7. Bukan Cinderella

1253 Words
Teriakan Mas Baja tak kuhiraukan sama sekali. Dari kaca spion tampak dia mengumpat. Sejenak kuhela napas. Rasanya teramat sesak. Terlebih aku harus kembali tanpa Akila. Gadis kecil itu sudah pasti akan dikelilingi dengan materi. Gadis kecil itu sudah pasti akan bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan. Namun, aku tak yakin ia bahagia. Motor matic merah melaju di jalanan yang semakin gelap, menuju satu-satunya tempat untukku. Andai ada satu orang saja yang bisa kumintai tolong sudah pasti aku memilih tidak ke rumah itu. Setengah jam berkendara pagar besi itu menyapa. Pagi tadi aku sengaja tak menguncinya. Berharap Mas Baja akan pulang bersama Akila. Sayang, pintu tak terkunci itu tidak berarti. Kudorong pintu gerbang ke sebelah kanan setelah turun dari motor. Kembali menaiki dan memakirkannya di garasi. Rasanya badan lelah sekali. Melihat bangunan mewah ini membuat keningku mengernyit. Dua hari lagi sudah tanggal satu. Sementara uang untuk cicilan belum nampak hilalnya. Aku pun mengenyakkan diri di kursi teras. Membuka martabak yang tadi kubawa lagi. Meski sudah dingin, aku tetap akan menghabiskan menu makan malam ini. Satu suap aku bisa menikmatinya. Sembari memikirkan kejadian di rumah Ibu tadi. Perih. Teramat perih. Aku bukan seorang menantu yang diharapkan. Dan kini aku semakin tersisih. Suapan kedua aku masih bisa menelannya. Seraya memikirkan nasib rumah ini di tanggal satu. Dulu, aku ikut menandatangani modal bisnis hasil utang itu. Dulu aku juga tidak melarang Mas Baja. Martabak ini berhasil membuatku tersedak. "Ampun, pelan Amira!" Kuusap d**a dengan lembut. Meski begitu aku tetap mengunyahnya bersamaan dengan linangan air mata. Aku teramat bodoh. Selesai dengan potongan ketiga, aku menutup bungkus martabak tadi. Menyandarkan diri di kursi dan menatap penerangan lampu teras. Sangat terang dan menyenangkan. Sekilas ucapan Mas Baja terngiang. Tentang kata cerai yang ia ucapkan. Apa benar hanya karena sebuah komentar? Aku pun kembali menegakkan kepala. Meraih ponsel di tas dan membukanya. Lagi. Notifikasi dari akun facebookku menyala. Dengan cepat aku mengetuknya. Kali ini sebuah pesan. Arhab Alzaidan : Terima kasih untuk selama ini. Mataku membelalak. Terima kasih? Setelah delapan tahun menghilang? Aku tak habis pikir dengan cara pandang laki-laki. Seenak sendiri datang dan pergi. Meski begitu, aku tetap mengetuk nama itu. Hingga tersambung pada profil Mas Arhab. Semua masih sama. Ia semacam membiarkan lini masanya setia pada tampilan yang dulu. Foto sampulnya masih langit sore dengan sinar mentari berwarna jingga. Di tempat yang sama. Napasku seakan terhenti. Aku pun semakin penasaran. Kali ini semakin melihat profilnya. Memang benar saat memutuskan mengubur semua kenangan jangan sekali-kali menggalinya. Perasaan itu yang sekuat tenaga kuhilangkan ternyata masih sedikit tersisa. Bukan perasaan saat ia mengaku mencintaiku, melainkan perasaan ditinggalkan dan tidak diperjuangkan. *** "Belanja banyak amat, Bu. Pesanan dari siapa?" tanyaku sembari menerima bahan-bahan pembuat kue yang baru saja dibeli ibu. "Dari Bu Setia, Nduk. Mau mantu beliau." Ibu menjawab dengan terus memindahkan bahan-bahan itu satu persatu dari teras ke ruang tamu. "Bu- Setia?" "Iya. Mantu putranya. Maklum semata wayang. Jadi mau besar-besaran. Belum lama lulus si Arhab." Ucapan ibu sangat santai. Terlebih beliau tidak tahu hubungan kami. Di dunia ini memang hanya aku dan Mas Arhab saja yang tahu. "Kapan Bu, nikahnya?" "Minggu depan, Nduk. Pas hari sabtu." Jawaban Ibu membuatku limbung. Minggu depan? Secepat itu? Jika memang ia akan menikah dengan wanita pilihan keluarganya, kenapa tidak memberitahuku sama sekali? Kenapa tetap menanyakan kabar dan membalas pesan sayang yang kukirimkan? Setetes air lolos dari pelupuk mata. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan itu. "Bu, Amira keluar dulu, ya. Mau ke tempat Martia." "Lah, kan mau bantu, Ibu. Kenapa malah keluar?" "Minggu depan mau nyoba ngelamar kerja, Bu. Lumayan buat tambah uang jajan." Ibu meletakkan kantong plastik berisi bahan pembuat kue. Beliau mendekatkan jarak padaku. "Maaf, ya, Nduk. Kamu gak bisa kuliah." Mata ibu mulai basah. Beliau selalu tidak nyaman saat membahas pendidikan lanjutanku. "Gak apa-apa, Bu. Dari awal Amira dah paham. Ya udah, Amira pergi dulu." Ibu pun menatapku dengan perasaan sedih. Ada hal yang lebih penting saat ini. Langkahku semakin cepat. Mencari Martia untuk mengantarku ke suatu tempat. Setelah ini tak masalah jika sahabatku tahu tentang hubunganku dengan Mas Arhab. Karena hanya dia satu-satunya orang yang bisa membantuku. Rumah Martia tak begitu jauh. Sesuai dugaan, gadis itu sedang asyik menggunting kuku. "Mar, aku butuh bantuan. Anterin aku ke lembah." Dengan napas terengah aku langsung mengungkapkan keinginan. Martia menghentikan aktivitasnya. "Lembah? Ngapain sore-sore ke lembah. Mau digigit nyamuk?" "Penting, Mar. Aku mohon. Cukup antar aja kalau kamu tega." Melihat ekpresiku yang gawat, Martia menyanggupi permintaanku. Ia pun masuk ke rumahnya dan keluar lagi membawa kunci motor. Kami berkendara menuju lembah biru. Tempat tersembunyi di desa kami. Sangat indah meski harus menempuh perjalanan sekitar satu jam. [Baik, Mas. Amira juga mau menanyakan sesuatu.] Sebuah balasan kukirimkan pada Mas Arhab. *** Beberapa pemuda dan pemudi desa sangat akrab dengan lembah ini. Lembah biru tempat sebagian dari mereka berjalan-jalan sembari berkenalan. Ada juga yang memanfaatkan tempat ini sebagai tempat pertemuan. Mereka tak aka berani berkencan dan hanua berduaan. Pasti ada beberapa rekan yang ikut. Karena lembah biru adalah tempat indah yang tidak boleh dikotori dengan hal-hal seperti itu. Motor Martia berhenti di pinggir jalan. "Kamu yakin mau sendiri?" Martia tidak tega. Sudah jam empat dan aku akan bertemu Mas Arhab. Jika ada yang melihat aka sangat berbahaya. "Aku bilang jika kamu tega. Kalau nggak, ayo temani. Tapi pastikan kamu bisa jaga rahasia." Sebenarnya tanpa kuingatkan pun Martia sudah paham. "Kamu beneran berharap jadi Cinderella, Mir?" Martia menggeleng. "Jawabannya sore ini." Dengan mantap kuayunkan langkah. Jalan setapak yang samping kiri kanan adalah perkebunan salak. Aku siap melewatinya. Martia berjalan di belakang dengan sesekali merapal doa. Meksi lirih, aku bisa mendengarnya. Setelah berjalan sekitar lima ratus meter perkebunan salak berganti pohon jati. Aku pun berjalan maju beberapa langkah mendekat pada jalan menurun. Biasanya para pemilik kebun aka memanfaatkan jalan itu untuk melewati lembah dan menuju bagian seberang. Di sana gunung dengan pepohonan menjulang tinggi. Sejauh mata memandang ke sebelah kanan akan ada perbukitan dengan lereng yang cukup curam. Tidak dengan pepohonan yang menjulang, melainkan bebatuan. Dari tempatku berdiri sebuah sungai tampak di bawah lereng itu. Sore ini sinar jingga begitu memesona. Aku tak pernah tahu akan seindah ini pemandangan di lembah biru. "Waow. Amazing." Martia menyentuh lenganku. Ia sedikit takut dengan ketinggian. "Mana pangeranmu?" Tampak Martia menyapukan pandang. Benar. Tujuanku adalah bertemu dengan Mas Arhab. Meski pesannya sudah sejak dari jam dua, dan aku baru membalasnya, tujuanku tetap bertemu dengannya. "Coba kamu hubungi, Mir." Martia memberi saran. Aku pun mengangguk. Ponsel berbodi hitam kukeluarkan. Untuk pertama aku menelponnya duluan. Panggilanku terhubung. Namun, tak kunjung diangkat oleh Mas Arhab. Martia yang takjub dengan pemandangan lembah, perlahan melangkah. Ia duduk di salah satu ujung tebing tak jauh dari posisi sebelumnya. "Gila! Indah banget jingganya!" teriak Martia. Aku pun mengulas senyum dengan tetap menghubungi Mas Arhab. Hingga panggilan kelima tetap tak diangkat juga. Sebuah pesan kutuliskan untukknya. Melihat Martia yang begitu kagum dengan pemandangan ini, mebuatku juga ingin menikmati. Perlahan aku melangkah juga lalau mendudukkan diri tak jauh di sebelah Martia. "Hati-hati, Mir. Jangan bunuh diri!" kekehnya. Aku pun menggerutu. "Kalau sampai jam setengah enam pangeranmu tidak datang, kita pulang, ya, Mir. Di sini kadang banyak demitnya." Sontak aku pun memukul lengan Martia. "Yak! Bukan aku yang mau mati!" Aku pun terkekeh melihatnya. Pemandangan sore yang teramat indah sangat disayangkan jika dilewatkan. Kuputuskan menatap jingga. Dengan sesekali melihat ponsel. Satu pesan balasan pun tak ada. Mas Arhab tidak merespons sama sekali. Apakah ini akhir dari kisah kami? Perlahan jingga semakin menghilang. Langit sore akan berganti gelap. Tepat di waktu yang dijanjikan aku dan Martia kembali ke rumah. Ya. Sesakit itu ditinggalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD