Hey Stranger

1954 Words
Kenangan kita takkan ku lupa Ketika kita masih bersama Kita pernah menangis Kita pernah tertawa Pernah bahagia bersama Semua akan selalu ku ingat Semua akan selalu membekas Kita pernah bersatu dalam satu cinta Dan kini kita harus terpisah Aku pergi .. Terdengar alunan lagu dari Alika yang berjudul Aku Pergi dari speaker di toko buku yang sedang aku kunjungi ini. Hal ini mau tak mau membuatku mengingat mantan terindahku, Zita. Kami pertama bertemu itu empat tahun yang lalu. Kami sama-sama masih SMA, namun dia adalah adik kelasku. Saat itu, aku sedang berjalan ke kantin sekolah dan tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku. Sebelum aku sempat memaki siapa pun yang menabrakku barusan, terdengarlah suara cempreng seseorang yang memarahiku duluan. Namun anehnya itu cewek adalah temannya orang yang menabrakku. Bagaimana bisa dia yang bahkan tidak bertabrakkan denganku malah marah-marah seenaknya saja, sedangkan cewek yang menabrakku sudah berkali-kali meminta maaf. Anehkan cewek tersebut? Dan yah, itu Zita. Kesan pertama yang kudapat darinya adalah aneh. Namun ketika aku memperhatikan setiap detil wajah dan tubuhnya aku langsung mengatakan bahwa dia manis dan cantik. Kontan ketika dia mendengarku mengucapkan hal itu, dia langsung memandangku ngeri dan pergi dari hadapanku. Sepertinya dia tidak tahu siapa aku, sehingga dia berani memarahi dan membentakku. Dan sejak saat itu aku selalu mengikuti dan mengganggunya terus sampai membuatnya sebal setengah mati. Jujur aku sangat menyukai saat-saat kami berantem, karena ketika  melihatnya marah dia semakin lucu. Sampai suatu hari aku membuatnya menangis dan dia berkata bahwa dia membenciku. Di saat itulah aku berhenti mengejarnya. Namun ketika aku berhenti mengejarnya, malah dia sendiri yang datang kepadaku minta di gangguin karena kangen. Dan detik itu juga aku mengutarakan perasaanku kepadanya. Kami jadian. Aku sangat mencintai gadisku ini. Dan aku pun tahu bahwa dia juga mencintaiku. Hari-hari kami berjalan sangat indah sampai satu kesalahan besar kuperbuat. Dengan sok kerennya aku ikut tawuran dan membuat Zita marah besar. Bukan hanya itu, karena tawuran itu pun aku hanya memiliki 2 pilihan, pindah atau dikeluarkan. Mamaku dengan lantang memilih untuk memindahkanku. Namun dengan kejamnya, mama malah memindahkanku ke ujung negeri. Aceh. Semenjak itu kami berdua putus. Zita tidak pernah mengangkat teleponku atau sekadar membalas smsku. Dan yah, kami benar-benar hilang kontak. Kemudian setahun berselang, aku kembali ke pulau Jawa. Aku mencoba bertemu dengan Zita, namun dia sudah memiliki pacar. Aku hancur. Namun mengetahui bahwa dia bahagia dengan pacarnya, mau tak mau aku harus ikut berbahagia. Aku mencoba untuk move on darinya. Aku mencoba kembali berteman dengannya. Kami berteman baik. Sangat baik, meskipun tak jarang dia suka ngambek karena keusilanku. Tapi tetap, kami berteman.  Kemudian kabar buruk itu terjadi, dia dijodohkan dengan anak teman mamanya. Aku hancur untuk kedua kalinya. Aku tahu Zita tak menyukai cowok tersebut. Tapi aku bisa apa? Aku hanya mantan yang selamanya tidak akan pernah bisa berdampingan lagi dengannya. Aku kira pernikahan Zita tak akan bertahan lama karena kutahu bahwa Zita dan Alvo—suami Zita—tidak saling cinta. Namun aku salah. Ternyata cupid menembakkan panah asmara kepada mereka berdua dan akhirnya mereka saling jatuh cinta. Yah, mereka hidup bahagia. Mengetahui orang yang kusayang bahagia dengan suaminya membuatku ikut bahagia. Yah, aku bahagia untuk Zita. Harus bahagia. “Seriusan gue pengen ke Jepang! Gue pengen lihat pemandangan indah ini.” Terdengar segrombolan abg yang berada di belakangku sedang asik membicarakan negeri sakura. Jepang? Kayaknya gak ada salahnya liburan ke Jepang. Sekalian ketemu sama Jovan—teman SMAku yang sedang kuliah di sana. Baiklah, Jepang tunggu aku. Aku akan datang. *** Setelah seminggu yang lalu hanya rencana saja untukku pergi ke Jepang, akhirnya sekarang di sinilah aku berada. Tokyo, Jepang. Siang ini aku dan Jovan janjian untuk bertemu di salah satu restoran di pusat kota. Sebenarnya dia memiliki kewajiban untuk mengantar dan menjemputku di  mana pun aku berada, namun siang ini dia ada jadwal kuliah yang tidak bisa dia tinggalkan, jadilah sekarang aku jadi gembel sendirian di sini. Sekarang aku sedang menunggu kereta bawah tanah yang akan membawaku ke pusat kota. Ketika aku sedang sibuk membalas pesan singkat dari Jovan yang mengatakan bahwa dia juga lagi perjalanan menuju restoran tersebut, aku mendengar ribut-ribut tak jauh dari tempatku berdiri. Kontan aku langsung menoleh ke asal suara tersebut. Di sana, tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat seorang cewek yang mengenakan gaun pengantin sedang beradu mulut dengan pasangannya. Semua mata kini tertuju pada mereka. Aku berdecak sebal. Dasar, sok penting. Sungguh tidak tahu kondisi. Memalukan. Kemudian aku kembali menyibukan diriku dengan ponsel yang berada di tanganku. Kubuka aplikasi f******k di ponselku. Tak sengaja kulihat foto Zita yang sedang memeluk Alvo dengan background pegunungan yang diselimuti salju. Yah, mereka sekarang sedang liburan di luar negeri. Mereka berdua tampak sangat bahagia. Ya, berbahagialah kalian. Tak lama kemudian, kereta yang kutunggu datang. Dengan segera aku menaiki kereta tersebut dan duduk di barisan kursi yang kosong. Kereta ini tak begitu ramai ternyata. Setelah itu aku melihat cewek yang mengenakan gaun pengantin tadi sedang menaiki kereta ini dan kemudian dia duduk di sebelahku. Kulihat dia sedang mengatur napas karena menahan amarah. Kini dia melirikku sambil mengangkat sebelah alisnya. “Apa lo lihat-lihat?” tanyanya galak. Aku terkesiap. Ternyata dia bisa bahasa Indonesia. Dan kemungkinan juga dia orang asli Indonesia. Aku hanya tersenyum menanggapi omongannya. “Cowok itu nyebelin ya,” katanya lagi dengan muka sebal. Sekarang aku mulai mengangkat sebelah alisku. “Lo juga cowok kan? Lo pasti juga nyebelin,” ucapnya lagi seraya memandangku sebal.             Kenapa dia jadi marah kepadaku? Padahal kenal saja tidak. Bisa-bisanya menuduhku menyebalkan. Dasar aneh. “Udah niat mau ngawinin gue malahan tadi ciuman sama mantannya,” katanya lagi. “Padahal kami tadi lagi foto buat prewed lho. Bisa-bisanya sok ijin mau ke toilet tapi ternyata ketemuan sama mantannya dan malah ciuman. b*****t!” Aku tertegun mendengar ucapannya. Ternyata dia sedang mengalami hari yang buruk. Bisa dibilang malah hari yang mengerikan. Pasti dia sangat sakit hati melihat orang yang dicintainya malah berciuman dengan mantannya. Sungguh kasihan. “Are you okay?” tanyaku padanya ikut prihatin. “Menurut lo? Dua bulan lagi kami menikah dan dia selingkuh kayak gitu? Lo masih nanya gue baik-baik aja apa enggak?” Dia memelototiku dan menatapku garang. Bingung juga mau jawab apa. Tapi kenapa dia malah marahnya sama aku? Kan yang selingkuh cowoknya dia, bukan aku. Bagaimana sih, ini? Kan aku jadi ikutan bingung. Kini dia mulai menutup wajahnya dan terisak. Waduh, dia nangis. Beberapa orang di kereta ini sudah memandangku dengan tatapan menyalahkan. Kenapa malah aku dijadikan tersangka oleh mereka? Padahal aku kan tidak melakukan apa-apa. “Hey, it’s okay. Everything will be alright,” ucapaku sambil menepuk bahunya pelan. “No, it’s not,” ucapnya. “My life is over,” ucapnya lagi sambil memandangku dengan tatapan sedih. Aku merasa kasihan padanya. Kini dia mulai menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Setelah itu kulihat dia mencoba untuk tegar dan tidak menangis. Namun air matanya kembali menetes di wajahnya yang cantik. Ya, dia cantik. Dia memiliki bibir tipis dan hidung yang mancung. Setiap kali dia mencoba tersenyum, terlihat cekungan di kedua pipinya. Manis. Dia kembali menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Gue gak nyangka bakalan sesakit ini diselingkuhi,” ucapnya lirih namun masih bisa kudengar. “Gue kira kami bakalan bahagia selama-lamanya seperti dalam cerita dongeng. Tapi apa? Dia selingkuh. Dia ngancurin hati gue. Hidup gue kini jadi berantakan.” Sekarang dia menoleh ke arahku dengan menggelengkan kepala. “Lo gak bakalan bisa ngerti,” katanya lagi memandangku tajam. Kini dia tertunduk dan setetes air mata jatuh dari matanya. “It’s just a storm,” kataku sambil tersenyum ke arahnya. “And every storm in your life is followed by  a rainbow. I heard someone said that.” Dia memandangku sambil terdiam seolah mencerna kata-kataku. Setelah itu dia mulai tersenyum tipis kepadaku. “Yeah, you right,” kata sambil menegakkan badannya dan menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Kemudian dia memandangku dengan senyum manisnya, tapi bisa kulihat bahwa dia berjuang untuk tidak meneteskan air mata kembali. “Need a hug?” ucapku bercanda. Namun kemudian dia langsung menghampur ke pelukanku dan menangis sejadi-jadinya. “Everything will be okay,” ucapku mencoba menenangkannya. Kutepuk halus punggungnya untuk membuatnya nyaman. Dia masih terisak dengan menggumamkan kata-kata yang kutahu untuk memaki mantan tunangannya tersebut. Sesekali dia berbicara betapa dia sakit hati, dua detik setelahnya dia berbicara betapa dia membenci tunangannya tersebut. Namun semua itu terdengar hanya sebatas gumaman saja, karena isak tangisnya terdengar lebih keras di telingaku. Aku tidak pernah menyangka cewek sejutek dia—yah, dia sangat jutek banget pas pertama ketemu—ternyata bisa rapuh juga. Dia tidak berhak disakiti seperti ini. Siapa pun tak berhak sakit hati dengan cara seperti itu. Cowoknya memang b******k. Tak lama kemudian kereta ini tiba di stasiun yang kutuju. Dan ternyata dia pun akan turun di sini. Kami berjalan bersisihan keluar dari kereta. “Hey, thanks,” ucapnya kepadaku sambil berhenti berjalan. Aku pun mengikutinya berhenti. Wajah cantiknya terlihat agak sembab, tapi sekarang wajah itu jauh lebih segar tadi yang tadi. “Thanks for everything you did to comfort me back there,” ucapnya lagi sambil tersenyum manis ke arahku. “Yeah. It’s okay,” kataku seraya tersenyum kepadanya. Kemudian dia mulai berpamitan kepadaku. Kini dia berjalan ke arah yang berlawanan denganku.  “Hey,” panggilku. Kini dia menoleh ke arahku. “You know” ucapku sambil memandang wajahnya. “You’ll be fine,” lanjutku sambil memberinya senyum tulus yang kuharap dapat membuatnya lebih baikan. Dia mengangguk menanggapi ucapanku. “Yeah, I know. I’ll be fine,” katanya sambil tersenyum lebar ke arahku. “Bye stranger,” lanjutnya sambil terkekeh. Dia melambaikan tangan ke arahku lalu kemudian dia kembali melanjutkan perjalanannya dengan kepala dan badan yang tegak. “Hey, stranger!” panggilku lagi. Cewek itu berhenti dan berbalik. Ia menatapku dengan sebelah alis terangkat. “Yeah?” tanyanya. “Ngopi yuk?” ajakku sambil tersenyum lebar. Dia menatapku dengan menelengkan kepalanya ke kiri. Dari ekspresi wajanya ia tampak kebingungan. “Ngopi?” ulangnya tampak tak yakin dengan apa yang barusan ia dengar. Aku mengangguk. Sontak ia menunjukku dengan jari telunjuknya. “Heh! Lo bisa bahasa Indonesia?” tanyanya kaget. “Iya, gue asli Indonesia,” teriakku karena jarak kami yang agak jauh. “Jadi lo tau semua yang gue omongin tadi?” Aku mengangguk dan nyengir lebar. “Astaga, gue malu-maluin diri gue di depan orang asing!” ucapnya histeris sendiri. Dan hal itu malah membuatku tertawa. Kemudian dia berjalan ke arahku dengan mengangkat gaun yang ia kenakan agar membuat langkahnya lebih mudah. Dari wajahnya ia masih tampak terkejut dengan fakta bahwa kami sama-sama dari Indonesia. Dan ekspresinya itu sangat lucu. Setelah sampai di depanku. Dia mulai mengedipkan matanya beberapa kali sambil menatapku tak percaya. “Gue tadi ngomong apa aja sama lo, orang asing?” tanyanya kini memasang muka sebalnya. Aku mengangkat kedua bahuku. “Entahlah, gue lupa, orang asing,” jawabku sambil cengengesan. “AAAAHHH! GARA-GARA LO, GUE MEMPERMALUKAN DIRI GUE!” katanya sebal sambil memukuliku. Anehnya aku merasa terhibur karena sikap lucunya ini. Hey, aku lagi dianiaya begini kenapa malah seneng? “Dasar orang asing kurang ajar!” katanya lagi sambil masih memukuliku. “Hey, gue punya nama kali,” kataku tak terima dipanggil orang asing. “Siapa nama lo?” tanyanya galak seraya melotot ke arahku. “Mika,” jawabku singkat. Dia mengangguk. “Oke, gue Raya. Dan sekarang lo wajib traktir gue es krim!!” katanya sebal sendiri sambil menarik jaketku untuk berjalan mengikutinya. Aku hanya terkekeh karena tingkah anehnya ini. Dan yah, setelahnya aku menraktir Raya es krim sepuasnya hingga aku melupakan Jovan yang sudah menungguku di restoran tempat kami seharusnya bertemu. Raya, cewek aneh bin ajaib yang sukses membuatku tertawa terbahak-bahak karena kelakuannya yang kelewat aneh. Yah, kurasa aku menyukai cewek jutek ini. Cinta memang aneh.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD