Bimbang

1070 Words
“Apa yang bapak pikirkan tentang sebuah pernikahan? Bapak tahu sendiri bagaimana keadaan saya sejak awal. Saya perempuan yang buruk. Bahkan saat ini saya sedang mengandung. Hubungan saya sebelumnya berakhir karena kekasih saya tahu bahwa saya sudah tidak virgin. Lantas hari ini atas alasan apa bapak ingin menikahi saya?” tanya Akira setelah dia berusaha menguasai diri karena terkejut atas tawaran yang baru didengarnya dari Albert. “Apakah sangat penting bagi saya untuk memberikan jawaban?” tanya Albert justru mengundang kekesalan. “Tentu saja saya butuh pertimbangan, Pak” ujar Akira “Kalau kamu bertanya alasan, saya tidak bisa memberikan jawaban konkret, Akira. Hanya saja yang saya tahu, saya merasa begitu peduli padamu. Bahkan setelah mengetahui tentang kehamilan itu, entah mengapa pikiranku semakin tidak tenang dan ingin selalu mengetahui keadaanmu dan memastikan kamu baik-baik saja. Entah bagaimana aku merasa ikut bersedih jika melihatmu menangis dan terluka seperti saat kamu dipermalukan di hadapan seluruh karyawan kantor. Aku tidak tahu apa nama dari perasaan ini, Akira. Tapi semua itulah yang sebenarnya mendorongku untuk selalu menemuimu. Oleh karenanya aku selalu mencari-cari alasan untuk datang ke rumah Clarissa,” jelas Albert. “Tapi saya yakin masih banyak perempuan lain di luar sana yang lebih pantas menjadi pendamping hidup Pak Albert. Sekarang saya sudah menjadi seorang ibu. Lebih dari kepentingan diri saya sendiri, saya juga harus memikirkan tentang anak saya.” “Itu tidak menjadi masalah, Akira. Saya siap menjadi ayah dari anakmu,” tegas Albert berusaha meyakinkan gadis itu. Akira sempat menatap dalam pada kedua mata Albert dan berusaha mencari kebenaran dari semua perkataan laki-laki itu. “Saya butuh waktu untuk memikirkan semuanya terlebih dahulu,” ujar Akira pada akhirnya. Dia kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Berusaha menetralkan kondisi jiwanya yang sempat bergejolak karena pengakuan Albert. Albert bisa memahami hal itu dan memberikan waktu pada Akira untuk mempertimbangkan sebelum membuat keputusan. Dia kembali melajukan mobilnya dan mengantar Akira pulang ke rumah. Suasana di antara mereka berdua menjadi lebih kaku. Saat Albert berpamitan, Akira hanya menjawab singkat dan tidak menawari untuk mampir seperti biasa walau sekedar basa-basi. Tidak ada senyuman perpisahan atau lambaian tangan. Gadis itu pun masuk ke dalam rumah setelah bayangan mobil Albert sudah tak lagi terlihat. Tawaran pernikahan yang diajukan Albert menciptakan kebimbangan bagi Akira. Sejak hari itu pikirannya tidak tenang meski Albert tak lagi datang menemuinya beberapa hari belakangan. Rupanya laki-laki itu menuruti keinginan Akira yang meminta waktu untuk berpikir. Perubahan sikap yang ditunjukkan Akira tidak lepas dari perhatian Clarissa. Tak jauh berbeda dari Sofia, sebagai teman dekat Clarissa juga dapat dengan mudah memahami apa yang sedang dirasakan Akira. Clarissa pun menegur Akira pada suatu sore ketika mendapati temannya itu sedang melamun di halaman samping rumah. “Hei, apa yang sedang kau pikirkan? Aku perhatikan melamun saja dari tadi,” sapa Clarissa dan mengambil posisi duduk di samping Akira. “Tidak ada,” jawab Akira singkat. “Ayolah, Akira. Kamu tidak pandai menyembunyikan sesuatu dariku. Ceritakan saja ada apa sebenarnya,” pinta Clarissa agar Akira bersikap terbuka. “Pak Albert mengajakku menikah.” “What? Si tampan Albert itu mengajakmu menikah? Ini kabar baik, Akira. Aku turut senang mendengarnya,” kata Clarissa antusias. “Jadi kapan rencananya kalian menentukan hari bahagia itu?” lanjutnya. “Belum pasti, Cla. Aku belum memberikan jawaban pada Pak Albert.” “Ya ampun … apa lagi yang kamu tunggu, Akira? Jangan katakan bahwa kamu masih meragukan dirimu sendiri seperti beberapa hari yang lalu. Oh ayolah, lepaskan semua pikiran itu,” kata Clarissa merasa heran. “Aku butuh waktu untuk berpikir, Clarissa. Ini pernikahan. Sesuatu yang begitu sakral. Kita tidak bisa memutuskannya begitu saja.” “Jadi ini sebabnya sehingga Albert tidak lagi datang ke sini sekarang? Apa yang masih kamu ragukan untuk menerimanya? Bukankah semua perhatian yang dia tunjukkan selama ini sudah jelas sebagai buktinya?” “Aku tidak mengerti, Cla. Selama ini Pak Albert memang begitu baik dan peduli. Tapi aku hanya merasa takut dia tidak bisa menerima diriku dan anakku. Meskipun sebenarnya hari itu dia telah mengatakan siap menjadi ayah dari bayi ini nantinya,” tutur Akira. “Nah, kalau Albert sendiri sudah mengatakan seperti itu, berarti semuanya sudah jelas. Seharusnya tidak ada masalah lagi dan kamu bisa menerimanya tanpa ragu. Aku tahu akan salah jika sekarang aku bertanya apakah kamu memiliki perasaan cinta pada Albert. Tapi itu tidak mengapa, Akira. Cinta bisa tumbuh seiring waktu dan kebersamaan kalian nantinya. Sekarang hal prioritas yang harus menjadi pertimbanganmu adalah realita hidup. Lihatlah dirimu! Apa kamu tidak lelah berjuang menghadapi kondisi sulit ini sendirian? Semua proses kehamilan sampai melahirkan tentu butuh biaya. Anakmu juga butuh sosok seorang ayah. Jika kamu menikah dengan Albert maka semua masalahmu akan teratasi. Kamu bisa lebih mudah menyembunyikan kehamilanmu karena sudah bersuami, tidak perlu khawatir lagi soal biaya hidup dan anakmu juga akan memiliki status nantinya,” jelas Clarissa setengah membujuk. “Apa aku tidak egois jika menerima Albert hanya karena alasan-alasan yang mengacu pada kepentinganku sendiri? Bagaimana dengan kebahagiaan Albert?” “Akira, tanpa kamu sadari, jika kamu masih memikirkan kebahagiaan Albert berarti sebenarnya kamu peduli padanya. Kepedulian itu sudah cukup sebagai bekal paling dasar untuk memulai sebuah hubungan. Kamu hanya perlu menjadi istri yang baik dan selalu mendampingi Albert. Selebihnya, biarkan semua mengalir begitu saja. Perlahan kalian akan jatuh cinta dan saling membahagiakan. Lupakan tentang masa lalumu dengan Daffa. Albert bukan laki-laki seperti Daffa yang memilih pergi setelah mengetahui ketidak sempurnaanmu. Albert jelas mengatakan bisa menerima segala keadaan ini. Sebelum mengutarakan itu pun, aku yakin Albert juga sudah memikirkan segala konsekuensinya. Cobalah berikan kepercayaan untuk memulai hubungan baru itu, Akira. Aku rasa kamu harus menerima Albert,” saran Clarissa. “Apa itu yang terbaik menurutmu?” tanya Akira masih sedikit ragu. “Pendapatku seperti itu. Aku hanya bisa memberikan saran sebagai seorang teman. Tapi semua keputusan tetap ada di tanganmu. Aku harap kamu mendapatkan jalan yang terbaik,” ucap Clarissa penuh dukungan. Akira mengkaji ulang kata-kata Clarissa. Dia berpikir harus memilah antara kebaikan dan keburukan Albert untuk dijadikan pertimbangan. Dia memang harus mendengarkan hati nurani. Tapi dia juga tidak mau perasaan butuh dampingan itu mendominasi. Akira tahu dia sangat membutuhkan dukungan seorang pasangan hidup untuk ke depannya. Jika tidak bisa untuk menyembuhkan derita, setidaknya kehadiran seseorang dapat menjadi sandaran baginya. Terkadang Akira juga merasa kakinya begitu lemah untuk melangkah sendirian. Pundaknya pun terlalu lelah untuk terus menyandang beban. Tapi Akira tidak mau menerima Albert hanya untuk meringankan masalah hidup semata. Baginya hal itu tidak akan adil bagi Albert.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD