8. Rahasia Rumah Tangga Kami

1037 Words
Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat. Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya. Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri. Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau sesak. Demi Tuhan aku tak ingin air mata ini jatuh lagi. Sudah kubilang menangis tidak bisa menawarkan solusi. Namun, televisi tabung ini seakan mengolokku. "Lihatlah! Kau kalah juga jadi istri setia. Kau tak kuat juga menyembunyikan semua." Sama seperti ucapan seseorang yang mungkin sedang tertawa dengan Akila dan Mas Baja. Hatiku kian berdenyut pedih. Televisi itu seolah menertawaiku. Menjadi saksi bisu atas kesetiaan gadis kampung yang tak tahu diri. Kakiku tak mampu lagi menopang berat tubuh. Lutut pun bersimpuh. Teramat deras aliran air di pelupuk mata. Sesak yang menyeruak pun kian membuatku susah bernapas. Kupukul d**a sebelah kiri. Berharap ia tak merasakan sakit lagi. *** Getar ponsel diiringi nada dering kencang membangunkanku. Sinar mentari telah memasuki kisi-kisi. Aku tertidur di lantai semalaman. Dengan cepat kuraih ponsel di dalam tas yang teronggok tak jauh dari posisiku lalu mengangkat telepon itu. "Amira! Jam berapa ini! Kamu lupa kalau akhir bulan Bos suka keliling?!" Pak Ginanjar berteriak kencang. "Maaf, Pak, Maaf. Saya bangun kesiangan." "Payah! Kalau sampai Bos nanyain kamu dan kamu belum sampai. Tanggung sendiri akibatnya!" Kembali kujauhkan ponsel. "Baik, Pak." Aku menutup telepon itu. Tanpa berpikir panjang langsung beranjak dari ruang televisi. Mencuci muka serta menggosok gigi. Secepat mungkin mengganti pakaian tanpa mandi terlebih dahulu. Tas yang isinya masih sama kusambar. Segera keluar dari rumah dan menguncinya. Kantor menjadi tujuanku. Dengan motor merah aku berpacu dengan waktu. Jalanan sudah cukup ramai. Sekitar pukul sembilan aku berhasil memarkirkan motor di parkiran kantor. Menilik kaca spion sebentar untuk memastikan tidak ada kotoran di mata. Menyisir rambut dengan tangan dan merapikan kerah baju. Jika harus dipecat aku sudah siap. Nasibku ada di tangan Bos. Beberapa rekan kerja tampak kusut wajahnya. Ada yang memijit pelipis dan berkomat kamit tidak jelas. Suasana kantor mendadak horor. Bos kami jarang memberi teguran, tapi sekalinya inspeksi mendadak, tak jarang beberapa karyawan harus angkat kaki. Aku pun menggeleng. Membayangkan jika hari ini hal itu terjadi padaku. Pak Ginanjar keluar dari ruangannya dengan wajah merah padam. Sepertinya beliau habis menjadi sasaran Bos. Aku berjalan menunduk, mendekati Pak Ginanjar. "Bagaimana, Pak?" tanyaku saat Pak Ginanjar tepat di depanku. Pria berbadan gempal itu hanya memalingkan wajah ke arah pintu ruangannya. Tampak Bos sudah menantiku. "Paling gak jangan potong gaji, ya, Pak. Kalau pun dipecat tetap kasih yang bulan ini." Aku berubah menjadi penghamba uang. Semua karena cicilan utang Mas Baja "Gak tahu diri. Dah, sana temui sendiri." "Baik, Pak." Kuayunkan langkah menuju ruangan itu. Mengetuk pintu sebagai tanda hormat pada atasan. Sebuah senyum tetap kuhiaskan di wajah. "Masuk!" Bos berdiri sembari menatap jendela kaca. Ruangan Pak Ginanjar salah satu yang teryaman di kantor. Meski takut aku tetap melangkah. "Kamu tahu berapa lama jatuh tempo utang kamu?" Suara baritonnya sangat berwibawa. "Lima tahun, Pak." "Berapa lama kamu sudah mengangsurnya?" Bos masih menghadap ke jendela. "Lima bulan, Pak," jawabku lirih. "Itu artinya masih kurang berapa bulan?" "Lima puluh lima bulan, Pak." Bos pun membalikkan badan. "Itu artinya di masa itu kamu tidak boleh terlambat walau sekali. Dan hari ini saat saya melakukan kunjungan dengan sangat nyaman seorang admin penjualan justru terlambat. Saya paling tidak suka." Aku tak berani menatapnya. Ini semua memang salahku. Dan aku pantas mendapatkan konsekuensi. "Maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulangi lagi." "Maaf? Apa maaf bisa mengembalikan dua jam keterlambatanmu?" Suara Bos mulai meninggi. "Sekali lagi mohon maaf, Pak. Paling tidak jangan potong gaji saya, Pak. Kalaupun saya dipecat hari ini, saya minta tetap kasih full gaji saya yang bulan ini, Pak." Aku benar-benar menjadi penghamba uang. Bos tampak tercengang. Ia seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. "Apa? Minta full gaji?!" Aku semakin menunduk. Tak berani melihat ekpresi Bos. "Wah, kamu memang sesuatu, Amira," ucapnya seraya mengayunkan langkah ke arahku. Refleks aku pun mundur. "Daripada berpikir untuk keluar dari perusahaan ini, lebih baik kamu kembali bekerja dan lunasi utangmu dengan segala daya yang kamu punya. Aku benci orang yang meminta maaf dan tidak bertanggung jawab! Ingat itu!" Aku mendongak. Melihat wajah Bos sekilas. Beliau tampak serius. "Ingat, Amira. Lima puluh lima bulan!" Bos menatapku tajam. Lalu melewatiku begitu saja. Setelah Bos benar-benar pergi aku baru bisa bernapas dengan normal. Setidaknya bulan depan aku masih bisa bertahan di kota ini. Pulang kampung adalah hal yang tidak akan kulakukan sebelum sukses. Pantang bagiku kembali ke desa jika hanya menambah beban orang tua. Pintu ruangan Pak Ginanjar kututup. Aku pun berjalan ke meja kerja dengan layar monitor. Demi lima puluh lima bulan berikutnya. "Gak dipecat kamu?" tanya salah satu rekan kerja yang mejanya tak jauh dariku. "Alhamdulillah masih diberi kesempatan." "Pakai susuk apa kamu? Sampai Bos tidak memecatmu?" Hal semacam ini yang selalu membuatku tidak suka terlalu dekat dengan rekan kerja. Mereka yang seolah tidak peduli ternyata bersiap menerkam di saat momen tertentu. Terutama momen saat posisiku tidak aman. "Bisa jadi Bos kasihan denganku." Tanpa melihat wajahnya aku menjawab. "Yak! Jangan sok keren kamu. Aku paling paham karakter Bos. Beliau paling anti sama karyawan lembek. Harusnya kamu udah dipecat lama. Ya, Gak, Ga?" tanyanya pada rekan kerja yang lain. "Emmm, bisa juga. Tapi mungkin karena Amira baik dan cantik. Makanya Bos kasih kesempatan. Lagian laporan penjualan juga selalu beres selama Amira yang pegang." Arga rekan satu ruangan kami membelaku. "Kalau dia baik, gak mungkin suaminya kabur milih cewek lain! Udah pasti dia tuh perempuan murahan yang gak bener!" Senior perempuan di kantor kami meneriakiku. Aku menatapnya sekilas. Dari mana dia tahu soal Mas Baja?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD