"Aku masih mengantuk. Serius. Aku tidak bisa pergi kemana pun karena aku ingin tidur."
"Oh, ya. Sialan. Dasar pemalas."
Latisha terkekeh.
"Bagaimana kalau kalian mampir?"
Kairo menggeleng dan Tara mendesis. "Kami punya banyak pekerjaan. Aku shift malam nanti. Dokter jaga seksi ini harus berkeliling untuk menyapa setan-setan di dalam rumah sakit nanti malam."
"Latisha, aku lembur malam ini. Soon. Di akhir pekan kita bisa pesta piyama."
Latisha tersenyum. "Oke."
Di depan sana, tampilan Latisha yang khas seperti orang bangun tidur sangat terlihat jelas. Latisha bukan tipikal orang bangun siang karena dia terbiasa bangun pagi dan tidur sebentar yang berbenturan oleh jam panggungnya yang tinggi.
"Dia sedang bermalas-malasan."
Tara berbisik saat dia melihat Latisha kembali menaruh kepalanya di atas bantal mahal dan tercekat melihat ada tangan lain yang merengkuh punggung sahabatnya.
"Ya Tuhan!"
Tara menjatuhkan ponselnya. Dan layar itu mencium meja dengan keras. Membuat Kairo membelalak bingung dan Tara buru-buru menarik ponselnya lagi, sambungan dengan Latisha telah terputus.
"Ular sanca ini kenapa? Kau tidak lagi sayang pada ponselmu?"
Tara meremasnya keras. Tidak peduli layarnya meninggalkan bekas goresan karena yang ia pedulikan adalah siapa pemilik tangan yang memeluk Latisha tadi. s**t.
"Ada pria di dalam kamar Latisha."
Satu detik.
Dua detik.
"HAH?"
Kairo menyalakan ponselnya, mencoba menghubungi sahabatnya dan Latisha tidak menjawab panggilannya. Ini gawat! Darurat. Bagaimana kalau Mama Tasha tahu? Atau di Lei yang bocor bin ember itu tahu ada pria di kamar si cantik pewaris tahta? Wah. Berabe.
"Tangannya besar. Itu lengan laki-laki dan dia memeluk Latisha. Terlihat kokoh dan—,"
"Sial! Jangan bilang Latisha menyewa gigolo untuk memanaskan ranjangnya yang terlalu lama dingin?"
Dan pada satu lemparan roti panggang utuh ke depan wajah Kairo oleh Shimizu Tara yang menggeram kesal.
***
Getar pada ponselnya kembali membawa kesadaran Latisha pada batas normal. Dia menggeram, menatap nama Kairo dan menghela napas panjang.
"Jangan diangkat."
Latisha mendesis jengkel. Memukul lengan yang hampir kembali memeluknya. "Ini semua salahmu!"
"Salahku?"
"Aku bersumpah kalau Tara melepas ponselnya karena dia terkejut."
Pria itu memutar mata. Sungguh luar biasa santai respon yang dia berikan di saat Latisha kelabakan mencari alasan pada dua sahabatnya di luar sana.
"Kau sama sekali tidak membantu."
"Biarkan saja."
"Terserah." Dan panggilan Kairo terputus begitu saja. Dia tidak mungkin meladeni Kairo yang bertanya tanpa jeda. Mereka berdua tahu Latisha sendiri setelah lepas dari jeratan Calvin yang hampir memperkosa Tara di kamar apartemennya. Lantas bertanya-tanya siapa pria yang bersama Latisha saat ini?
"Kenapa pula kau harus diam-diam menyembunyikan hubungan kita?"
"Karena aku bukan seleramu," ketusnya. Latisha mendengar suara itu mengalun masam. Sama halnya dengan dirinya yang berbalik, sengaja mempertontonkan bagian tubuhnya yang ideal di depan pria itu. "Kau bukan seleraku?"
"Jangan bercanda, Latisha. Semua orang tahu kalau kau berusaha menghindariku."
Sudut bibirnya tertarik naik. "Menghindari dalam arti apa? Aku biasa saja padamu. Pada semua orang. Pada teman-teman rekan profesi."
"Menghindari di luar tapi begitu lekat di atas ranjang. Begitu maksudmu?"
Godaan itu berhasil mencuri satu sampai dua rona merah di wajahnya. Pria itu lekas mendekat, memangkas jarak di antara mereka tanpa menekan perut rata sang kekasih.
"Kau benar-benar luar biasa semalam."
Pujian itu terdengar tulus. Latisha mungkin tidak bereaksi berlebihan saat pria itu tampil memukau di atas panggung. Karena semua orang yang tampil sangat bersinar. Tapi matanya sudah terkunci pada sosok yang menginsipirasinya menulis banyak lagu.
"Kau terlihat biasa saja semalam. Masih datar dan tampak tidak antusias sama sekali," gerutunya dan Latisha tertawa. Ya Tuhan! Dia benar-benar menjadi b***k cinta tanpa satu orang pun tahu.
Saat hubungannya bersama Calvin, semua kamera tertuju padanya. Latisha tidak bisa mendapatkan privasinya sendiri. Kamera di seluruh sudut tempat ada. Entah dari penggemar atau wartawan yang diam-diam haus berita mengekorinya sampai ke ujung dunia.
Kebebasan itu perlu, dan dia membutuhkannya selagi dia masih bisa menjadi Latisha berbeda di atas panggung. Penggemar tahu hal ini, dan sebagian lagi tidak mau mengerti dengan bersikap egois. Mengetahui seluk-beluk idolanya adalah hal yang perlu dan bersifat mutlak.
"Tidak, biarkan tetap seperti ini."
Latisha terlalu nyaman dengan hubungan yang mereka jalani diam-diam. Membiarkan kekasihnya bermain bersama dunianya, dan membiarkan dirinya bebas tanpa perlu takut kamera wartawan akan mengintai.
Jaga jarak dengan lawan jenis selain Kairo itu adalah keharusan. Di sisi lain wartawan dan penggemar, jiwa Magna Tasha yang terlalu posesif juga membuat Latisha sedikit kesulitan.
Mereka akan menghabiskan waktu di rumah atau apartemen Latisha. Kekasihnya punya jam terbang sendiri, jam-jam sibuk sendiri dan Latisha lebih banyak berdiam diri di rumah kala dia senggang. Seperti hari ini. Alana tidak menghubungi, karena memang dia tidak punya jadwal.
"Kairo akan berkunjung?"
"Kami akan pesta piyama di akhir pekan. Kairo tidur di luar dan aku bersama Tara di kamar."
"Apa gunanya kamar tamu?"
"Tidak ada," katanya geli. "Kairo trauma tidur di sana karena Lei sempat menaruh wangi sesajen untuk cepat tidur di kamar itu sehari sebelum Kairo menginap."
"Ibumu tidak mempersalahkannya?"
Latisha menautkan alis. "Lei menaruh sesajen atau Kairo yang menginap?"
"Keduanya."
"Dia mengomel kalau Kairo bersikap cerewet seperti anak perempuan. Aku terkadang berpikir kalau Kairo anak kandung ibuku dan bukan aku. Mereka terlihat sangat mirip. Ibuku bergengsi tinggi. Kalau aku datang bersama Tara, dia akan bertanya kenapa kembaran platypus tidak datang dengan bisik hati-hati. Lalu Lei akan meledeknya. Dan seperti itu."
"Lei tidak tahu diri."
Latisha tertawa. "Dia pria baik. Ibuku diam-diam menyayanginya."
Mereka terbuka satu sama lain. Tidak peduli bagaimana dinginnya sang kekasih di depan kamera dan publik, dia akan menjadi pria paling hangat sekaligus menjengkelkan jika mereka hanya berdua. Pria penuh kejutan yang suka membuat jantung Latisha berdebar tak nyaman.
Telapak tangan kasar itu menyentuh pipinya. Latisha nyaris kembali dalam larut saat mendengar dering ponsel berbunyi, dan pria itu mengumpat pelan.
"Apa?"
"Lima belas menit lagi aku sampai."
Latisha menautkan alis. Melihat pria itu terburu-buru memakai kemeja dan celana kainnya kembali, dia beranjak bangun dengan malas. Duduk di atas ranjang dengan pandangan menelisik. "Kau mau pergi?"
Pertanyaan bodoh karena Latisha merasa kosong sekarang. Sesaat dia melihat kekasihnya tampak berpikir, dan kemudian meraih kunci mobil bersama dompet. Membiarkan dia memegang ponsel ketika langkahnya memutari ranjang untuk menghampirinya. Memberinya lumatan manis di bibir sebelum berjalan pergi, membiarkan Latisha kembali berbaring dan tidur.