Blue Valentine

2273 Words
28 Januari 2013 Di sana, di sudut perpustakaan yang sepi aku melihatnya. Gadis berambut panjang dengan tatapan mata yang sendu sedang meneteskan butir air mata tanda kesedihannya. Sesekali dia menyeka air mata yang terus menyeruak keluar dengan kedua tangannya. Tak henti-hentinya dia menatap layar tabletnya sambil sesenggukan. Terlihat duka dan penyesalan yang sangat mendalam pada tatapan matanya. Dia terlihat begitu menderita. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Bertemu dengannya pun kurasa aku tidak pernah. Namun hati ini seakan tak tega melihatnya seperti itu. Ini bukan diriku sama sekali. Aku bukanlah orang yang mudah bersimpatia kepada orang lain. Apalagi orang asing yang tiba-tiba menangis tersedu-sedu di hadapanku. Aku merasa iba dan kasihan terhadapnya. Aku ingin mengusap air mata kesedihannya dan berkata 'bahwa semuanya akan baik-baik saja, berhentilah menangis' namun siapa aku? Aku hanyalah orang asing yang terlalu penasaran dengan kisah hidupnya. Apa pun penyebab di balik tangisannya itu aku tahu bahwa dia bisa tersenyum, senyum yang akan membuat orang lain ikut tersenyum. 01 Februari 2013 Empat hari berturut-turut dia masih duduk di sana, dengan mata sendunya dan muka sembabnya. Tapi kali ini dia tidak menangis, atau mungkin belum. Yang aku tahu dia masih sama, gadis yang penuh dengan kesedihan. Harusnya dia menceritakan apa pun yang dihadapinya dengan seseorang, agar luka yang dia rasakan tidak lagi menyakitkan, agar rasa sesak di dadanya dapat terlepaskan. Aku selalu bersedia untuk menjadi seseorang itu, seseorang yang dapat meringankan beban di pundaknya, seseorang yang dapat menampung semua keluh kesahnya, seseorang yang bersedia menepuk halus punggungnya ketika dia menangis, seseorang yang akan selalu ada dikala dia membutuhkanku. Hei, gadis bermata sendu lihatlah aku, cowok bermata coklat yang selalu duduk di seberang mejamu, cowok yang selalu memperhatikan setiap kesedihanmu. Hei, janganlah bersedih lagi. Aku di sini, menantimu menyadari keberadaanku. 04 Februari 2013 Hari ini dia masih menampakkan diri di perpustakaan ini di sudut yang sama. Masih dengan mata sendunya dia mulai membolak-balik setiap halaman di buku yang dia pegang. Namun hanya tatapan kosong yang terlihat di sana. Aku tidak yakin dia membaca buku yang dia pegang. Yang kutahu adalah dia sedang mencari apa pun itu yang tidak akan pernah dia temukan di buku tersebut. Hei, sadarlah. Dunia ini indah, berhentilah bersrdih. Tatap dunianu dengan mata terbuka dan senyum yang merekah. Hiasilah hidupmu dengan sejuta warna. Aku tahu dia bisa melakukan semua itu. Tapi dia menolak. Dia lebih menikmati kesedihannya dengan tatapan kosong pada buku tersebut di sudut perpustakaan ini. 08 Februari 2013  Hari ini aku datang lebih awal dari gadis tersebut. Meja yang biasa di tempatinya kini masih sepi. Ingin sekali aku duduk di sana dan berharap bahwa dia juga akan duduk bersama di sebelahku. Namun aku takut apabila dia menyingkir dan mencari sudut yang lain untuk di tempatinya. Karena yang kutahu dia ke sini bukan untuk mencari seorang teman tapi mencari kesendirian. Jadi sepertinya aku lebih baik duduk di tempat yang selalu kutempati selama ini. Setelah tiga puluh menit menunggunya, akhirnya dia datang dan berjalan ke arah di mana sudut favoritnya berada. Dengan kepala tertunduk dia melewati beberapa rak buku dan orang-orang yang tengah sibuk dengan buku mereka masing-masing. Masih kuperhatikan dia sampai dia duduk dan menyeka cairan bening yang merambat jatuh ke pipinya. Dia menangis lagi. Apa yang terjadi denganmu? Haruskah aku di sini, duduk diam melihatnya menangis lagi? Tak bisakah aku duduk di sebelahnya menawarkan diri untuk menghiburnya? Bisakah dia menerima orang asing sepertiku disisinya saat ini? Kuberanikan diri untuk menghampirinya. Perlahan aku berjalan menuju mejanya berada. Sambil masih memegang buku yang sedari tadi kupegang aku duduk di sebelahnya. "Ini," ucapku seraya memberinya sekotak tissu. Dengan raut muka bingung dia menatapku. Mata sendu itu meneteskan cairan bening kembali. "Jangan menangis lagi, ambil ini," ucapku lagi. Dia hanya mengangguk dan dengan ragu-ragu mengambil selembar tissu. "Makasih," katanya dengan suara lirih. Akhirnya aku mendengar suaranya. Bukan hanya isakannya. "Baiklah, aku akan kembali ke tempatku. Akan kutinggal ini di sini," kataku sembil meletakan sekotak tissu di mejanya. Kulihat dia mengangguk dan memaksakan sebuah senyuman untukku. Aku hanya mengangguk dan kemudian kembali lagi ke tempat dudukku sebelumnya. Setelah sampai di tempat dudukku, aku kembali dengan aktifitas membacaku. Tapi ini hanyalah kamuflase. Sebenarnya aku lebih menginginkan melihat pemandangan di depanku. Apakah dia masih menangis? Apakah sekarang dia yang balik mengamatiku? Apakah dia berpikir bahwa aku aneh? s**l! Pasti dia pikir aku cowok sok keren yang tiba-tiba nyamperin dia bak seorang pangeran. Memalukan! Sebaiknya aku pergi. 11 Februari 2013 Setelah kejadian sok akrab dan sok jadi pahlawanku beberapa hari yang lalu, aku kembali ke perpustakaan ini. Di sudut yang sama aku melihatnya, namun kali ini aku tidak bisa duduk di tempat biasa aku duduk karena seseorang sudah menempatinya. Hei, baru beberapa hari aku tidak kemari sudah ada yang seenaknya saja duduk di tempat langgananku itu. Dasar. Meskipun tempatku sekarang tiga meja lebih jauh dari tempatnya berada, namun dari sini aku masih dapat melihatnya dengan jelas. Ya, mataku masih normal. Hari ini ada yang beda dengannya. Kini rambut yang biasa tergerai indah di punggungnya menjadi sebuah kuncir kuda yang membuatnya terlihat lebih cantik. Iya, dia cantik. Tapi sayang, kesedihan masih terpancar di matanya. Ayolah hilangkanlah tatapan tersebut. Matanya mulai memandang kosong di salah satu halaman buku yang tengah dia pegang. Apa yang sedang dia pikirkan? Apa yang membuatnya seperti ini? Apakah dia pernah bahagia? Aku sungguh ingin tahu. Tanpa sadar aku terus saja memandangnya, hingga mata tersebut mulai bergerak ke arahku. s**l, aku ketahuan! Dengan panik aku kembali ke buku yang aku pegang. Aku berusaha keras untuk fokus pada buku tersebut. Semoga tadi dia tidak melihatku. Semoga tadi hanya pandangan kosong yang tidak sengaja tertuju padaku. Aku tidak sanggup menahan malu jika benar dia tadi melihatku sedang memandanginya. Kenapa sekarang aku terdengar seperti seorang penguntit? Oh, benar-benar memalukan! Seorang Dika Rexyan Putra mendadak menjadi seorang penguntit. Payah! Harga diriku anjlok! "Hai!" Terdengar sapaan ke arahku. Dengan segera aku mendongak dan mendapati cewek itu tengah berdiri di hadapanku. Aku tidak mempercayai ini. "Boleh aku duduk?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan kepala. Aku masih tidak percaya dia datang dan berbicara kepadaku. Oh man, dia di sini duduk di hadapanku! Aku sungguh tidak dapat mempercayai ini. Rasanya seperti mimpi. "Ini," ucapnya sambil menyerahkan sekotak tissu yang kuberikan kepadanya beberapa hari yang lalu. "Untuk apa?" tanyaku bingung. Aku tidak sedang menangis ataupun sedih. Aku tidak membutuhkan tissu. Dia hanya menggeleng sambil tersenyum ke arahku. Dia bisa tersenyum. Dan senyumnya terlihat sangat manis. Aku suka melihat senyumnya itu. Aku sungguh berharap bahwa dia dapat memasang senyum itu terus dan menghilangkan raut kesedihan di wajahnya. "Mungkin besok kamu membutuhkannya," ucapnya lagi sambil menyunggingkan senyum kepadaku. "Oh." Dan hanya itu yang bisa terucap dari bibirku. "Boleh aku bertanya kepadamu?" Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Bertanyalah sebanyak apa pun yang kamu mau. Tanyakan apa saja kepadaku. Seberapa sulit pertanyaan yang akan kamu lontarkan, akan tetap aku jawab. Meskipun harus kubuka buku tebal untuk mencari jawabannya, akan aku lakukan. Aku senang dia berbicara kepadaku. Aku bahagia dia bisa tersenyum. "Apa kamu pernah menyukai seseorang?" tanyanya kepadaku dengan raut muka sedih. Jangan tunjukan raut muka itu lagi. Aku mohon. Ragu-ragu aku mengangguk. "Iya, tentu saja pernah." Dan kamulah yang kusukai. "Apa yang akan kamu lakukan jika dia pergi meninggalkanmu, membawa serta separuh napasmu ikut bersamanya?" Dari pertanyaannya itu, aku menarik kesimpulan bahwa dia telah ditinggalkan oleh kekasihnya. Dan dia pun terlihat begitu menderita. "Aku akan tetap bernapas dengan sisa nafas yang masih tertinggal. Dan aku akan mencari napas baru untuk menemani sisa hidupku," jawabku tersenyum kecil ke arahnya, berharap dia tahu bahwa kehilangan seorang kekasih bukanlah akhir dari segalanya. Dia masih bisa melanjutkan hidup. Dan dia akan menemukan cinta yang lainnya. "Bagaimana kalau kamu sangat mencintainya? Gak akan mudah hidup di dunia tanpa orang yang sangat kamu cintai." Tatapannya berbuah sedih. Dan entah kenapa aku merasa dia sedang kesakitan. "Dan kurasa itu saatnya untuk diriku belajar mencintai orang lain, Orang yang pantas mendapatkan cintaku. Bukan orang yang seenaknya meninggalkanku dengan sisa napas yang kumiliki." Dia menggeleng lemah. "Kamu gak ngerti...," ucapnya dengan suara bergetar dan air mata itu mulai mengalir lagi. "Hei, jika dia mencintaimu. Dia tidak akan meninggalkanmu seperti ini. Lupakan dia, cari seseorang yang dapat membuatmu bahagia." "Dia mencintaiku. Aku tahu itu...," ucapnya lagi sambil menahan air matanya agar tidak tumpah kembali. "Kalau dia mencintaimu dia tidak akan meninggalkanmu seperti ini." ucapku seraya memberinya tissu yang ada di meja. "Dia pergi bukan karena kemauannya. Dia meninggalkanku bukan karena dia mau. Ini sesuatu yang tak bisa kucegah. Aku tidak bisa mencegahnya pergi," ucapnya sambil tertunduk lesu dan kembali menangis. "Maka relakan," kataku sambil tersenyum tipis ke arahnya. “Aku yakin kamu pernah hidup bahagia bahkan sebelum dia datang dan tiba-tiba pergi begitu saja. Apa yang bikin kamu nggak bisa hidup bahagia kembali meskipun dia udah nggak sama kamu? Kamu pasti bisa.” Ketika dia mendengar ucapanku, dia langsung menatapku dengan tatapan kosong seakan dia memikirkan sesuatu. “Susah,” balasnya lirih. “Aku nggak bisa. Aku terlalu mencintainya. Aku nggak bisa kehilangan  dia. Aku nggak sanggup.” Ragu-ragu aku memegang tangannya yang terkepal di meja, bermaksud menguatkannya. Tangannya tampak kecil di genggamanku. Tangan itu pun terasa bergetar karena kesedihan yang begitu mendalam. "Kalau kamu nggak sanggup merelakannya pergi begitu saja, maka yang kamu bisa adalah menunggunya kembali. Kamu bilang dia juga cinta kan sama kamu? Kalau dia cinta dia pasti kembali. Tunggu dia.” Dia menatapku lekat-lekat. Untuk sesaat ia tampak sedang berpikir. Mungkin dia sedang memikirkan apa yang tadi kukatakan. Lalu ia mulai tersenyum kecil ke arahku. "Terima kasih. Sekarang aku yakin dengan apa yang akan aku lakukan," ucapnya sambil masih meneteskan air mata, namun dengan bibir merah muda yang menampakkan senyuman termanis yang pernah aku lihat dibibirnya. Dia begitu cantik. Aku mengangguk kecil. "Sama-sama," kataku tersenyum kepadanya. Kulihat dia menarik napas dalam. Seperti sedang menekan segala emosi yang ia coba sembunyikan. "Aku harus pergi sekarang. Bye," ucapnya berpamitan kepadaku. "Bye...." Kemudian aku melihatnya berdiri dari kursi yang dia duduki. Perlahan dia berjalan dengan kepala yang kini tegak memandang ke depan. Kurasa dia sudah baikan sekarang. "Hei, kapan-kapan baca buku ini. Ini buku bagus," ucapnya menoleh ke arahku ketika dia  mengembalikan buku yang sejak beberapa hari yang lalu menemaninya. Setelah itu dia melambaikan tangan ke arahku. Yang kubalas dengan senyuman kecil ke arahnya. Dia sekarang bahagia. Dia bisa tersenyum. Senyuman yang sangat manis. Aku menyukai senyuman itu. Semoga dia akan tetap tersenyum seperti itu. Semoga. 14 Februari 2013 Setelah perbincangan kami waktu itu, dia tidak pernah muncul kembali di perpustakaan. Mungkin dia sekarang sudah mendapatkan cintanya kembali. Mungkin dia sudah bahagia bersama cintanya. Mungkin. Oh ya, Happy Valentine kamu yang tidak berada di sini. Sejenak perpustakaan ini menjadi sangat membosankan tanpa dirinya. Aku merindukannya. Kemudian aku mengingat ucapannya mengenai buku yang dia bilang bagus. Yah, sebaiknya aku membaca buku tersebut. Siapa tahu itu memang buku yang bagus. Kemudian aku mulai mengambil buku yang ditaruhnya di rak dekat dengan meja biasanya dia duduk. Dengan mudah aku dapat menemukan buku ini. Ini buku soal kedokteran yang cukup tebal. Apa dia anak kedokteran? Setelah itu aku bawa buku tersebut ke mejaku berada. Kubolak-balik buku ini sampai akhirnya aku menemukan sebuah kertas terselip di salah satu halaman buku ini. Tulisan tangan yang rapi memenuhi lembar kertas itu. Ini adalah sebuah surat. Hai kamu yang sedang membaca surat ini, rindukah denganku? Aku tahu kamu sudah memperhatikanku sejak pertama kali aku menangis di sudut perpustakaan ini. Yah, sangan memalukan. Aku tahu.  Kamu tahu, aku sangat hancur saat itu. Itu adalah hari kematian Isal, pacarku. Hatiku hancur, duniaku runtuh, dan napasku hilang. Aku merasa seperti mayat hidup yang berkeliaran tanpa arah. Tanpanya aku benar-benar tersesat. Yang bisa kulakukan adalah menangis setiap hari. Menangisi kepergiannya. Aku sedih. Aku berduka. Aku hancur. Aku bahkan tidak tahu berapa lama lagi aku bisa menahan jutaan pisau yang menancap di jantungku. Ini menyakitkan. Jika sekarang aku masih bertahan, mungkin aku sudah menjadi gila. Dia satu-satunya yang aku miliki dan sekarang dia telah pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak.bisa hidup tanpanya. Dia adalah segalanya bagiku. Jadi sekarang aku memutuskan untuk menyusulnya. Mengambil separuh napasku yang berada padanya. Jangan salahkan dirimu atas percakapan kita kemarin. Akulah yang memilih jalan ini. Ini adalah yang aku inginkan. Di sana bersamanya. Aku bahagia. Hai kamu belum tahu namaku kan? Aku Sena. Terima kasih untukmu. Ini tidak benar! Dia tidak mungkin.... Ya tuhan, ini salahku. Andai aku tahu bahwa saat itu dia telah kehilangan cintanya untuk selama-lamanya, aku pasti akan berusaha lebih keras untuk menghiburnya. Aku akan membuatnya bahagia. Aku pasti akan mencari cara untuk membantunya melupakan kekasihnya itu. Dan jika saat itu aku berusaha lebih, pasti semua ini tidak akan terjadi. Dia pasti masih ada di dunia. Dia tidak akan pergi. Beberapa tetes air mata membanjiri pipiku. Aku menangis untuknya. Untuk gadis yang selalu berada di sudut perpustakaan ini. Yang kini telah menghilang. Yang kini telah bahagia dengan keputusannya. Tapi ini semua karena diriku. Aku tak bisa membuatnya tinggal. Aku berdosa telah membiarkanmu pergi, Sena. Maafkan aku. 14 Februari 2014 Hai Sena, apa kabarmu? Bahagiakah dirimu di sana? Aku di sini masih menyesal dengan apa yang aku lakukan kepadamu. Andai dulu aku bisa memberimu kata-kata motifasi yang tepat, mungkin kamu sekarang masih hidup. Meskipun aku tidak tahu akankah bahagia hidupmu tanpanya. Aku selalu mendo'akanmu Sena. Semoga dirimu mandapatkan tempat yang indah di sisiNya bersama orang yang kamu cintai. Aku tahu ini yang kamu mau, tapi aku masih tidak bisa merelakanmu pergi begitu saja. Aku masih menyesali ketidakmampuanku untuk membuatmu tinggal di dunia ini. Maafkan aku Sena. Aku sungguh minta maaf. Mungkin kamu ditakdirkan memang untuknya, bukan untukku. Maka dari itu terjadilah perpisahan ini. Aku bersyukur pernah mengenalmu. Aku merindukanmu Sena. Kuletakkan seikat mawar merah di depan batu nisannya. Di sana tertulis nama Sena Ambita Graha. Happy Valentine Sena  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD