4. Dalam Angan Jee

2005 Words
Hamburg, Jerman      Rapat sudah selesai sekitar lima belas menit sebelum sebuah teriakan mengganggu ketenangan pria berusia 33 tahun bernama rahasia Jee. Bukan hari ini saja sosok tampan berdarah Indonesia-Jerman dengan pancaran mata cokelat tua, disertai bibir tebalnya yang seksi itu lebih suka menikmati ketenangannya yang terkesan tiba-tiba. Tapi tidak! Sudah eman tahun lamanya Jee lebih menyukai kegiatan penting dan terkesan serius daripada menjadi seorang model atau bintang film panas seperti dulu. Meski Jee masih berhubungan dengan dunia hiburan, tetapi Jee berupaya memberi instruksi untuk perusahaannya yang ia dirikan tiga tahun lalu saja. Jee menjadi pemimpin utama namun Jee lebih sering menghabiskan waktu dengan dunianya sendiri, yaitu Jee mulai menyukai dunia fotografi. Meski Jee tidak mahir menggunakan kamera tetapi Jee berani membayar mahal untuk fotografer pribadinya.      Suara gaduh dari pintu yang dipaksa untuk terbuka tidak membuyarkan lamunan yang sudah enam tahun menggerayangi angan Jee. Bayangan dan aroma vanilla pada seorang wanita berwajah garang yang menurut Jee itu sangat menggairahkan. Alis tebal dan bibir dilapisi pelembab yang sudah membuat mimpi dan kegilaan Jee terhadap sang fotografer tidak pernah luntur, apalagi saat Jee mengulang di mana wanita Asia itu begitu berani membentak dan mengatur-atur pose Jee dalam proses pemotretan. Sungguh, gejolak itu meradang tetapi impian untuk bertemu sudah sangat mustahil. Jee sudah berusaha mencari tahu di mana gadis itu tinggal tetapi Jee hanya menemukan satu kenangan berupa nama inisial 'Y' di lentera.      Berkas yang seharusnya Jee tandatangani hanya terisi sebuah coretan yang tidak jelas karena tangan Jee memainkan bolpoin di atas surat dokumen. Saat Jee sadar melakukan kesalahan, Jee hanya membuat mudah dan menyuruh sekretarisnya memperbaiki. Tapi bukan karena Jee tahu jika lamunannya semakin dalam saja tetapi Jee melihat pintu berhasil terbuka.      "Kau tidak mendengar suaraku? Kau juga mengabaikan panggilan dariku hah?!"      Dari pintu megah itu meloloskan tubuh molek mendatangi tempat duduk Jee. Amukan yang selalu Jee dapatkan dari seorang Aloysia Bruna wanita asli Jerman yang tidak lain adalah tunangan Jee. "Sayang, kau tidak mendengar aku berbicara?"       Jee melirik sekilas wajah cantik Aloysia lalu tatapannya kembali ke arah Yudhistira. Jee menyenderkan punggung ke kursi kemudian mengangkat satu kakinya, jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja seolah mengiringi nada kematian untuk pria setengah wanita yang biasa disapa Ira. Seorang asisten yang dipilih Jee untuk Aloysia.      "Em... Maaf bos," Ira menyeka rambut wig yang menutupi mata. "Aku udah larang tawon ini buat nggak masuk, cuma eike gagal. Tamparan dia di pipi panas banget Bos!"      "Bawa dia keluar!" Suara bass itu memberi kode. Jee bosan jika harus mendengar ocehan Aloysia ataupun Ira.      Aloysia merasa dipermainkan oleh bahasa asing di telinga. Aloysia geram lalu mengacak-acak dan akhirnya menarik wig Ira. "Bisakah kalian berbicara bahasa yang bisa aku pahami? Aku mohon bicaralah dengan bahasa Jerman."      "Eh, bos itu bosen denger suara kamu. Nggak mutu tau nggak ladenin kamu terus-terusan!" Ira mulai muak dengan sikap Aloysia.      "Apa? Apa yang kau katakan Ira? Jangan mempermainkan aku, kau bisa..."      "DIAM!" bentak Jee memukul meja.      d**a bidang dan punggung lebar memiliki tinggi badan 2 meter itu bangkit lalu berjalan sambil menyambar mantel di badan kursi. Jee tidak menggubris tangan dan teriakan Aloysia saat mencegahnya keluar, Jee sudah bosan setiap kali wanita yang dipilihkan ibunya menjadi calon istri itu harus mengganggu kehidupan Jee. Walau dulu Jee sering menambah koleksi wanita di setiap Minggunya untuk menemani kesenangan Jee di ranjang, tetapi semenjak mengenal wajah anggun sang fotografer itu Jee sudah mengubah semua keinginan dengan cara ia hidup tenang dan bersosialisasi sesuai keinginan dan bukan sebagai model terkenal.      Sudah hampir enam tahun kepergian Yoanna telah mengubah sosok binal Jee menjadi pribadi pria yang lebih baik dan bijaksana. Tidak jarang Jee hanya berbicara saat-saat penting saja, seperti saat ini Jee menanggapi rekan bisnis di luar ruangan tepatnya di lantai dasar.      "Kabarku baik, terima kasih."      Belum sempat Jee memberi sambutan tetapi teman yang tidak lain sahabatnya dari Indonesia sudah lebih dulu mengukuhkan keakraban mereka. Bisnis yang mereka jalin selama tiga tahun sudah cukup menemukan ketenaran di kalangan para petinggi dan artis besar di Eropa. Pria bernama Lucky Pratama telah membawa pengaruh besar di perusahaan JE'O Pictures dengan mengadakan event atau bahkan kontes adu bakat para fotografer profesional di dunia setiap tahunnya.      "Aku bawa satu model terkenal dari Jakarta dan satu Fotografer handal di perusahaan dalam negeri." apa yang Lucky ajukan selalu mendapat persetujuan Jee. Tapi nampaknya kali ini Jee tidak memiliki keinginan mengadakan event dan kontes lagi.      "Hm... Kamu bisa tangani ini, aku cukup jadi sponsor acara mu aja. Ck, dan kayaknya tahun depan aku tutup acara event itu." jawab Jee melindungi diri dari hawa dingin dengan memakai mantel.      "Loh, kenapa? Acara itu berpengaruh Jee, kamu nggak pengen ketemu cewek itu lagi? Siapa tau aja kan dia muncul dan jadi peserta." sengaja Lucky memberi semangat untuk Jee.      Tangan Jee mengusap rahang dan memandang setiap arah di lantai dasar perusahaan. "Udah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Jee di tempat umum! Mami bisa kejang-kejang."      "Tapi nama itu keren, daripada Jamie atau Zain. Itu nama terlalu elegan, karena kamu lebih pas buat tempatin nama HWOT itu." imbuh Lucky dengan bibir sedikit maju ke arah wajah Jee.      Meski Lucky tertawa lepas tapi bagi Jee itu sama sekali tidak lucu dan Jee memilih meninggalkan Lucky saat terlihat wanita dengan gaun ketat berwarna merah darah melenggok ke arahnya. Jee berusaha menghindar lagi dari Aloysia.      "Cegah tawon itu supaya nggak ngikutin aku pergi." bisik Jee menepuk pundak Lucky.      Sedikit melenguh kesal karena Jee selalu memberi tugas yang bukan keahlian Lucky. Walau terpaksa Lucky segera menerjang langkah Aloysia. "Hai Bruna. Maukah kau menjadi model di festival nanti?"      Keberadaan Jee sudah jauh dari pandangan dan Aloysia mendorong d**a Lucky. "Hei, kau pesuruh Jee kan? Katakan padanya jika aku akan memberinya pelajaran jika dia masih saja mengabaikan aku!"      "Nggak usah diajarin juga dia udah mahir masalah s*x, cuma sayangnya dia udah nggak on deket kamu lagi. Udah bosen, dia tegangnya kalau liat si Y itu." balas Lucky diakhiri dengan siulan.      "Kenapa kalian selalu membuatku kesal hah?!" protes Aloysia benar-benar muak karena gagal mengartikan ucapan Lucky.      Lucky sempat mencegah Aloysia pergi namun karena sudah terlanjur, akhirnya Lucky hanya bisa memandangi tubuh Aloysia semakin jauh. Dalam kesempatan untuk mendekati Aloysia selalu gagal, apapun usaha Lucky agar Aloysia sedikit merespon perasaannya sia-sia. Lucky menelan kembali asa itu dengan menyusul Aloysia dari belakang. [...]      Keseharian mengurus beberapa kegiatan terutama persiapan segala sesuatu untuk acara kontes sudah menguras bekal kekuatan Jee hari ini. Di saat santai ketika spa pun Jee masih saja menerima panggilan dari rekan bahkan bos-bos lain yang ingin menawarkan kerja sama, beberapa memang harus Jee tolak karena tidak sebanding dengan keinginan juga prosedur.      Rasa jus jeruk di tangan tiba-tiba hambar saat Jee mendengar ponselnya berdering dan itu terlihat panggilan dari Aloysia. Karena terlalu muak dan Jee seolah diintai melalu jaringan akhirnya Jee menenggelamkan ponsel di bathtub tempatnya berendam saat ini, tetapi nampaknya hari memang gemar memberi Jee kesibukan pasalnya pelayan memberitahu jika rekan Jee dari Indonesia yang merupakan mantan CEO JE'O Picture Dimas Subroto menelpon. Sempat malas tetapi Jee seperti teralihkan ketika mendengar kenyataan jika dua orang yang akan meramaikan kontes sebuah karya fotografi dari Indonesia akan datang.     "Gini Jee. Em maksudku Jamie, untuk fotografer ini aku belum pernah liat hasil jepretan dan cara kerjanya gimana. Cuma model aku ngerengek buat aku cobain si fotografer ini," terdengar rekan Jee terbatuk. "Ya mau nggak mau aku turutin."      "Udah gitu aja? Sesimpel itu kamu ambil keputusan? Jauh-jauh dari Indonesia kamu bawa fotografer amatiran?" acuh Jee meremehkan.     "Tunggu dulu Jee, aku bakal tanggung jawab kalau fotografer aku ini mengecewakan. Aku janji bakal ganti rugi, bahkan aku bakalan cari gantinya yang lebih spektakuler lagi."      Huh. Jee merasa lelah memegang gagang telepon. "Aku nggak perlu ganti rugi kalau emang kamu mampu buktiin omongan mu!"     "Tapi emang ini janji aku Jee. Aku bakal kasih yang terbaik buat JE'O Picture." balas teman Jee antusias.      "Ya, oke. Itu terserah kamu. Tapi ngomong-ngomong kapan kamu ke Jerman?"     "Aku belum tau pasti kapan bakal ke Jerman lagi. Tapi aku janji secepatnya main-main ke sana kalau istri aku udah lahiran."      Jee tersedak jus jeruk. "Lahiran? Kamu bakal punya baby lagi?"     "Bukan Jee, istri aku yang lahiran dan punya baby. Aku kan jatahnya buntingin anak orang." Asal jawaban itu sudah membuat Jee getir.      Bukan lagi ingin bergurau tetapi Jee merasa lemah mendengar kenyataan tentang karunia seorang buah hati. Meski Jee ikut berbahagia karena beberapa temannya telah berhasil mewujudkan kesempurnaan rumah tangga dengan seorang anak, tetapi Jee mulai menyalahkan diri sendiri. Jee mulai membenci kodrat ini, takdir yang sudah menyatakan bahwa Jee tidak akan pernah bisa memberikan keturunan.     "Oh ya, gimana kabar Mami kamu? Aku kangen masakan dan cara dia ngelawak, sumpah Mami kamu itu tiada duanya."      "Hm... Kabar Mami baik, makanya buruan bawa anak-anak kamu ke sini. Aku kasih mainan yang banyak nanti." suara Jee melemah.     "Ho... Wow, tapi nggak perlu Jee! Aku bakal kena biaya tambahan di pesawat nanti."      "Kalau gitu aku kirim aja," Jee merasa lega saat membenamkan separuh tubuhnya di bak. "Buat keponakanku dan calon keponakan yang satunya lagi."     "Thanks Jee, nanti aku hubungi lagi. Aku ada urusan sebentar." panggilan pun berakhir.      Lalu Jee melempar telepon ke dinding. Bukan semata Jee iri atau menyimpan dengki tetapi Jee hampir berteriak karena hidup sudah menghukumnya terlalu dalam, tentang kehidupan yang seharusnya Jee rasakan dengan kesempurnaan seorang laki-laki. Memang bukan tanpa alasan Jee selalu bermain dengan banyak wanita tanpa ingin sebuah ikatan apalagi pernikahan, tetapi mengenai Aloysia tidak bisa dibantah saat ibunya Yasmine Dorita Zain menginginkan pertunangan ini.      "b******k! Seandainya gadis galak itu disini," Jee memejamkan mata saat pelayan memberi pijatan ektra di kepala. "Pasti aku nggak akan tunangan sama si tawon sialan itu. Hm... Kira-kira gimana wajah si Y itu sekarang? Apa masih cantik kayak dulu?"      Aromatherapy sungguh melegakan napas sekaligus beban yang menggelantung di kegiatan Jee saat ini. Terutama mengenai satu malam di bulan Desember enam tahun lalu, Jee rasa seumur hidup akan terus memburu nama Y dalam angan dan batin. Tetapi kenikmatan mengingat gadis itu lenyap saat Jee merasakan tangan lembut membelai kemudian membasuh dadanya. Jee terdiam dan hanya memberi isyarat kepada pelayan untuk segera pergi, Jee berusaha menyingkirkan tangan Aloysia tanpa membuka mata.      "Kenapa? Kau sudah tidak menginginkan aku lagi? Aku sudah tidak menarik lagi untukmu Jee?" lembut bisikan Aloysia hinggap ke telinga Jee.      "Tidak! Kau sangat menarik Aloysia, bahkan kau lebih mengagunkan." Jee membuka mata. Manik matanya menemui wajah Aloysia.      "Tapi kenapa Jee? Kau sudah tidak butuh aku lagi hm?" tangan Aloysia mulai menggerayangi milik Jee. Berlaku kasar bukan tabiatnya tetapi kedua mata Jee menangkap lidah Aloysia mulai merambat ke d**a bahkan sudah melahap dagu Jee. Pelan Jee menyingkirkan Aloysia tetapi justru Aloysia membimbing tangan Jee meremas d**a dan menyentuh bagian kewaniataan.      "Jangan sampai aku melemparmu Aloysia!" desis Jee menjambak rambut Aloysia. Ia menatap mata biru itu dengan sekumpulan amarah.      Cara Jee sama sekali tidak mempengaruhi niat membara pada diri Aloysia. Bahkan tubuh Jee bereaksi sehingga Aloysia lebih leluasa membalikkan tubuh kemudian Aloysia sengaja duduk dengan menikam dirinya dengan kekuatan Jee di bawah sana.      "Ahh Jee, kita bisa menikmati ini sepanjang waktu." cicit Aloysia mulai menggerakkan pinggul dan merangkul tengkuk Jee dari depan.      "Tapi sayangnya aku hanya menginginkan hal ini dengan gadisku!" bisik Jee lembut namun menusuk hati Aloysia.      Apa yang diucapkan Jee membuat Aloysia saat itu memungut kekesalan sekaligus Aloysia membantah, tidak rela jika Jee telah memiliki alasan lain untuk mengakhiri hubungan ini. Apalagi Aloysia tidak sanggup menanggung beban serta sebuah tuntutan yang memang tidak akan segampang Aloysia mengumbar nafsunya untuk Jee. Dari bathtub Aloysia meraih tangan Jee, mengurung lengan Jee di dekapan serta tidak rela jika Jee akan pergi begitu saja.      "Jangan berbicara seperti itu sayang, kau tidak akan bisa lari dariku! Kau milikku Jee. Hanya aku yang akan menikah denganmu!" tegas Aloysia menyatakan.      Terpaksa Jee berlaku kasar dengan menggendong kemudian membanting tubuh Aloysia di bak terpenuhi air s**u. Meski Aloysia berteriak dan memaki dengan ucapan kasar Jee tidak peduli. Ia hanya meraih handuk untuk menutupi separuh tubuhnya, dan Jee lenyap dari pandangan Aloysia. Bahkan Jee hanya melambai tanpa meninggalkan kepedulian untuk Aloysia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD