eh, dari mana kamu tau kalau aku aslinya Jakarta?” tanyaku bingung. “Tau lah. Apa sih yang gak Flita tau soal Kak Bagas? Nama lengkap Bagas Arkian Pradiptyo. Asli Jakarta. Umur 21 tahun. Hobbi tidur di kelas. Apa lagi ya,” katanya sambil memberiku teh yang barusan dia buat. Aku hanya bisa menelan ludah ketika dia berhasil menyebutkan nama lengkapku dan segala macamnya. Tahu dari mana dia? “Kenapa kaget gitu, Kak?” tanyanya sambil cekikikan. Kemudian Flita mengambil tempat duduk di kursi depanku. Aku berdeham dan menggeleng. “Nggak,” jawabku sok kalem. “Sayang banget Kak Bagas udah punya cewek,” katanya lesu. “Cewek?” tanyaku bingung. Oh iya, tadi kan aku ngaku kalau Lova, adikku, adalah pacarku. “Padahal aku kan mau ngajakin kak Bagas pacaran.” Aku yang baru saja meminum teh buatannya sontan tersedak setelah mendengar ucapannya tersebut. Bisa-bisanya dia ngomong gitu?! “Kak Bagas nggak apa-apa?” tanyanya khawatir. Aku menggeleng. “Nggak apa-apa.” “Kak Bagas kapan putus sama ceweknya?” tanyanya lagi tanpa tanpa basa-basi. Ia kini sudah mulai menyesap teh yang berada di tangannya. “Kamu kelas berapa, sih?” tanyanya dengan kening berkerut. Aku jadi ragu kalau dia anak kuliahan. Habis kelakuannya seperti ABG labil. Jangan-jangan dia masih SMA. Atau parahnya dia masih SMP! “Kok kelas berapa, sih? Aku kan satu tingkat di bawanya kak Bagas. Aku anak semester empat. Makul statistik kan kita satu kelas kak. Hah, kak Bagas sih tidur mulu kalau di kelas. Sebel deh,” ucapnya sambil cemberut. Aku menatapnya tak percaya. “Masak sih? Kok kayaknya aku gak pernah lihat kamu ya?” tanyaku bingung. “Tuh kan nyebelin. Pasti kak Bagas juga lupa kan kalau dulu pernah ngasih aku bunga mawar dan ngajakin pacaran,” katanya dengan nada merajuk. “Hah? Kapan?” “Satu tahun yang lalu. Kak Bagas nyamperin aku di taman kampus terus ngasih bunga dan ngajakin pacaran. Habis itu berhari-hari Kak Bagas ngejar-ngejar aku sampai beberapa kali bikin kehebohan di kelasnya Pak Juni dosen literatur. Bikin malu aku sampai aku sempet gak berangkat kulihah beberapa hari. Gak inget?” katanya sebal. Kemudian aku kembali mengingat kejadian satu tahun yang lalu. Di mana aku ditantang salah satu temanku untuk menembak gadis cantik berambut panjang yang sedang menikmati buku bacaannya di taman kampus. Karena aku adalah cowok yang punya kepercayaan diri yang tinggi dan yakin bahwa gadis tersebut bakal menerimaku, aku langsung saja menerima tantangan tersebut. Dengan yakin dan percaya diri aku berjalan mendekati gadis tersebut dan menyatakan cinta sambil memberinya sekuntum mawar. Aku kira cintaku akan diterima olehnya, namun ternyata penolakanlah yang kudapatkan. Dengan kaget aku memandangnya dan berharap dia bakalan menarik ucapannya, namun tidak. Dia memang menolakku. Itu adalah kali pertamanya aku ditolak oleh seorang cewek. Ya meskipun itu semua berawal dari tantangan, tapi penolakannya sangat menyakitkan. Setelah penolakan tersebut, setiap malam aku memimpikannya bahkan setiap hari wajahnya selalu bergentayangan di otakku dan sejak itu aku kira aku telah benar-benar jatuh cinta  padanya. Pada gadis yang baru saja kutemui dan bahkan aku tidak tau namanya. Dia hanyalah sebuah tantangan konyol dari temanku yang mengakibatkanku terperosok ke galaunya jatuh cinta. Berhar-hari aku mencoba mendekatinya lagi, sampai aku rela kena hukum dosen karena mengacau dikelasnya. Dengan tanpa malu aku memasuki kelasnya dan dengan lantang aku bilang “I Love You” di depan dosen dan para mahasiswa. Kontan gadisku yang merasa kupermalukan langsung menghambur keluar kelas. Dan sejak itu aku tidak pernah melihatnya lagi. “Jadi kamu gadis yang waktu itu,” kataku tergagap. Aku mengamati wajahnya yang memang terasa tak asing bagiku. Ternyata benar, aku pernah bertemu dengannya. “Iya kak. Apa kak Bagas lupa sama aku? Gadis yang kak Bagas tembak cuman karena tantangan bodoh dari temennya kak Bagas?” “Maaf untuk itu. Seingatku rambutmu dulu tidak sependek itu, dulu kamu juga pakai kacamata, dan kurasa kamu yang dulu tak secerewet kamu yang sekarang. Yah, dulu dia hanya bisa menggeleng dan selalu bilang nggak kepadaku. Sekarang bahkan kamu menanyakan banyak hal kepadaku,” kataku sambil canggung ke arahnya. Aku tak menyangka bertemu dengan gadis itu lagi. Flita. Namanya Flita. “Aku dulu sebenarnya mau bilang iya ke Kak Bagas. Cuman gara-gara kak Bagas rese dan bikin aku malu, aku ngambek sama kak Bagas dan gak mau ketemu sama kak Bagas. Tapi kurasa sekarang aku menyesal. Aku pengen bilang iya ke kak Bagas, tapi kurasa aku terlambat. Kak Bagas udah punya cewek,” katanya lesu. “Aku gak punya,” kataku cepat sambil menggeleng. “Cewek yang difoto tadi?” “Oh itu Lova, adikku.” “Kok bohong sih?” Flita mengerucutkan bibir, tampak sebal. “Ya habis kamu tadi banyak nanya dan mencurigakan sih,” jawabku. “Masak sih?” tanyanya gak percaya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kepadanya. “Jadi gimana? Apa aku terlambat?” tanyanya lagi. “Mending terlambat daripada nggak sama sekali kan?” Aku tersenyum kecil ke arahnya yang dibalasnya dengan senyum manis. Siapa bilang cinta harus dikejar? Dalam kasusku ini, aku hanya perlu melepaskannya dan menantinya untuk kembali. Jika dia diciptain untuk kita, pasti dia bakalan jadi milik kita. Gak peduli dia menghilang ke mana pun, jika saatnya tiba dia bakalan datang sendiri. Seperti Flita yang dulu sempat menolakku dan tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, tapi sekarang dia kembali lagi dengan jatuh bangun di depanku hingga aku menyadarinya, bahwa dia gadisku. Gadis yang selalu kutunggu kehadirannya hingga aku lupa bahwa aku masih mencintai gadisku itu, Flita. Cinta hanya butuh kesabaran dan penantian. Yang penting kita yakin bahwa dia adalah takdir kita. Yah, kurasa begitu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD