2. Cemburu

1053 Words
"Aku gak bisa nolak karena ibu dan bapak sudah banyak membantu abah dan amih selama ini. Aku emang baru ketemu mas pas bunda Mega ngajak aku ke sekolah, tapi abah sama amih semalam cerita banyak tentang hutang budi kami ke keluarga, Mas Firman." Salamah mengakhiri kalimatnya dengan menatap Ahmad, meminta penjelasan pada laki-laki yang berstatus sebagai calon suaminya. "Jadi Ade kira, semua ini karena Mas minta balas budi?" tanya Ahmad lembut balas menatap Salamah. “Asal ade tau, Kita sering ketemu, bukan hanya sekali,” terang Ahmad tetap menatap Salamah penuh kelembutan. “Bukan cuma sehari dua hari, De rasa ini tumbuh disini.” Ahmad menunjuk dadanya. “Rasa itu tumbuh tanpa bisa dicegah, De,” lanjutnya lagi. Salamah kembali duduk di tempatnya, dia menunduk dalam. “De, coba tatap mata mas?” pinta Ahmad. Salamah mengangkat wajahnya, ditatap lelaki di depannya seolah menyelami mata Ahmad. Namun dia tidak menemukan kebohongan di mata calon suaminya itu. “Apa mas salah menunjukan keseriusan rasa ini dengan langsung melamarmu?” tanya Ahmad. “Kalau menurutmu ini salah, lebih baik kita batalkan sekarang.” Ahmad berdiri hendak masuk ke ruang tamu tempat berkumpulnya kedua keluarga, tetapi panggilan Salamah menghentikan langkahnya. ‘Yes,’ soraknya dalam hati. "Mas, maaf," ucap Salamah lirih. "Kalau Ade gak suka, biar aku batalkan saja. Bagiku pernikahan itu sakral, cukup sekali seumur hidup jangan sampai ada keterpaksaan dalam menjalani nya...," tegas Ahmad, "Aku gak ngomong terpaksa, Mas," potong Salamah. "Maaf.” Salamah menatap Ahmad dengan mata yang hampir berkaca-kaca. Ahmad kembali duduk tak tega melihat tatapan nanar gadis yang dicintainya, dia tersenyum dan berusaha melembutkan ucapannya, "Terus Ade maunya bagaimana?" "Ini terlalu mendadak buatku, Mas. Semoga, Mas mengerti," pinta Salamah. "Eh belum halal, ini dua-duaan terus ya. Ayo masuk dulu, Kita pamitan atau Mas Ahmad mau dinikahkan sekarang ya?" omel Nita, adik semata wayang Ahmad menjeda obrolan mereka. _____I.S_____ Selepas makan malam Salamah dan kedua orangtuanya berkumpul di ruang keluarga tanpa Rahma dan Ibnu yang tidak ikut pulang. Kedua adik Salamah juga menimba ilmu di tempat yang sama dengannya. Di pondok pesantren Al-Hikmah, pondok dimana dulu Mulyana menimba ilmu bersama Restu sang calon mertua Salamah. "Teteh kapan kembali ke pondok?" tanya Husna. Husna membelai rambut Salamah yang berbaring di pangkuannya, posisi ternyaman untuk Salamah ketika menonton televisi di ruang keluarga. "Minggu sore saja, Amih. Uing masih kangen amih sama abah," rajuk Salamah memohon menatap Husna. "Anak abah ini udah mau nikah, manjanya belum berkurang ya, Amih." Mulyana mengusap kepala anak sulungnya yang berada di pangkuan sang istri. *** Sudah tiga hari berlalu setelah acara lamaran dan tukar cincin, Salamah pun sudah kembali mengikuti kegiatan di pondoknya. Pagi hari setelah mengaji Al-Qur’an, dia langsung membersihkan ruang guru di yayasan Al-hikmah. Setelah lulus Madrasah Aliyah untuk mengisi kegiatan paginya, Salamah diminta Mega, guru olahraga di sekolah tersebut untuk membantu mengasuh Salsa anak bungsunya di pondok, selagi Mega mengajar. "Amah, Teh." Si cantik Salsa yang imut berlari minta digendong Salamah "Eh salim dulu sama teteh," perintah Mega pada Salsa. "Teh ayim uyu, cium." (Teh salim dulu cium), ujar bocah kecil yang belum lancar berbicara di usianya yang menginjak dua tahun lebih. "Teh, ganti baju ya, Ibu ijin dulu ke Abah Kiyai, hari ini ada sparing futsal, kalau Salsa gak dibawa ibu gak tenang," ujar Mega. Dia berlalu menuju rumah Kiyai pengasuh pondok pesantren Al-Hikmah untuk pamit dan meminta ijin membawa Salamah. *** Setelah tiga puluh menit perjalanan yang ditempuh menggunakan mobil pick up yang disetir Mega dan membawa serta tim futsal sekolah di bak belakang mobil, sedangkan Salamah beserta salsa duduk di depan bersamanya. Akhirnya, mereka sampai ke tujuan. Di tempat parkir mobil Basuni, pelatih tim futsal serta Herlan, rekan seprofesi Mega sudah menanti. "Caca sama Teteh ya, jadi anak yang ba..." "Baik, gak akal, gak yayi yayi jauh Ibuunnn," sambung Salsa dengan gesture lucunya. Selama menunggu Mega, Salamah dan Salsa bermain di taman pinggir lapangan futsal. Tiba-tiba Salsa berlari menuju kantin, Salamah langsung mengejarnya dan tanpa sengaja dia melihat sosok lelaki yang berstatus sebagai tunangannya sedang tertawa renyah bersama seorang wanita yang berhasil membuat kepercayaan diri Salamah terjun bebas. 'Cantik, putih baju nya keren, ah Uing mah gak ada apa-apanya dibandingkan si Ibu itu' gerutunya dalam hati. Dia tidak sadar kini Salsa sudah duduk sambil memakan snack di samping dua orang yang sedang menjadi pusat perhatiannya. "Eh, Adik manis siapa namanya?" tanya wanita yang duduk di depan Ahmad sambil mencubit gemas pipi Salsa. “Caca,” jawab Salsa sambil melanjutkan makan. "Loh, Caca ikut bunda?” Pertanyaan Ahmad membuat Salsa mendongak menatapnya, "Om, pangku.” Salsa mengulurkan tangannya dan beringsut duduk di pangkuan Ahmad. “Kamu kenal?” tanya wanita itu pada Ahmad. “Ini anaknya Ibu Mega, tuh guru olahraga dari MA Al-Hikmah” Ahmad menunjuk Mega yang berada di pinggir lapangan. “Oh, Wali kelas kamu waktu SMA itu kan?” Wanita di depan Ahmad mengangguk sambil mengaduk semangkok seblak dihadapannya. “Salsa sama siapa?” Ahmad membalik badan salsa menghadap ke dirinya. "Cama bunda cama teteh cama yang yayi main bola itu tuh." Salsa menunjuk ke arah lapangan. "Tetehnya mana cantik?" Ahmad celingukan mencari Salamah. "Itu." Salsa menunjuk ke arah Salamah yang berdiri di balik pohon, kemudian melanjutkan memakan snack ditangannya. "Bu Ayu, Saya tinggal dulu ya," pamit Ahmad pada Ayu. Wanita yang sedari tadi duduk di depannya. Wanita yang sukses membuat Salamah minder untuk menyadari kalau sekarang dia calon istri dari George Ahmad Firmansyah. "Iya, Pak gak apa-apa."Ayu mengangguk dan melanjutkan makan. Ahmad menggendong Salsa dan berjalan mendekati Salamah. "Assalamualaikum calon istri," sapa Ahmad menundukkan badannya sambil tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. "Waalaikumsalam, Bapak George Ahmad Firmansyah," balas Salamah jutek. "Loh, sama calon suami manggilnya, Bapak," ujar Ahmad dengan nada menggoda. "Bapak kan guru, gak salah dong aku manggilnya, Bapak." Salamah mengulurkan tangannya untuk mengambil alih Salsa yang ada dalam gendongan Ahmad. Namun, Ahmad malah melangkah mundur menjauhkan Salsa dari jangkauan Salamah. "Sudah ya pak, itu pacarnya nungguin," pinta Salamah seraya mengulurkan tangannya meminta Salsa yang digendong Ahmad dan menunjuk Ayu dengan dagu dan matanya. "Pacar?" Ahmad menengok dan tertawa menyadari sesuatu, "Oh, pantas kaya ada bau gosong gini, calon istri rupanya cemburu nih," ledek Ahmad. "Apaan sih, siapa juga yang cemburu. Lagian gak usah ya, Bapak panggil aku calon istri," elak Salamah. Kalimat sinis dengan mimik cemberut justru membuat Ahmad mengulum senyum. Ingin tertawa takut malah membuat Salamah lebih kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD