Sepak terjang Black Death mungkin banyak menjadi konsumsi umum. Terutama para remaja tanggung atau para wanita dewasa yang belum menikah. Rentan menyukai lagu-lagu bertemakan sendu sekaligus menyentuh hati.
Band ini memang jempolan. Diakui karena semua genre masuk dengan suara sang vokalis. Permainan gitar dan kemampuan Abe Zaka bersama Jerome yang handal di atas piano, membuat segalanya lebih mudah.
Kairo tidak henti-hentinya mendesis. Kala matanya menatap poster yang mengajak para penggemar untuk hadir di mini concert The Darkside milik Black Death di salah satu aula privasi nan mahal. Satu jam sewa menghabisan ratusan ribu dolar. Tapi tidak apa. Karena penggemar mereka sama gilanya. Rela menghabiskan berapa uang pun demi bertemu idola.
"Kau ingin datang?"
Kairo menatap Tara. Menunggu Latisha yang membeli makanan di pedagang kaki lima. Trotoar Tokyo memang senggang karena hujan gerimis membuat rambut mereka basah.
"Serius? Kau mau membayar tiket itu untukku?"
"Membeli koleksi Christian Dior lebih menarik dibanding menonton Zakato Oda bernyanyi Again."
Sebenarnya Shimizu Tara hanya membual. Dia mencintai Again sama seperti dia mencintai All Too Well milik Latisha. Apalagi menonton live accoustic saat pria itu bernyanyi Again sebagai penutup. Tara jatuh cinta pada suaranya.
"Kenapa kalian di sini?"
"Kairo ngidam ingin menonton mini concert Black Death. Pesankan tiket untuknya, Latisha. Dia butuh refreshing."
"Aku ingin bermain di Trans Snow ketimbang menonton empat Joker manggung," ketus Kairo. Merebut churros oreo dari tangan Latisha dan mencari tempat duduk.
Latisha menghela napas. Ikut duduk di salah satu bangku taman. Saat Tara mencari tempat kosong dan posisi mereka memutari meja.
"Aku serius. Kehidupan selebriti tidak semuanya menyenangkan, kan? Ada sponsor, ada kontrak mengikat dan lain-lain."
"You are lucky because you have money," sindir Kairo pada Latisha. Kairo dan mulut petasan jangwe tidak akan pernah lepas. "Orang-orang akan berpikir dua kali mencari gara-gara denganmu."
"Lana melakukannya."
"Abaikan saja kambing desa itu," ketus Kairo masam. Muram memikirkan si pencari sensasi yang sayangnya tetap terkenal karena koneksi keluarganya. Holy s**t! Kairo benci padanya.
"For God's Sake! Lana adalah mantan Jerome, kan?"
"Serius?"
Kairo nyaris tersedak krimnya sendiri. Sedangkan Latisha mengangkat alis skeptis. Memandang Tara dengan tatapan bertanya.
"Kau tahu darimana?"
"Quora," balasnya jujur. "Aku sering berselancar di sana. Beberapa orang bilang kalau Hiroito Jerome sempat berkencan dengan Sulana Gusi. Alias Sugus."
"Kalau aku punya anak nanti akan kunamakan mentos."
Tara mendengus menahan tawa. Mendorong bahu Kairo yang sibuk menunduk menatap ponselnya. "Tapi di sini, Jerome bilang dia netral. Dia tidak berkomentar banyak tentang klub pelangi."
Latisha menghela napas. "Aku pun sama. Aku tidak akan berkomentar."
"Beberapa negara melegalkan hubungan ini," bisik Kairo. "Kalau ditelaah dari ilmu kedokteran, mereka ini—,"
"Stop it."
"Oke."
"Aku menduga dia ini belok. Alias gay."
Tara dan Latisha mengernyit bersama.
"Spekulasi macam apa itu?"
"Menurut Sulana, Jerome memiliki disfungsi seksual. Secara tidak langsung, gadis gila itu membuat publik heboh. Spekulasi tentang Jerome yang biseksual, atau homo merebak luas bagai wabah. Dan bodohnya lagi, tikus sawah itu tidak memberi klarifikasi. Dor. Sudahlah. Dispass makan besar dengan berita ini."
Tara memutar mata. "Jangan percaya pada media."
"Aku percaya kali ini. Karena setelah bersama Sugus, Jerome tidak terlihat bersama perempuan lain. Tidak seperti tiga temannya yang lain dan manajer tampan mereka yang diam-diam suka mabuk di bar."
"Sato Ren?"
"Hooh," balas Kairo. Mendesis saat Latisha dan Tara fokus menatapnya. "Semula saat aku buta tentang Black Death, aku pikir Ren adalah staff yang suka memberikan minum. Gayanya seperti gelandangan yang suka mengambil botol bekas di tempat sampah. Tapi ternyata bukan. Manusia kalau sedang miskin, tampilannya memang biasa-biasa saja."
Latisha memutar mata. "To be honest, Ren juga punya penggemar sendiri. Mereka bilang kalau Black Death adalah surga. Karena manajer dan anggota sama-sama tampan."
Kairo balas mendegus keras. "Aku tidak peduli. Karena di mataku, Sato Ren tidak lebih dari seorang pendeta gagal. Aku pernah melihat backstage mereka sebelum manggung, dan Ren yang memimpin doa. Di tim itu, tugas Ren hanya berdoa. Menonton. Lalu mendapatkan uang. Cih, kalau hanya itu aku juga bisa."
Kalimat Kairo yang frontal membuat Tara menjerit kesal. Gadis itu mendorong tubuh Kairo sampai terjungkal dan tertawa. "Shut up, mulut petasan! Kepalaku mau pecah."
Dan dengan Latisha yang mematung diam.
***
Blue Entertainment tampak senggang pagi ini. Terutama dengan para staff yang berbondong-bondong turun ke kantin untuk sarapan. Mereka yang bekerja untuk agensi laknat membutuhkan tenaga yang lebih banyak untuk tarik urat. Karena demi tato anak biawak milik Ikeda Rain, pendiri sekaligus CEO tertinggi agensi ini benar-benar annoying.
Di ruang rapat, semua telah berkumpul. Dari Dim Troy sebagai bos. Julukannya adalah pria c***l bau neraka. Karena rambutnya yang telah memutih, serta tiga orang anak tidak serta merta membuatnya berubah menjadi lebih baik.
Dan pada Sato Ren yang duduk. Membuka buku bacaan membosankan. Yang nyaris membuat Zakato Oda naik darah karena Ren lebih suka membaca dibanding mengurus band mereka yang urakan, katanya.
"Ren,"
"Ha?"
"Bagaimana rangkaian tur mereka?"
"Baik. Tanyakan saja pada personilnya. Semua anggotanya ada di sini."
Zaka mengerutkan alis. Tidak mengerti ada manajer yang makan gaji buta seperti Ren. "Pria ini gila."
Jerome menekan senar gitarnya dan menatap Troy. "Semalam kau pergi ke tempat spa plus-plus itu lagi? Kenapa kau menjijikan sekali. Tidak takut seandainya Dispass mengikuti?"
Troy melambai dengan senyum congkak.
"Mereka bilang kehidupanku membosankan. Aku masih ingin bersenang-senang di samping pusing mengurus tiga anak yang manja. Jadi bersenang-senang bukan kesalahan."
"Sialan! Pria tua bangka ini!"
Gerutuan Oda tidak pelak membuat Dim Troy tertawa. Saat sekretaris seksi berdada galon Karin malah mencibir pelan. Meski dandana Karin seperti penjaja seks mahal yang ada di hotel-hotel berbintang, sejujurnya dia bukan seperti itu. Karin pekerja keras berdedikasi tinggi dan cekatan. Maka dari itu Troy mengangkatnya menjadi wakil direktur.
"Kalian sudah mendengar berita Dispass yang masih panas? Magna Latisha hamil."
Semua orang terdiam. Troy mendesah pasrah karena berita itu tersebar bagai wabah. Semua tentu tahu terlebih siapa Magna Latisha.
"Kita di sini untuk rapat atau bergosip?"
Ren menutup bukunya dengan cibiran pelan. Saat Karin menggeleng, melepas kacamatanya dengan dengusan. "Tanyakan saja pada bos kalian yang menyebalkan ini. Dia bermain tebak-tebakkan berhadiah mencari siapa ayah bayi Latisha."
"Benar-benar sinting," maki Zaka dan Rain tertawa.
"Apa pedulimu?"
"Anak-anakku menyukainya. Berpikir membawa Latisha menjadi ibu tiri mereka bukan kesalahan. Yang salah adalah bagaimana bisa aku menghadapi orang tuanya yang super kaya itu."
Rain memutar mata dan Ren memijit pangkal hidungnya. "Beberapa tahun ini, Dispass suka mengarang yang tidak-tidak. Beritanya tidak lagi berbobot dan demi rating semata. Menjengkelkan. Termasuk memberitakan kalau Hiroito Jerome gay karena meninggalkan Lana sendiri di yacht."
Semua mata tertuju pada Jerome yang menunduk, memainkan senar gitarnya dan saat pria itu menyalakan rokok elektrik untuk ia hisap. "I really don't care with that jerk."