Sang Preman Cinta

2115 Words
Sudah hampir satu tahun aku tidak melihatnya. Melihat tampang songongnya yang selalu bikin tangan pengen nyakar, cara berjalannya yang selalu bikin kaki pengen nendang dan gaya bicaranya yang selalu sukses bikin orang pengen ngeracunin dia. Dia adalah Joni Rahardita, preman kompleks dan tukang rusuh di sekolah. Dulu setiap kali aku bertemu dengannya, pasti terjadi adu mulut atau ketidak sengajaan adu fisik yang selalu bikin aku nyeplung di got buat ngambil sepeda. Yah, dia kalau sudah marah suka nyemplungin sepeda orang ke got dekat sekolah. Tapi itu waktu kita masih SD. Dan ketika SMA, dia lebih suka nyemplungin ban mobil ke got. Sangat parah bukan? Katika kelas XII SMA dia tiba-tiba pindah entah ke mana. Dan hal itu membuat para siswa dan guru hidup damai selamanya. Aku bersyukur untuk itu. Namun sekarang, terdengar gossip bahwa si Joni balik lagi ke kediamannya dulu. Dan sekarang sepertinya orang-orang di kompleks rumahnya tanteku pada heboh ngomongin si Joni yang katanya berubah jadi tambah wow. Karena aku penasaran dengan apa yang orang-orang omongin, jadilah aku sekarang sedang ikut bergosip bersama ibu-ibu rempong di tukang jualan sayur. “Beneran deh, si Joni berubah banget. Terakhir kali aku ketemu sama dia, aku diplototin dengan muka garangnya, eh tapi tadi waktu ketemu, dia malah senyum ramah sambil nyapa gitu,” kata tante Erna si ibu RT. “Masak si Jeng?” tanya salah seorang ibu-ibu berambut pendek sebahu yang kalau tidak salah bernama Cici. “Iya, serius deh. Dia juga tambah cakep bener, tambah sopan juga. Beneran gak kayak Joni yang dulu yang suka rusuh.” “Bukan Joni kali tante,” kataku tidak percaya. Apa yang Bu RT ucapkan benar? Jangan-jangan Bu RT salah orang. “Yee, masak tante salah ngenalin orang sih, Lith. Beneran deh suer, tante gak bohong. Yang tante lihat itu tadi Joni,” ucap tante Erna yakin. “Masak sih, Tan?” Aku masih sulit mempercayai cerita Tante Erna. “Ah, paling jeng Erna salah lihat. Aku juga gak percaya Lith,” komentar tante Cici. “Kok jeng Cici malah nuduh aku bohong sih?” Dan selanjutnya terjadilah adu mulut di antara mereka. Mending pergi deh, gak keren dong cewek cantik kayak aku ikutan berantem bareng ibu-ibu begini di tukang sayur. “Tante-tante sekalian, Lilith permisi dulu ya,” teriakku di antara teriakan mereka. Sejurus kemudian aku langsung ngacir pergi dari sana. Tuh kan, apa pun yang berhubungan dengan Joni pasti rusuh. Emang si Joni biangnya kerusuhan. Tapi masak yang dibilang tante Erna bener sih? Masak orang kayak Joni dibilang tambah sopan? Maksudku, mungkin gak sih? Secara Joni gitu? Joni Rahardita. Kan tidak mungkin. Dengan masih menenteng belanjaan titipan tante Mutia, aku berjalan menuju rumahnya. Nah lhoh, bukannya rumah Joni itu sebelahan sama rumahnya tante Mutia ya? Kenapa gak dari tadi aja aku meluncur ke sana. Dengan begitukan aku bisa membuktikan langsung kabar burung itu. Kemudian dengan semangat aku menambah laju kakiku saat melangkah. Lebih cepat sampai lebih baik. Lagian ini siang panas banget. Mana mobil pakai masuk bengkel lagi, alamat naik taksi kan tadi. Udah gitu tadi tante Mutia pake acara nitip blanjaan juga, terpaksa taksi harus berakhir di gerobangnya mang Udin. Baru aja berbelok ke tikungan rumahnya tante Mutia, aku berpapasan dengan seorang yang sedari tadi jadi bahan gossip. Joni. Itu tadi Jonikan? Ya, aku masih ingat wajah Joni yang berkulit putih dan berhidung mancung. Dengan tidak yakin aku berbalik dan mengikutinya dari belakang. Pakai peci, baju koko dan sarung. Nah lhoh, tuh orang beneran Joni apa bukan ya? Semakin aku mendekatinya semakin aku ragu dengan sosok tersebut. Dan kekagetanku bertambahlah ketika sosok tersebut berjalan menuju gerbang masjid di kompleks ini. Apa aku tidak salah lihat? “Joni?” panggilku ragu sambil masih berjalan di belakangnya. Kemudian sosok tersebut berbalik dan menatapku heran. “Lilith kan?” tanyanya setengah ragu. “Lo serius Joni?” tanyaku tak percaya sambil mendekat ke arahnya. “Iya Lith, apa kabar? Lama ya gak ketemu,” sapanya dengan senyum yang mengembang. Aku terkesiap. “Jadi lo beneran Joni?!” kataku setengah histeris. Sungguh, demi apa pun aku belum bisa mempercayai apa yang kulihat. Bagaimana bisa preman kompleks, tukang rusuh, anak bandel bisa berubah jadi alim begini. Dia pakai peci, baju koko dan sarung loh ini. “Iya Lith, aku Joni. Kenapa sih?” tanyanya bingung sambil masih tersenyum kepadaku. Aku geleng-geleng kepala. “Susah dipercaya,” kataku seraya memandanginya dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi. Joni terkekeh mendengar ucapanku. “Kamu kenapa sih, Lith? Ya udah ya, aku mau ke masjid, mau sholat dulu. Udah adzan juga. Kamu gak sholat?” Aku menggelengkan kepala. “Lagi halangan,” jawabku masih menatapnya kaget. “Duluan ya,” ucapnya sambil memasuki masjid. Gila, seumur-umur aku gak pernah bayangin kalau Joni bakalan jadi berubah kayak gitu. Asli, tadi itu bukan Joni banget. Lagi akting kali ya dia? Dan karena penasaran berat, akhirnya aku jongkok di bawah pohon depan masjid buat nungguin Joni keluar dari masjid. Lebih dari setengah jam aku di sini nongkrongin dia yang  katanya tadi lagi sholat. Dan selama itu pula aku masih memikirkan kemungkinan bahwa itu tadi yang aku lihat bukan Joni. Kembarannya kali ya? Tapi semua orang tahu kalau dia kan gak punya kembaran. Ngomong-ngomong Joni ke masjid beneran buat sholatkan ya? bukan buat nyolong sandal? Kemudian setelah lama menunggu akhirnya aku melihatnya keluar juga dari masjid. “Joni,” panggilku masih dalam posisi jongkok. Mendengar namanya dipanggil membuat Joni menoleh ke arahku. “Lilith? Ngapain jongkok disitu?” tanyanya bingung sambil melihat ke arahku. “Nungguin lo,” kataku jujur. Kemudian aku bangkit dan berjalan mendekatinya. “Ngapain nungguin aku?” Joni terlihat sangat bingung. Aku menelengkan kepala menatapnya lekat-lekat. “Lo habis kecelakaan, ya?” tanyaku lagi. Joni hanya menggeleng dengan tampangnya yang masih bingung. “Kalau begitu kepala lo habis kebentur benda keras ya?” Joni kembali menggelengkan kepala. “Enggak juga. Kenapa sih Lith??” “Lo beda banget,” kataku masih gak percaya dengan sosok yang ada di hadapanku sekarang. Joni terkekeh dan geleng-geleng kepala. “Kamu ada-ada aja deh,” balasnya sambil melanjutkan berjalan. Aku mengikutinya di belakang. “Serius Jon. Apa lo selama satu tahun ini dikasih makan rumput ya? kenapa jadi jinak begini?” kataku begitu saja. Setelah sadar apa yang barusan kuucapkan, sontak aku terdiam. Aku ingat terakhir kali aku mengolok-olok Joni, rambutku jadi dipotong pendek karena dia dengan marah nempelin permen karet ke rambutku. Kali ini bisa-bisa leherku yang dipotong habis. “Enggaklah Lith. Masak aku makannya rumput sih,” jawabnya santai sambil tertawa. Aku menatapnya tak percaya. Nah loh, sejak kapan dia jadi bisa menerima ejekan begitu? Dengan gemas aku menempelkan telapak tanganku ke jidatnya. Siapa tau panaskan ya. “Kenapa?” katanya panik seraya menepis tanganku dari jidatnya.             “Lo sehatkan?” tanyaku lagi.             Joni tersenyum dan mengangguk. “Alhamdulillah, sehat kok.”             Kali ini aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tidak mungkin sehat kalau sikapnya jadi baik seperti ini. Apa jangan-jangan Joni habis diculik alien? Atau malah Joni yang saat ini ada bersamaku adalah alien yang menyamar?  “Ya udah deh, gue duluan,” kataku akhirnya yang kemudian langsung ngacir dari sebelahnya. Si Joni bikin aku serem deh. *** Peci? Baju koko? Sarung? Masuk masjid? Memikirkan Joni yang berubah alim dalam jangka waktu satu tahu bikin aku stress sendiri. Aku bahkan tak tahu kenapa harus memikirkannya sampai seperti ini. Mungkin karena aku masih tak dapat mempercayai perubahannya yang cukup drastis. Dari wajah sesungguhnya masih bisa dibilang sama, tapi sikap dan sifatnya itu loh. Sungguh berbanding terbalik dengan Joni yang aku kenal dulu. Dan entah kenapa hal ini membuatku pusing sendiri. “Lith, lihat deh tuh cowok. Ganteng banget sih,” ucap Verni teman sekelasku. Dengan malas aku menoleh ke arah cowok yang dikata Verni ganteng tadi. Dan setelah melihat cowok tersebut kontan saja aku langsung menyemburkan milkshake yang barusan kuminum ke arah Verni. “Sorry Ver, gak sengaja beneran,” kataku cepat-cepat. Sebelum sempat aku mendengar si Verni ngomel karena ulahku, aku langsung berlari ke arah cowok ganteng yang sedang duduk di taman dengan segrombolan cewek. Wah, padahal aku sudah mengira bahwa Joni berubah jadi alim. Tapi tenyata apa? Joni masih sama. Playboy bandel. Mungkin yang berubah dari Joni cuma sikap urakannya yang mendadak jadi sopan dan cara bicaranya yang agak santun. Tapi belangnya masih tetap. “Wah temen cewek lo banyak juga ya,” komentarku jelas-jelas menyindirnya. Aku harap Joni paham maksud sindiranku. “Eh Lilith, kuliah di sini juga ya?” Joni menatapku dengan raut wajah terkejut. Tapi detik berikutnya senyum manis sudah tersungging di bibirnya. Seolah dia senang melihatku. Benar-benar aneh nih orang. “Sini, Lith. Duduk sini bareng kami. Kami lagi diskusi tentang ta’aruf dan pacaran setelah menikah.”             Apa aku tidak salah dengar? Joni sedang berdiskusi tentang taaruf dan pacaran setelah menikah? Dia benar-bena bikin aku tidak bisa berkata-kata. Kemudian aku memandangi satu-satu cewek-cewek yang sedang berkumpul di sini bersama Joni. Mereka tampak begitu memuja Joni. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang diam-diam memotret Joni dengan ponselnya. Sepertinya mereka lebih tertarik dengan sosok Joni daripada bahan diskusinya. Dengan gemas aku  menarik tangan Joni untuk pergi dari sana tanpa mempedulikan para cewek yang sedang protes. Aku menarik Joni sampai ke area parkir. “Lith, kenapa sih? Aku kan lagi ngasih masukan sama mereka?” “Lo tuh kenapa sih, Jon? Sejak kapan lo jadi b**o begini sih? Mana Joni yang sok garang dan suka seenaknya sendiri? Gemes gue jadinya!”  “Litha, gak baik marah-marah begitu,” tegurnya sambil tersenyum kepadaku. Aku menarik napas dalam. “Gue gak marah Jon, gue cuman heran sama tingkah lo yang sekarang jadi alim begitu? Kayak habis keluar dari pesantren aja tau nggak?” “Emang aku habis pulang nyantren kok Lith,” jawabnya santai. Aku memandangnya kaget. “Serius lo?” tanyaku tak percaya. Joni hanya mengangguk mantap menjawab pertanyaanku. Tanpa sadar aku sudah tertawa keras. Lelucon Joni kali ini sungguh lucu. Tapi ketika ekspresi wajah Joni tidak berubah, tawaku sontak berhenti. “Lo serius jadi anak pesantren?” tanyaku lagi memastikan. “Iya, Lith,” jawabnya santai. Jadi selama satu tahun kemarin dia di pesantren gitu? Wow sungguh gak bisa dipercaya. Tapi beneran ampuh deh pesantrennya, bisa bikin preman satu ini insaf. Aku bertepuk tangan karena merasa kagum dengan Joni yang mau masuk pesantren. Kan hebat. “Ya jangan ngeledek juga dong,” katanya seraya memutar bola matanya bosan. “Siapa yang ngeledek?” tanyaku. “Gue kan salut sama lo. Akhirnya si preman kompleks insaf dan jadi alim. Benar-benar keajaiban.” “Aku kan—” “Oh, jadi sekarang lo nggak bisa mandang cewek dengan sembarangan dong? Lo juga nggak bisa pacaran seenak jidat lo kayak dulu? Lo nggak bisa mainin cewek lagi,” kataku tertawa senang.             Sumpah, aku benar-benar tidak bisa membayangkan seorang Joni yang hidup tanpa seorang pacar. Maksudku, dari dulu kan Joni dikenal sebagai seorang playboy. Dia kan hobi banget gonta ganti cewek. Kalau seperti ini bakal banyak cewek yang terselamatkan dari gombalannya. Kecuali dia belum benar-benar insaf soal yang satu itu.  “Siapa bilang?” tanyanya santai sambil memandangku penuh arti. Aku hanya bisa diam dan mengernyitkan dahi karena bingung akan ucapannya. “Mau lihat?” tanyanya lagi. “Maksu—” Sebelum sempat aku melontarkan pertanyaan, bibirku sudah dibungkam oleh ciuman tiba-tiba yang Joni berikan. Dengan lembut dia menciumku. Untuk sesaat aku hanya bisa mematung tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga bibir Joni mulai membuat jarak kembali denganku. “Lihat kan? Aku masih bisa melakukan apa yang kamu bilang tadi,” ucapnya sambil menyeringai. Aku benar-benar terkejut. Aku tak menyangka dengan apa yang baru saja dia lakukan. Joni baru saja menciumku. Dan aku baru saja merasakan bibir milik preman yang katanya baru insaf. “Gak usah kaget gitu deh, Lith. Jangan khawatir, aku bakalan bertanggungjawab dengan apa yang barusan aku perbuat. Aku kan udah insaf,” katanya santai sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Setelah itu dia meninggalkanku yang masih mematung ditempat. “Oh ya, nanti malam aku ke rumahmu. Bilang sama papa dan mamamu bahwa calonmu mau melamar kamu. Okey,” tambahnya dengan senyum yang entah kenapa aku merasa bahwa itu senyum termenawan yang pernah aku lihat. “Lo..., lo bercandakan?” tanyaku sedikit tergagap karena aku masih dalam mode kaget dengan segala hal yang telah Joni lakukan. Dan Joni hanya tertawa menanggapi ucapanku. “Joni!” panggilku seraya mengejarnya. Sejak itu entah kenapa hubungan kita menjadi semakin aneh. Dibilang pacaran juga enggak, karena nyatanya kami lebih dari itu. Yah, benar setelah dia mencuri cium dariku waktu itu, malamnya dia langsung ke rumah untuk meminta izin kepada kedua orangtuaku. Dia berkata ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Karena kesungguhannya itu mendadak saja aku jadi luluh dengannya. Ya, aku terpesona oleh kharisma Joni. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD