IKYWT - 5

1213 Words
"Jerome, jangan bercanda." "Lana adalah perempuan posesif garis gila yang mengerikan," sahut Oda. "Kalau Jerome tidak meninggalkannya, dia akan mengekang Jerome terus-terusan!" Kabar kencan Jerome dan Lana berhembus kencang. Terlebih kedua agensi mengiyakan. Semula, Jerome hanya bermain-main. Karir lebih penting. Dia bahkan merelakan semua urusan keluarga di belakang hanya untuk manggung. Dan beruntung, keluarganya mendukung. Kalau untuk hobi, bukan masalah. Selama tidak membuat reputasi marga mereka buruk, Jerome dibebaskan. "Mama Tamara tidak suka padanya, kan?" Ren memukul kepala pirang Rain dengan bukunya. "Old money sekelas keluarga Hiroito, mana mungkin menerima gadis berkelakuan buruk sepertinya? Kalau Jerome mau membawa gadis ke rumahnya, sekelas Latisha atau Hara si aktris papan atas yang berkelas itu." "Latisha, coret. Kau tidak mungkin mau dijadikan bahan utama album terbarunya. Latisha tidak akan bisa membuat lagu tanpa drama. Jadi, lebih baik Hara," tukas Zaka dan diberi anggukan setuju oleh yang lain. Jerome memetik senar gitar dan mencibir. Mengembuskan asap berbentuk lingkaran dan menatap Rain. "Tidak ada kencan dalam kamusku. Setidaknya sampai lima atau enam tahun ke depan." "Yaks! Masih suka bermain-main," sela Karin masam dan Oda mencibir. "Kau seharusnya sadar. Jerome memberi kode kalau dia menolak gadis yang berusaha dekat dengannya." "Aku bahkan belum sempat merayu," balasnya. Jerome meliriknya selintas, lalu bersandar dan memejamkan mata untuk menarik napas panjang. *** "Siapa yang kau lihat, Lei?" Lei yang berdiri kaku sontak menoleh. Terkesiap menemukan putri muda berjalan masuk ke tengah ruangan dengan senyum. Dia melamun, sampai-sampai tidak melihat kalau Magna Latisha datang mengunjungi rumah besar keluarganya. "Black Death." "Ah," Latisha terkikik. "Mini konsernya sebentar lagi. Berniat datang?" "Sure. Aku berniat datang," dan Lei menunduk untuk berbisik. "Tapi aku masih harus berpikir keras bagaimana bisa lepas dari cengkraman cakar buaya rawa." Julukan itu tersemat untuk ibunya, Magna Tasha yang terlihat sangar. Termasuk di depan asistennya sendiri. "Latisha?" Latisha tersenyum. "Aku usahakan untuk memberi waktu dan bersenang-senang. Jangan lupa untuk menjabat tangan para anggotanya." "Aku tidak akan mencuci tanganku sampai satu tahun!" "I'm here, Papa." Liam memberinya satu pelukan. Latisha tidak lagi tinggal bersama mereka. Tapi beberapa acara penting, sering mereka hadiri bersama. Karena putrinya belum berkencan setelah lepas dari Calvin, ibunya selalu menemani seperti dulu. Meluangkan waktunya demi putri tercinta. Tidak peduli dia di cap sebagai ibu protektif gila sekali pun. "Aku sudah bilang, putriku datang." Latisha terkekeh. Saat ibunya meminta pelayan rumah tangga yang jumlahnya menginjak dua puluh orang sedang sibuk menata meja dan membersihkan dapur. Ini hanya acara makan malam untuk tiga orang, tapi terkesan mengundang seratus orang. "Untuk apa makanan sebanyak ini?" "Untukmu." Latisha menoleh. Memandang senyum ibunya yang terarah manis. Saat Liam duduk di kepala kursi, menatap lapar pada piring-piring makanan yang penuh. "Aku sangat lapar," gumamnya serak. "Silakan, sayang. Makanlah sepuasnya. Tapi ingat Latisha, oke? Aku tahu kau rela mengorbankan nyawamu demi udang tepung ini." Ancaman itu berhasil membuat sang suami terdiam. Saat Latisha bangun, memindahkan separuh isi piring ke atas piring sang ayah. "Aku tidak keberatan sama sekali untuk berbagi, Papa." "Oh God! My angel," katanya dengan binar haru. Tasha mendengus masam. Saat dia melambai, meminta salah satu pelayan datang mendekat. "Buatkan udang tepung satu piring lagi untuk Latisha." "Baik, Nyonya." "Tidak pakai lama!" Latisha menggeleng. Menatap ibunya dengan pandangan datar. Saat Tasha yang terbiasa malah tersenyum lebar. Memanjakan putrinya sampai dia bangkrut adalah kebanggaan. "Ayam goreng!" Suara Lei menggema tinggi. Melengking membuat Tasha tidak jadi memasukkan potongan daging asap ke dalam mulutnya. Saat wanita itu menoleh, melotot pada Lei yang dengan lapar berdiri di samping Latisha dan menatap ayam goreng di atas piring. "Kau sudah makan?" "Belum." "Bohong!" "Belum dua kali," balas Lei lemah. Memegang perutnya dengan pandangan meringis iba. Seperti gembel yang terseok-seok mencari sisa makanan di pinggir jalan selama dua puluh empat jam. Tasha masih melotot tak percaya. Latisha lemah dengan rayuan setan Lei. "Baiklah," gadis itu mengangkat piring berisi potongan ayam goreng saat mata Tasha membelalak. "Ini untukmu. Kau mau bergabung atau—," "Kembali ke kamarmu, bunglon." Lei berpura-pura tuli. Dia mengambil piring itu dengan kedua mata bersinar. Kalau Latisha ada di sini, dia merasa seperti dewa 19. Diatas angin dan merasa dimanja. Latisha yang dimanja ibunya, dia dimanja putri mudanya. Haha. Nikmat sekali hidup. "Sankyu, Nona Latisha. Kau yang terbaik." Lei melempar kecup jauh dan melipir pergi. Membuat Latisha tertawa geli dan pada gelengan Magna Liam. "Aku menduga ibunya dulu meminta sesuatu aneh sebelum dia lahir." "Ibunya pernah berendam di kolam berisi penuh belut sawah. Anaknya terlahir seperti ini," gerutu Tasha yang masih kesal. "Sudahlah, Mama." Tasha melempar delikannya saat sepiring udang tepung mampir ke atas meja. Mata Liam kembali bersinar, dan saat Latisha mengucapkan terima kasih dan memindahkan piring itu ke atas piringnya sendiri. "Latisha, aku—," "Ehem!" Liam melirik pias pada sang istri. "Ingat, sayang. Satu abad sekali Latisha berkunjung ke rumah. Jangan macam-macam. Aku mengeluarkan uang untuk memanjakannya." Latisha balas tertawa. "Aku senang dengan masakan rumah seperti ini. Mama menawarkan diri untuk menyewa satu restauran untuk kita." Liam menghela napas panjang. "Ibumu paling tahu cara membuang-buang uang dengan benar, Latisha. Tidak apa. Memang lebih baik begitu. Tidak baik uang dipendam terus-menerus di bank. Membusuk." "Ini lebih baik daripada ayahmu membuang uang untuk simpanan." Membuat Latisha terbatuk dan Liam menatap pasrah. "Aku tidak selingkuh." "Kau tidak akan berani," senyum maut Magna Tasha mengisyaratkan sesuatu dan Latisha menatapnya ngeri. Memandang bagaimana kedua orangtuanya dan pada masakan di atas meja. Apa pun masalah mereka, yang terpenting makan! *** Ya Tuhan. Lele goreng ini separuh menjengkelkan. Latisha pikir sogokan ayam goreng berhasil membuat Lei waras dan berhenti menguntitnya seperti sasaeng mengerikan. Nyatanya, saat Latisha sampai pria itu malah melambai. Memberikan senyum lima jari dan berbalik memutar mobil untuk pergi. Menyampaikan kabar bahagia pada kanjeng Tasha kalau putrinya telah selamat sampai tujuan. Harumnya ruangan membuat Latisha bernapas nyaman. Memasuki lantai lobi apartemen dengan pemandangan cantik berwarna emas membuat Latisha lebih baik. Dia sebisa mungkin menahan mual saat makan udang goreng tepung malam tadi. Tidak ingin membuat orangtuanya curiga, Latisha menahannya sampai dia pergi ke kamar mandi kamarnya dulu dan muntah di sana. Menyikat kamar mandi itu sampai bersih dan menyemprotkan parfum mahalnya untuk memudarkan bau. Jadi, saat dia memberikan udang itu dia bisa bernapas lega. Tapi ibunya malah meminta pelayan membuat masakan lain untuk Latisha. Tahu kalau dia dan udang adalah saudara erat, Latisha tidak bisa menolak dan berakting seakan semua baik-baik saja. Saat dia naik lift, beberapa orang yang melihatnya melempar senyum. Semua tahu siapa yang tinggal di apartemen sama dengan Magna Latisha. Dan Latisha bersikap ramah. Karena penghuni apartemen mahal ini bukan orang sembarangan. "Glad to see you here, Latisha." Wanita itu mengulurkan tangan. Saat Latisha menunduk dan melihat perut itu membuncit membuatnya meringis pelan. "Me too. Siapa namamu?" "Riana. Aku tinggal di lantai dua puluh. Baru satu tahun. Aku menyukai lagu-lagumu. Terima kasih. Itu mewakili diriku sekali." Latisha tertawa. "Terima kasih. Pada dasarnya itu hanya curahan hati." "Aku bisa melihatnya dengan jelas." Latisha balas tersenyum. Saat lift berhenti di lantai dua puluh dan wanita itu berpamitan. Dan saat Latisha menunggu sampai lantai apartemennya membawa dirinya pulang. Berjalan gontai membelah lorong yang sepi dan dingin, Latisha menekan kartu kamarnya dan pintu terbuka otomatis. Menikmati bagaimana kucing manjanya berlari dan dia tertawa. "Hei, you miss me?" Serafina adalah kesayangannya. Kucing anggora ini ia dapatkan dari sang ayah saat usianya dua puluh lima tahun. Dua tahun lalu. "Not her, but me."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD