The Way You Are

4573 Words
“Hai. Timi ya” sapa seorang pria tampan di hadapanku. Aku hanya dapat tersenyum manis sambil mengangguk menjawabi sapaannya. Dengan wajah yang berseri-seri dia mulai duduk di hadapanku. Terdapat raut muka memuja di wajahnya ketika melihatku. Senyuman yang mengembang sempurna terukir di bibirnya. “Mase dewekan?” tanyaku dengan logat ngapak. Dan di saat logat tersebut terucap, terlihatlah muka kaget dan bingung milik pria tampan ini. “Mase jenenge sapa?” tanyaku lagi. Kali ini dia terlihat lebih bingung dari sebelumnya. Haha.. lucu deh mukanya. “Hmm..., maaf ya. Sepertinya saya salah nemuin orang deh. Permisi,” pamitnya cepat-cepat. “Lhah, Mase kepriben leh. Nyonge Timi Mase,” kataku masih dengan logat ngapak. Tanpa mempedulikan ucapanku lagi, si pria tersebut langsung ngacir dari hadapanku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala menatap kepergiaan pria tersebut. Yah, ternyata memang benar bahwa semua pria itu sama. Mereka hanya melihat wajah cantik dan body aduhai. Sekalinya dikasih logat ngapak langsung kabur entah ke mana. Dasar cowok. Pletak. Aku merasakan jitakan di kepalaku. Kontan aku langsung memegang kepalaku yang habis kena jitakan.             Aku menoleh ke arah kananku, di mana seorang cowok tengah berdiri. “Tama! Sakit tau!” kataku sebal sambil memukul kembaranku dengan buku menu yang ada di meja. “Lo ngapain  lagi kali ini?” katanya tak kalah sebal. Aku berdecak. “Berisik lo, ah.” “Itu tadi si Pino ngapain lo ajak ngomong ngapak sih? Larikan orangnya. Kurangnya Pino apa sih, Tim? Dia gagahkan, tampan, baik, ramah, dokter pula. Banyak tau cewek yang ngejar-ngejar dia, tapi lonya malah ngebuat dia ilfil gitu di kencan pertama. Parah lo,” omel Tama yang membuat telingaku sakit. Omelan Tama sungguh berlebihan. “Salah sendiri ilfil. Gue dari pertama kan udah bilang sama lo kalau gue mau nyari cowok yang mau nerima gue apa adanya. Bukan cuman karena fisik doang, tapi keseluruhan sifat gue, Tam. Baru dikasih logat ngapak aja udah kabur. Bagaimana kalau dengar aku kentut? Langsung nyemplung sumur kali,” balasku dengan kesal. “Lo juga salah kali. Kalau mau nunjukin sifat jelek lo ke cowok itu ya pelan-pelan dong. Pendekatan dulu, jangan asal kayak gitu.” Tama melotot ke arahku, seperti dia sedang memarahi anak kecil. “Nanti malah gue dikira munafik, males.” kataku cuek sambil memanjangkan leher, mencari pelayan. Aku ingin memesan makanan dan minuman. “Timi kembaran gue yang terkasih dan tercinta. Gak semua cowok tuh kayak mantan lo si Zoe yang suka atur sana atur sini. Banyak kali cowok yang bakalan nerima sifat lo apa adanya. Tapi lonya juga gak usah rese gitu sama cowok.” Kali ini Tama tampak melunak, ia menatapku prihatin. Aku menghela napas dalam. Kenapa harus bahas Zoe, sih? Tama kan tahu nama itu terlarang untuk diucapkan. Tama juga tahu kalau hatiku masih sakit gara-gara Zoe. Dasar kembaran tidak tidak peka. “Move on dong, Tim. Coba buka hati lo buat cowok lain. Kasih mereka kesempatan,” lanjutnya menasihatiku. “Udah seribu kali gue coba Tama,” kataku menatapnya lekat-lekat. “Dan ingat apa yang terjadi? Beberapa bikin gue kelaparan karena nyuruh gue diet, beberapa lagi bikin gue kena flue gara-gara lebih seneng lihat gue pakai dress setiap keluar makan malam dan yang lainnya bikin gue muak karena ruang gerak gue dibatasi. Kalau ngasih kesempatan orang rasanya kayak gitu, gue kapok. Gue nggak suka. Gue jadi merasa hidup di neraka.” Tama menghela napas dalam dan balik menatapku. “Lo juga sih, jadi cewek hiperaktif banget dan joroknya gak ketulungan,” katanya tersenyum kecil. “Bodo amat, yang penting gue bahagia,” balasku tersenyum lebar. “Gue yang menderita,” sindirnya melirikku tajam. “Harus ngomong apa gue ke Pino?” “Ngomong aja Timi nggak suka,” ucapku. Tama mencubit pipiku yang membuatku mengaduh. “Enak banget lo kalau nyuruh, ya,” katanya gemas. “Ya emang enak,” sahutku balas mencubit tangannya yang membuatnya melepaskan cubitannya dari pipiku. “Sakit tau!” kataku mengusap-usap pipiku yang kujamin sudah berubah warna jadi merah. “Stop deh stop. Kalau mau bertengkar jangan di sini,” ucap seseorang memotong pertengkaran kami. “Tuh si Tama kak, rese banget jadi orang,” ucapku sebal pada kak Joni, kakak iparnya Zita, yang kebetulan pemilik café ini. “Kalian berdua itu tuh sodara, dan yang namanya sodara tuh seharusnya saling menjaga dan melindungi. Bukan saling berantem kayak begini,” ceramahnya. “Oh, saling melindungi dan menjaga kayak Zita sama kak Lilith ya?” sindir Tama yang sukses bikin kak Joni nyengir kuda karena bingung mau jawab apa. Semua orang juga tau kalau Zita dan kak Lilith juga hobi berantem. Bahkan meskipun sudah pada nikah, mereka juga masih sering berantem. Tidak kalah labil dari aku dan Tama. “Ah, no comment deh kalau buat yang itu. Kalian mau pesen apa nih?” Aku membuka buku menu dan membaca beberapa list makanan yang tampak menggiurkan. “Hmm…, burger aja deh. Minumnya soda,” ucapku pada kak Joni. Tama mengangguk. “Gue sama kayak Timi,” katanya kepada Kak Joni. Aku meliriknya berharap Tama tahu bahwa aku sedang mengatainya tukang ngikut, tidak kreatif. Tama hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli. “Oke deh, bentar lagi pesenannya datang. Silakan ditunggu, ya.” Kemudian Kak Joni pergi dari meja kami menuju ke dapur. “Sekali-kali gue aja yang nyariin lo jodoh,” kataku kepada Tama yang sekarang sedang asik dengan ponsel di tangannya. “Gak perlu repot-repot. Gue masih punya banyak cewek yang ngantri kok,” jawabnya santai sambil nyengir kuda. Dasar playboy sok laku. Tampang nggak cakep-cakep amat tapi kelakuan sok paling cakep sedunia. “Tim, bentar lagi temen gue ke sini buat kenalan. Dia anak—” “Udah deh, berhenti! Nggak usah jodoh-jodohin gue sama temen-temen lo!” kataku marah sambil menjambak rambutnya yang sudah agak panjang. “Lo pikir gue udah nggak laku apa, sampai lo repot sendiri buat nyariin gue cowok! Lo nyebelin amat! Kesel gue!” “Tim jangan jambakin rambut gue dong! Sakit Timi! Iya-iya gak bakalan jodoh-jodohin lagi. Janji deh janji,” ucapnya sambil mencoba melepaskan tanganku dari rambutnya. Aku melotot ke arahnya. “Awas aja lo berani jodoh-jodohin gue lagi. Beneran habis lo sama gue. Asli. Gue nggak main-main,” ancamku. “Serem amat sih lo jadi cewek. Pantesan aja diputusin sama Zoe,” komentarnya yang membuatku menendang kakinya dari balik meja. “Aduh..., aduh..., sakit Tim!” Tama menunduk mengelus-elus kakinya yang habis kena tendangan mautku. “Makanya gak usah rese!” “Ini pesanannya. Gak usah pada berantem di sini Tim-Tam, nanti pelangganku pada kabur semua kan payah,” tegur kak Joni yang membawakan pesanan kami. “Tuh si Timi kak, tukang menganiaya orang.” Tama menunjukku, mengadukanku ke kak Joni sambil masih mengelus-elus rambutnya yang tadi kujambak. “Lo tuh tukang jodoh-jodohin orang seenak jidat lo,” kataku tak mau kalah. “Haduh pusing. Udah ah aku balik ke sana dulu. Selamat menikmati,” kata kak Joni akhirnya. Setelah itu aku dan Tama menikmati makanan kami dalam diam. Sesekali aku hanya meliriknya yang juga melirikku dan setelahnya kami malah tertawa terbahak-bahak. Yah beginilah kami. Kadang kami berantem, tapi satu detik kemudian kami bisa langsung tertawa bersama. Sekesal apa pun aku kepadanya, aku tak akan pernah bisa marah dengannya. “Udah selesai, lo yang bayar,” ucap kami bersamaan. “Oke bye,” ucapku cepat seraya bangkit dari kursi sebelum dia mendahuluiku. “Hei Tim tunggu woi,” teriaknya ketika aku mulai berjalan pergi dari hadapannya.             Haha. Makan tuh tagihan makanan! Kemudian aku mulai berlari menuju pintu keluar dan… Bruukkk.. Aku merasakan badanku seperti menghantam sesuatu yang membuatku terhuyung mundur beberapa langkah dan berakhir mengenaskan dengan p****t membentur lantai. “Haha..., sukurin!” teriak Tama sambil tertawa puas melihatku terjatuh. “s****n!” umpatku kesal. “Maaf ya maaf,” ucap seseorang sambil membantuku berdiri. “Makanya kalau jalan matanya dipakai!” kataku sebal meskipun belum tentu semua ini salahnya. Karena sebenarnya aku sadar jika aku pun ikut andil dalam insiden ini. “Iya maaf, habis tadi lo lari-lari gitu sih,” katanya lagi terdengar menyesal. “Kok nyalahin gue, sih? Kan lo—” Dan kalimatku sontak terhenti ketika mataku menatap lurus ke manik matanya. Sepasang bola mata hitam kecokelatan yang tampak begitu indah balik menatapku. Mata yang terlihat sangat jernih dan hangat. Pandanganku kini turun ke haah hidungnya yang mancung lalu turun ke bibirnya yang tampak melengkung ke atas. Dia sedang tersenyum. Dua buah lesung pipi terlihat jelas di kedua sisi pipinya. “Lo gak apa-apakan?” tanyanya yang membuatku sadar jika sejak tadi aku masih memandangi wajahnya dengan tatapan mengagumi. Aku sudah banyak melihat cowok tampan dan keren. Tapi aku merasa dia memiliki hal yang lebih dari sekadar itu. Dia memiliki aura yang membuatku ingin menatapnya lama-lama. Dia tampak begitu menenangkan. Aku menggeleng dan tersenyum menjawab pertanyaannya. Terdengar gelak tawa dari kejauhan. Aku kenal tawa itu. “Dih dasar cewek. Lo pikir senyum menyeramkan lo itu mempan?” sindir Tama yang langsung membuatku mengumpat dalam hati. Sialan. s****n. s****n. Kenapa aku harus punya kembaran rese kayak dia, sih? Dasar pengganggu. “Gue gak kenal kok sama cowok itu,” kataku tak mengakui Tama. Sedangkan cowok yang berada di hadapanku hanya tertawa kecil mendengarnya. Selain tatapan matanya yang hangat. Cowok ini juga mempunyai suara tawa yang khas. Suara tawa yang membuat orang lain tak keberatan mendengar tawanya bahkan sampai berjam-jam. “Hei Fal, akhirnya datang juga. Udah kita tungguin dari tadi lho,” ucap kak Joni menghampiriku dan si Fal ini. “Sorry kak, macet tadi,” ucap si Fal terdengar tidak enak hati. Aku menoleh ke arah Kak Joni. Jadi cowok yang bertabrakan denganku itu kenalannya Kak Joni? Kak Joni punya kenalan yang lumayan kece juga. “Lho Tim, mau pulang? Gak bareng sama Tama?” tanya kak Joni yang membuatku tersentak kaget. Buru-buru aku menggeleng. “Enggak, mmm... duluan ya, kak. Makanannya dibayar sama Tama. Bye,” kataku akhirnya sambil berlari menuju pintu keluar. Dari kaca luar aku dapat melihat kak Joni dan Fal tadi menghampiri meja Tama. Di sana mereka tampak sedang asik mengobrol dan sekarang malah si Fal tadi duduk manis di meja di mana kembaranku berada, sedangkan kak Joni sudah kembali ke ruangannya. Aku berdecak kecewa. Kenapa malah Tama yang ngobrol sama cowok itu, sih? Tau gitu aku gak pulang deh biar bisa berbicara, mengobrol bahkan mungkin bercanda dengannya. Aku jadi menyesal. Tapi tidak mungkin juga aku kembali ke dalam. Kan gengsi. Apalagi cowok itu tampaknya akrab dengan Tama. *** “Tam, cowok kemaren sapa sih” tanyaku pada Tama ketika kami sedang berada di mobil. “Cowok kemaren yang mana?” “Cowok yang di café kemaren Tam. Lo kenalkan? Siapa sih Tam?” tanyaku lagi penasaran. Seketika Tama melirikku tajam. “Dasar lo ya! Lagak lo kemaren gak mau, sekarang malah nanyain. Dasar nggak punya pendirian,” sindir Tama yang langsung kubalas dengan sentilan di pipinya. “Aww... sakit Tim! Gue juga lagi nyetir ini! Kalau nabrak gimana?” katanya kesal sambil mengelus pipinya yang merah karena kusentil. “Kalau nabrak palingan juga lo yang mati duluan,” balasku sambil menjulurkan lidah ke arahnya. “s****n,” ucapnya sambil melirikku tajam. “Lagian ngapain lo nanyain si Pino? Bukannya kemaren udah lo buat lari terbirit-b***t dengan logat lo kemarin? Nyesel ya? Pengen kenal deket sama dia, ya? Dasar cewek.” Nah loh, salah orangkan. Siapa juga yang ngomongin Pin. Maksudku kan Fal, kenalannya Kak Joni. Kupikir kami berdua kembar dan punya ikatan batin yang kuat. Nyatanya menebak pertanyaanku yang sudah jelas saja tidak bisa. Bisa tukar saudara dengan orang lain nggak sih? Ingin kusumbangin aja si Tama ke siapa pun yang membutuhkan. “Bukan si Pino temen lo itu, yang satunya lagi. Si Fal itu loh, temennya Kak Joni yang kemarin dikenalin ke lo itu,” kataku gemas sendiri. Tama mengangguk, tampaknya sudah paham siapa yang kumaksud. “Oh, maksud lo Naufal?” balasnya santai. Naufal? Jadi namanya Naufal. Tama menoleh ke arahku sekilas. “Eh, jangan-jangan lo naksir ya sama Naufal?” tuduhnya dengan nada agak terkejut. Aku hanya diam sambil memainkan poniku yang sudah mulai panjang tanpa menjawab pertanyaan Tama. Aku pun tak ingin mengaku jika aku tertarik dengan Naufal. Bisa-bisa diledekin sama nih orang. Tama kan rese. Pakai banget! “Ya elah Tim, mana selera si Naufal sama lo. Dia tuh seleranya tinggi banget. Cewek model kayak lo mah cuman bikin sakit mata aja di dia. Dia tuh sukanya cewek cantik nan seksi, ya kayak Megan fox gitulah. Kalau lo sih not his type at all,” cerocosnya yang bikin tanganku menyentilnya lagi. Sembarangan ngatain orang!! “Aww..., sakit Tim!” teriaknya kesakitan. “Makanya gak usah rese!” “Udah deh, cari kandidat lain aja buat diecengin. Jangan Naufal. Berat pokoknya.” Tama menggeleng-gelengkan kepala dengan dramatis. Aku berdecak sebal. “Ah, lo sotoy banget sih jadi orang! Kayak kenal Naufal aja,” kataku kesal. “Sok tau tipe dia kayak gimana.” “Lah, gue emang kenal sama Naufal. Kami sering main futsal bareng tau! Makanya kalau gue ajakin futsal ikut dong, biar bisa cuci mata. Jangan nongkrong di salon mulu sama si Zoe.” Uh! Tama punya mulut minta dilakban banget. Hobi banget sih, bawa-bawa nama Zoe, mantanku. “Ya udah, lo futsal kapan? Ikut gue,” kataku cuek sambil memandangnya dengan tatapan serius. “Nanti malem gue futsal, ikut aja,” jawabnya santai sambil tersenyum miring.             Baiklah. Akan kubuktikan kepada Tama, saudara kembarku tercinta kalau seorang Timi bisa jadi cantik dan seksi. Akan kubuat Tama menyesal telah meremehkanku. Pasti aku bisa membuat Naufal bertekuklutut karena kecantikanku. Ya, Naufal pasti akan kudapatkan. Lihat saja nanti. Aku pasti bisa. *** Malam harinya, Tama mengajakku ke tempat di mana dia bakalan tanding futsal. Dan aku pun sudah siap dengan dress selutut berwarna hitam yang sangat kontras dengan warna kulitku. Rambut hitam panjangku yang biasanya berantakan kini sudah kubuat curly bagian bawah yang membuat rambutku lebih bervolume. Aku pun sekarang sudah mengenakan high heels yang cukup tinggi, yang membuatku agak kesulitan berjalan. Tapi tak masalah. Aku tak keberatan. Kalau begini siapa coba yang bisa menolakku? Apa aku kurang pantas dijadikan selera tingkat tinggi? “Lo serius dandan kayak gitu?” tanya Tama tidak yakin. Matanya mengamati dari atas sampai ke bawah. “Emang kenapa? Kurang cantik dan seksi, ya?” tanyaku sok manja dengan memainkan helain rambutku. “Cantik dan seksi kok. Tapi lo ini mau nonton futsal apa mau ikutan fashion show, sih? Berlebihan banget tau nggak.” Aku mencebik. “Lah, bukannya lo sendiri yang bilang kalau Naufal suka sama cewek cantik dan seksi. Gue hanya mencoba untuk menjadi cewek idaman tersebut. Salah gue apa coba?” “Tempatnya yang salah,” kata Tama geleng-geleng kepala. Tapi ini kan demi mencari perhatian Naufal. Seharusnya tak masalah dong. Setelah masuk kedalam tempat futsal, kontan semua cowok yang ada di sana memandang takjub ke arahku. Hal ini membuatku agak kurang nyaman. “Tam, itu siapa? Cantik banget, kenalin dong,” ucap Didin salah satu temen mainnya Tama yang dulu pun pernah dicomblangin ke aku. “Itu si Timi adik gue. Masak gak kenal!” ucap Tama cuek sambil menaruh tasnya di salah satu bangku penonton. “Sembarangan, gue kakak lo ya!” kataku tak terima sambil menginjak kakinya yang hanya beralaskan sandal. “Aduh, sakit Tim! Ishh, udah dandanan lo udah cewek banget tapi kelakuan masih bar-bar aja! Malu tuh sama rok,” katanya sebal sambil mengelus kakinya yang barusan kuinjek. Aku hanya melotot kesal ke arahnya. Salah sendiri rese sih jadi anak! Sedangkan Didin sekarang sudah tersenyum kaku melihatku. Kenapa dia? Ah, aku baru ingat kalau dulu aku pernah menggigit tangannya gara-gara sok-sokan megang tanganku ketika mau nyeberang. Dikiranya aku anak TK apa gak bisa nyebrang sendiri? Aku hanya tersenyum seadanya kepada Didin yang sudah sedikit pucat melihatku. Mengabaikan Didin kini aku sudah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari Naufal. Cowok itu mana ya? Apa dia belum datang? Dengan bosan aku duduk disebelah Tama yang kini sedang menenggak air mineralnya. “Naufal mana Tam?” tanyaku sambil menyikutnya hingga membuatnya tersedak oleh minumannya. “Uhuk..., uhuk.” “Lo gak apa-apa? Sori gak sengaja gue,” kataku sambil menepuk punggung Tama pelan. “Ah, lo bikin s**l aja sih!” kata Tama sebal sambil melotot ke arahku. Yee, kan aku gak sengaja. Aku hanya bisa meringis melihatnya sebal. “Hai bro, yang lain udah pada dateng?” tanya seseorang sambil menepuk pundak Tama. Suara itu, aku kenal suara itu. Itu Naufal. Seketika aku langsung berdiri dari dudukku dan memasang senyum semanis mungkin. Kini Naufal mulai memandangku dari atas sampai bawah dan… dia pun melanjutkan kembali ngobrol sama Tama. Aku dicuekin. Kok gitu doang sih? Masak aku udah dandan cantik gini dianya gak terpesona sedikit pun sama aku? Kemudian aku menyenggol kaki Tama dan memberinya kode agar mengenalkanku kepada Naufal. Tama hanya memutar bola matanya, namun kemudian dia mengenalkanku kepada Naufal. “Fal, kenalin ini Timi kembaran gue.” Aku kembali memasang senyum semanis mungkin. “Timi,” ucapku sambil mengulurkan tangan ke arahnya. “Naufal,” katanya singkat sambil menjabat tanganku. Kemudian dia mulai mengajak Tama ngobrol kembali dan tidak mempedulikan aku lagi. Kok dia jadi cuek gitu sih? Kemarin pas ketemu di café dia terlihat begitu sopan dan murah senyum. Kenapa sekarang jadi kayak gini? Apa dia lupa kalau pernah ketemu sama aku kemarin? “Hai, bukannya lo yang gue tabrak waktu di cafenya kak Joni, ya?” kataku mengingatkannya. Ayolah ingat. Please! “Iya” jawabnya singkat sambil tersenyum sekilas dan lalu dia kembali ngajakin Tama ngobrol. Apa-apaan itu? Kenapa dia jadi nyebelin gitu sih! Gak peduli banget si sama aku yang udah dandan mati-matian hanya untuknya. “Tim, mau minum?” Didin menyodorkan minuman kotak ke arahku. Aku hanya menoleh ke arah Didin sambil memberikan tatapan tajam kepadanya. Gatau apa aku lagi kesel pake acara nawarin minum segala kayak sales aja! Sampai beberapa menit aku hanya duduk diam di sebelah Tama. Sedangkan Naufal tak sedikit pun melirikku. Hiiiii ngeselin! Kenapa jadi begini, sih? Aku pikir danananku ini sudah cukup untuk menarik perhatiannya. Tapi ternyata tidak. Kemudian aku bergegas bangkit dari kursi. Mending pulang deh daripada di sini bikin bete! “Tim mau ke mana?” tanya Tama sambil menarik tanganku. “Gue balik dulu deh Tam, agak gak enak badan gue,” dustaku sambil melirik Naufal yang kini memandangku dengan sorot mata yang aneh. “Duluan Fal,” kataku dengan nada datar. Setelah itu aku mulai berjalan meninggalkan mereka. Namun gara-gara high heels 7 cm s****n ini aku jadi susah berjalan. Dan dengan sebal aku mulai melepas high heelsku dan mentengnya tanpa tau malu. Aku tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sekitar. Saat ini aku sedang kesal. Amat sangat kesal. Setelah sampai di parkiran mobil, aku hanya duduk di salah satu kursi di sana. Berulang kali aku mencoba menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Aku berharap dengan begitu dapat mengurangi rasa kesal yang sedang membanjiri dadaku. Tapi ternyata tidak. Rasa kesal, jengkel dan kecewa tetap saja tak mau pergi. “Hei, lo kenapa?” tanya Tama yang tiba-tiba datang menghampiriku. Kemudian Tama mulai duduk di sampingku sambil memakaikan jaket yang dipakainya ke tubuhku. “Kok Naufal cuek banget gitu sih, Tam sama gue? Lo bilang dia suka sama cewek cantik yanng seksi. Emang gue kurang cantik atau seksi?” tanyaku sedih sambil menyandar di pundak kembaranku ini. Apa jangan-jangan aku tak secantik yang kupikirkan? Mungkin aku terlalu sombong dengan fisikku. Nyatanya make up dan benda-benda yang melekat padaku tak dapat menyelamatkan penampilanku. “Lo juga sih. Bukannya lo sendiri yang bilang kalau gak mau berubah demi cowok? Terus kenapa sekarang malah dandan sok kecakepan kek gini?” Pertanyaan Tama ini mulai menyadarkanku. Memang benar. Aku kan paling malas jika harus berubah demi seseorang. Tapi kenapa sekarang aku jadi bodoh sekali sampai mati-matian mengubah cara berpakaianku hanya demi cowok bernama Naufal. Seharusnya aku tak perlu mengubah diri hanya demi cowok itu. “Gatau Tam. Gue ngerasa b**o banget,” kataku sambil meneteskan air mata. Aku merasa sedih dan kecewa dengan diriku sendiri. Kemudian Tama mulai memelukku sambil menepuk punggungku pelan untuk menenangkanku. “Udah sih Tim gak usah nangis,” katanya sambil menghapus air mataku. “Tambah jelek tau kalau lo nangis.” Sontak aku memukul lengannya karena berani mengataiku. Hal ini malah membuat Tama terkekeh. Tama emmang rese. “Hapus gih make up lo yang bikin gue ngeri. Ganti juga tuh dress pendek lo sama kaos gue dan jins. Di kursi belakang mobil kayaknya ada kaos dan jins punya lo deh. Terus buang tuh heels lo yang ngebuat loe hampir jatuh tadi.” Aku kembali memukul badannya dengan gemas.             “Tim sakit tau!” kata Tama sambil mengelus-elus lengan yang barusan kupukul. Aku melotot sebal ke arahnya. “Heels gue mahal tau!! Main suruh buang sembarangan! Emang lo mau ganti duitnya?!” kataku gak terima. Tama memutar bola mata bosan. “Iya deh iya. Sana ganti baju.” Kemudian aku pergi meninggalkan Tama menuju mobil untuk mengambil kaos dan celana jins yang ada di kursi belakang. Tak lupa juga aku mengambil sandal jepitku yang pernah disembunyikan Tama di bawah kursi mobil. Aku jadi heran ini mobil apa closet sih? Penuh banget sama baju. Setelah mengambil barang-barang tersebut, aku kemudian mengganti baju dan membersihkan wajahku di toilet tempat ini. Setelah semuanya terganti dan wajah juga bersih dari make up yang cukup tebal tadi, aku kembali ke tempat mobil Tama berada. Aku mengamati sekitar, mencari kembaranku. Tapi cowok itu tidak ada di sini. Tama mana ya? Kok enggak ada? Apa dia lagi main futsal ya?? Tanpa memedulikan Tama lagi, aku langsung masuk ke dalam mobil untuk mengembalikan pakaian yang tadi kupakai. Setelahnya aku langsung keluar dari mobil dan menutup pintunya. Sekarang aku sudah merasa seperti diriku sendiri. “Nah gitu kan lebih cantik,” ucap seseorang di belakangku. Aku kenal suara itu. Dengan perlahan aku menoleh ke arah suara tersebut. Kini kuliat Naufal tengah tersenyum manis ke arahku. Tatapannya memancarkan kehangatan yang sempat kurasakan beberapa hari yang lalu. Meskipun begitu aku masih merasa kesal dengan sikapnya tadi. “Hai Tim,” sapanya mendekat ke araku. “Ngapain lo sok kenal sama gue?” tanya sewot. Ini orang ngpain sih jadi sok kenal kayak gini! Tadi di dalam aja cuek bebek dan songong gitu. Kenapa sekarang jadi sok kenal begini? “Kan gue emang kenal sama lo. Lo Timi yang kemaren tabrakan sama gue di café kan?” Aku berdecak. “Kenapa sekarang lo jadi sok akrab kayak gitu? Ke mana aja loe tadi!” kataku tambah sewot. “Lo yang ke mana aja?” tanyanya dengan nada kecewa. “Emang lo tadi kenal cewek cantik yang pakai dress dan high heels yang tadi bareng sama Tama? Gue rasa lo juga gak kenalkan sama itu cewek.” Aku mengernyitkan dahi karena bingung dengan perkataannya. “Maksud lo apa?”  “Kenapa sih kudu mengubah penampilan demi agar terlihat ‘cantik’? Kenapa gak jadi diri lo sendiri? Timi yang gue kenal bukanlah Timi yang tadi, tapi Timi yang sekarang. Cuek dan masa bodoh.” “Gak usah sok kenal deh sama gue!” bentakku marah. Enak banget sih jadi orang! Tadi nyuekin seenak jidatnya dia kek gitu, sekarang malah sok kenal kek gini. “Gue emang baru lihat lo kemaren dan hari ini Tim. Tapi gue udah kenal lo sejak lama. Tama sering cerita soal lo yang selalu cuek sama penampilan, gak perduli sama omongan orang, suka seenaknya sendiri dan gak pernah ngakuin Tama itu kakak kamu—” “Gue yang lahir duluan ketimbang Tama. Jadi gue adalah kakaknya Tama. Bukan sebaliknya,” potongku. Tama rese nih, nggak mau dianggap adek. Kan di mana-mana yang lahir duluan itu adalah kakak. Bukan sebaliknya. Mungkin aku harus meminta mama dan papa untuk menjelaskan tentang hal itu lagi agar Tama lebih paham. “Gue tahu,” balas Naufal tersenyum kecil. Kulihat Naufal sedang menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Kemudian dia kembali berkata, “Dan karena sejuta alasan tersebut gue meminta ke Tama untuk ngenalin lo ke gue. Maka dari itu kemaren gue ke cafenya kak Joni untuk di comblangin sama lo. Tapi karena lo marah sama Tama gara-gara sering dicomblang-comblangin, lo malah cabut duluan dari café dan kita gak jadi blind date. Tapi meskipun kita gak jadi blind date, tapi malah kita nggak sengaja tabrakan di café kemaren, mungkin Tuhan mau nunjukin ke gue kalau lo adalah yang gue cari dengan cara seperti itu. Terus tadi  juga Tama tiba-tiba bilang bahwa lo punya rasa sama gue, gue benar-benar bahagia. Gue bela-belain batalin janji sama mama demi ikut futsal malam ini agar dapat bertemu sama lo. Tapi ketika gue lihat lo tadi, gue benar-benar merasa kecewa. Lo tadi kelihatan sangat cantik, sungguh, tapi gue lebih suka lo apa adanya. Maka dari itu gue tadi bersikap agak cuek sama lo. Maaf. Gue hanya terbawa suasana. Maafin gue, ya.” Dan degub jantungku semakin memburu tatkala mengetahui fakta tersebut. Mana mungkin Naufal, si cowok baik yang keren dan tampan suka sama Timi si cewek berantakan? Bahkan dia belum pernah bertemu denganku. Aku tak percaya ada orang yang suka kepadaku setelah mendengar segala hal buruk tentangku. “Mana mungkin cowok kayak lo tertarik sama cewek gak jelas kayak gue? Tama bilang kok kalau tipe cewek idaman lo itu yang cantik dan seksi sekelas sama Megan Fox. Gue bukan Megan Fox. Gue nggak secantik atau seseksi dia. Dan gue nggak bisa jadi kayak dia,” kataku lirih. Mendadak aku jadi merasa sangat kecil dan tidak berarti. Naufal tersenyum kecil ke arahku. “Sosok lo lah yang mengubah pandangan cantik itu seperti apa. Banyak kok gadis yang cantik dan seksi yang pernah gue temui ataupun gue dengar kisahnya, namun hanya kisah dan sosok lo lah yang selalu memenuhi ingatan gue. Lo udah bikin gue penasaran belakangan ini. Dan ap apun kejelekan yang Tama ceritain ke gue soal lo, nggak sedikit pun bikin gue pengen jauhin lo. I love the way you are,” katanya terdengar tulus sambil memandangku lekat. Senyum manisnya kembali terukir di bibirnya.             Aku sendiri masih bergeming di tempat, masih tak yakin dengan apa yang barusan kudengar. Rasanya sangat sulit mempercayai ucapan Naufal itu.             Apa aku memang pantas dicintai apa adanya? “Mungkin lo gak percaya dengan apa yang barusan gue omongin. Yang pasti gue pengen kenal lo lebih dekat, itu pun kalau lo nggak keberatan. Gue juga mau minta maaf soal yang tadi. Gue jadi ngerasa nggak enak sendiri udah nyuekin lo. Gue hanya gak mau lo berubah jadi orang lain. Meskipun itu untuk gue. Gue nggak keberatan sama lo yang ada di hadapan gue. Lo cantik apa adanya, Tim.” Oh Tuhan, ini manis sekali. Bukankah ini yang aku mau? Seorang yang menerimaku apa adanya. Dan ternyata orang itu muncul ada di hadapanku. Aku sungguh bersyukur atas kehadiran Naufal ini. Aku berdeham dan berkata, “Hai, kenalin gue Timi Mishella Ardika. Lo bisa panggil gue Timi.” Aku tersenyum sambil mengulurkan tangan ke arahnya. “Mari mulai dari awal lagi.” Aku melihat Naufal mulai tersenyum lega dan menerima uluran tanganku. “Hai gue Naufal. Senang bisa kenalan sama lo, Tim.” “Gue juga. Senang bisa kenalan sama lo, Fal,” jawabku. Dan kami pun mulai tertawa bersama. Akhirnya Tuhan mendengar apa yang telah aku minta. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, kami hanya bisa menjalaninya bersama-sama. Keburukan apa pun yang ada padaku akan dapat ditutupinya dengan sifat tenang yang dia miliki. Yah mungkin inilah takdir. Kita diciptain dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Untuk itulah kita dipasang-pasangkan, untuk saling melengkapi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD