Pedekate

1052 Words
"Om cana cana," tunjuk Salsa ke arah Mega. Salamah Membuang napas lega, setidaknya dia tidak perlu lagi melanjutkan debat kusir dengan Ahmad. “Panggil, Mas saja De,” pinta Ahmad sebelum melangkahkan kaki mendekat ke arah Mega. Dia menoleh sejenak ke arah Salamah yang berjalan di belakangnya. "Bun," sapa Ahmad sambil menyalami Mega. "Eh, Bapak guru ganteng.” Mega membalas uluran tangan Ahmad. "Sehat, Bun?" Ahmad menurunkan Salsa yang langsung mendekati tas Mega mencari s**u kotak kesukaannya. "Sehat Mas, itu kemarin ayah Salsa nanyain kapan bibit jambu kristalnya dikirim, minta sepuluh katanya." "Siap Bun, insyaallah minggu depan." jawab Ahmad. Selain guru olahraga honor di Madrasah Aliyah tempatnya mengajar, Ahmad juga berbisnis jual beli bibit berbagai tanaman dan menjadi reseller kerupuk kulit hasil produksi suami Mega. "Sukses gak kemarin?" bisik Mega sambil menunjuk Salamah dengan dagunya. "Dia, belum cerita?" Ahmad menengok ke arah Salamah yang duduk di bangku yang cukup jauh dari mereka. Mega menggeleng sambil membuka s**u kotak Salsa. "Caca sayang, pulang ya dianter Om," pinta Mega yang dijawab anggukan oleh Salsa. "Ibu mesti anterin anak-anak ke sekolah sama mas Basuni dan Herlan. Kamu bawa mobil apa motor?" "Bawa mobil Bun, tadi ada empat anak tertinggal karena telat. Biar Saya yang nganterin Caca, sekalian ngambil stok kerupuk kulit ikan Bun, ada kan?" "Ah, ada juga sekalian pedekate kan,” Mega tertawa sedang Ahmad menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Kebaca ya Bun?” jawab Ahmad salah tingkah. “Kebaca banget, tapi benar ya. Sekalian pedekate ibu minta tolong." Mega menyerahkan Salsa ke Ahmad. "Caca puyang sama Om sama teteh Bun?" tanya Salsa sambil memberikan botol s**u kotak yang sudah habis di sedotnya. “Iya, Sayang,” jawab mega sambil merapikan rambut Salsa yang agak berantakan. "Teh sini dulu," panggil Mega melambaikan tangan ke Salamah. Salamah langsung mengangguk dan berjalan mendekati Mega. "Ibu mesti anterin anak-anak ke sekolah dulu,” ucap Mega sambil menghapus peluh di dahi putrinya. "Teteh sama Salsa dianter mas Firman pulang ya, kasihan Salsa sudah ngantuk,” pinta Mega yang dijawab Anggukan oleh Salamah dan mengambil alih Salsa dari Ahmad, untuk dia gendong. "Hati-hati ya, Mas," Pesan Mega. Dia menyerahkan tas yang berisi perlengkapan Salsa. "Thanks ya, Bun," balas Ahmad pelan, dia menyalami Mega sebelum mengikuti Salamah yang berjalan ke tempat parkir. ‘Bunda memang the best lah, ngerti banget situasi pas buat pedekate,’ kata Ahmad pada dirinya sendiri ketika berjalan menenteng tas perlengkapan Salsa. Diperjalanan Salsa tertidur dipangkuan Salamah, sehingga suasana di mobil terasa hening. "De, sudah makan?" Ahmad mencoba mencairkan kekakuan diantara mereka berdua Salamah menggeleng, tangannya terus mengelus rambut dan punggung Salsa. "Kita makan dulu ya? Aku juga lapar nih," ajak Ahmad. Dia menghentikan mobilnya di depan rumah makan Padang. "Mas makan sendirian gak apa ‘kan? Aku belum lapar,” tolak Salamah. Hari ini dia puasa sunah, puasa sunah Senin dan Kamis yang sudah rutin dia lakukan selama enam tahun ini. "Kenapa? Gak suka makan di sini?” Ahmad menatap Salamah dan membatalkan melepas safety belt-nya. "Suka sih, tapi aku gak makan ya, Mas." Senyum manis terukir di bibirnya. "Aku nemenin aja ya," imbuhnya dan bersiap-siap turun dari mobil. "Kamu cantik kalau senyum gitu." Ahmad memegang Salamah untuk melarangnya turun. Salamah memalingkan wajah. Ada rasa rishi dengan kalimat manis yang sering Ahmad lontarkan ketika bersamanya. ‘Tukang rayu, jangan-jangan dia playboy lagi, ya Allah jangan sampai aku punya suami playboy.’ Salamah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astaghfirullah al adzim ini hari Kamis, Ade puasa?" tanya Ahmad sambil menepuk jidatnya yang diikuti anggukan oleh Salamah. "Ya sudah, Kita langsung pulang saja," putus Ahmad, kemudian bersiap menjalankan kembali mobilnya. "Gak apa kok, kalau kita makan dulu. Aku bisa temenin," bujuk Salamah yang merasa tidak enak hati, apalagi sesaat tadi Ahmad mengaku dirinya lapar. "Nanti aja kalau udah halal juga nanti ditemani makan setiap hari." Ahmad kembali menjalankan mobil. Tangan kirinya mengelus punggung Salsa sejenak. ‘Duh pengennya mah ngelus kamu, De,’ gumamnya dalam hati. "Apa, Mas Firman selalu seperti ini sama setiap perempuan?" selidik Salamah. "Maksud Ade?" Ahmad balik bertanya tidak mengerti maksud pertanyaan Salamah. "Ya selalu berkata manis, ngerayu lah bahasanya." "Apa menurutmu aku seperti itu?" Bukannya menjawab pertanyaan Salamah, Ahmad malah kembali menjawab pertanyaan Salamah dengan pertanyaan lagi. Dia menengok untuk sejenak menatap Salamah sebelum kembali fokus ke jalanan di depannya. Namun Salamah hanya terdiam dan tidak menjawab. Canggung rasanya berdua dengan laki-laki yang bukan muhrim, eh bukan berdua tapi bertiga. Hanya saja Salsa yang tertidur membuat suasana terasa kaku. _____I.S_____ "Assalamualaikum," sapa Salamah dan Ahmad berbarengan. "Waalaikumsalam,” jawab Haris. “Wah Caca bobo taruh di kamar saja teh," perintah Haris, Suami Mega. Salamah yang sudah sering keluar masuk rumah itu, langsung membawa Salsa masuk ke kamarnya. Kamar yang pintunya selalu terbuka di siang hari karena si empunya kamar belum bisa membuka dan menutup pintu sendiri. "Duduk Mad, ngopi dulu y?" ajak Haris sambil melangkah dan duduk di sofa yang disediakan untuk tamu di teras rumah. "White coffe aja, Yah, " pinta Ahmad. "Bi Nap, bikinin kopi dua ya, buat mas Ahmad white coffe," perintah Haris ketika melihat Napisah asisten rumah tangganya keluar dari pintu. Meskipun hanya seorang asisten rumah tangga, Napisah sudah di anggap seperti keluarga bagi Haris dan Mega. Napisah hidup sebatang kara diusianya yang sudah melewati 45 tahun. Dia tidak memiliki anak dan suaminya menikah lagi dengan janda kaya yang tinggal di desa sebelah. Hal itu membuat Haris dan Mega menyuruhnya untuk tinggal bersama keluarga mereka. "Sebentar ya, Mas," Napisah kembali masuk kedalam rumah berpapasan dengan Salamah yang akan keluar kembali untuk ikut duduk bersama haris dan Ahmad. "Tadi bunda telepon, katanya teteh nanti langsung pulang sama bi Nap. Ini buat buka puasanya teteh dan yang di motor itu buat dibagi ke teman-teman di pondok," terang Haris sambil menyerahkan kotak makan didalam plastik yang tadi dibawa Napisah. Haris juga menunjuk plastik hitam yang sudah tergantung di motor. "Biar saya yang antar Yah, ... " tawar Ahmad. "Jangan," potong Salamah sambil menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan kananya. "Iya, Mad jangan ah, meski calon istrimu tetap saja Salamah masih seorang santriwati yang terikat aturan pondok, takut menimbulkan fitnah." Tanpa sadar Haris kelepasan berbicara, kalimatnya berhasil membuat Salamah terbengong. "Loh, ayah tau darimana kalau kami...," tanya Salamah menggantung kalimatnya dengan ekspresi terkejut. "Ini minum nya, Mas. Bibi antar teteh dulu ya." Napisah keluar membawa dua gelas kopi dan setoples kue, menyelamatkan Haris dari pertanyaan Salamah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD