3. Aku Tidur Sendiri Dan Kamu Dengannya

1489 Words
Ryan baru akan mendaratkan bibirnya di bibir Laras. Namun, mereka langsung membatalkan adegan mesra itu, begitu mendengar jeritan melengking dan keras Alena. Untuk beberapa detik Laras dan Ryan hanya bisa saling berpandangan dalam jarak yang sangat dekat. “Alena!” sebut Laras. “Ya. Sepertinya dia sudah bangun,” sahut Ryan dengan suara kecewa. Ryan lalu bangun dan segera turun dari tempat tidur. Dengan cepat dia menyambar pakaiannya dan memakainya lagi. Laras segera bangun juga dan membetulkan pakaiannya yang berantakan. Kemudian dia ikut turun dari ranjang. “Kamu mau ke mana? Tidurlah saja. Malam ini aku akan menemani Alena dan tidur di sana.” “Apa? Kamu akan tidur dengan Alena?” tanya Laras terkejut. Ryan mendekati Laras dan memegang kedua bahunya. Dia tahu kalau istrinya itu sedang dilanda cemburu. “Apa kau pikirkan, Laras? Kenapa wajah dan tatapanmu seperti itu? Jangan berpikir macam-macam” Laras membuang muka ke samping dengan wajah cemberut. “Apa aku salah? Kalian bukan muhrim. Kalian tidak boleh tidur sekamar berdua saja. Biarkan aku saja yang menemani. Aku tidak masalah.” Ryan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Kedua tangannya meraih wajah Laras dan dia arahkan untuk menatap dirinya. “Hei... Bagaimana kamu bisa berpikir sejauh itu, Sayang? Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa antara aku dan Alena. Kamu harus tahu, Laras! Alena itu, sudah aku anggap seperti saudara perempuanku sendiri. Nggak akan lebih dari itu. Jadi, aku nggak akan mungkin melakukan hal macam-macam dengan perempuan yang kuanggap saudaraku sendiri. DanAlena saat ini hanya membutuhkan aku, Laras. Bukan yang lain. Aku mohon pengertianmu.” “Tapi, sampai kapan kamu akan menemani dia tidur? Bagaimana kalau lama-lama akan membuat dia semakin tergantung padamu saja? Sedangkan jika dia mau aku bersedia menemaninya.” Ryan tersenyum pada Laras. Rasanya dia geli juga melihat tingkah istrinya yang sedang dilanda cemburu. “Kita harus memberi waktu pada Alena. Saat ini dia mungkin hanya percaya padaku. Sepertinya saat ini dia belum bisa percaya pada siapa pun selain, aku. Jadi, biarkan aku berada di dekatnya untuk sementara waktu. Kumohon mengertilah. Nanti, kita lihat bagaimana kondisinya dalam beberapa hari ini. Semoga trauma dan histerisnya akan berkurang. Lalu kita cari solusi untuk membantu pemulihannya.” Ryan menghentikan sejenak ucapannya sambil terus memperhatikan Laras. Seakan menanti sedikit kerelaan hati istrinya itu yang terpancar wajahnya. “Aku akan kamar Alena sekarang. Jangan lupa, makanlah dulu. Setelah itu cepatlah tidur. Jangan mikir yang macam-macam!” pesan Ryan. Laras hanya diam saja, ketika Ryan mengusap rambutnya sebentar dengan ritme cepat lalu melangkah keluar kamar. Jeritan Alena tak juga berhenti. Ryan ingin cepat-cepat menenangkannya. Setelah Ryan menutup pintu, Laras beranjak dari tempatnya. Dia masih saja berdiri menatap ke arah pintu kamar. Bukan dia tak merasa kasihan atau tak berempati dengan penderitaan Alena. Tapi entah mengapa dalam hati kecilnya, ada perasaan tidak rela jika Ryan menemani Alena tidur. Mungkin karena selama dia tahu, jika Alena sebenarnya menyimpan perasaan cinta pada Ryan. Bukan dia takut Ryan akan menggoda Alena. Tapi Laras taku jika Alena menggoda suamiya. Meskipun sekarang ini, kalau dipikir-pikir rasanya tidak mungkin Alena memiliki keinginan untuk bersama Ryan karena mungkin dia masih trauma dengan musibah yang baru saja dialaminya. Tapi Laras tidak bisa memastikan juga, hal itu tidak akan terjadi. Laras berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha mengerti dan menerima situasi ini. Tidak ada seorang pun mau mengalami musibah seperti Alena. Jadi, dia harus bisa bersabar dan mendukung Ryan membantu Alena supaya cepat pulih kembali dari traumanya. Sehingga semua bisa menjalani hidup dengan normal kembali. *** Kedua mertuanya dan Pak Sapta masih berdiri di depan pintu kamar Alena ketika Laras datang mengantarkan selimut dan bermaksud menyediakan makan untuk Ryan. Sepertinya mereka tadi datang dan turut menenangkan Alena. Alena sudah berhenti menjerit. Kedatangan Ryan sepertinya menjadi obat mujarab dan kembali merasa tenang. “Sepertinya Alena sudah tenang kembali ya, Pa, Ma?” tanya Laras ketika sampai di dekat mertuanya dan Pak Sapta. “Ya, Nak. Begitu Ryan masuk, Alena langsung berhenti menjerit. Sepertinya gadis itu hanya percaya pada Ryan saja. Padahal kami tadi sudah berusaha menenangkannya,” sahut Tuan Darmawan. “Kenapa kamu membawa selimut kemari? Di dalam sudah ada selimut, Laras,” tanya Bu Sarah merasa terusik melihat Laras memondong selimut. “Oh, selimut ini buat Ryan, Ma. Malam ini dia akan menemani Alena.” Bu Sarah tersenyum haru melihat Laras. Dia begitu bangga punya menantu yang pengertian dan baik hati. “Oh, Sayang. Alangkah mulianya hatimu. Kalian adalah pengantin baru. Baru semalam kamu dan Ryan bersama. Tapi sudah sanggup mengesampingkan kepentingan pribadi demi kemanusiaan. Mama sangat bangga padamu.” “Iya, Ma. Papa memang nggak salah pilih menantu, ‘kan. Laras itu sangat baik dan berhati mulia,” puji Tuan Darmawan dengan tersenyum bangga pada Laras. “Nggak, Ma. Saya tidak sebaik itu,” sahut Laras tersipu. Dalam hati Laras merasa malu sendiri mendengar pujian itu. Andai mertuanya itu tahu perasaannya sekarang, pasti mereka kecewa dengannya. Laras lalu menggeleng. “Jangan berlebihan, Ma, Pa. Saya hanya manusia biasa. Tidak ada istri mana pun yang rela suaminya tidur dengan wanita lain. Tapi jika itu demi menolong sesama, istri mana pun akan bersedia melakukan hal yang sama seperti saya.” “Kamu memang suka merendah, Nak,” kata Tuan Darmawan. “Sudah, sekarang berikan selimut itu kepada Ryan. Dan kamu cepatlah tidur juga. Kami akan ke kamar dulu,” pamit Bu Sarah. Laras mengangguk dan kemudian mendekat ke pintu. Setelah mengetuk pintu, tak lama kemudian Ryan membuka pintu itu. Dia tampak bingung melihat Laras. “Ada apa? Kenapa kamu belum tidur?” “Kamu lupa belum bawa selimut tadi.” Laras mengulurkan selimutnya pada Ryan. “Oh, iya, aku lupa tadi. Terima kasih, ya! Kembalilah ke kamar. Cepatlah tidur,” ucap Ryan akan menutup pintu kamarnya. Dan Laras juga akan berbalik melangkah pergi tapi kemudian mengurungkannya. Terdengar suara Alena dari dalam kamar. “Ryan, tolong antarkan aku ke kamar mandi,” pinta Alena dari dalam. Laras melihat Ryan belum sempat menutup pintu. Dia lihat suaminya itu sedang menoleh ke dalam. Tapi, kemudian Ryan melihat lagi Laras yang masih berdiri di depan kamar menatapnya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diminta Alena tadi. Laras tahu, Ryan takut dirinya salah paham. Sementara menurut Laras, situasi ini, tentu akan lebih mudah, jika yang menemani Alena sekarang adalah dirinya atau asisten rumah tangga perempuan. Tidak akan menimbulkan syak wasangka. Ryan kembali melihat Alena di belakangnya. “Oke. Pergilah ke kamar mandi sana. Dan jangan kamu tutup pintunya. Aku menjagamu di dekat pintu. Kamu jangan takut. Tidak akan ada orang jahat yang bisa masuk,” jawab Ryan lalu kembali melihat Laras. Seolah dia ingin menjawab kerisauan Laras. Laras tak mengatakan sepatah kata pun, dia hanya mengangkat ke dua alis dan bahunya bersamaan. Lalu berbalik dan melangkah pergi. Dia dengar Ryan sudah menutup pintunya. Namun baru tiga langkah dia berjalan. Didengarnya suara Alena memanggil-manggil Ryan. “Ryan! Ryan! Aku takut. Masuklah temani aku.” Laras berhenti, lalu segera kembali ke depan pintu kamar itu lagi. Tangannya meraih pegangan pintu itu. Dia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Alena di dalam kamar mandi. Laras bertanya-tanya kira-kira bagaimana tindakan Ryan yang kemungkinan masuk ke kamar mandi Alena dalam situasi panik seperti itu. Sementara dia tak tahu Alena seperti apa di dalam kamar mandi. Sedang berpakaian atau tanpa pakaian. “Aduh... Harus bagaimana ini?” Laras merengek seperti anak kecil bingung sendiri. “Masuk? Tidak? Masuk? Tidak?” tanyanya bimbang. Laras melepaskan genggamannya pada gagang pintu. Kemudian dia segera melangkah pergi dari tempat itu dengan perasaan kesal. *** Di dapur Laras masih terlihat mondar-mandir dengan pikiran kalut. Tujuannya yang semula ingin menyiapkan makanan untuk Ryan dan Alena masih jadi tertunda. Saat ini sedang mondar-mandir dengan perasaan kalut dan cemburu. Pikirannya sedang dipenuhi kemungkinan bayangan-bayangan adegan Ryan dan Alena di dalam kamar mandi tadi. Antara adegan panas dan dingin sedang beradu akting di dalam pikirannya. “Ya, Tuhan! Tolonglah hamba mengenyahkan pikiran-pikiran kotor ini,” doa Laras memukul-mukul sendiri jidatnya dengan kesal. “Kenapa aku jadi seperti ini? Di mana rasa kemanusiaanku? Aku percaya pada Ryan. Ya, aku yakin pasti tidak akan terjadi apa-apa,” tegasnya pada diri sendiri. Setelah merasa lebih tenang, Laras kemudian menyiapkan beberapa menu makanan yang masih tersedia di dapur untuk Ryan dan Alena. Suasana rumah terasa sepi. Laras yakin para asisten rumah tangga sudah masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Laras tak mau membangunkan mereka hanya untuk mengantar makanan ini ke kamar Alena. Meski rasanya dia enggan untuk kembali ke sana. Karena takut melihat atau mendengar situasi yang tidak mengenakkan. Tapi tak ada pilihan lain. Tak tega rasanya dia membiarkan Ryan dan Alena tidak makan apa pun malam ini. Saat tiba kembali di depan kamar Alena kembali, telinga Laras kembali disambut oleh suara yang membuat hatinya terbakar api cemburu dan darahnya terasa berdesir sangat kencang. “Peluk aku lebih erat lagi, Ryan! Lebih erat lagi!” suara Alena dengan suara merengek manja “Iya, Al. Ini juga sudah sangat erat. Kamu tenanglah, ya! Sebentar lagi kamu pasti akan merasa hangat,” sahut Ryan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD