2. Kau Dekap Dia Dan Kau Bentak Aku

2685 Words
“Mana, Ryan, Pak Sapta?” Laras langsung mengajukan pertanyaan itu begitu Pak Sapta menyambut kedatangannya bersama sang mertua di depan teras depan. “Dia baik-baik saja, ‘kan?” tanya Laras lagi merasa khawatir. “Tuan muda ada di kamar tamu, Nyonya,” jawab Pak Sapta. “Apa? Dia di kamar tamu? Siapa tamu kita?” tanya Laras beruntun. “Nona Alena, Nyonya.” Pak Sapta menjawab dengan tatapan serius dan terlihat tegang. “Alena?” tanya Laras terkejut. Begitu juga dengan Tuan Darmawan dan Bu Sarah. Mereka saling bersahutan menyebut nama Alena. Merasa tak sabar menunggu jawaban dari Pak Sapta, Laras lalu bergegas masuk ke dalam rumah menuju ke kamar tamu untuk menemui Ryan. Sementara Tuan Darmawan, Bu Sarah juga Pak Sapta segera menyusul. Sampai di depan kamar, Laras langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Namun alangkah terkejutnya dia, saat melihat Ryan sedang mendekap Alena di atas ranjang “Ryan!” sebut Laras dengan perasaan hancur penuh kekecewaan menatap Ryan dan Alena. Air matanya bercucuran tak bisa dibendung melihat pemandangan panas itu. “Jadi demi diakah kamu pergi meninggalkan aku setelah malam pertama kita?” tanya Laras. Suaranya terisak dan penuh kesedihan. Dia tak menyangka suaminya yang menghilang sejak beberapa jam setelah mereka melalui malam pertama, sekarang dia temukan sedang mendekap wanita lain. Ryan tampak terkejut bingung tak tahu harus bagaimana melihat istrinya berdiri dengan wajah sedih dan bercucuran air mata. “Laras,” sebutnya sambil tetap mendekap Alena. Alena mencoba mengangkat wajahnya dan mengintip Laras dari dekapan Ryan. Dia seperti sedang ketakutan melihat Laras. “Ryan, suruh dia pergi! Suruh wanita itu pergi.” Lalu dia bersembunyi lagi dalam dekapan Ryan. Ryan masih terlihat kebingungan. Dia tak tahu harus bersikap bagaimana. Tapi kemudian dia memberikan isyarat pada Laras supaya keluar kamar dengan gerakan sebelah tangannya dan juga mimik mukanya. “Pergi! Pergi!” usir Alena dengan raut wajah ketakutan dan menunjuk ke arah Laras. “Aaa… Aaaa… “ Alena menjerit lagi. “Suruh orang jahat itu pergi, Ryan. Dia pasti akan menyakitiku.” Alena lalu bersembunyi ke dalam dekapan Ryan dan terus menjerit-jerit. “Ssst… Ssst… Tenanglah, Alena,” ucap Ryan mencoba menenangkan Alena dengan sabar. “Jangan takut. Dia tidak jahat, Al. Masak kamu sudah lupa. Itu Laras, istriku. Laras tidak akan berbuat jahat padamu,” jelas Ryan sambil mengusap-usap rambut Alena. Laras baru menyadari jika telah terjadi sesuatu dengan Alena. Untuk Sesaat dia masih berdiri terpaku memperhatikan tingkah Alena yang menurutnya aneh dan tidak seperti biasanya. “A... Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan Alena? Mengapa dia seperti ini, Ryan? Kenapa dia terluka?” Laras bertanya dengan badan sedikit gemetar. Sebelum bersembunyi ke dalam dekapan Ryan, tadi dia melihat muka Alena yang lebam di beberapa bagian wajah, lengan dan leher. Karena kebetulan dia hanya memakai atasan tank top. Di sudut bibirnya juga terlihat bekas luka. “Tolong, kamu keluarlah dulu, Laras. Aku akan menenangkan Alena dulu. Nanti akan kuceritakan semuanya,” pinta Ryan. “Tapi, Ryan, Alena kenapa? Cepat katakan padaku!” kata Laras penasaran dan masih enggan untuk keluar. Alena tiba-tiba menjerit-jerit histeris lebih kencang lagi hingga Ryan dan Laras terkejut. Ryan yang merasa panik dan kesulitan menenangkan Alena menjadi emosi dan meronta-ronta tidak karuan. “Keluar!” teriak Ryan dengan keras dan tiba-tiba. Laras sangat terkejut mendengar teriakan suaminya itu, yang dirasa bagai sambaran petir yang sangat dahsyat. Tak disangkanya Ryan sanggup membentak sekeras itu. Walau dirinya mungkin salah, namun tak seharusnya memperlakukan istri sendiri sekasar itu demi orang lain. Apalagi sejak dia pergi tanpa pamit tadi malam, Laras terus mengkhawatirkannya. Kini, setelah mereka bertemu lagi bukan permintaan maaf, sambutan atau bahkan pelukan hangat yang dia dapat, tapi perlakuan kasar yang dia terima. Itu pun sambil mendekap wanita lain. Dengan perasaan sedih, kecewa, serta hancur, Laras pun pergi keluar dari kamar. Sampai luar, Laras berhenti sejenak, karena tak kuat menahan tangis. Hatinya sakit dan tak bisa menerima perlakuan Ryan yang menurutnya berlebihan dan kasar. Dia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Alena. Apa yang salah dengan dirinya bertanya demikian. Tadi dia juga akan keluar. Namun bukankah wajar jika melihat kondisi Alena seperti itu dia bertanya mengapa dia sampai demikian keadaannya. Laras sangat kecewa, mengapa Ryan tak bisa sabar sebentar saja untuk memahami dirinya. Mengapa dia begitu cepat emosi. Seakan dirinya telah melakukan kesalahan fatal saja. Dan, seolah dirinya juga tidak lebih berarti dibanding Alena. Sementara posisinya adalah istrinya bukan orang lain. “Laras, ada apa? Mengapa kamu menangis, Nak? Apa yang telah dilakukan Ryan padamu?” tanya Bu Sarah yang baru saja tiba bersama Tuan Darmawan dan juga Pak Sapta. Laras hanya menggelengkan kepala saja karena tak sanggup berkata-kata lagi. Kemudian dia pun memilih pergi dengan berlari dan masuk ke dalam kamar Ryan, yang kini juga telah menjadi kamarnya. Dan berada tak jauh dari kamar tamu yang sekarang ditempati Alena. Ketiga orang itu saling berpandangan. “Lho, kok pergi! Tunggu dulu, Laras! Jawab dulu pertanyaan Mama!” Bu Sarah dan yang lainnya pun menjadi bingung. “Kita lihat saja apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana,” kata Tuan Darmawan kemudian melangkah dan segera membuka pintu kamar itu. “Kenapa balik lagi? Apa telingamu sudah tidak mendengar dengan baik? Keluarlah nanti----- ” Ryan tak bisa melanjutkan kata-katanya karena Tuan Darmawan menyambarnya. “Kasar sekali ucapanmu, Ryan! Apa seperti ini cara bicaramu dengan istri sendiri? Papa sangat kecewa sekali. Sementara kau sedang memeluk wanita lain seperti ini,” kata Tuan Darmawan emosi dengan suara tak kalah tinggi. Ryan terkejut. Dia melihat kedua orang tuanya dan juga Pak Sapta menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Oh, kalian. Maaf.” Ryan terlihat menyesal. Tapi dia juga terlihat tegang dan khawatir. Takut Alena akan ketakutan dan menjerit lagi susah dikendalikan. “Tolong, kalian jangan salah paham. Ini tak seperti yang kalian lihat. Antara aku dan Alena tidak terjadi apa-apa. Nanti akan kuceritakan semua, tapi biarkan Alena tenang dulu. Sekarang kumohon kalian keluarlah dulu.” Tuan Darmawan dan yang lain saling berpandangan. Mereka kemudian mencoba memperhatikan Alena yang masih berada dalam dekapan Ryan. Namun sayang, wajah wanita itu tidak kelihatan karena bersembunyi dibalik d**a Ryan. “Ada apa dengan Alena? Apa terjadi sesuatu dengannya?” tanya Tuan Darmawan penasaran. “Aku mohon, Pa! Tolong, kalian keluar dari sini dulu.” “Mari kita keluar saja dulu, Tuan,” ajak Pak Sapta. Kemudian Bu Sarah menyentuh lengan suaminya pelan. Wanita itu memberi isyarat pada Tuan Darmawan untuk menyetujui permintaan Ryan dan memberinya kesempatan untuk menjelaskan semuanya nanti. “Baiklah. Kami akan keluar dan menunggu penjelasanmu. Terutama istrimu yang sejak tadi memikirkan dan mengkhawatirkan dirimu,” tegas Tuan Darmawan sambil menunjuk Ryan. *** Kamar Laras masih gelap. Dia tak menyadari bila hari sudah berganti. Laras sedang duduk di ranjang dengan memeluk kedua lututnya. Bayangan Ryan yang tiba-tiba membentaknya dengan sambil mendekap Alena, masih sulit hilang di pelupuk matanya. Kini perasaannya campur aduk tidak karuan. Antara merasa sakit hati dengan sikap Ryan yang menurutnya sangat kasar tadi dan rasa penasaran dengan kondisi Alena yang dilihatnya tadi. Laras bahkan tidak tahu harus bagaimana bersikap, jika nanti Ryan masuk ke kamar ini. Dia ingin sekali marah dengan Ryan tapi dia juga ingin tahu keadaan Alena. Sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis itu. Semua orang di rumah ini tidak ada yang tahu. Kecuali hanya Alena dan Ryan. Bahkan Pak Sapta juga tak mengetahuinya, meskipun dia sejak pagi sudah dihubungi oleh Ryan untuk menyiapkan kamar, menyiapkan kotak PPPK dan membelikan baju untuk Alena. Laras tak mendengar pintu kamarnya dibuka oleh Ryan. Tapi dia baru menyadarinya ketika Ryan menyalakan lampu kamarnya. Kemudian terdengar suara pintu ditutup. Namun dia tetap diam dan tak menoleh sedikit pun. “Oh, kukira kamu sudah tidur,” ucap Ryan yang terkejut melihat istrinya duduk terdiam sambil memeluk kedua lututnya di atas ranjang. “Bagaimana mata kamu bisa nyaman dengan suasana gelap seperti ini?” tanya Ryan sambil melangkah mendekati ranjang kemudian duduk di tepinya, memandangi Laras yang terlihat acuh padanya. Tak ada reaksi apa pun dari Laras. Ryan kemudian membuka suara, “Maafkan aku.” Ryan serius. Ryan kemudian mulai mengakui satu persatu dosanya pada Laras, “Tadi aku telah bersikap kasar padamu.” Ryan mengusap rambut Laras dan menatapnya dengan penuh penyesalan. “Tadi malam, aku juga tidak sempat memberitahumu. Kulihat kamu terlihat begitu lelap. Jadi, aku pikir akan mengabarimu nanti saja saat di jalan. Tapi sialnya baterai ponselku ternyata habis.” Laras masih diam saja. Hatinya masih terasa sakit. Bibir sulit sekali terbuka walau hanya untuk sekedar mengatakan sesuatu yang singkat sehingga bisa mencairkan suasana yang terasa kaku. Belum genap sehari dia menikah dengan Ryan, Laras merasa seperti tak mengenalnya setelah sikapnya yang kasar terhadap dirinya tadi. Laras merasa seperti melihat orang lain. Atau mungkin selama ini dirinya yang belum sepenuhnya mengenal Ryan, pikir Laras. Tak kuasa menahan tangis, Laras pun terisak dan membuat tubuhnya sedikit terguncang. Dan Ryan akhirnya pun mengetahui. Dia langsung menggeser tubuh mendekati Laras dan memeluknya erat-erat. Ryan baru menyadari jika kali ini dirinya benar-benar telah menyakiti perasaan Laras. Di dalam pelukan Ryan, tangis Laras akhirnya pecah. Dia tak kuasa membendung kekesalan dan kemarahannya lagi. Ryan semakin mempererat pelukannya. Tak peduli Laras yang berusaha meronta-meronta melepaskan pelukannya. Sengaja, dia juga tak mengatakan apapun dulu. Ryan ingin bahasa tubuhnya ini bisa lebih dipahami oleh Laras. Jika dia benar-benar menyesali dan memahami perasaan istrinya yang telah dia sakiti tadi. Karena, dengan kata-kata terkadang hanya akan membuat mereka jadi saling berdebat dan tidak bisa memahami maknanya. Karena itulah, Ryan hanya ingin memeluk dan terus memeluknya saja sampai Laras menjadi tenang. Benar saja. Setelah beberapa saat. Dan tangis Laras mulai mereda. Ryan melepaskan pelukannya perlahan. Tangannya mengusap kedua pipi Laras yang masih basah. Ada gurat kesedihan dan amarah di wajah Ryan. Kedua tangannya menangkup wajah Laras dan menatapnya dalam-dalam. “Alena telah mendapatkan musibah berat, Laras. Semalam beberapa orang pria telah m*****i kehormatannya,” ungkap Ryan. Laras terkejut. “Apa?” Seketika lenyaplah kemarahan Laras pada suaminya dan Alena. “Ya, Tuhan! Mengapa Alena harus mengalami musibah sebesar ini?” Laras merinding. Tubuhnya juga gemetar. Laras tak bisa membayangkan kepedihan yang dirasakan oleh Alena sekarang. “Jadi, semalam kamu pergi untuk menolongnya?” “Benar. Dia menelepon dengan suara ketakutan dan minta tolong untuk menjemputnya. Setelah baterai ponselku mulai terisi. Aku terus berkomunikasi denganya. Karena itulah aku sampai lupa menelponmu. Kutemukan Alena lebih hancur dari yang kukira. Aku menemukannya dalam keadaan--- nyaris tanpa busana.” Ryan memberi jeda. Dia merasa berat dan sulit meneruskan ucapannya. Teringat keadaan Alena yang sangat menyedihkan saat dia temukan. Lalu ia mengembuskan napas keras. Seperti ada beban berat yang ingin dilepaskan yang menghimpit dirinya. “Katakan! Bagaimana ini bisa terjadi? Di mana kejadiannya? Kenapa tidak ada yang menolongnya?” tanya Laras dengan menggebu-gebu, geram terbawa emosi sambil mengguncang-guncang Ryan tanpa dia sadari. “Alena baru saja kembali dari mengantar Elly pulang ke kampung halamannya. Di tengah jalan yang sepi, ban mobilnya bocor. Di saat itulah dia beberapa orang tiba-tiba datang menawarkan bantuan tapi meminta imbalan mengajak Alena menginap di hotel. Tapi, Alena menolaknya. Setelah itu, Alena tak tahu apa yang terjadi. Dia juga tidak tahu bagaimana dia akhirnya bisa dibawa sampai ke rumah kosong itu. Mereka telah membuat Alena pingsan. Dan begitu sadar, mereka kemudian melakukan aksi bejatnya. Begitulah cerita Alena,” ungkap Ryan lirih namun dengan mengepalkan kedua tangannya. Laras sendiri sampai memejamkan mata. Tak sanggup membayangkan peristiwa keji itu. Dia begitu geram. “Hmm... Mereka harus dihukum dengan hukuman yang setimpal. Kamu sudah lapor polisi, ‘kan?” tanya Laras. “Belum?” “Apa, belum?” Mata Laras melotot menatap suaminya. “Ryan ini kejahatan yang luar biasa. Bagaimana bisa kamu belum melaporkannya pada polisi? Dan, membiarkan penjahat-penjahat itu hidup bebas di luar sana, hah?” tanya Laras dengan geram dan berapi-api. Sebagai sesama wanita dia tak terima para penjahat itu tak mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan mereka pada Alena. Para penjahat itu harus dibuat jera. Mereka harus dihukum seberat-beratnya. “Itu juga sama artinya kamu memberi kesempatan mereka akan berbuat kejahatan yang sama lagi.” Ryan bisa memahami sikap Laras yang terlihat geram dan kesal padanya. Bukan hanya wanita, siapa pun tidak akan terima jika dilecehkan. Karena itulah dia tak tersinggung atau pun marah bila Laras menyalahkan dirinya. Meskipun dia juga punya alasan kuat untuk tidak lapor polisi atas pelecehan yang menimpa Alena ini. “Tenangkan dirimu, Laras,” tutur Ryan. Aku sudah mengantar Alena sampai ke depan kantor polisi saat itu juga. Tapi dia memohon padaku untuk tidak melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Bahkan, Alena memohon padaku untuk tidak memberitahukan musibah ini kepada orang tuanya atau pun Elly. Alena memintaku untuk membantunya bangkit lagi, tanpa seluruh dunia tahu kalau dia mendapat musibah ini,” jelas Ryan. Setelah diam beberapa saat, Ryan melanjutkan lagi ucapannya, “Kita harus memahami posisi Alena, Laras. Dia adalah seorang model yang cukup punya nama. Pasti dia tidak ingin masalahnya ini jadi konsumsi publik dan akan berpengaruh pada karirnya di masa depan.” Laras menyentuh tangan Ryan. Ditatapnya mata suaminya itu. Laras berusaha memberikan pengertian. “Tapi, ini tidak mudah bagi Alena, Ryan. Kamu lihat saja sejak tadi. Dia terus menjerit-jerit ketakutan. Alena mulai mengalami trauma berat. Dia tidak dapat menanggung beban derita ini sendirian hanya denganmu, Ryan. Alena butuh bantuan dari seorang psikiater untuk membantunya bangkit lagi. Itu menurutku.” Ryan mengangguk menyetujui pendapat Laras. Apa yang dikatakan istrinya memang sangatlah benar. Namun, dia juga ingin mendengarkan keinginan Alena yang sedang mengalami musibah ini. “Yah, aku sependapat denganmu Laras. Tapi, kita harus membujuk Alena pelan-pelan. Sepertinya saat ini dia mengalami krisis kepercayaan pada orang lain. Bahkan pada orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Saat ini dia hanya percaya padaku. Kalau sekarang aku bersikap keras padanya. Aku khawatir tak ada lagi orang yang dipercaya. Dan itu akan menjadi sulit untuk membantunya bangkit lagi.” Laras sebenarnya kurang setuju dengan pendapat Ryan. Meskipun jujur dia mengakui apa yang dikatakannya itu juga benar. Karena jika semakin menunda-nunda meminta pertolongan psikolog, bisa-bisa akan berakibat fatal. Hal itu akan membuat trauma Alena semakin dalam. Laras tak ingin berdebat dengan Ryan. Toh, ini hanya sarannya saja. “Baiklah, kalau kamu memang ingin demikian. Semoga beberapa hari ke depan Alena akan lebih baik keadaannya.” “Ya. Amin,” ucap Ryan. Laras lalu beringsut dan turun dari tempat tidurnya. Dia ingin ke dapur dan menyiapkan Ryan makan malam. Dia yakin suaminya itu sama seperti dirinya, belum makan juga. Namun saat dia sudah akan melangkah. Tiba-tiba Ryan memeluknya dari belakang. “Ryan, apaan, sih? Kamu membuatku terkejut saja.” “Kamu mau pergi ke mana? Bukankah kamu belum maafin aku?” tanya Ryan sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang istrinya, sementara dia menaruh kepalanya di pundak kanan Laras. “Aku akan ke dapur dan menyiapkan makan malam untukmu. Aku sudah memaafkanmu sejak tadi, Ryan. Masak nggak tahu, sih?” “Mana aku tahu, kalau kamu tidak menunjukkannya dengan jelas, seperti ucapan, tulisan atau yang lainnya yang mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan salah paham lagi.” Laras melepaskan kedua tangan Ryan yang melilit pinggangnya. Lalu membalikkan badan mencubit kedua pipi Ryan dengan gemas. “Baiklah. Aku sudah memaafkanmu, Ryan. Lain kali, jangan demi orang lain kamu membentakku lagi, ya! Ingat itu!” tegas Laras. “Kecuali, jika aku memang benar-benar bersalah dan sudah tidak bisa dinasihati lagi. Kamu boleh memarahiku.” “Apa ini tulus?” tanya Ryan lalu mengulas senyum jahil yang disertai kilatan mata nakal menggoda Laras. Laras mengerutkan dahinya tidak mengerti. “Tulus? Apa ini perlu dipertanyakan? Kamu tidak bisa melihat ketulusanku?” “Bukan tidak. Tapi belum. Cepat tunjukkan?” perintah Ryan. Laras tahu ini hanya ide jahil Ryan. Kemudian dia pura-pura tak mengerti. “Bagaimana caranya?” Ryan menunjuk kedua pipinya dan bibirnya dengan tersenyum nakal. “Apa?” tanya Laras dengan nada agak tinggi. “Tidak mau! Aku sibuk. Aku mau ke dapur.” Laras. “Ssst.. Jaga suaramu! Nanti Alena terbangun.” Ryan menyentuh bibir Laras dengan jari telunjuknya. “Aku sangat merindukanmu.” Ryan menatap Laras dengan tatapan meredup. “Benarkah?” Tiba-tiba Ryan mengangkat tubuh Laras dan membawanya ke tempat tidur lagi. “Aww... Ryan, turunkan! Mau apa kamu?” “Kamu harus buktikan ketulusanmu sekarang, Nyonya Ryan Raharja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD