8. Mengulas Memori

2170 Words
     Bercak luka itu masih ada dan melekat sampai jiwanya terlepas. Yoanna akan tetap menghapal bagaimana sayatan itu berlangsung berasal dari sentuhan Jee. Meski tidak sepenuhnya itu kesalahan Jee namun Yoanna bertenaga untuk meyakini semua sebuah kesalahan dari kecurangan Jee. Membenci bukan jatah dalam pikiran namun Yoanna kembali mengulas tentang pria Jerman berdarah Indonesia itu.      Sudah hampir dua jam acara berlangsung dan Jee hanya berperan menjadi tamu dan memilih untuk duduk di antara kandidat. Lebih dari panorama yang biasa Jee nikmati, ternyata wajah Yoanna sama sekali tidak berubah. Hanya saja rona merah di pipi dan bibir Yoanna semakin menegaskan wajah cantik nan anggun, Jee sama sekali gagal untuk pergi meninggalkan tatapannya.      "Y--Yoanna," ulang Jee mengeja nama dari inisial Y. "Yoanna, Marcella?"      Dari belakang berjarak lima meter dari tempat duduk Jee di sana Aloysia mematung karena tidak ingin melewatkan apa yang dilihat. Jee, dan fotografer wanita yang menurut Aloysia sangatlah cantik. Bukan karena iri atau memang Aloysia akan kalah dalam mendapatkan perhatian Jee, melainkan Aloysia meremas hasil tes laboratorium. Ada yang membuat kesedihan Aloysia mencekam batin saat dokter menyatakan ada tumor dalam otaknya.      Saat Jee bangkit dan hendak ke depan, Aloysia lebih dulu berjalan di depan Jee dan seketika datang ke tempat Yoanna.      "Hai," sambut Aloysia mengagetkan semua tamu dan kandidat. "Maaf Tuan, dan Nyonya. Saya ingin berbuat tidak sopan sebentar."      Semua orang terdiam. Aloysia mulia menarik pengeras suara mendekat ke bibir. "Aku termasuk wanita yang tidak suka basa-basi, jadi langsung saja jika aku ingin..."      Napas Aloysia sesak tanpa ingin menyelesaikan perkataannya. Tapi Aloysia bukan ingin menguji diri saat melihat kembali kertas di tangannya.      "Sebagai calon istri Tuan Jamie sekaligus CEO, aku ingin yang terbaik di JE'O. Tapi dengan sangat menyesal untuk acara hari ini, karena saya dan Tuan Jamie memutuskan tidak akan menentukan pemenang. Saya ingin semua yang ada di sini tanpa terkecuali memberikan pendapat dan kalian akan..."      Jee menatap kejam saat Aloysia berdiri seenaknya di sana. Namun keputusan untuk menghentikan di depan para wartawan tidaklah mungkin. Semua akan mengemas berita yang terdengar menyebalkan jika Jee bertengkar dengan Aloysia saat ini.      "Memberikan satu suara kalian untuk memilih siapa yang pantas menjadi fotografer andalan di perusahaan JE'O." lalu tangan Aloysia mengendalikan kode untuk anak buah Jee mengatur semua yang dimaksud Aloysia.      Dari arah berlawanan Yoanna nampak tegang karena sebenarnya telah memasuki tahap akhir dan Yoanna menjadi kandidat terakhir dari lima fotografer profesional. Baiklah, Yoanna tidak akan menyesali hal ini jika memang berhasil dikalahkan. Lagipula tujuan Yoanna di Hamburg adalah menerima pekerjaan sial demi biaya pengobatan Shaila.      Acara kembali berjalan tanpa kuasa yang diarahkan oleh Jee. Namun Jee malas berdebat dengan wanita yang satu itu dan memilih diam di tempat semula, dengan tangan dan kaki ingin berontak menyakiti Aloysia tapi itu sangat tidak mungkin. Tapi tetap menatap wajah Yoanna saat berekspresi tersenyum atau saat gugup mengulang kesenangan Jee dalam angan. Sampai semua yang dilalui di acara kontes Jee hampir tidak tahu apa dan sampai mana acara berlangsung.      Waktu terus berencana dan kontes telah menemukan ujung sampai proses pembuktian fotografer baru di JE'O dari hasil pemilihan para tamu. Satu persatu hasil terbaca oleh komputer hingga tahap akhir sudah tampak di layar. Dari sanalah Jee mengikat konsentrasi saat penetapan fotografer andalan perusahaan berasal dari Kanada bernama Arnold Bautista. Kuasa Jee pun seakan tidak berguna saat penentuan sudah menemukan keadilan. Jee segera meninggalkan ruangan tanpa ingin tahu bagaimana acara selanjutnya akan terjadi.      Sesal sudah biasa Jee hadapi. Tapi mengemas kekecewaan acara hari ini sudah melumpuhkan tenaga dan Jee tidak ingin berharap lebih lagi. Lagipula usaha Jee hanya dibalas rasa tidak peduli Yoanna terhadapnya, seakan Jee tidak pernah nampak.      "Males ya liat kandidat kamu nggak lolos?" tanya Lucky dari belakang saat Jee akan membuka pintu ruangannya.      Sekilas saja Jee melihat wajah nampak memberi ejekan.      "Kan namanya juga kontes Jee, ada menang dan kalah." sindir Lucky mengekor di belakang Jee. "Itu wajar 'kan?"      Kata-kata itu. Mengapa terdengar menyebalkan? Jee hanya memutar kursi tempat duduknya. Menyenderkan punggung kemudian meletakkan kedua tangan di kepala sebagai alas.      "Aku juga nggak tau kenapa Aloysia bisa mengendalikan semua ini," Lucky membuka kemudian menutup korek api zippo-nya. "Apalagi saat ngasih ide yang brilian kotornya itu, jujur ini adil Jee."      Ah sialan! Jee hanya memberi otaknya untuk bersantai sejenak. Menatap isi langit-langit ruangan nampak lebih baik daripada mendengar ucapan Lucky.      "Sepadan sih sama hasilnya, Arnold lebih profesional dari Yoanna. Cuma Arnold yang berhak berada di posisi itu Jee." imbuh Lucky mulai menawarkan api di depan mata.      "Kalian itu dibayar bukan buat ceramah!" Jee mulai kesal.      "Loh, apa gunanya temen Jee? Kalau ada kesalahan yang kita lakukan itu udah tugas temen buat negur!" klaim Lucky membenarkan.      "Aku lagi males bahas tentang kesalahan dan temen-temennya." ucap Jee masih dengan kursi kebesarannya.      Saat ini Jee tidak ingin memberi kekuatan dalam hatinya. Untuk apa? Semuanya berdampak sama, Jee tetap tidak dapat mengulas semua kecuali memori tentang Yoanna. Ingatan yang tidak ada pudar meski hatinya terus mendeskripsi ribuan kali.      Tempat duduk yang semula terlihat nyaman sudah cukup menghibur dan Jee bangkit untuk mengambil mantel cokelat tua lalu ia lekatkan di tubuh. Jee hanya sekilas memandangi berkas yang harus ditanda tangani, lalu berlalu meninggalkan ruangan megah memiliki desain modern pada arsitektur banguna dan aksen lukisan abstrak di dindingnya.      Lorong yang menembus ke bangunan acara berlangsung terlihat sangat tidak menarik di mata Jee, tapi ia hanya berjalan tanpa peduli apa yang tengah mendera hati dan pikiran. Kerumunan tamu saat keluar dari ruangan pun tidak menyita pandangan Jee, tetapi objek indah tertangkap manik mata Jee dan saat ini Jee hanya bisa menghentikan langkah memerhatikan Yoanna dan beberapa fotografer lain berjalan beriringan.      Bisa bersanding dengan para senior favorit dan merupakan fotografer terkemuka adalah bukan mimpi Yoanna sebelumnya. Tapi detik ini Yoanna dapat secara langsung bersalaman mengundang keakraban baru, Yoanna tidak ingin berhenti menyambung waktu agar terus berbincang dengan sang fotografer handal sekelas Arnold.      "Tapi aku sangat kagum dengan hasil kerjamu Nona Yoanna," sambung Arnold berulang kali memuji hasil foto Yoanna. "Menggabungkan alam dan acara festival. Sangat luar biasa, ngomong-ngomong bagaimana ide itu bisa muncul?"      "Hanya karena melihat debu-debu beterbangan di udara bebas saja. Tapi itu sebagai efek blurb alami dan aku memanfaatkan kesenangan mereka." jawab Yoanna ingin menunjukkan kemampuan di depan banyak orang.      "Wow, itu keren. Tapi em... Aku juga memanfaatkan sesuatu dari hasil jepretanku." terang Arnold tidak ingin kalah tentunya.      "Oh, benarkah? Bisa Anda menunjukkan kepada saya Pak?"      "Ya, tentu. Ada di ruangan saya, mari!" ajak Arnold menunjukkan arah lurus menuju kantor baru Arnold.      Perbincangan terus berlangsung saat Yonna hendak menuju ruangan Arnold. Kesenangan Yoanna tampak nyata saat itu sampai langkah Arnold yang terhenti mengunci senyuman Yoanna sejenak. Dari jarak lima meter ternyata Arnold sudah melambai ke arah Jee sehingga dengan jelas Yoanna mempertemukan tatapan itu lagi.      Dari jarak semakin dekat Jee menghampiri karena Arnold sudah merentangkan tangan untuk menyambutnya. Sekitar satu meter Jee menemukan manik mata itu lebih cerah saat melihat.      "Hai Tuan muda, bagaimana kabar Anda tuan Jamie?" sambut Arnold dengan keakraban seperti biasa.      Jamie? Dalam hati Yoanna mengeja nama tersebut hingga Yoanna sudah memahami dengan nama yang hampir membuat jantungnya meledak. Bagaimana tidak? Yoanna kini tahu dengan siapa ia bekerja sebagai pendamping Arnold.      "Baik,"      Suara bass itu mulai menggedor detak jantung Yoanna. Apalagi Jee saat ini tanpa lelah memperhatikan Yoanna ditambah Jee mulai memberikan tangan untuk Yoanna sambung dengan jemarinya. Yoanna mematung beberapa detik sampai Arnold menyadarkan semua  kekacauan dalam hati Yoanna.      "Perkenalkan, nama saya Jamie." lagi. Jee mengulang jawaban yang tidak sempat terdengar oleh Yoanna.      Tanpa mengundang keraguan Yoanna merangkap jemari Jee saling menuangkan kahangatan di telapak tangan Yoanna.      "Y--Yoanna," sebisa mungkin Yoanna menghindari tatapan Jee. "Yoanna Marcella."      Sengaja Jee menunda tangan Yoanna terlepas dan mengunci genggaman mereka tanpa disadari oleh orang-orang karena berbagai kesibukan. Belum cukup hanya dengan sebuah jabatan tangan, Jee lalu medekatkan wajahnya hingga ujung hidung Jee menyentuh daun telinga Yoanna.      "Gimana kabarnya, Y" bisik Jee dengan suara samar-samar menegaskan pertanyaan.      Perasaan Yoanna mecekam karena suara napas Je terdengar sangat jelas. Berat dan embusan anginnya menuang kehangatan hingga ke leher.      "Aku masih nyimpan barang kamu saat di lereng."      Tidak. Yoanna melepas paksa tangan Jee dan segera menjauh dari pandangan lain pria di depannya. Lalu Yoanna tetap menjaga senyuman di depan orang-orang agar semua tidak menyadari apa yang baru saja Jee bisikkan.      Barang? Yoanna pesimis mendengar ucapan Jee. Dan memilih untuk berlalu tanpa sepengetahuan Arnold, tapi menghindari tangan Jee memang tidak mungkin. Yoanna sama sekali tidak menyangka Jee akan menghalangi dan menjerat tangannya lagi.      "Apa waktu 6 tahun itu nggak cukup?" tandas Jee menarik hingga Yoanna tepat di pelukannya.      Saat semua terkecoh seolah asyik dengan kegiatan masing-masing, Yoanna tetap melempar rasa runyam yang merenggut kesenangan hari ini.      "Maaf, Anda kurang sopan Tuan!" jawab Yoanna dengan bahasa lain.      Bahkan melepas dan menjauhi saja Yoanna gagal saat Jee terus menguasai langkahnya. Kini tubuh Yoanna terjerumus di depan pintu lift, lalu tidak lama lift terbuka dan usaha untuk bebas sia-sia. Yoanna terdorong memasuki ruang sempit alat bertenaga listrik gedung bertingkat. Ketika lift kembali tertutup, keadaan ini semakin mencekam.      Ini bukan kesempatan bagi Jee. Tapi apa salahnya jika waktu tengah berpihak saat ini dan Jee menikam tatapan Yoanna, lalu Jee mengikat tangan Yoanna dengan satu cengkeraman dan menyudutkan punggung Yoanna.      "Aku nggak kenal sopan," tidak masuk akal memang karena Jee merasa tubuhnya panas. "Bahkan dunia aku sendiri aja aku udah nggak kenal!"      "Aku nggak ada urusan lagi sama kamu!" bentak Yoanna menendang perut Jee namun usahanya tidak berhasil.      Jee tidak peduli dan menyibukkan jari telunjuk mengikuti rahang yang terbentuk di wajah Yoanna. Bergulir hingga dagu Yoanna lalu Jee membuat Yoanna mendongak mempertegas tatapan mereka.      "Oh ya? Tapi kita akan terus bermasalah semenjak malam itu." jawab Jee beralih bahasa.      "Nggak! Kita nggak saling kenal! Lepasin!" teriak Yoanna menggema. Menggeleng serta mencerna baritonnya mengguncang rasa khawatir Yoanna tentang Shaila seketika.      Tidak ada ancaman membagi rasa takut Yoanna. Tetapi Shaila, terbesit prasangka jika Jee akan merebut Shaila suatu saat nanti. Kemungkinan itu akan muncul dan menjadi nyata, karena biar bagaimanapun Jee berhak atas diri Shaila. Ya, berhak! Kata itu akan melumpuhkan kekuatan Yoanna tentang bagaimana hidup ini berjalan dengan rintangan.      Jujur. Bukan hal ini yang Jee ingini saat pandangan itu berulah dan menggerogoti semua kewarasan, mencabik masa itu berulangkali.      "Kita emang nggak saling kenal Y. Tapi itu salah wajahmu yang nggak pernah telat datang setiap hari bahkan jam di pikiranku."      Apa? Yoanna sulit menjaring ucapan Jee yang terdengar begitu mengerikan. s**t! "Kita bisa enjoy seperti malam itu!"      Manik mata dan senyuman Jee menajam. Mengeluarkan seluruh kegilaan saat Jee menarik jarak dengan Yoanna lebih dekat. Harum napas Yoanna pun terjerumus dalam rongga d**a yang seketika Jee terlihat mabuk.      Lift berulang kali terbuka. Tertutup dan tidak terisi penghuni lagi setelah melihat aksi Jee mengunci pergelangan tangan Yoanna. Membawa tangan itu ke atas. Tidak pula kelakuan Jee hanya merancang kelemahan saat Yoanna sudah menguras energi untuk melawan, tetapi Jee mengoyak perasaan Yoanna saat ini. Sia-sia saja ketika Jee memang sengaja memperbudak tenaga dan pikiran Yoanna.      "Aku cuma minta kamu nggak lari lagi! Sama sekali jangan pernah coba-coba pergi, kalau kamu nggak mau harta yang paling berharga itu aku rebut paksa!" bisik Jee saat di tengah-tengah Yoanna meraup udara dalam napas.      Rengkuhan Jee terlepas. Yoanna mendorong tubuh tegap di depannya hingga mendekat pintu, lalu Yoanna memburu tatapan matanya saat Jee sudah mulai memberi tujuan dengan ancaman.      "Emangnya kenapa aku harus tetap tinggal? Kamu, aku, kita bukan siapa-siapa! Kejadian itu udah lama, semuanya sia-sia untuk dibahas. Pak Jamie." air mata Yoanna menggenang di pelupuk mata. "Saya di sini cuma mencari pekerjaan, Anda atasan saya jadi tolong biarkan saya tetap sopan sama Bapak!"      Tanpa berkedip air mata Yoanna sudah terjatuh ketika mengingat Shaila. Meski Jee tidak mengerti seluk beluk tentang anaknya tetapi Yoanna mulai terjerat ke lubang tak berdasar. Yoanna tidak ingin ucapan Jee terbukti.       "Aku udah coba cari tau siapa kamu, nama, berasal dari mana?" Jee mendekati Yoanna. "Semuanya udah aku lakuin. Buat apa? Buat aku ngerti seperti apa rasanya bersalah?"      Tangan dan kaki Yoanna tidak mampu berpijak meski terlihat tubuhnya benar-benar kuat seolah tidak mampu ditumbangkan. Tapi nyata hari ini saja, Yoanna merasa lemah.      "Nggak ada kesalahan yang Bapak lakuin, ini salah saya!" terdengar bunyi khas pintu lift terbuka. Yoanna segera membenarkan baju dan kamera yang hampir terjatuh.      "Saya permisi."      Tubuh Jee berbalik sampai tatapan mereka terpisah lagi saat pintu benar-benar tertutup. Jee mematung tanpa bisa melakukan kebebasan lagi. Entah apa yang baru saja ia lakukan tetapi Jee menikmati aroma itu lagi. Napas yang sempat Jee dengar disela-sela kesibukan asmara waktu itu. Bisikan tanpa kata mengikuti kenikmatan yang Jee beri dan saling meraup ambisi dalam penyatuan tubuh.      Jee hampir melupakan bagaimana sikapnya berjalan sampai saat ini, bahkan menatap Yoanna dari belakang saja Jee merasa otaknya berpikir keras. Jantungnya berpacu keras mengabarkan bahwa ia tengah dirundung rasa aneh penuh ketamakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD