bc

Pembalasan Setimpal Untuk Perselingkuhan Suamiku

book_age18+
1.7K
FOLLOW
7.0K
READ
HE
opposites attract
drama
city
affair
like
intro-logo
Blurb

Ketika mertuaku terlalu sering meminta uang, ditambah lagi dengan sikap cuek dari suamiku, aku pun mulai menaruh rasa geram yang luar biasa. Apalagi, di saat tanpa sengaja aku mendapati seorang perempuan asing, nekat menelepon suamiku di tengah malam dan memanggilnya dengan sebutan sayang. Jelas, aku tak terima diperlakukan begitu.

Aku pun mulai menyelidiki gerak gerik aneh dari suami yang belakangan ini enggan memberiku nafkah. Di tengah penyelidikanku, kudapatkan sebuah fakta yang mengejutkan. Ternyata, selama ini suamiku telah berselingkuh dengan seorang gadis muda.

Namun, tak kumaafkan kelakuan busuk dari suamiku. Aku juga enggan terus-terusan dijadikan sapi perah oleh keluarganya. Spontan kususun sebuah rencana pembalasan untuk menghajar para pengkhianat dan benalu dalam hidupku.

Wahai suami dan ibu mertuaku, rasakanlah semua karma dari kejahatan kalian!

chap-preview
Free preview
1. Dimanfaatkan Mertua dan Ipar
“Ris, Mama boleh pinjam uang? Sejuta saja. Buat bayar cicilan motor Indy.” “Lho, Ma? Bukannya bulan lalu juga pinjam sejuta dan belum dikembalikan?” Alisku sampai bertaut. Bisa-bisanya Mama pinjam uang terus menerus tanpa mikir aku kerja banting tulang tiap hari di rumah sakit itu rasanya seperti mau mati! “Ya, gimana lagi, Ris? Mama kan udah nggak kerja. Indy masih sekolah. Minta sama Rauf, bilangnya selalu nggak ada uang.” Aku menarik napas dalam. Menenangkan diri. Mencoba menghilangkan kesal. Enak sekali mereka. Benar-benar keterlaluan! Setelah Mas Rauf jarang memberi nafkah dengan alasan usaha bengkelnya sepi, sekarang malah mama mertua yang kerap keluar masuk mal bersama anak bungsunya yang centil dan gemar t****k-an itu kini mulai melunjak dan minta uang terus menerus. Kemarin pinjam buat nyicil motor, sekarang mau pinjam lagi padahal belum juga dikembalikan. Jadi, aku ini apa? Sapi perah? “Ma, Risa baru nikah sama Mas Rauf belum genap setahun. Tapi, kok begini terus, ya?” Aku mulai memberanikan diri untuk mengeluh. Gajiku sebagai perawat di rumah sakit swasta benar-benar tidak cukup kalau harus menopang kebutuhan keluarga ini tanpa ulur tangan dari Mas Rauf sebagai kepala keluarga. Bukan, bukan tidak ikhlas membantu suami. Namun, lama kelamaan kok aku malah dijadikan objek buat mereka minta uang? Memangnya aku pabrik duit?! “Maksudmu apa, Ris? Kalau kamu memang tidak mau ngasih, ya sudah!” Mama melotot. Kami yang sore ini awalnya ingin masak makan malam bersama, malah jadi bersitegang seperti ini. “Kamu nggak hitung ya, Ris? Tinggal di rumah ini sudah berapa biaya?” Kupingku langsung panas. Oh, ternyata dia mau hitung-hitungan, ya? Jadi, selama 10 bulan kami tinggal di sini, tak dihitungnya kah, berapa uangku yang sudah keluar untuk bayar listrik, beras, dan gas? “Uang bayar listrik, beras, dan gas? Mama tidak hitung?” “Mama nggak nyangka ternyata sifat aslimu seperti ini, Risa! Mama kira kamu adalah pacar Rauf yang paling baik dan tulus. Ternyata salah besar! Saat kalian pacaran, kamu tak sungkan buat mengeluarkan uang untuk keluarga ini. Namun, lihat sekarang bagaimana tingkahmu. Belum punya anak saja sudah pelitnya bukan main. Pantas kamu nggak dikasih hamil-hamil, Ris!” Omongan Mama bukan main sadis. Wanita 55 tahun yang memutuskan untuk berhenti berjualan di kantin SD dengan alasan mudah capek ini (kuduga, ini cuma alasan! Dia tahu bahwa aku dan Mas Rauf bakal memberinya nafkah sehingga enggan bekerja lagi), sangat membuat harga diriku rasanya terinjak-injak. Sejauh ini Mama yang sudah janda sejak Indy berusia 3 tahun, memang tak pernah mengungkit mengapa aku belum hamil atau mempermasalahkan tinggal di rumah ini. Ya, sudah pasti sebabnya karena kerap kuberi uang. Pas sekali saja kutolak, ternyata sikapnya langsung berubah begini! Dia pikir, aku tidak muak dengan tingkahnya? Tingkah anak sulungnya? Mas Rauf memang banyak berkorban untukku dulu. Empat tahun kami berpacaran, tepatnya saat lulus SMA. Dia rela bekerja dan akhirnya membuka bengkel motor kecil-kecilan, sementara kuliah perawatku beliau yang bantu membayarkan. Almarhum Bapak waktu itu tengah stroke, sementara ibuku tak begitu dapat diandalkan karena sudah menikah lagi dan membangun rumah tangga bersama pria lain. Jadi, untuk sekadar berkuliah, aku harus berjualan apa saja di kampus dan banyak dibantu dengan hasil keringan Mas Rauf (tanpa sepengetahuan mamanya). Setelah lulus, aku langsung bekerja dan menikah dengan Mas Rauf. Suamiku yang dulunya royal dan kerap memberikan uang (kemudian uang itu lah yang biasanya kupakai untuk kembali mentraktir Mama/Indy), sejak menikah malah jarang memberi nafkah. Alasannya selalu ada. Bengkel sedang sepi, banyak yang ngutang, atau bahkan merugi. Padahal, kunilai bengkelnya malah semakin ramai. Namun, aku hanya bisa diam. Terus memberikan keluarga ini uang dengan berbagai macam kebutuhan. Bayar listrik, beli beras, gas, minyak goreng. Belum lagi kalau Indy minta uang jajan dan beli bensin motor. Sekarang malah sudah dua kali berturut-turut minjam satu juta untuk bayar cicilan motor. Terus, menurut mereka, aku tidak perlua uang sama sekali? “Aku juga nggak nyangka sikap Mama ternyata seperti itu! Dulu, saat uangku lancar Mama terima, sikap dan mulut kalian manis. Giliran baru sekali kutolak, Mama langsung mengeluarkan caci maki. Apa aku ini sapi perah untuk kalian?” “Lancang kamu, Ris!” Mama sudah mengangkat tangannya. Dia hendak memukul wajahku. “Pukul saja, Ma! Pukul!” Aku setengah berteriak. Menyodorkan pipi ke arah Mama, tetapi wanita itu malah menurunkan tangannya. “Hei, ada apa ini? Kenapa suara ribut-ribut dari depan sudah kedengaran?” Mas Rauf tiba-tiba datang dari arah depan sana. Aku sontak menoleh pada pria yang mengenakan kaus warna hitam dan celana pendek, serta tangan yang hitam-hitam bekas lumuran oli. “Mas, aku rasanya sudah capek! Aku nggak sanggup lagi! Uangku tiap bulan langsung amblas untuk keluarga ini sampai-sampai buat beli bedak pun aku tidak bisa!” Aku meluapkan emosiku pada Mas Rauf. Lelaki berambut lurus yang sudah mulai agak panjang, dengan rahang tegas dan warna kulit kecoklatan akibat sering berjemur tersebut, seketika berubah mukanya. Seperti kaget mendengar ucapanku. “Ada apa ini?” “Mama cuma mau pinjam sejuta dari Risa! Tapi mulutnya nyerocos panjang lebar seperti Mama ini pengemis!” Mama membanting pisau ke lantai dengan keras. Kemudian berlalu pergi meninggalkan kami berdua yang berdiri mematung di depan meja kompor. “Ris ....” Mas Rauf mulai mendekat. Tubuhnya yang bau bensin campuran oli tersebut semakin bergerak maju ke arahku. “Apalagi, Mas?” Aku menatapnya dengan raut kesal. Dia ingin marah? Silakan saja! “Kamu ingat, kan, siapa yang membiayaimu hingga lulus diploma tiga keperawatan? Kamu lupa?” Ucapan Mas Rauf sungguh menohok. Tak kusangka, ternyata akhirnya dia pun akan mengungkit hal ini. “Jadi?” Nadaku makin tinggi. Aku Risa. Bukan perempuan lemah yang jika dihardik hanya iya-iya saja. “Aku Cuma tanya, apa kamu lupa?” Mas Rauf menekan bicaranya. Lelaki bertubuh tinggi dengan lengan kekar dan d**a yang bidang itu, menatapku dengan sangat tajam. Tak biasanya dia bersikap seperti ini padaku. “Aku tidak lupa! Lantas apa? Kamu minta aku untuk ganti rugi?” Aku berkacak pinggang dan semakin maju ke arahnya. Kudorong dadanya hingga Mas Rauf termundur satu langkah ke belakang. Lelaki itu lantas menyeringai. “Menurutmu?” “Kalau begitu, ganti rugi juga keperawananku yang sudah kamu nodai sejak aku duduk di semester tiga dulu! Kamu yang suruh aku minum pil KB sejak kuliah! Dan lihat sekarang hasilnya apa! Aku tidak kunjung hamil padahal sudah tidak minum pil lagi semenjak kita menikah!” Kupukul d**a Mas Rauf. Lelaki itu hanya diam sembari menatapku penuh benci. “Kamu tidak beri aku uang selama kita menikah dengan banyak alasan, apa aku marah? Tidak, Mas! Aku Cuma membela diri dari injakan mamamu saja, sikapmu sekarang malah seperti ini! Apa maumu? Bercerai?” Plak! Tamparan keras ke wajah membuatku terhenyak. Bukan main perih. Mas Rauf ... ini adalah kali pertama dia memukul dan menghardikku. Tega sekali dia! Jahat! “Kurang ajar kamu, Mas! Bede***!” Aku memukul d**a, perut, dan wajah Mas Rauf berulang kali. Sekuat mungkin aku memukulnya, tetapi lelaki itu begitu kuat dan hanya diam mengeraskan tubuhnya hingga tanganku sendiri yang kesakitan. Sore itu, aku menangis keras. Terduduk di atas lantai dapur. Sesegukan sambil mengumpati keluarga Mas Rauf dengan kata-kata kasar. “Jangan pernah merasa hebat, Ris. Kamu itu belumlah menjadi apa-apa.” Mas Rauf kemudian berjalan meninggalkanku. Membuat hati ini semakin sakit dan terkoyak. Kurang ajar mereka semua! Benar-benar kejam dan lintah darat. Tak kusangka, Mas Rauf yang sangat baik di awal, kini berbuat di luar pradugaku. Baiklah! Kalian jual, aku beli. Mama, Mas Rauf, Indy. Kalian semua! Tunggu pembalasanku. Kalian pikir, karena tak lagi punya orangtua di sisiku, aku ini lemah dan tak berdaya? Tidak sama sekali!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
95.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook