"Apa-apaan ini? Pesta sampah."
Lei mengusap dadanya yang berdebar. Mendengar u*****n dari sang majikan besar. Gemuruh itu rupanya terdengar sampai ke telinga Yang Mulia Magna Tasha. Karena tatapan wanita penuh pesona itu mendelik sinis ke arahnya.
"Kau lebih baik diam, Lei."
"Aku diam dari tadi, Nyonya," balas Lei getir. "Bibirku ini seperti dijahit sejak tadi."
"Bukan kau, tapi suara hatimu. Berisik."
Ya Tuhan. Sejak kapan Roy Kimoci yang terkenal seantero Jepang sebagai anak indigo dahsyat itu merasuki tubuh majikannya?
"Maaf."
Lei tertunduk lesu. Semua kalimat u*****n untuk Nyonya Tasha tidak lagi dia ucapkan sembarangan di dalam hati kalau begini caranya.
"Ayo, sapa pemilik gedung ini dulu."
Suara sang suami mengalun lembut. Lei diam-diam menghela napas lega karena kebijakan Magna Liam membuatnya bisa mengendurkan tautan dasi yang terasa mencekiknya. Ini dasi mahal. Pemberian dari Magna Latisha, idola sampai matinya yang murah hati dan tidak sombong. Tidak seperti ibunya yang minta dipecut tambang dari neraka j*****m.
"Ambilkan aku dan istriku minum, Lei. Kami akan menyapa keluarga itu dulu di sana."
Tasha menoleh di saat Liam merangkul bahunya untuk pergi. "Ingat, aku mau jus jeruk. Jangan asam, tapi kecut sedikit boleh."
" ... oke, Madam."
Lei terdiam kaku. Mencoba mengurai perbedaan asam dan kecut di dalam kepala. Otak pentium empatnya mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan dini. Dompet boleh tebal, tapi pikirannya yang normal lama-lama mengikis karena bergaul dengan wanita empat dimensi sekelas Magna Tasha dan hobi gilanya merawat reptil di rumah.
Hidungnya yang sudah tercemar karbon monoksida segera mencari keberadaan meja minuman dengan cepat. Meminta pelayan berdasi kupu-kupu untuk mencarikan jus jeruk dan air putih dingin untuk kepala keluarga yang diam-diam menghanyutkan.
"Apa ini asam?"
"Sedikit."
"Aku mencari jus jeruk yang tidak asam, tapi sedikit kecut. Boleh?"
Seketika pertanyaan random-nya berhasil membuat kening pelayan berdasi itu kebingungan. Dia menatap Lei yang mendesah pasrah. "Yasudah. Ini tidak apa. Terima kasih."
"Sama-sama. Nikmati pestanya."
Asha menggeleng menatap kedua anaknya yang berlari kesana-kemari dengan tawa. Ken dan Hani pintar bergaul karena memang mereka ramah terhadap orang lain. Asha mengajarinya untuk tidak bersikap ketus seperti ayah atau pamannya yang keras kepala.
Dan beruntung, kedua malaikat kecilnya menurut tanpa pernah mau bertanya.
"Sayang, jangan terlalu jauh."
Asha meraih tangan putrinya yang hampir tersandung gaun pestanya sendiri. Dengan penampilan cantik Hiroito Hani, membuat beberapa tamu gemas. Rambut hitam gadis manis itu dikepang dua oleh sang ibu. Diberi pita bergambar ungu dan jepitan manis lainnya untuk mempertahankan tatanan rambutnya sempurna seperti di awal.
Ken masih terkikik saat ada teman lama sang ayah mengajaknya bicara. Ini pesta milik keluarga besarnya. Pesta perusahaan keluarga Hiroito yang telah lama malang melintang di dunia bisnis hampir delapan puluh tahun.
Asha menipiskan bibir. Menarik lengan jas sang suami saat Ian yang fokus, langsung berubah arah. Menatap istrinya dan pada pasangan keluarga Magna yang hadir ke pesta mereka.
"Oh, selamat datang."
Mengesampingkan perasaan baper sang kakek, Hiroito Madara yang sempat ingin menjodohkan Magna Liam pada Hiroito Tamara, anak perempuan satu-satunya di keluarga. Sayang, dia malah mendapatkan Hiroito Roy, pemilik start up ternama yang ada di Asia saat itu. Tidak apa. Yang penting kaya, ujarnya saat pasrah kalau putrinya tergila-gila dengan Roy dibanding si tampan kharismatik Liam dulu.
Dan mendiang sang kakek pasti mengutuk karena pasangan itu melahirkan Hiroito Jerome yang memilih untuk menyukai sesama jenis daripada perempuan cantik sekelas Magna Latisha.
Terkutuklah rudal Jerome!
Ian bisa mendengar suara dari dalam kubur Hiroito Madara menyapa telinganya.
"Senang melihatmu, Ian."
Suara Magna Tasha mengalun ramah. Dia tidak segarang yang orang bicarakan. Termasuk teman gibah sang ibu yang kerap kali berkata kalau Magna Tasha adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
"Halo. Selamat datang."
Asha menjabat uluran tangan pasangan suami istri itu dengan senyum. Saat mata Tasha menelusuri satu-satunya menantu yang ada di keluarga Hiroito, mengulas satu senyuman.
"Aku pikir Asha yang Ian nikahi perempuan buluk yang terkenal karena menjadi simpanan direktur maskapai penerbangan ternama. Ternyata beda. Aku salah orang."
Senyum Asha menguar canggung. Saat Ken memeluk kakinya dan Hani meminta sang ayah untuk menggendongnya.
"Berapa usianya?"
"Ken lima tahun dan Hani tiga tahun."
"Ya Tuhan, manis sekali."
Tasha mengulurkan tangannya untuk mencubit kecil pipi tembam Hani, dan mengusap rambut legam Ken dengan sayang. Terlihat jelas kalau perempuan kelas atas ini mencintai anak-anak.
"Mari, orangtuaku ada di sana."
"Kami permisi dulu," suara berat Liam membuat Asha dan Ian mengangguk bersama. Menarik napas panjang saat Asha merasakan sentuhan tangan lain di rambutnya.
"Yang dia bicarakan Asha mana? Asha jadi-jadian yang membeli ijazah di pasar loak?"
Ian hanya tertawa. Rupanya nama gundik itu sempat membuat media heboh karena mengira istri Hiroito Ian bermain api.
Asha menggeleng singkat. Tidak pernah melupakan fakta tentang silsilah keluarga suaminya yang sempat tarik urat dengan keluarga lama Magna yang terkenal sakti. Mereka hanya tidak ingin mencari masalah selain membuat rekan baru demi kepentingan banyak urusan selain perang urat.
Pelet apa pun tidak mempan dan berimbas balik pada mereka yang menyerang. Keluarga yang masih punya keturunan garis biru dan bangsawan itu satu-satunya yang mampu menyandung keluarga Hiroito dalam menaiki tangga kesuksesan dalam bisnis mereka.
Seperti yang sering Hiroito Mazda kumandangkan selagi Asha dan Ian masih berpacaran dulu.
"Jatuh bangun aku membangunmu. Namun si itu tak mau mengerti. Kubawakan segelas air, namun kau meminta lautan."
"Senang melihatmu di sini."
Basa-basi khas Hiroito Tamara membuat senyum tipis Tasha terbit. Dia menatap Tamara dengan tatapan antisipasi. Mengenal betul mantan perempuan yang hampir menjadi istri suaminya di masa lalu. Ini seperti arena pertarungan berdarah.
"Terima kasih karena telah mengundang kami."
Suara Liam mengalun santai. Membiarkan masa lalu biarlah masa lalu. Tidak peduli dulu mereka sedekat nadi, sekarang sejauh matahari.
Bahkan Tasha masih ingat persis saat Hiroito Tamara muda sering bernyanyi, "sekarang atau lima puluh tahun lagi kumasih akan tetap mencintaimu."
Pret.
"Aku harap ini menjadi gerbang kalau hubungan kita membaik setelah ini."
Delapan puluh tahun membangun bisnis, delapan puluh tahun juga menarik urat. Tasha tahu benar silsilah keluarga suaminya yang super duper kaya ini sejak dia masuk menjadi bagian mereka yang sakti.
"Ya, semoga."
Hiroito Roy meminta pelayan untuk membawa minuman. Dan Tasha menolak. Takut kalau-kalau Tamara menaburkan bubuk sianida ke minumannya.